• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

Hasil karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan disamping menentukan tingkat kristalinitas dari material yang dihasilkan. Berdasarkan analisa yang dilakukan nampak bahwa sudut difraksi karbon terdapat pada sudut 2θ sebagai berikutμ

untuk karbonisasi pati singkong tanpa penambahan katalis, puncak difraksi pada

sudut 2θ = 25,5450o

sedangkan untuk karbonisasi hidrotermal pada pati singkong

dengan penambahan katalis 0,8 gram, sudut difraksi adalah pada sudut 2θ =

26,4236o; untuk karbonisasi hidrotermal dengan penambahan katalis 1,6 gram,

sudut difraksi adalah pada sudut 2θ = 25,λ643o

; dan untuk karbonisasi dengan

penambahan katalis 2,4 gram, sudut difraksi adalah pada sudut 2θ = 25,6149o (Lampiran 2). Kehadiran unsur karbon tersebut ditentukan berdasarkan kesesuaian data XRD dengan data yang dinyatakan oleh International Centre for Diffraction Data (ICDD) (Lampiran 3).

Gambar 26 Pola difraksi pada karbonisasi hidrotermal pati singkong. sampel C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261

Berdasarkan analisa XRD juga dapat di identifikasi keberadaan puncak besi (Fe) dengan sudut 2θ = 33,λ151o

dan senyawa besi oksida dengan sudut 2θ =

35,4038o. Penggunaan katalis juga mempengaruhi ukuran kristalinitas sampel. Ukuran kristal diperoleh dengan menggunakan persamaan schreer dimana ukuran kristal masing-masing sampel ditunjukkan melalui tabel 1.

Tabel 1 Ukuran Kristal Sampel C23, C241, C251, dan C261. Sampel (deg) Cos θ (rad) FWHM (rad) (nm) k D = k /Bcosθ (nm) C23 25,5450 0,975280556 0 0,15406 0,9 0 C241 26,4236 0,973558564 0 0,15406 0,9 0 C251 25,9643 0,974465897 0,0181422 0,15406 0,9 7,843 C261 25,6149 0,975145653 0,0036633 0,15406 0,9 38,814

Hasil analisa XRD menunjukkan adanya tingkat kristalinitas yang berbeda dari masing-masing sampel yang dihasilkan dengan perbedaan jumlah katalis yang digunakan. Tingkat kristalinitas sampel C23, C241, C251, C261 berturut-turut adalah 30,01%, 40,23%, 42,56%, dan 23,94%. Tingkat kristalinitas sampel yang lebih rendah menunjukkan sampel semakin amorf yang berarti daerah ruang kosong semakin besar sehingga transport proton semakin mudah (Handayani 2008) dan mempunyai jaringan untuk dilewati ion yang bergerak (Purwanto 2007). Selain itu, spektrum XRD juga menunjukkan bahwa dengan penambahan katalis ferrocene nampak adanya penurunan tingkat intensitas pada pembentukan puncak difraksi dengan makin bertambahnya jumlah katalis yang digunakan.

Morfologi Karbon

Profil permukaan sampel diperoleh melalui pengujian scanning elektron mikroscopy (SEM). Sampel dilakukan pelapisan dengan logam konduktif (emas). Hal ini dilakukan agar SEM dapat menghasilkan citra permukaan yang tajam sehingga profil permukaan dapat diamati dengan jelas. Berikut adalah foto SEM pada sampel hasil karbonisasi hidrotermal tanpa penggunaan katalis (Gambar 27) dengan perbesaran 60.000 kali. Pada foto SEM menunjukkan bar skala yang

panjangnya 0,2 m. Pengukuran yang dilakukan menggunakan penggaris

menunjukkan panjang bar tersebut adalah 1,25 cm maka 1,25 cm pada gambar

yang bersesuaian dengan panjang 0,2 m ukuran sebenarnya. Pengukuran

diameter partikel pada gambar sampel C23 dengan menggunakan penggaris adalah

3 cm maka diameter riil partikel tersebut adalah (3 cm/1,25 cm) x 0,2 m = 480

Penggunaan katalis dalam proses karbonisasi hidrotermal juga mempengaruhi bentuk dan ukuran setiap sampel yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari foto SEM dengan perbesaran 60.000 kali yang menunjukkan adanya perbedaan profil permukaan yang signifikan pada setiap sampel. Sedangkan perbedaan ukuran diameter masing-masing sampel yakni sampel C23 mempunyai diameter 480 nm, sampel C251 mempunyai diameter 160 nm dan sampel C261 mempunyai diameter 200 nm

