• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Antibodi Rabies pada Serum Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis) dari Lima Lokasi yang Berbeda di Jawa Barat dan Sumatera Selatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi Antibodi Rabies pada Serum Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis) dari Lima Lokasi yang Berbeda di Jawa Barat dan Sumatera Selatan."

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI ANTIBODI RABIES PADA SERUM MONYET EKOR

PANJANG (Macaca fascicularis) DARI LIMA LOKASI YANG

BERBEDA DI JAWA BARAT DAN SUMATERA SELATAN

RAHMAWATI DWI PRIHATIANA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Deteksi Antibodi Rabies pada Serum Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dari Lima Lokasi yang Berbeda di Jawa Barat dan Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2010

Rahmawati Dwi Prihatiana

(3)

RAHMAWATI DWI PRIHATIANA. Deteksi Antibodi Rabies pada Serum Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis) dari Lima Lokasi yang Berbeda di Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Di bawah bimbingan JOKO PAMUNGKAS, RACHMITASARI NOVIANA.

Rabies merupakan penyakit infeksi viral yang bersifat akut pada susunan syaraf oleh virus rabies dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae yang secara klinis ditandai dengan kelumpuhan progresif dan berakhir dengan kematian. Sudah sejak berabad-abad penyakit ini dikenal sebagai masalah pada manusia, hewan liar, dan hewan peliharaan. Rabies ditemukan di sebagian besar dunia dan setiap negara memiliki vektor-vektor utama sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi virus rabies pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dengan menggunakan metode ELISA tidak langsung (indirect

ELISA) pada serum Macaca fascicularis yang dikoleksi dari lima lokasi yang berbeda di Jawa (Kuningan, Penangkaran Dramaga, Penangkaran Jonggol, dan Tinjil) dan Sumatera Selatan (Palembang). Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibodi virus rabies tidak terdeteksi pada semua sampel serum Macaca fascicularis yang berasal dari kelima lokasi. Perlu penyertaan sampel dari hewan-hewan liar lainnya yang berinteraksi dengan Macaca fascicularis untuk pembuktian ada atau tidaknya kejadian infeksi silvatik.

(4)

RAHMAWATI DWI PRIHATIANA. Rabies Antibody Detection in Serum Long Tail Macaque (Macaca fascicularis) from five different locations in West Java and South Sumatera. Under Direction of JOKO PAMUNGKAS, RACHMITASARI NOVIANA.

Rabies is an acute viral infection of the nervous system by Rabies virus, a Lyssavirus from Rhabdoviridae family, which is clinically characterized by progressive paralysis and ends with death. It was for centuries known as a problem of this disease in humans, wild animals, and pets. Rabies is found in most of the world and every country has a self-major vector. This study aimed to detect rabies virus antibodies using indirect ELISA in long-tailed macaque (Macaca fascicularis) serum samples collected from five different locations in Java (Kuningan, Dramaga Captive Breeding, Jonggol Captive Breeding and Tinjil semi natural habitat breeding) and South Sumatera (Palembang). The results showed that the rabies antibody was not detected in any serum samples of Macaca fascicularis from five locations.Further analyses should be performed to include samples from other wild life which potentially interacted with Macaca fascicularis to conclude wether or not sylvatic infection had occurred in the wild.

(5)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

PANJANG (Macaca fascicularis) DARI LIMA LOKASI YANG

BERBEDA DI JAWA BARAT DAN SUMATERA SELATAN

RAHMAWATI DWI PRIHATIANA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nama : Rahmawati Dwi Prihatiana NIM : B04062992

Disetujui,

Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc. Rachmitasari Noviana, S.KH.

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini telah berhasil diselesaikan dengan tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli hingga September tahun 2009 adalah uji kekebalan humoral pada serum darah Macaca fascicularis

(9)

Mbak Sul, Sara yang selalu memberikan kegembiraan kepada penulis; teman-teman wisma Adinda; dan teman-teman-teman-teman di DKM An Nahl FKH IPB; serta seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan karya ilmiah ini. Namun demikian, penulis tetap berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2010

(10)

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1988 di Jombang Jawa Timur. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Rudi Yulianto Basuki dan Ibu Takariningsih Dwi Narwiyanti.

Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis pada tahun 2000 di SD Negeri Sambong Dukuh I Jombang, Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SMP Negeri I Jombang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 2 Jombang.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006.

(11)

DAFTAR ISI

Patogenesa dan Imunitas Virus Rabies ... 5

Respon Kekebalan Macaca fascicularis terhadap Virus Rabies ... dan Mekanisme Proteksinya ... 7

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) ... 8

Sejarah Macaca fascicularis ... 8

Klasifikasi Macaca fascicularis ... 9

Macaca fascicularis sebagai Hewan Penyebar Rabies ... 10

Immunoglobulin ... 10

Immunoglobulin G ... 11

Uji Serologis ... 11

EIA (Enzyme Immuno Assay) ... 12

ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) ... 12

BAHAN DAN METODE ... 14

Deteksi dan Pengukuran Titer Antibodi Rabies ... 17

Macaca fascicularis sebagai Hewan Pembawa Rabies (HPR) ... 20

SIMPULAN DAN SARAN ... 21

Simpulan ... 21

Saran ... 21

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Hasil deteksi antibodi dengan uji ELISA pada serum

