• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN

Penelitian tentang efek antiinflamasi ekstrak jahe merah pada gigi kelinci adalah untuk mengetahui apakah ekstrak jahe merah mempunyai efek untuk meredakan inflamasi pada pulpa gigi. Dalam penelitian ini, digunakan kelinci sebagai hewan coba dan dilakukan secara in vivo. Kelinci banyak digunakan sebagai model pada penelitian in vivo. Penggunaan kelinci dalam penelitian-penelitian biomedis telah dikembangkan karena mudah ditangani, harganya relatif murah, dan memiliki densitas tulang yang mirip dengan manusia.37 Penggunaan Kelinci (Oryctolagus cuniculus) juga disesuaikan dengan kriteria penelitian Gondim DV et al (2010), yaitu berat 1,5-2 kg dan diadaptasi sebelum perlakuan.41 Penggunaan kelinci sebagai hewan coba dalam penelitian ini telah mendapat persetujuan Komisi Etik dengan Pelaksanaan Bidang Kesehatan oleh Health Research Ethical Committee USU dengan No. 169/KOMET/FK USU/2015.

Penggunaan hewan coba telah menggunakan prinsip 3 R yaitu Refinement,

Reduction dan Replacement. Refinement adalah penggunaan metode penelitian yang sesuai, mengurangi rasa sakit dan pemeliharaan yang baik pada hewan coba.

Reduction dimaksudkan untuk pengendalian jumlah hewan coba yang digunakan melalui analisa statistik yang baik. Replacement adalah penggunaan model alternatif, seperti penggunaan hewan dari kelas yang paling rendah menggunakan metode invasif, in vitro.3

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan perforasi pulpa gigi hewan coba secara mekanis seperti pada prosedur iatrogenik. Setelah perforasi, perdarahan dihentikan dengan cotton pellet, dan bahan coba diaplikasikan ke dalam kavitas dan ditumpat dengan RM-GIC. Kemudian gigi hewan coba diekstraksi, lalu dilakukan persiapan preparat dengan Hemotoksilin-Eosin. Pengamatan efek antiinflamasi

dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x. Metode ini juga dilakukan oleh Aljandan et al (2012)42, Esmeraldo et al (2013)21, Aldo Sabir (2005)43, dan lain-lain.Dalam penelitian ini, dilakukan perforasi pada gigi insisivus labial, karena lebih mudah ditangani dibandingkan dengan palatal. Selain itu, penelitian Aljandan et al (2012) juga menggunakan gigi insisivus labial kelinci.42

Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah hari ke-1, 3, dan 7. Pada hari ke-1 sampai ke-3 terjadi invasi sel neutrofil dan sel makrofag. 6 jam setelah terjadi injuri, sel imun mulai muncul. Sel PMN merupakan sel pertama yang muncul sesaat setelah terjadinya injuri dan jumlahnya berangsur bertambah, dengan jumlah puncak pada 24-48 jam. Fungsi utamanya adalah memfagosit bakteri yang muncul pada saat injuri. PMN memiliki siklus hidup yang pendek dan jumlahnya berangsur berkurang setelah hari ke-3. Sel selanjutnya yang memasuki daerah injuri adalah makrofag. Sel ini merupakan hasil diferensiasi monosit setelah mencapai jaringan dari aliran darah. Sel makrofag muncul pada 48-96 jam setelah injuri dan mencapai puncak pada hari ke-3 setelah injuri. Sel ini memiliki siklus hidup yang lebih panjang dari sel PMN dan bertahan sampai penyembuhan luka selesai. Pada hari ke-5 setelah injuri, sel limfosit muncul dengan jumlah yang banyak dan mencapai puncaknya pada hari ke-7 setelah injuri. Pada penelitian ini dilihat ke arah penyembuhan. Fibrobla s adalah sel yang berperan dalam proses penyembuhan. Fibroblas pertama kali muncul 3 hari setelah injuri dan mencapai jumlah puncak pada hari ke-7.20

Bahan alami banyak digunakan dalam mengatasi inflamasi pulpa. Penelitian Trimurni Abidin (1998-1999) menggunakan ekstrak kulit batang kemuning untuk mengatasi sel inflamasi pada tikus galur wistar, juga dilakukan pada gigi yang diinduksi dengan injuri mekanis.44 Penelitian Dennis dan Trimurni Abidin (2009) menggunakan watermelon frost sebagai bahan coba dalam mengatasi inflamasi pulpa. Hasil penelitian tersebut menyatakan eugenol dan watermelon frost memiliki efek dalam menurunkan PGE2.45 Penelitian Aldo Sabir (2005) menggunakan propolis untuk mengetahui respons inflamasi yang terjadi pada pulpa gigi tikus setelah aplikasi ekstrak etanol propolis. Pada penelitiannya, ekstrak etanol propolis mempunyai efek antiinflamasi lebih baik dibandingkan dengan eugenol.43 Penelitian

