• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu

Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian besar spesies serangga tersebar sebagai kumpulan individu, dengan jarak antar individu dalam kumpulan lebih kecil dibandingkan jarak antar kumpulan individu tersebut. Dalam suatu spesies serangga, tahapan perkembangan berpengaruh pada perilaku serangga (penyebaran , perkawinan, makanan, peneluran, dan sebagainya). Oleh karena itu, penyebaran suatu spesies serangga sering berubah nyata dari satu tahap kehidupan ke tahap berikutnya terutama pada spesies serangga dengan metamorfosis sempurna dan setiap tahapan perkembangan dapat hidup di lingkungan yang berbeda. Selain itu, perubahan signifikan dispersi kadang kala tejadi pada setiap tahapan perkembangan serangga. Pola penyebaran serangga dapat disimpulkan dari distribusi serangga tersebut pada suatu areal pertanaman (Pedigo & Zeiss 1996). Penentuan pola distribusi spasial serangga diperoleh dari analisis regresi linear yang berdasarkan prosedur Taylor.

Menurut prosedur Taylor (1961 dalam Pedigo dan Zeiss 1996), parameter penentu pola pesebaran serangga adalah parameter b (koefisien regresi) dari hasil regresi antara logaritma keragaman (s2) dan logaritma rataan populasi (x̅). Nilai b menjadi index dispersi (penyebaran). Berdasarkan prosedur Taylor diperoleh nilai indeks dispersi untuk masing-masing varietas seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai index dispersi A. tegalensis pada tiga varietas tebu Varietas Index dispersi ± SB1

GMP 1 2.39 ± 0.23

GMP 3 2.31 ± 0.16

GMP 4 2.15 ± 0.26

....1)SB: Simpangan Baku

Nilai b pada ketiga varietas tebu menunjukkan nilai yang lebih besar dari satu. Menurut Taylor (1961 dalam Pedigo & Zeiss 1996), bila nilai index dispersi b < 1 menunjukkan pola pesebaran populasi teratur (regular), b = 1 adalah acak (random), dan b > 1 adalah mengelompok (clumped). Hal tersebut menandakan bahwa pola penyebaran populasi A. tegalensis pada tiga varietas tebu (GMP 1, GMP 3, dan GMP 4) di Pertanaman Tebu PT GMP adalah mengelompok .

Pada pengamatan di lapangan, imago A. tegalensis hidup berdekatan dengan imago A. tegalensis lainnya sehingga dalam satu batang tebu (untuk varietas rentan) terdapat kumpulan imago betina A. tegalensis. Keragaman data populasi

A. tegalensis pada ketiga varietas tebu (GMP 1, GMP 3, dan GMP 4) memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai rata-ratanya (Lampiran 1, 2, dan 3). Menurut Pedigo dan Zeiss (1996), sampel yang diambil di dalam kumpulan serangga akan menghasilkan jumlah yang tinggi sedangkan sampel yang diambil antar kumpulan serangga akan menghasilkan jumlah yang rendah. Oleh karena itu, ragam sampel akan lebih tinggi dibandingkan rata-rata sampel.

8

Kepadatan Populasi A. tegalensis pada Berbagai Tingkat Kerentanan Varietas Tebu

Kepadatan populasi menggambarkan besarnya populasi dalam suatu unit ruang yang dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan lingkungannya. Distribusi umur berpengaruh pada mortalitas dan natalitas individu penyusun. Pola dispersi menggambarkan keberadaan populasi mahkluk hidup di lapangan dan sekaligus komponen dasar penyusun populasi tersebut (Odum 1971).

Kutuperisai A. tegalensis merupakan serangga yang pasif karena fase mobilnya sangat singkat yaitu hanya pada fase instar I (crawler). Penyebaran kutuperisai A. tegalensis secara luas dan cepat dapat melalui penggunaan bibit yang telah terserang atau perpindahan pekerja dari suatu petak kebun ke petak kebun lainnya. Pada tanaman tebu keprasan di perkebunan tebu PT GMP, perkembangan kutuperisai dapat berawal dari tunggul sisa tanaman yang sebelumnya telah terserang (Sunaryo & Widyatmoko 2002). Peningkatan populasi

A. tegalensis dengan cepat terjadi saat tanaman pada periode pertumbuhan memanjang yang pesat atau grand periode of growth yaitu saat tebu berumur 10 bulan(Parjono et al. 2002).