Macaca fascicularis dari lima lokasi ... 18

2. Persentase hewan antibodi positif rabies dari lima lokasi ... 18

3. Nilai titer antibodi sampel Kuningan... 24

4. Nilai titer antibodi sampel Dramaga ... 25

5. Nilai titer antibodi sampel Jonggol ... 26

6. Nilai titer antibodi sampel Tinjil ... 27

7. Nilai titer antibodi sampel Palembang... 28

8. Nilai optical density (OD) sampel Kuningan ... 29

9. Nilai optical density (OD) sampel Dramaga ... 30

10. Nilai optical density (OD) sampel Jonggol ... 31

11. Nilai optical density (OD) sampel Tinjil ... 32

12. Nilai optical density (OD) sampel Palembang ... 33

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Struktur Virus Rabies ... 5

2. Potongan Melintang Struktur Virus Rabies ... 6

3. Patogenesa Virus Rabbies ... 7

4. Tahapan Replikasi Virus Rabies ... 8

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai titer antibodi sampel Kuningan... 24

2. Nilai titer antibodi sampel Dramaga ... 25

3. Nilai titer antibodi sampel Jonggol ... 26

4. Nilai titer antibodi sampel Tinjil ... 27

5. Nilai titer antibodi sampel Palembang... 28

6. Nilai optical density (OD) sampel Kuningan ... 29

7. Nilai optical density (OD) sampel Dramaga ... 30

8. Nilai optical density (OD) sampel Jonggol ... 31

9. Nilai optical density (OD) sampel Tinjil ... 32

10. Nilai optical density (OD) sampel Palembang ... 33

11. Nilai optical density (OD) dan konsentrasi OIE ... 34

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rabies yang juga dikenal sebagai Lyssa, Tollwut, Rage dan Hydrophobia

merupakan infeksi viral yang bersifat akut pada susunan syaraf dan secara klinis ditandai dengan kelumpuhan yang progresif dan berakhir dengan kematian. Sudah berabad-abad penyakit ini dikenal sebagai masalah pada manusia, hewan liar, dan hewan peliharaan. Rabies ditemukan di sebagian besar dunia dan setiap negara memiliki vektor-vektor utama sendiri. Di Amerika Selatan dan Tengah yang memiliki iklim tropis, hewan karnivora seperti anjing, kucing dan kelelawar penghisap darah (vampire) serta kelelawar pemakan serangga memegang peranan penting sebagai vektor rabies. Di seluruh Negara di Afrika, rabies tersebar secara enzootik dan hewan anjing, kucing, jakal, dan monggus memegang peranan sebagai vektor. Di negara-negara Timur Tengah, yang memegang peranan sebagai vektor ialah anjing dan wolves (anjing hutan). Kedua hewan tersebut mentransmisikan rabies kepada hewan pemamah biak seperti sapi dan kerbau. Sedangkan di Negara Asia, yang memegang peranan sebagai vektor ialah anjing dan kucing (Ressang 1986).

Rabies atau penyakit anjing gila sudah dikenal di Indonesia sejak 1889, empat belas tahun sebelum Negri menemukan inclusion body yang menjadi ciri khas penyakit ini. Inclusion body dipakai sebagai pegangan dalam menentukan suatu diagnosa berdasarkan pemeriksaan mikroskopis, baik dengan cara histopatologis maupun Immunofluorescence Assay (IFA) sampai sekarang. Sudah hampir 100 tahun lebih rabies tidak menghilang dari bumi Indonesia, tetapi justru sebaliknya, jumlah penggigitan pada manusia oleh hewan tersangka atau penderita rabies meningkat terus dan daerah rabies meluas ke daerah-daerah yang semula bebas serta jenis hewan penderita rabies juga semakin bertambah (Hardjosworo 1977).

(16)

Menurut laporan Pusat Karantina Hewan, Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian RI (2009) gambaran sejarah kejadian rabies di Indonesia dari tahun 1884 sampai dengan 2008 ialah sebagai berikut: pada tahun 1884 terjadi wabah rabies di Jawa Barat, pada tahun 1889 terjadi kasus rabies pada anjing, pada tahun 1894 terjadi kasus rabies pada manusia di Kalimantan Timur. Selanjutnya kasus rabies meluas ke Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Pada tahun 1997 terjadi kasus rabies di Flores (Larantuka), tahun 2003 terjadi kasus di Ambon, tahun 2004 terjadi kasus di Halmahera Maluku, tahun 2005 terjadi kasus di Ketapang Kalimantan Barat dan pada bulan Nopember tahun 2008 terjadi kasus rabies di Bali.

Sampai saat ini, hewan pembawa rabies (HPR) utama rabies di Indonesia ialah anjing, kucing dan monyet sedangkan rabies pada hewan piara lainnya hanya kadang-kadang saja dilaporkan (Hardjosworo 1977). Menurut CDC (2007) rabies dapat ditularkan seperti melalui gigitan oleh hewan liar (hewan reservoar) ke hewan peliharaan seperti kucing, monyet, kuda, sapi, domba, dan kambing.

Kasus rabies di Indonesia pada masa kini memang gawat dan memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh. Seperti telah diketahui bahwa virus rabies dapat menginfeksi semua makhluk hidup berdarah panas (Greene 1990 dan WHO 2002). Kasus rabies pada monyet belum pernah dilaporkan namun mengingat monyet merupakan satwa primata liar berdarah panas dan berpotensi menggigit manusia maka perlu dilakukan survei untuk melihat kemungkinan monyet dapat terinfeksi virus rabies.

Menurut Siregar (2009) pada tahun 2008 hanya 8 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia yang dinyatakan bebas dari rabies yaitu Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta dan DKI Jakarta. Sedangkan menurut Cahyono (2009) hingga tahun 2009 dinyatakan 9 propinsi merupakan daerah bebas rabies yaitu Nusa Tenggara Barat, Papua, Irian Jaya Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, D I Yogyakarta dan Jawa Timur.

