• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji serologis berupa ELISA tidak langsung digunakan untuk mendeteksi antibodi virus rabies di dalam sampel serum Macaca fascicularis. Seperti telah dijelaskan di dalam tinjauan pustaka bahwa hewan yang terpapar virus rabies akan memperlihatkan respon imun spesifik namun hanya sedikit karena sebagian besar genom virus terpusat pada sistem syaraf yang jauh terpisah secara imunologik. Juga karena sebagian besar virus dirakit di dalam membran sitoplasma sel inang tanpa adanya lisis sel inang tersebut pada saat terjadi pelepasan virion-virion baru. Akibat tidak terdapatnya kerusakan sel inang, menyebabkan hanya sedikit antigen virus yang dapat merangsang mekanisme respon imun inang (Fenner 1993).

Validasi Hasil Pemeriksaan

Hasil pemeriksaan menggunakan ELISA dinyatakan valid dan tidak diperlukan lagi pengulangan berdasarkan manual kit (Synbiotics Corporation) jika nilai OD (Optical Density) serum kontrol ialah 0,300 untuk kontrol positif dan 0,500 (setelah nilai 0,500 dikali dengan OD kontrol positif ) untuk kontrol negatif. Kevalidan data juga ditentukan oleh nilai koefisien korelasi (r) antara nilai OD dan nilai antilogaritma (ln) konsentrasi antibodi rabies pada persamaan antilogaritma, yaitu harus 0,950. Berdasarkan hasil pemeriksaan, nilai OD serum kontrol positif ialah sebesar 0,917 ( 0,300) dan nilai OD serum kontrol negatif ialah sebesar 0,145 ( 0,500 x 0,917 = 0,458) serta nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,98 0,950 sehingga dapat dikatakan bahwa pemeriksaan ELISA bersifat valid.

Deteksi Antibodi Rabies

Menurut Greene dan Dreesen (1990) deteksi antibodi digunakan untuk mengukur keberhasilan vaksinasi atau tanggap kebal terhadap hewan yang divaksinasi atau adanya infeksi pada hewan liar. Deteksi antibodi terhadap virus rabies pada Macaca fascicularis dilakukan dengan menggunakan kit komersial Synbiotic. Kit tersebut menetapkan standar untuk titer antibodi protektif terhadap infeksi virus rabies harus lebih tinggi dari 0,6 EU/ml (ekuivalen dengan 0,5 IU/ml sebagai baku titer antibodi menurut OIE) dan jika titer antibodi kurang

dari nilai tersebut maka hewan dinyatakan tidak dalam keadaan terlindungi apabila terjadi infeksi virus rabies.

Tabel 1 Jumlah sampel hasil deteksi antibodi virus rabies dengan uji ELISA pada serum Macaca fascicularis dari lima lokasi (Kuningan, Dramaga, Jonggol, Tinjil, dan Palembang)

No. Asal sampel serum

Jumlah sampel dengan titer Ab > 0,6 EU/ml

Jumlah sampel dengan titer Ab < 0,6 EU/ml 1. Kuningan 0 33 2. Dramaga 0 26 3. Jonggol 0 20 4. Tinjil 0 31 5. Palembang 0 21

Tabel 2 Persentase hewan antibodi positif rabies dari lima lokasi (Kuningan, Dramaga, Jonggol, Tinjil, dan Palembang)

No. Asal sampel serum

Ukuran sampel (n)

Persentase hewan antibodi positif rabies (%) 1. Kuningan 33 0 2. Dramaga 26 0 3. Jonggol 20 0 4. Tinjil 31 0 5. Palembang 21 0

Berdasarkan data dari Tabel 1 dapat disimpulkan semua sampel serum

Macaca fascicularis dari lima lokasi yang dikoleksi memiliki titer antibodi rabies kurang dari 0,6 EU/ml. Dengan kata lain persentase keberadaan antibodi rabies pada semua sampel ialah 0% (seperti terlihat pada tabel 2) yang berarti tidak satupun sampel serum dari kelima lokasi memiliki kandungan antibodi yang cukup tinggi untuk menyimpulkan telah terjadi infeksi virus rabies pada Macaca fascicularis yang dikoleksi. Nilai kontrol positif yang disertakan dalam pemeriksaan mencapai 1,0915 IU/ml jauh lebih tinggi dari nilai minimum untuk menyatakan hewan terlindungi (0,6 EU/ml). Nilai tersebut menunjukkan bahwa

kontrol positif yang disertakan jatuh pada kisaran true positive di atas nilai minimum untuk menyatakan hewan terlindungi. Sedangkan nilai kontrol negatif sebesar 0,285 IU/ml juga jatuh pada kisaran true negative jauh di bawah 0,6 EU/ml. Dua nilai kontrol tersebut (positif dan negatif) mencerminkan bahwa uji ELISA yang dilaksanakan memiliki validitas yang baik. Menurut Durr et al. (2008) uji gold standard yang direkomendasikan oleh WHO sebagai uji untuk mendeteksi virus rabies ialah uji gold standard direct fluorescent antibody (DFA) meskipun berdasarkan pengujian di Tanzania, uji direct rapid immunohistochemical (dRIT) menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang mencapai 100% (Soedijar & Dharma 2005). Uji gold standard diperlukan karena mengingat sebagian besar genom virus rabies terpusat pada sistem syaraf yang jauh terpisah secara imunologik (Fenner 1993).