Jumlah populasi A. tegalensis pada setiap batang tebu varietas GMP 1 adalah 6 - 2 430 individu per batang, pada tebu varietas tebu GMP 3 adalah 0 - 56 individu per batang, dan pada tebu varietas GMP 4 adalah 0 - 54 per batang (Lampiran 1, 2, dan 3). Hasil uji t menunjukkan bahwa rata-rata kepadatan populasi A. tegalensis berbeda nyata antara tebu varietas GMP 1, GMP 3, dan GMP 4. Rata-rata populasi A. tegalensis pada tebu varietas GMP 1 lebih tinggi 40 kali lipat dibandingkan dengan populasi pada tebu varietas GMP 3 dan lebih tinggi 120 kali lipat dibandingkan dengan populasi pada tebu varietas GMP 4 (Tabel 2).

Tabel 2 Kepadatan populasi A. tegalensis pada tiga varietas tebu

Varietas Kepadatan 1,2 (x̅ ± SB, individu/batang) GMP 1 244.83 ± 157.04a GMP 3 6.30 ± ... 3.90b GMP 4 2.30 ± .. 1.55c 1)

x̅= rata-rata ; SB= Simpangan Baku

.. 2)

Angka selajur diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji t pada taraf nyata 1%)

Menurut Sunaryo dan Widyatmoko (2002), kondisi batang tebu yang disukai oleh kutuperisai A. tegalensis adalah permukaan batang yang masih terlindungi oleh pelepah daun, namun pelepah ini dalam posisi renggang. Jadi varietas tebu dengan pelepah daun yang renggang namun tetap menempel pada batang (tidak tanggal, sekalipun pelepah tersebut sudah kering) sangat disukai oleh kutuperisai. Sebaliknya varietas tebu yang pelepahnya sangat erat melekat pada ruasnya tidak disukai kutuperisai karena kutuperisai tersebut sulit menyelinap masuk di balik pelepah daun tebu. Tebu varietas GMP 1 memiliki pelepah daun tua yang sulit lepas. Tebu varietas GMP 3 dan GMP 4 memiliki ciri morfologi yang sama yaitu pelepah daun tua yang mudah tanggal secara alami

9 (self trashing) sehingga permukaan batang dan ruas sepenuhnya terbuka. Permukaan batang atau ruas yang sepenuhnya terbuka tidak menguntungkan bagi kutuperisai karena kutuperisai akan terganggu dari faktor luar seperti musuh alami, pukulan air hujan, cahaya matahari dan lain-lain.

Menurut penelitian Saefudin (2012), populasi A. tegalensis berpengaruh nyata dalam menurunkan bobot batang tebu. Populasi 1 - 25 individu per batang mampu menurunkan bobot batang tebu sebesar 0.15 kg dan bila populasi lebih dari 100 individu per batang, penurunan bobot batang tebu mencapai 0.29 kg. A. tegalensis berpengaruh nyata menurunkan kualitas pol, brix, dan rendemen meskipun populasinya 26 individu per batang. Namun populasi A. tegalensis

berpengaruh nyata terhadap penurunan purity jika populasinya lebih dari 500 individu per batang. Perilaku makan A. tegalensis yang mengisap sukrosa mempengaruhi jumlah nira pada batang tebu. Populasi 1 - 25 individu per batang sudah mampu menurunkan pol nira sebesar 1.92 poin dan bila populasinya lebih dari 100 individu per batang mampu menurunkan pol nira sebesar 3 - 4 poin. Populasi A. tegalensis 26 - 50 individu per batang mampu menurunkan nilai brix

sebesar 1.47 poin dan jika populasinya lebih dari 1 000 individu per batang maka nilai brix menurun sebesar 3.23 poin. Semakin tinggi populasi A. tegalensis maka semakin besar penurunan rendemen tebu. Pada populasi 1 - 25 individu per batang sudah menurunkan rendemen sebesar 0.6 poin. Penurunan rendemen 1.0 - 1.29 poin terjadi apabila populasinya 26 - 500 individu per batang. Kerugian semakin besar jika populasi A. tegalensis lebih dari 1 000 individu per batang yaitu penurunan rendemen sebesar 2.46 poin.

Masa Perkembangan dan Perilaku

Individu betina dan jantan kutuperisai A. tegalensis mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 7). Tahapan perkembangan hidup A. tegalensis betina adalah telur, nimfa instar I, nimfa instar II, dan imago. Sedangkan A. tegalensis jantan mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis bertahap) yaitu telur, nimfa instar I , nimfa instar II, pra pupa, pupa, dan imago yang tidak bersayap.

Perbedaan kelamin jantan dan betina A. tegalensis dapat diketahui saat memasuki fase nimfa instar II. Nimfa instar II betina memiliki bentuk perisai oval dan melebar ke samping sedangkan nimfa instar II jantan memiliki bentuk pesisai oval memanjang ke belakang dan berukuran lebih kecil dari perisai nimfa instar II betina. Pengamatan pergantian fase instar A. tegalensis dapat diketahui dengan melihat sisa pergantian kulit serangga (eksuvia) yang menempel pada batang tebu. Tahapan Perkembangan hidup A. tegalensis pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dipublikasikan oleh Williams (1970).