(17)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi virus rabies pada monyet ekor panjang dengan menggunakan metode ELISA tidak langsung (indirect ELISA) pada serum monyet ekor panjang yang dikoleksi dari lima lokasi yang berbeda di Jawa Barat (Kuningan, Penangkaran Dramaga, Penangkaran Jonggol, dan Tinjil) dan Sumatera Selatan (Palembang).

Manfaat Penelitian

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Rabies (Lyssa, Tollwut, Rage,Hydrophobia)

Rabies atau penyakit anjing gila dikenal juga dengan nama Lyssa (Inggris), Rage (Perancis), Tollwut (Jerman) dan Hydrophobia. Penyebab penyakit ini ialah virus golongan Mononegavirales, famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus. Rhabdovirus ialah virus yang berbentuk selongsong atau peluru (berasal dari kata Rhabdo) atau mempunyai morfologi menyerupai kerucut, mempunyai ukuran 70x170 nm (walaupun beberapa spesies lebih panjang dan beberapa lebih pendek). Virus ini mempunyai struktur yang terdiri dari amplop berlapis dua mengandung lemak dengan peplomer glikoprotein yang mengelilingi nukleokapsid yang tertata secara heliks sehingga secara umum, struktur virus ini ialah inti riboprotein (RNA), lemak dan karbohidrat, seperti terlihat pada gambar 1 (Fenner 1993).

Gambar 1 Struktur virus rabies.

Virus rabies mengandung molekul linier tunggal dari single stranded RNA (ssRNA) yang berpolaritas minus dengan ukuran 11-12 kb (Fenner 1993). Virion Rhabdovirus mempunyai lima jenis protein yaitu nucleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrix protein (M), glycoprotein (G), dan polymerase (L), seperti terlihat pada gambar 2 (Wunner 1991). Virus rabies stabil pada pH 3-11 dan dapat hidup beberapa tahun pada suhu -70 oC atau dalam keadaan beku kering yang disimpan pada suhu -4 oC (Baer 1991; Soedijar dan Dharma 2005 ).

(19)

Gambar 2 Potongan melintang struktur virus rabies.

Patogenesa dan Imunitas Virus Rabies

Penyakit rabies mempunyai masa inkubasi yang bervariasi antara 14 sampai 90 hari, bergantung kepada jenis hewan yang terpapar. Sedangkan pada manusia, masa inkubasi bisa lebih lama yaitu mencapai 2 tahun karena virus tetap terkurung di dalam sel otot rangka sebelum masuk ke syaraf tepi dan menuju ke otak (Fenner 1993). Beberapa faktor yang menyebabkan variasi masa inkubasi penyakit ini selain jenis hewan yang terpapar ialah antara lain 1) jumlah virus yang masuk melalui luka, 2) letak luka gigitan ke system syaraf pusat (SSP) ( semakin dekat dengan susunan syaraf pusat maka masa inkubasi semakin pendek), 3) persyarafan luka gigitan (misalnya gigitan di jari atau genital biasanya diikuti dengan masa inkubasi yang pendek), dan 4) virulensi dari virus rabies (Baer 1991).

(20)

berikatan secara spesifik dengan reseptor asetilkolin atau reseptor lain untuk selanjutnya menuju ujung syaraf (Fenner 1993).

Virus rabies selanjutnya akan berpindah ke sistem syaraf pusat melalui gerakan sentripetal (pergerakan ke arah luar secara cepat) dalam sitoplasma dari akson sistem syaraf tepi. Sebelum mencapai otak, genom virus menuju sumsum tulang belakang terlebih dahulu. Setelah mencapai dua lokasi ini, secara bersamaan akan muncul gejala klinis berupa tidak berfungsinya sistem syaraf (Fenner 1993). Akibat infeksi virus rabies menyebabkan gejala klinis yang dapat dikelompokkan dalam tiga fase yaitu fase prodromal, fase excitives dan fase paralitik. Fase prodromal muncul pada 2-3 hari pasca gigitan dengan ditandai perubahan tingkah laku hewan menjadi gelisah, sensitif, fotofobia, dan beberapa menjadi takut suara yang bising. Fase excitives ditandai dengan hipersalivasi dan hewan menjadi galak dan cenderung ingin menyerang. Pada fase ini terjadi migrasi virion-virion virus secara sentrifugal (pergerakan mundur) dari SSP menuju berbagai organ seperti korteks adrenal, pankreas dan yang paling penting ialah syaraf yang terdapat di kelenjar saliva. Fase yang ketiga (paralitik) terjadi pada hari ke tiga hingga hari ke empat dengan ditandai terjadinya depresi, paralisa dan koma, dan berakhir dengan kematian akibat kesulitan bernafas yang disebut sebagai gejala dumb rabies.

(21)

Hewan yang terpapar virus rabies akan sedikit memperlihatkan respon imun spesifik karena sebagian besar genom virus terpusat pada sistem syaraf yang jauh terpisah secara imunologik. Juga karena sebagian besar virus dirakit di dalam membran sitoplasma sel inang tanpa adanya lisis sel inang tersebut pada saat terjadi pelepasan virion-virion baru. Akibat tidak terdapatnya kerusakan sel inang menyebabkan hanya sedikit antigen virus yang dapat merangsang mekanisme respon imun inang (Fenner 1993).

Gambar 4 Tahapan replikasi virus rabies.

Respon Kekebalan Macaca fascicularis terhadap Virus Rabies dan Mekanisme Proteksinya

(22)

Imunitas humoral merupakan respon kekebalan yang diperantarai antibodi dan tidak melibatkan sel. Antibodi ini dihasilkan oleh sel limfosit B dan

teraktivaMsi bila mengenai antigen yang terdapat di permukaan sel patogen dengan bantuan sel limfosit T. Sel limfosit B akan memproduksi 5 jenis antibodi yaitu Ig A, Ig D, Ig E, Ig G dan Ig M (Tizard 2004 dan Soejoedono et al. 2009).