Gambar 27 Morfologi permukaan sampel C23. Perbesaran 60.000 kali

Foto SEM dengan penggunaan katalis ferrocene 0,8 gram profil sampel belum terlihat jelas sehingga sulit untuk mengidentifikasi ukuran sampel yang dihasilkan seperti pada Gambar 28.

Namun dengan penggunaan katalis ferrocene sebanyak 1,6 gram dan 2,4 gram dengan perbesaran foto SEM yang sama (60.000 kali) maka profil sampel menunjukkan terbentuknya struktur menyerupai tabung. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan penambahan jumlah katalis yang digunakan maka katalis akan membantu terbentuknya struktur yang berbentuk tabung pada proses karbonisasi hidrotermal sebagaimana yang ditunjukkan oleh profil foto SEM sampel C251 dan sampel C261 hasil karbonisasi hidrotermal.

Gambar 29 Morfologi permukaan sampel C251. Perbesaran 60.000 kali

Sifat Listrik

Karakterisasi terhadap sifat listrik mencangkup pengujian karakteristik arus-tegangan (I-V) dan pengujian konduktivitas.

Uji karakteristik arus-tegangan (I-V) dilakukan untuk mengetahui karakteristik transpor di dalam bahan baik keadaan sampel dalam kondisi gelap (tanpa diberi cahaya) maupun sampel dalam kondisi terang (diberi respon cahaya).

Pengujian sampel dalam kondisi gelap terdapat adanya pola yang berbeda pada masing-masing sampel. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa penambahan jumlah katalis mempengaruhi tingkat resistansi masing-masing sampel. Dengan menggunakan persamaan hukum Ohm (persamaan 3) maka diperoleh nilai resistansi pada tegangan maksimum dari masing-masing sampel untuk pengukuran sampel pada kondisi gelap yaitu 4,0 x 105Ω (sampel C23); 2,96 x 105 Ω (sampel C241); 9,13 x 105 Ω (C251); 7,91 x 105 Ω (sampel C261). Sampel yang mempunyai nilai resistansi yang paling rendah adalah sampel C241. Dengan demikian jumlah katalis sangat berperan penting dalam perubahan sifat listrik sampel yang ditandai dengan adanya perubahan pola arus-tegangan (I-V) dan resistansi yang ditunjukkan oleh masing-masing sampel karena penggunaan jumlah katalis yang berbeda.

Gambar 31 Karakteristik arus-tegangan (I-V). sampel C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261. Kondisi gelap.

Berdasarkan karakteristik I-V juga nampak bahwa arus tidak berbanding lurus terhadap tegangan. Hal ini menunjukkan materi tersebut tidak mengikuti

hukum Ohm. Materi yang tidak memenuhi hukum Ohm tersebut dinamakan komponen nonohmik (Giancoli 2001).

Dalam pengujian karakteristik sifat listrik juga dilakukan dengan melihat perbedaan respon yang ditunjukkan oleh sampel dengan perlakuan yang diberikan pada sampel berupa pola gelap (tanpa cahaya) dan pola terang (diberi respon cahaya). Cahaya yang digunakan berasal dari lampu dimana pada seluruh sampel diberi cahaya dengan intensitas yang sama. Karakteristik respon oleh masing-masing sampel terhadap cahaya ditunjukkan melalui gambar sebagai berikut:

Gambar 32 Karakteristik arus-tegangan sampel C23. kondisi gelap, kondisi terang.

Gambar 33 Karakteristik arus-tegangan sampel C241. kondisi gelap, kondisi terang.

Gambar 34 Karakteristik arus-tegangan sampel C251. kondisi gelap, kondisi terang.