Hasil uji yang negatif dapat disebabkan karena sebelumnya kelompok hewan memang belum pernah terpapar virus rabies sehingga tidak dihasilkan IgG pada respon imun (Soejoedono et al. 2009). Selain itu, disebabkan oleh masa inkubasi penyakit rabies yang cukup singkat dan bervariasi antara kurang dari satu minggu sampai lebih dari satu tahun (pada manusia) (Soeharsono 2007). Lama masa inkubasi akan menentukan kapan gejala klinis rabies akan muncul. Seperti yang dikemukakan oleh Ruprecht (2007) bahwa penyakit rabies akan berakhir dengan kematian setelah gejala klinis muncul dengan case fatality rate sebesar 100%. Sehingga sangat memungkinkan jika tidak ditemukannya hewan dengan antibodi positif rabies.

Jumlah sampel serum yang terbatas baik dari segi jumlah untuk masing-masing lokasi maupun dari segi jumlah lokasi yang dideteksi dapat juga mempengarui hasil yang negatif pada pemeriksaan antibodi rabies. Sehingga untuk lebih bisa merepresentasikan kondisi hewan terhadap paparan virus rabies sesungguhnya, diperlukan jumlah sampel yang besar dari banyak lokasi di Indonesia. Selain itu, tidak adanya klasifikasi umur dewasa pada sampel hewan juga dapat mempengarui. Semakin dewasa, hewan akan mendapat paparan yang lebih tinggi terhadap virus rabies dibandingkan ketika hewan tersebut masih belum dewasa (belum disapih oleh induk monyet). Sehingga selain jumlah sampel yang besar, klasifikasi umur dewasa juga penting untuk diutamakan dan dicantumkan ke dalam data sampel.

Menurut Arjuno (1984) untuk kesempurnaan diagnosa rabies perlu dilakukan dua atau lebih cara diagnosa tergantung kelengkapan peralatan

laboratorium yang akan saling membantu mempertegas diagnosa. Diagnosa secara reaksi antigen-antibodi jarang dilakukan, kecuali FAT.

Macaca fascicularis sebagai Hewan Pembawa Rabies

Hasil pemeriksaan yang menunjukkan semua sampel serum memiliki antibodi negatif rabies berbeda dengan pernyataan Hardjosworo (1977), bahwa monyet ialah salah satu dari tiga hewan pembawa rabies (HPR) utama di Indonesia. Namun, jika melihat jumlah sampel yang hanya berasal dari lima lokasi di Indonesia kurang mewakili bahwa monyet ekor panjang bukanlah hewan pembawa rabies di Indonesia. Menurut Hardjosworo (1977), spesies Macaca fascicularis dilaporkan positif terhadap rabies. Juga berdasarkan data statistik yang dilaporkan oleh WHO (2002) bahwa penyebaran rabies di Indonesia pada spesies monyet ialah sebesar 3%.

Menurut Soeharsono (2002), dikenal dua macam siklus rabies, yaitu siklus rabies di lingkungan pemukiman penduduk (urban rabies) dan siklus rabies di alam bebas (sylvatic rabies). Siklus yang pertama, umumnya terjadi pada anjing-anjing geladak yang dibiarkan bebas tanpa pemeliharaan khusus (stray dogs) yang kadang-kadang menyerang kucing, monyet, dan sesekali ruminansia, babi atau hewan lainnya. Sedangkan siklus yang kedua, terjadi pada hewan liar seperti rubah, skunk dan kelelawar penghisap darah (vampire) yang dapat mendekati lingkungan pemukiman dan akan menggigit hewan di lingkungan tersebut sehingga terjadilah urban rabies. Penelitian ini menunjukkan bahwa infeksi silvatik virus rabies pada Macaca fascicularis tidak dapat dibuktikan. Namun demikian untuk peneguhan simpulan sementara di atas perlu dilakukan survei tambahan dengan menyertakan sampel serum dari hewan liar lainnya yang memiliki potensi berinteraksi dengan Macaca fascicularis di alam.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari pelaksanaan penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1 Antibodi rabies tidak terdeteksi pada sampel serum Macaca fascicularis

yang berasal dari lima lokasi yaitu Palembang, Kuningan, Dramaga, Jonggol dan Tinjil.

2 Adapun titer antibodi rabies pada serum Macaca fascicularis yang berasal dari lima lokasi tersebut kurang dari titer antibodi standar kit (0,6 EU/ml) dan kurang dari titer antibodi serum kontrol positif (1,0915 IU/ml).

Saran

Saran yang dapat disampaikan setelah pelaksanaan penelitian ini ialah sebagai berikut:

1 Diharapkan sampel dapat diperoleh dari semua wilayah di Indonesia yang belum memiliki status bebas rabies.

2 Jumlah sampel yang digunakan dapat lebih banyak sehingga dapat merepresentasikan kondisi Macaca fascicularis sebenarnya yang terdapat di lima lokasi tersebut.

3 Melibatkan sampel serum dari hewan liar yang memiliki potensi berinteraksi dengan Macaca fascicularis.

Dokumen terkait