Menurut Tizard (2004), imunitas diperantarai sel merupakan respon kekebalan yang melibatkan sel-sel yang menyerang secara langsung pada organism asing. Sel yang terlibat dalam respon kekebalan ini adalah sel limfosit T yang diproduksi oleh organ timus.

Sel limfosit T akan bereaksi terhadap antigen yang spesifik. Setiap antigen yang terdapat pada permukaan sel patogen akan menstimulasi sel limfosit untuk membelah membentuk klon. Beberapa klon akan menjadi sel-sel memori yang tetap bertahan dalam tubuh untuk menjadi respon kekebalan sekunder bila terjadi infeksi patogen yang sama. Klon yang lainnya akan berkembang menjadi salah satu dari tiga jenis sel T yaitu sel T pembantu (helper T cell), sel t pembunuh (killer T cell), sel T sitotoksik (cytoxic T cell), dan sel T supresor (suppressor T cell). Sel T sitotoksik akan merespon terhadap infeksi virus dan tumor (Cahyono 2009).

Antigen yang masuk ke dalam tubuh akan menginduksi sel T sitotoksik dan sel T pembantu meningkatkan kerja sel B untuk menghasilkan antibodi terhadap virus (Tizard 2004). Antibodi yang dihasilkan oleh sel B ini akan diukur dalam pengujian laboratorium dengan menggunakan uji ELISA.

Menurut Soedijar dan Dharma (2005) makhluk yang terinfeksi virus rabies akan memproteksi dirinya melalui reaksi antigen antibodi dan efek inhibisi dari interferon. Virus rabies dikenal mempunyai 2 antigen struktural yang utama yaitu protein G dan antigen nucleoprotein (internal nucleoprotein). Protein G atau glikoprotein adalah satu-satunya antigen yang mampu menginduksi induk semang (host) terhadap tantangan virus berikutnya (Cahyono 2009).

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

Sejarah Macaca fascicularis

(23)

digunakan dalam penelitian biomedis oleh Galenus, seorang dokter Monyet Roma dan Marcus Aurelius yang mempelajari anatomi dan fisiologinya pada abad 1 M. Pada abad 20, hewan ini mulai digunakan secara luas seperti untuk produksi vaksin, penelitian virologi, farmakologi dan teratologi maupun untuk penelitian ilmiah lainnya (Putra 2008).

Macaca merupakan genus dari primata bukan manusia yang mempunyai

sebaran paling luas. Mereka dapat ditemukan di Maroko, Algeria, Gibraltar, Afghanistan, China, Jepang, Filiphina dan Indonesia (Kalimantan, Sumatra, Jawa dan Sulawesi) (Bennett et al. 1995). Hewan ini merupakan jenis hewan omnivora dengan makanan yang bervariasi (Ankel & Simons 2000). Ukuran Macaca

bervariasi dari sedang hingga besar dan memiliki warna rambut yang bervariasi dari abu-abu hingga coklat kehitaman (Bennett et al. 1995).

Klasifikasi Macaca fascicularis

Supriatna (2000) mengklasifikasikan Macaca fascicularis sebagai berikut: Kingdom : Animalia populasi terbanyak di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya dengan habitat umum di teluk dekat pantai atau rawa hutan bakau.

(24)

panjang dari badan dan kepala. Panjang tubuh berkisar antara 385-648 mm. Panjang ekor berkisar antara 385-655 mm (Hendras dan Supriatna 2000).

Status konservasi yang dikeluarkan oleh Convention on International Trade in Endangered Species of wild Fauna and Flora (CITES), menyatakan bahwa Macaca fascicularis termasuk ke dalam spesies kelompok Appendix 2 yaitu jenis yang akan terancam keberadaannya jika perdangannya tidak dibatasi dan dipantau walaupun memiliki tingkat kepunahan yang rendah. Hingga saat ini, belum terdapat perlindungan secara formal dari undang-undang. Pengadaan monyet dalam perdagangan diatur dalam SK Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 26/Kpts-II/94 tentang Pemanfaatan Jenis Monyet Ekor panjang. Di dalam surat keputusan tersebut dinyatakan bahwa ekspor Macaca fascicularis harus dari hasil penangkaran, para eksportir diwajibkan melakukan usaha penangkaran sendiri serta jumlah satwa primata yang dapat diekspor harus berdasarkan kuota agar tidak mengganggu populasinya di alam (Hendras dan Supriatna 2000).

Macaca fascicularis sebagai Hewan Penyebar Penyakit Rabies di Indonesia

Inang dari virus rabies ialah semua hewan berdarah panas dan manusia (Fenner 1993). Di Indonesia, hewan yang pernah dilaporkan terserang rabies selain anjing, kucing dan monyet ialah hewan peliharaan seperti sapi, kerbau, kuda, leopard (macan tutul) , meong conkok (kucing hutan) dan musang. Menurut Hardjosworo (1977) tiga spesies yang paling potensial sebagai penyebar penyakit rabies ialah anjing, kucing dan monyet, dengan prevalensi masing-masing sebesar 90%, 6% dan 3%.

Kasus gigitan hewan monyet telah banyak dilaporkan di beberapa daerah di Indonesia sehingga dapat dinyatakan bahwa monyet ialah hewan yang mengancam dalam peranannya sebagai penyebar penyakit rabies (Hardjosworo 1977).