Berdasarkan pengamatan suhu dan kelembapan harian, rata-rata suhu minimum dan maksimum dalam pemeliharaan nimfa A. tegalensis adalah 25.1°C dan 34.1°C dan rata-rata kelembapan minimum dan maksimum adalah 42% dan 84% (Lampiran 5). Data suhu dan kelembapan saat pengamatan untuk lama hidup imago (sejak menjadi imago hingga imago tersebut mati), rata-rata suhu minimum dan maksimum adalah 25.4°C dan 33.3°C dan rata-rata kelembapan minimum dan maksimum adalah 44.6% dan 77% (Lampiran 6).

10

Gambar 7 Tahapan perkembangan hidup A. tegalensis

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa stadium nimfa A. tegalensis berkisar antara 16 - 19 hari (Lampiran 7) dengan rataan 17.11 ± 0.90 hari (Tabel 3). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Williams (1970) yaitu stadium nimfa A. tegalensis adalah 22 hari pada rata-rata suhu minimum 18°C dan suhu maksimum 25.5°C.

Tabel 3 Hasil pengamatan terhadap nimfa dan imago A. tegalensis betina

Fase Satuan (x̅ ± SB, hari)1 Ulangan

Contoh

Nimfa Hari 17.11 ± 0.90 18

Stadium Instar I Hari 8.00 ± 1.03 18 Stadium Instar II Hari 9.11 ± 1.02 18 Imago

Pra oviposisi Hari 5.89 ± 1.12

Oviposisi Hari 11.19 ± 6.23 27

Lama hidup Hari 17.13 ± 6.06 30

Keperidian butir telur 210.03 ± 114.29 27

1)

x̅: rata-rata ; SB= Simpangan Baku

Nimfa A. tegalensis

Nimfa Instar I. A. tegalensis instar I berbentuk oval berwarna kuning dan memiliki mata, antena, tungkai serta dua seta yang berada di bagian ujung posterior (Gambar 8). Pada fase ini jenis kelamin kutuperisai belum dapat dibedakan. Nimfa instar I memiliki panjang 0.26 mm. Instar I disebut crawler

karena aktif bergerak. Crawler terus bergerak hingga menemukan tempat yang sesuai untuk menusukkan alat mulut atau stiletnya. A. tegalensis tidak memerlukan stomata untuk menusukkan stilet (Williams 1970). Crawler ini banyak ditemukan di permukaan atas dan bawah ruas-ruas batang tebu. Setelah

Telur

Instar I

Instar II

Imago Betina Prapupa

Pupa

11 menusukkan stilet, nimfa tidak bergerak dan antena serta tungkai tereduksi setelah nimfa instar I berganti kulit. Pada penelitian ini, nimfa instar I membutuhkan waktu berkembang rata-rata 8 ± 1.03 hari (Tabel 3).

Gambar 8 Nimfa Instar I A. tegalensis

Nimfa Instar II. Nimfa instar II tidak bergerak karena tidak memiliki tungkai dan tetap menempel pada batang tebu. Pada nimfa instar ini sudah dapat dibedakan jenis kelamin dengan melihat bentuk tubuh dan bentuk perisai. Perbedaan morfologi betina dan jantan ini sesuai dengan hasil deskripsi kutuperisai tebu dari Williams (1970). Nimfa instar II keluar dari eksuvia nimfa instar I dengan cara menembus permukaan ventral eksuvia. Eksuvia nimfa instar I tepat berada di atas anterior nimfa instar II. Nimfa instar II betina tetap berwarna kuning, berukuran 0.35 mm dan tubuh instar ini membesar di bagian kepala dan mengecil pada bagian ujung abdomen (Gambar 9a). Pada akhirnya nimfa berbentuk seperti buah pir saat menjadi imago. Pada stadium nimfa instar II, sebuah perisai tipis mulai menutupi permukaan dorsal abdomen dan perisai terus menebal dan melebar sampai nimfa menjadi imago. Pada jantan A. tegalensis, perisai sudah terbentuk pada nimfa instar II. Perisai berwarna putih dan berukuran 0.35 mm (Gambar 9b). Rata-rata stadium nimfa instar II betina adalah 9.11 ± 1.02 hari (Tabel 3).

Gambar 9 Nimfa instar II A. tegalensis; (a) Betina, (b) jantan 0.1 mm

0.2 mm 0.2 mm

12

Imago A. tegalensis

Imago betina A. tegalensis memiliki bentuk tubuh seperti buah pir yaitu bagian kepala membesar dan bagian ujung abdomen mengecil, imago ini berada di bagian bawah perisai. Imago berwarna kuning pucat (Gambar 10a) dan berukuran 1.6 mm. Saat memasuki tahap reproduksi imago berwarna pink (Gambar 10b) dan berukuran 1.8 mm. Perisai imago betina berdiameter 2 mm, berwarna putih dan berbentuk bundar melebar ke samping (Gambar 10c). Rata-rata lama hidup imago betina A. tegalensis pada penelitian ini adalah 17.13 ± 6.06 hari (Tabel 3).