Mutia Pratiwi (2010) menggunakan ekstrak lerak untuk mengatasi inflamasi periapikal setelah aplikasi ekstrak lerak. Pada penelitiannya, ekstrak lerak 0,01% memiliki efek antiinflamasi dibandingkan dengan kontrol negatif yaitu suspensi CMC 0,5%, walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.46

Pada penelitian ini digunakan ekstrak jahe merah. Ekstrak jahe merah dibuat dengan konsentrasi 1% dan 2% menggunakan suspending agent carboxy methil cellulose (CMC) 0,2%. Pemilihan konsentrasi ekstrak jahe merah ini adalah berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Tati Saida Ratna (2009) untuk melihat efek antiinflamasi ekstrak jahe merah pada mencit jantan. Pada penelitian tersebut konsentrasi ekstrak jahe merah 2% dan 4% menunjukkan adanya efek antiinflamasi. Sedangkan konsentrasi 1% digunakan dalam penelitian pendahuluan, juga menunjukkan adanya efek antiinflamasi. Oleh sebab itu, dalam penelitian untuk menguji efek antiinflamasi pada gigi kelinci ini, konsentrasi ekstrak jahe merah yang digunakan adalah 1% dan 2%.19

Eugenol digunakan sebagai kontrol positif dalam penelitian ini. Eugenol sering digunakan di kedokteran gigi. Eugenol memiliki efek antiinflamasi dan analgesik. Efek ini disebabkan eugenol dapat menghambat prostaglandin E2 dan leukotrien.9 Akan tetapi eugenol memiliki sifat sitotoksin berupa alergenitas dan dapat menyebabkan iritasi.8,30

Pada tabel 4, kelompok ekstrak jahe merah 1% dan ekstrak jahe merah 2% menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kelompok ekstrak jahe merah 1% dan ekstrak jahe merah 2% menunjukkan adanya penurunan sel radang setelah mengalami inflamasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan adanya penurunan sel radang pada pulpa yang diberi ekstrak jahe merah 1% dan 2% setelah mengalami inflamasi.

Efek antiinflamasi diamati melalui penurunan sel radang pada hari ke-1, 3, dan 7. Pada tabel 5, ekstrak jahe merah 1% antara hari ke-1 dan 3 serta hari ke-3 dan 7 tidak menunjukkan adanya perbedaan penurunan sel radang, namun antara hari ke-1 dan 7 menunjukkan adanya perbedaan penurunan sel radang. Pada tabel 6, ekstrak jahe merah 2% antara hari ke-1 dan 3 tidak menunjukkan adanya perbedaan

penurunan sel radang, namun antara hari ke-1 dan 7 dan hari ke-3 dan 7 menunjukkan adanya perbedaan penurunan sel radang.

Hasil penelitian ini didukung dengan pernyataan Hapsoh dan Hasanah Y (2011) bahwa jahe merah mempunyai efek antiinflamasi dengan komponen aktif yaitu gingerol dan shogaol.31 Gingerol dan shogaol merupakan turunan alkaloid.35 Penelitian ini didukung oleh Breemen RB et al (2011) yang menyatakan kandungan gingerol dan shogaol dalam jahe merah dapat menghambat proses siklooksigenase-2 (COX2) dan lipooksigenase.34 Kandungan saponin, tanin, dan flavonoid juga dapat ditemukan pada jahe merah, dimana flavonoid dapat menghambat sintesis eikosanoid. Penghambatan ini akan menyebabkan penurunan kandungan asam arakidonat yang lebih lanjut akan mengakibatkan pelepasan sejumlah mediator inflamasi seperti prostaglandin, leukotrien, dan tromboksan.47

Hasil uji efek antiinflamasi ekstrak jahe merah pada inflamasi gigi kelinci menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi maka efek antiinflamasi semakin baik. Pada tabel 7, efek antiinflamasi ekstrak jahe merah 1% dibanding dengan eugenol menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (P=0,406) dalam mengatasi inflamasi pulpa. Sementara ekstrak jahe merah 2% dibanding dengan eugenol menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (P=0,020). Ini menunjukkan ekstrak jahe merah 2% mempunyai efek antiinflamasi yang paling baik dibanding ekstrak jahe merah 1% dan eugenol. Hal ini kemungkinan karena konsentrasi ekstrak jahe merah kecil yaitu 1% sehingga kemungkinan kandungan antiinflamasi di dalamnya tidak sebaik ekstrak jahe merah 2%. Dari penelitian ini terlihat bahwa hipotesis kedua dapat diterima yaitu ada perbedaan efek antiinflamasi ekstrak jahe merah 1% dan 2% terhadap eugenol. Hal ini dikarenakan eugenol memiliki efek buruk terhadap fibroblas dan osteoblas, sehingga eugenol dapat menghambat penyembuhan.10 Dalam penelitian Ho et al (2006), menunjukkan bahwa eugenol menghambat pertumbuhan dan proliferasi osteoblastic cell line U2OS.9 Oleh sebab itu, eugenol dapat membahayakan jaringan pulpa dan periapeks.2

Dokumen terkait