Imunoglobulin

(25)

tubuh dengan konsentrasi tinggi dan mudah diperoleh dalam jumlah banyak saat digunakan untuk analisis serum darah. Karena molekul antibodi adalah globulin maka umumnya dikenal sebagai imunoglobulin (yang dapat disingkat menjadi Ig). Istilah imunoglobulin dipakai untuk menggambarkan semua protein yang mempunyai aktivitas antibodi dan beberapa protein yang mempunyai struktur imunoglobulin yang khas tetapi tak memiliki aktivitas antibodi (Tizard 2004).

Imunoglobulin G

Imunoglobulin G (IgG) memiliki karakteristik rantai berat γ (gamma) dengan valensinya 2, konsentrasi dalam serum sebanyak 8-16 mg/ml, dan berfungsi sebagai respon sekunder (respon terhadap paparan antigen yang kedua atau berikutnya) (Harlow & David 1988). Di dalam serum manusia normal terdapat lebih dari 70 persen IgG. Imunoglobulin G merupakan bentuk antibodi paling umum dan dapat diwariskan dari Ibu ke janin sebelum kelahiran (pemindahan plasental). Imunoglobulin G dapat dibagi lagi berdasarkan perbedaan antigeniknya menjadi empat subkelas yang dinamakan IgG1, IgG2,

IgG3 danIgG4. Secara umum IgG berfungsi sebagai jalur utama pertahanan diri

terhadap infeksi selama beberapa minggu pertama setelah bayi lahir, menetralkan toksin bakteri, dan mengikat mikroorganisme untuk meningkatkan fagositosisnya (Pelczar 1988).

Uji Serologis

(26)

EIA (Enzyme Immuno Assay)

Enzyme Immuno Assay ialah suatu teknik yang digunakan dalam mendeteksi kandungan antibodi atau antigen dengan berbagai macam pengujian. Prinsipnya ialah penggunaan enzim pada reaksi sehingga tahap akhir suatu zat yang ditambahkan antibodi yang berikatan dengan enzim menjadi suatu sinyal yang dapat dideteksi. EIA pada dasarnya terdiri atas dua hal yaitu reaksi imunologis dan reaksi enzimatik. Secara praktis EIA dapat dibagi atas dua golongan yaitu EIA histokimia dan EIA kuantitatif. Dan yang termasuk ke dalam EIA kuantitatif ialah ELISA (Burges 1988).

ELISA(Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

Uji Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan uji yang banyak digunakan pada laboratorium diagnostik. Teknik ini dapat memeriksa keberadaan antigen (identifikasi Ag) maupun antibodi baik secara kualitatif (positif/negatif) maupun kuantitatif (titer). Uji ELISA mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai sarana untuk mengidentifikasi jenis antigen tertentu dengan mereaksikannya dengan antibodi yang telah diketahui dan yang kedua ialah untuk mengetahui jenis antibodi dan titernya, dengan cara mereaksikan serum yang ingin diketahui jenis antibodinya dengan antigen standar yáng telah diketahui. Uji ini dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu Indirect ELISA,

Sandwich ELISAdan Direct ELISA.

Indirect ELISA

(27)

Sandwich ELISA

Sandwich ELISA digunakan untuk mendeteksi adanya antigen dengan cara antibodi penyakit tertentu telah dilekatkan dahulu pada plate. Konfigurasi ini menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat untuk menangkap antigen secara spesifik. Antibodi penangkap, antigen, dan sistem indikator, dibuat konstan dan berubah ialah titer antibodi primer untuk antigen spesifik. ELISA penangkap antigen mempunyai potensi untuk meningkatkan spesifisitas ELISA tidak langsung asalkan antibodi penangkapnya dapat menghindarkan penempelan antigen yang ada dalam jumlah yang dapat mengganggu spesifisitas tidak langsung (Burges 1988).

Direct ELISA

(28)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan September 2009 di Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian

Sampel yang Diuji

Penelitian ini melibatkan 131 sampel serum monyet ekor panjang dari lima lokasi dengan rincian 33 sampel dari Kuningan, 21 sampel dari Sumatera Selatan, 26 sampel dari Penangkaran Dramaga, 31 sampel dari Penangkaran Pulau Tinjil dan 20 sampel dari Penangkaran Jonggol.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan ialah air destilasi atau demineralisasi, larutan 30% (v/v) H2O2 dan bahan yang telah tersedia dari kit ELISA (Synbiotic

Corporation) seperti plate mikro, serum kontrol positif, serum kontrol negatif, konjugat atau antibodi sekunder protein A yang dilabel dengan enzim peroksidase, substrat peroksida, larutan penghenti, dan PBS-Tween.

Alat-alat yang digunakan antara lain mikropipet 10 l; 50 l; 100 l; 300 l, multichannel pipet 100 l, vortex, lemari pendingin, inkubator, plastic film,

ELISA washer (automatic washing mechine/immunowash BIO-RAD MODEL 1575), dan ELISA microplate reader (BIO-RAD 3550).

Metode

(29)

Penambahan Kontrol

Dilakukan pengenceran 1:10 terhadap kontrol kit positif dan negatif antibodi rabies dengan cara menambahkan 90 l larutan pengencer (sampel diluents) dimasukkan ke dalam sumuran A1, A2, B1 dan B2. Selanjutnya10 l kontrol kit negatif ke dalam sumuran A1 dan A2 dan 10 l kontrol kit positif dimasukkan ke dalam sumuran B1 dan B2.

Penambahan sampel

Ke dalam semua sumuran dimasukkan 90 l pengencer sampel. Selanjutnya ditambahkan 10 l serum standar OIE yang telah diencerkan dengan deret pengenceran 1:10, 1:30, 1:100, 1:150, 1:300, 1:1000 dan 1:3000 ke dalam sumuran. Selanjutnya plate mikroELISA ditutup dengan plastic film dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam. Setelah itu dilakukan pencucian sebanyak 4 kali dengan wash buffer 1:10 (washing solution dalam air destilasi atau air demineralisasi) untuk membuang sisa cairan sampel.