Gambar 10 Imago betina dan jantan A. tegalensis; (a) Betina yang belum

bereproduksi, (b) betina yang sudah bereproduksi, (c) betina di bawah perisai, (d) jantan

Imago jantan A. tegalensis tidak bersayap, berjalan lamban, tidak memiliki alat mulut dan pada bagian ujung abdomen terdapat tonjolan yang meruncing yang merupakan organ kelamin untuk melakukan kopulasi (Gambar 10d). Imago jantan berukuran 0.33 mm. Menurut Williams (1970) jantan dari A. tegalensis

akan melakukan kopulasi segera setelah menjadi imago. Imago akan melakukan kopulasi dengan cara memasukkan organ kelamin ke bagian bawah tepi perisai imago betina.

Keperidian imago A. tegalensis diperoleh dari jumlah telur yang diletakkan oleh setiap imago hingga imago tersebut mati. Masa pra oviposisi merupakan waktu sejak A. tegalensis menjadi imago hingga dapat meletakkan telur untuk pertama kalinya. Imago betina meletakkan telur di bawah perisainya (Gambar 11a). Masa pra oviposisi A. tegalensis adalah 5.89 ± 1.12 hari dan masa oviposisi yaitu 11.19 ± 6.23 hari (Tabel 3). Berdasarkan pengamatan jumlah telur yang diletakkan per hari, A. tegalensis meletakkan telur hampir setiap hari hingga imago tersebut mati (Lampiran 9). Telur A. tegalensis berbentuk oval memanjang, berukuran 0.25 mm dan berwarna kuning (Gambar 11b). Rata-rata keperidian A.

0.4 mm 0.5 mm

0.5 mm

13

tegalensis adalah 210.03 ± 114.29 butir telur pada suhu 25.4 - 33.3°C. Menurut penelitian Williams (1970), imago betina A. tegalensis dapat meletakkan telur sebanyak 700 - 800 butir pada suhu 21.2 - 28.5°C. Rao dan Sankaran (1969) menyebutkan bahwa imago A. tegalensis dapat meletakkan telur sebanyak 150 - 250 butir pada suhu 24 - 27°C.

Gambar 11 Reproduksi A. tegalensis; (a) Imago betina dengan telur, (b) telur

Gejala Serangan A. tegalensis pada Tanaman Tebu

Pada dasarnya bagian tebu yang disukai nimfa A. tegalensis untuk menetap adalah permukaan batang (Gambar 12a). Namun ketika populasinya sangat padat, nimfa A. tegalensis dapat ditemukan pada permukaan pelepah dan daun tebu tetapi perkembangan dari kutuperisai tersebut lambat dan jumlah telur yang dihasilkan sangat rendah. Hal tersebut di antaranya dapat disebabkan permukaan pelepah dan daun tebu terbuka sehingga banyak gangguan dari faktor luar seperti musuh alami dan air hujan. A. tegalensis menusukkan stiletnya pada sel penyimpanan sukrosa atau parenkim dan menghindari sel berkas pengangkut (Parjono et al. 2002 ).

Pada musim kering, kulit batang tebu yang terserang A. tegalensis akan mengalami gejala nekrosis paling awal. Sementara pucuk tanaman tebu mulai mengering dan menjadi berlubang di bagian tengahnya (Gambar 12b). Lubang tersebut terbentuk akibat mengerutnya jaringan di dalam batang karena kering.

Gambar 12 Gejala serangan A. tegalensis; (a) Populasi pada permukaan batang tebu , (b) gejala kematian pucuk batang

Kadang kala proses kematian batang terjadi dari bagian tengah atau pangkal batang. Umumnya hal tersebut dialami oleh tebu yang terserang berat oleh

14

kutuperisai A. tegalensis dalam kurun waktu yang lama namun tidak dapat segera ditebang hingga tanaman tebu berumur lebih dari 12 bulan. Serangan berat A. tegalensis juga dapat menyebabkan daun tebu menguning dan dianggap sebagai awal kematian tanaman tebu. Daun yang sudah menguning akan segera menjadi kering serta titik tumbuh tebu mulai berubah warna menjadi kecokelatan sebagai tanda kematian jaringan. Permukaan kulit batang yang terserang berat oleh A. tegalensis berwarna kecokelatan dan bila serangannya cukup lama akan terdapat

15

Dokumen terkait