Konjugat

Preparasi Konjugat

Konjugat diencerkan dengan pengenceran 1:10 dengan menambahkan 200 l konjugat dalam 1,8 ml pengencer konjugat.

Penambahan Konjugat

Sebanyak 100 l konjugat ditambahkan ke dalam setiap sumuran kemudian kit ditutup dengan plastic film dan kembali diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam.

Penambahan Substrat

Sebanyak 100 l substrat buffer peroksida ditambahkan ke dalam setiap sumuran dan harus dipastikan bahwa subtrat telah terhomogenisasi dengan pengadukan manual atau plate agitator. Kemudian kit diinkubasi dalam ruangan gelap pada suhu 20 oC selama 30 menit.

Penambahan larutan penghenti (Stop Solution)

(30)

manual atau plate agitator serta dipastikan juga bahwa tidak terdapat gelembung di dalam sumuran.

Pembacan dengan ELISA reader

Hasil pemeriksaan ELISA akan tervisualisasikan ke dalam bentuk warna yang merupakan reaksi antara enzim peroksidase dan substrat PS (Peroxidase Substrat). Warna yang terbentuk akan diolah oleh ELISA plate reader menjadi data numerik berupa nilai Optical Density (OD) dan akan dikonversikan ke dalam konsentrasi (titer) antibodi. Nilai OD akan berbanding lurus dengan nilai titer antibodi. Semakin besar nilai OD maka semakin besar juga nilai titer antibodi karena nilai OD menunjukkan kandungan antibodi spesifik rabies yang terdapat di dalam sampel. Pengukuran kepadatan optik (Optical Density, OD) dilakukan menggunakan ELISA reader dengan lensa filter pada panjang gelombang 450 nm.

Interpretasi Hasil Data

Data OD yang diperoleh dari penelitian ini dikonversi menjadi nilai titer (konsentrasi antibodi virus rabies) menggunakan perhitungan dari kit ELISA (Synbiotics Corporation) setelah diperoleh kurva regresi linier yang dibangun menggunakan imunoglobulin standar dari OIE. Persamaan antilogaritma yang diperoleh dari kurva regresi linier ialah sebagai berikut:

y = 0,3097 Ln(x) + 1,0915

y = nilai OD

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji serologis berupa ELISA tidak langsung digunakan untuk mendeteksi antibodi virus rabies di dalam sampel serum Macaca fascicularis. Seperti telah dijelaskan di dalam tinjauan pustaka bahwa hewan yang terpapar virus rabies akan memperlihatkan respon imun spesifik namun hanya sedikit karena sebagian besar genom virus terpusat pada sistem syaraf yang jauh terpisah secara imunologik. Juga karena sebagian besar virus dirakit di dalam membran sitoplasma sel inang tanpa adanya lisis sel inang tersebut pada saat terjadi pelepasan virion-virion baru. Akibat tidak terdapatnya kerusakan sel inang, menyebabkan hanya sedikit antigen virus yang dapat merangsang mekanisme respon imun inang (Fenner 1993).

Validasi Hasil Pemeriksaan

Hasil pemeriksaan menggunakan ELISA dinyatakan valid dan tidak diperlukan lagi pengulangan berdasarkan manual kit (Synbiotics Corporation) jika nilai OD (Optical Density) serum kontrol ialah 0,300 untuk kontrol positif dan 0,500 (setelah nilai 0,500 dikali dengan OD kontrol positif ) untuk kontrol negatif. Kevalidan data juga ditentukan oleh nilai koefisien korelasi (r) antara nilai OD dan nilai antilogaritma (ln) konsentrasi antibodi rabies pada persamaan antilogaritma, yaitu harus 0,950. Berdasarkan hasil pemeriksaan, nilai OD serum kontrol positif ialah sebesar 0,917 ( 0,300) dan nilai OD serum kontrol negatif ialah sebesar 0,145 ( 0,500 x 0,917 = 0,458) serta nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,98 0,950 sehingga dapat dikatakan bahwa pemeriksaan ELISA bersifat valid.

Deteksi Antibodi Rabies

(32)

dari nilai tersebut maka hewan dinyatakan tidak dalam keadaan terlindungi apabila terjadi infeksi virus rabies.

Tabel 1 Jumlah sampel hasil deteksi antibodi virus rabies dengan uji ELISA pada serum Macaca fascicularis dari lima lokasi (Kuningan, Dramaga, Jonggol, Tinjil, dan Palembang)

(33)

kontrol positif yang disertakan jatuh pada kisaran true positive di atas nilai minimum untuk menyatakan hewan terlindungi. Sedangkan nilai kontrol negatif sebesar 0,285 IU/ml juga jatuh pada kisaran true negative jauh di bawah 0,6 EU/ml. Dua nilai kontrol tersebut (positif dan negatif) mencerminkan bahwa uji ELISA yang dilaksanakan memiliki validitas yang baik. Menurut Durr et al. (2008) uji gold standard yang direkomendasikan oleh WHO sebagai uji untuk mendeteksi virus rabies ialah uji gold standard direct fluorescent antibody (DFA) meskipun berdasarkan pengujian di Tanzania, uji direct rapid immunohistochemical (dRIT) menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang mencapai 100% (Soedijar & Dharma 2005). Uji gold standard diperlukan karena mengingat sebagian besar genom virus rabies terpusat pada sistem syaraf yang jauh terpisah secara imunologik (Fenner 1993).

Hasil uji yang negatif dapat disebabkan karena sebelumnya kelompok hewan memang belum pernah terpapar virus rabies sehingga tidak dihasilkan IgG pada respon imun (Soejoedono et al. 2009). Selain itu, disebabkan oleh masa inkubasi penyakit rabies yang cukup singkat dan bervariasi antara kurang dari satu minggu sampai lebih dari satu tahun (pada manusia) (Soeharsono 2007). Lama masa inkubasi akan menentukan kapan gejala klinis rabies akan muncul. Seperti yang dikemukakan oleh Ruprecht (2007) bahwa penyakit rabies akan berakhir dengan kematian setelah gejala klinis muncul dengan case fatality rate sebesar 100%. Sehingga sangat memungkinkan jika tidak ditemukannya hewan dengan antibodi positif rabies.

Jumlah sampel serum yang terbatas baik dari segi jumlah untuk masing-masing lokasi maupun dari segi jumlah lokasi yang dideteksi dapat juga mempengarui hasil yang negatif pada pemeriksaan antibodi rabies. Sehingga untuk lebih bisa merepresentasikan kondisi hewan terhadap paparan virus rabies sesungguhnya, diperlukan jumlah sampel yang besar dari banyak lokasi di Indonesia. Selain itu, tidak adanya klasifikasi umur dewasa pada sampel hewan juga dapat mempengarui. Semakin dewasa, hewan akan mendapat paparan yang lebih tinggi terhadap virus rabies dibandingkan ketika hewan tersebut masih belum dewasa (belum disapih oleh induk monyet). Sehingga selain jumlah sampel yang besar, klasifikasi umur dewasa juga penting untuk diutamakan dan dicantumkan ke dalam data sampel.

(34)

laboratorium yang akan saling membantu mempertegas diagnosa. Diagnosa secara reaksi antigen-antibodi jarang dilakukan, kecuali FAT.

Macaca fascicularis sebagai Hewan Pembawa Rabies

Hasil pemeriksaan yang menunjukkan semua sampel serum memiliki antibodi negatif rabies berbeda dengan pernyataan Hardjosworo (1977), bahwa monyet ialah salah satu dari tiga hewan pembawa rabies (HPR) utama di Indonesia. Namun, jika melihat jumlah sampel yang hanya berasal dari lima lokasi di Indonesia kurang mewakili bahwa monyet ekor panjang bukanlah hewan pembawa rabies di Indonesia. Menurut Hardjosworo (1977), spesies Macaca fascicularis dilaporkan positif terhadap rabies. Juga berdasarkan data statistik yang dilaporkan oleh WHO (2002) bahwa penyebaran rabies di Indonesia pada spesies monyet ialah sebesar 3%.

(35)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari pelaksanaan penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1 Antibodi rabies tidak terdeteksi pada sampel serum Macaca fascicularis

yang berasal dari lima lokasi yaitu Palembang, Kuningan, Dramaga, Jonggol dan Tinjil.

2 Adapun titer antibodi rabies pada serum Macaca fascicularis yang berasal dari lima lokasi tersebut kurang dari titer antibodi standar kit (0,6 EU/ml) dan kurang dari titer antibodi serum kontrol positif (1,0915 IU/ml).

Saran

Saran yang dapat disampaikan setelah pelaksanaan penelitian ini ialah sebagai berikut:

1 Diharapkan sampel dapat diperoleh dari semua wilayah di Indonesia yang belum memiliki status bebas rabies.

2 Jumlah sampel yang digunakan dapat lebih banyak sehingga dapat merepresentasikan kondisi Macaca fascicularis sebenarnya yang terdapat di lima lokasi tersebut.

(36)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonimous]. 2002. Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control.http://www.who.int/wer/pdf/2002/wer 7714.pdf [WHO 2002]

Akoso B S. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies.Yogyakarta:Kanisius. Ankel F, Simons. 2000. Primate Anatomy an Introduction 2nd Edition. New York.

Academic Press.

Arjuno S, Arai S, Marfiatiningsih S, Soesilo FX. 1984. Uji netralisasi virus alam rabies berasal dari kotamadya Palembang dan Kotamadya Bandar Lampung. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian.

Baer GM. 1991. The natural history of rabies. Boca Raton,FL: CRC Press. Pp.31-67.

Bennett, B.T et al. 1995. Nonhuman Primates in Biomedical Research. Academic Press. New York.

Burgess WG, editor. 1995. Teknologi ELISA Dalam Diagnosis dan Penelitian. Bab 2 hlm 50-60. Artama T, Wayan, penerjemah. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : ELISA Technology in Diagnosis and Research.

Cahyono MA.2009. Efektifitas vaksinasi rabies pada anjing yang diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

[CDC] Centres for Disease Kontrol and Prevention. 2007. Departement of health and Human Service USA.Http://www.cdc.gov/rabies/virus/.html.[13ustus 2010].

Durr S. 2008. Rabies diagnosis for developing countries. PlosNegI Trop Dis2e206: 1-6.

Fenner F J, editor. 1993. Veterinary Virology. Academic Press, Inc.California. Greene CE, Dreesen DW. 1990. Rabies. Di dalam: Greene CE. Infectious

Disease of the Dog and Cat. W. B. Saunders Company, Philadelphia. Hlm 365-383.

Hardjosworo S. 1977. Penelitian tentang Latar Belakang Peledakan Penyakit Anjing Gila (Rabies) di Beberapa Daerah di Indonesia. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Harlow ED, David L. 1988. Antibodies a Laboratory Manual. United States of America:Cold Spring Harbor Laboratory.

(37)

Malole MB. 1988. Virologi. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB bekerja sama dengan Lembaga Swadaya.

Pelczar MJJr, Chan ECS. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Volume ke-2. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI Press.

Putra MA. 2008. Deteksi antibodi avian influenza virus (aiv) pada serum monyet ekor panjang (macaca fascicularis) yang dikoleksi pusat studi satwa primata (pssp) dengan metode haemaglutination-inhibition assay (hi assay) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

Riasari JR. 2009. Kajian titer antibodi terhadap rabies pada anjing yang dilalulintaskan melalui pelabuhan penyeberangan Merak [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ruprecht CE. 2007. Rhabdoviridae rabies virus. www.gsbs.utmb.edu/microbook/ch061.htm.[13 Agustus 2010].

Sarosa A, Adjid A R M. 2002. Tinjauan Hasil Penelitian Penyakit Rabies di Balai Penelitian Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan. (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Siregar AA. 2009. Rabies and it’s Control in Indonesia. Bahan Kuliah E-learning

Program Hibah Kompetisi Institusi. FKH, IPB: Bogor.

Soedijar IL, Dharma DMN. 2005. Review rabies prosiding lokarkarya Nasional penyakit Zoonosis. 15 September 2005. Bogor. Puslitbang Peternakan. hlm.119-128.

Soeharsono. 2007. Penyakit Zoonotik pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Kanisius.

Soejoedono R. 2004. Penyakit Zoonosis. Bogor: IPB Press.

Soejoedono R D, Murtini S, Nadia OP. 2009. Imunologi dalam Sketsa: Cara Mudah dan Menarik Belajar Imunologi. FKH, IPB: Bogor.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

(38)
(39)
(40)

Lampiran 2

Tabel 4 Nilai titer antibodi sampel Dramaga

No. Animal ID Titer Antibodi (IU/ml)

(41)

Lampiran 3

Tabel 5 Nilai titer antibodi sampel Jonggol

No. Animal ID Titer Antibodi (IU/ml)

(42)

Lampiran 4

Tabel 6 Nilai titer antibodi sampel Tinjil

No. Animal ID Titer Antibodi (IU/ml)

1. J1 0.04

2. J2 0.04

3. J3 0.03

4. J4 0.03

5. J5 0.04

6. J6 0.03

7. J7 0.06

8. J8 0.03

9. J9 0.03

10. J10 0.03

11. J11 0.04

12. J12 0.03

13. J13 0.03

14. J14 0.05

15. J15 0.03

16. J16 0.03

17. J17 0.03

18. J18 0.03

19. J19 0.03

(43)

Lampiran 5

Tabel 7 Nilai titer antibodi sampel Palembang

(44)

Lampiran 6

Tabel 8 Nilai optical density (OD) sampel Kuningan

(45)

Lampiran 7

Tabel 9 Nilai optical density (OD) sampel Dramaga

(46)

Lampiran 8

Tabel 10 Nilai optical density (OD) sampel Jonggol

No. Animal ID OD

1 J1 0.164

2 J2 0.176

3 J3 0.130

4 J4 0.128

5 J5 0.218

6 J6 0.222

7 J7 0.275

8 J8 0.255

9 J9 0.123

10 J10 0.103

11 J11 0.129

12 J12 0.137

13 J13 0.139

14 J14 0.196

15 J15 0.143

16 J16 0.144

17 J17 0.142

18 J18 0.075

19 J19 0.250

(47)

Lampiran 9

Tabel 11 Nilai optical density (OD) sampel Tinjil

(48)

Lampiran 10

Tabel 12 Nilai optical density (OD) sampel Palembang

No. Animal ID OD

1 R1 0.340

2 R2 0.232

3 R3 0.223

4 R4 0.253

5 R5 0.247

6 R6 0.262

7 R7 0.233

8 R8 0.244

9 R9 0.315

10 R10 0.159

11 R11 0.196

12 R12 0.296

13 R13 0.326

14 R14 0.265

15 R15 0.231

16 R16 0.131

17 R17 0.226

18 R18 0.215

19 R19 0.175

20 R20 0.181

(49)

Lampiran 11

Tabel 13 Nilai optical density (OD) dan konsentrasi serum OIE

Gambar 5 Kurva regresi linier serum OIE. Konsentrasi OD OD1 OD2

Gambar

Gambar 1  Struktur virus rabies.
Gambar 2  Potongan melintang struktur virus rabies.
Gambar 3  Patogenesa rabies.
Tabel 1 Jumlah sampel hasil deteksi antibodi virus rabies dengan uji ELISA pada
+4

Referensi

Dokumen terkait

dalam otak, suatu teknik perekaman dan pembacaan aktivitas listrik otak..  Elektroensefalogram : hasil rekaman potensial

Anak Usia Dini adalah anak dimana hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain dengan bermain itulah Anak UsiaDini tumbuh dan mengembangkan seluruh aspek yang

Bappeda Kota Salatiga merupakan bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional dimana Bappeda adalah unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan yang

Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat di kecamatan karangasem bertujuan untuk (1) upaya memberikan pemahaman kepada pelatih pencak silat dan guru-guru Penjasorkes Sekolah

Dalam membicarakan etika bisnis adalah menyangkut “business firm” atau “business person” yang mempunyai arti yang bervariasi. Berbisnis berarti suatu usaha

Terna merupakan ide pusat dalam suatu cerita, atau merupakan pokok pikiran yang utama atau yang terpenting. Pokok pikiran utama dalam naskah Ma'rifatul Bayan ini,

Dari hasil perhitungan tersebut, untuk mendapatkan nilai sigma dikonvesikan dari hasil perhitungan DPMO dengan tabel six sigma yaitu untuk DPMO 76000 nilai six sigma nya

Dengan adanya sistem informasi ini, pihak sekolah tidak perlu menyebarkan formulir atau brosur untuk membagikan pendaftaran secara manual, oleh sebab itu dengan adanya