Gambar 35 Karakteristik arus-tegangan sampel C261. kondisi gelap, kondisi terang

Dengan bertambahnya jumlah katalis yang digunakan mempengaruhi tingkat respon sampel terhadap cahaya. Pada sampel C23, C241 dan C251 nampak bahwa respon sampel terhadap cahaya tidak signifikan (hampir tidak ada respon). Namun pada sampel C261 respon sampel terhadap cahaya sangat signifikan, hal ini diperlihatkan oleh adanya peningkatan hambatan setelah sampel diberi cahaya. Respon sampel C261 terhadap cahaya mengindikasikan bahwa sampel tersebut bersifat peka terhadap cahaya yang membangkitkan tegangan foto maupun perubahan hambatan akibat penyinaran cahaya (Chattopadhayay D, 1989).

Karakteristik arus-tegangan (I-V) juga menunjukkan pola menyerupai karakteristik dioda yang dihasilkan oleh sampel. Hal ini nampak pada kemiringan

lengkung kurva arus-tegangan (I-V) (Chattopadhyay D, 1989). Pembentukan lengkung tersebut juga dipengaruhi oleh jumlah penambahan katalis yang digunakan selama proses karbonisasi hidrotermal. Hal ini nampak dengan adanya perbedaan pola karakteristik sampel hasil proses karbonisasi hidrotermal yang menggunakan jumlah katalis ferrocene yang berbeda. Oleh karena keberadaan katalis yang digunakan dalam sintesis sampel C241, sampel C251 dan sampel C261 maka sampel termasuk dalam jenis semikonduktor ekstrinsik (Krane 1992).

Gambar 35 menunjukkan sampel C261 mengalami peningkatan resistansi yang sangat signifikan pada saat diberikan respon cahaya, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kehadiran unsur besi (Fe) yang mempengaruhi karakteristik sampel.

Uji konduktivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat konduktivitas material yang disintesis melalui proses karbonisasi hidrotermal. Dalam penelitian ini, sampel diberi dua tipe perlakuan yakni perlakuan respon terhadap frekuensi dan respon terhadap suhu.

Pengukuran konduktivitas sampel terhadap frekuensi menunjukkan adanya perubahan konduktivitas sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 36.

Gambar 36 Konduktivitas terhadap frekuensi. sampel C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261.

Berdasarkan gambar tersebut nampak adanya perbedaan konduktivitas untuk masing-masing sampel. Oleh karena itu, jumlah katalis yakni 0,8 gram (sampel C242), 1,6 gram (sampel C251), dan 2,4 gram (sampel C261) yang digunakan mempengaruhi tingkat konduktivitas material yang dihasilkan melalui

proses karbonisasi hidrotermal. Nilai konduktivitas material berkisar dalam rentang 10-5 S/m hingga 10-4 S/m, hal ini menunjukkan bahwa material yang dihasilkan termasuk dalam jenis semikonduktor (Kwok 1995).

Berdasarkan gambar tersebut di atas, nampak adanya ketergantungan konduktivitas terhadap frekuensi bagi masing-masing sampel. Hal ini dapat dilihat dari makin besarnya nilai konduktivitas dengan bertambahnya frekuensi.

Pengukuran konduktivitas terhadap suhu juga menunjukkan peningkatan konduktivitas, dan dengan meningkatnya jumlah katalis yang digunakan juga mempengaruhi tingkat konduktivitas material yang dihasilkan. Kedua hal tersebut merupakan sifat khas bahan semikonduktor yang berhubungan langsung dengan struktur pita. Konduktivitas lisriknya sangat dipengaruhi oleh suhu karena peluang eksitasi termal melewati celah pita bahan semikonduktor relatif besar (Krane KS, 1992).

Gambar 37 Karakteristik konduktivitas terhadap suhu. sampel C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261.

Penggunaan katalis 0,8 gram (sampel C241) menunjukkan peningkatan nilai konduktivitas dibandingkan dengan tanpa katalis (sampel C23). Sebaliknya, penggunaan katalis 1,6 gram (sampel C251) dan 2,4 gram (sampel C261) menunjukkan konduktivitas material lebih rendah dari konduktivitas bahan tanpa katalis, dimana nilai konduktivitas pada saat diberi respon suhu berkisar ≥ 10-5 S/m. Selain itu, pengaruh penambahan jumlah katalis pada proses karbonisasi hidrotermal akan menurunkan nilai konduktivitas sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 38.

Gambar 38 Karakteristik konduktivitas terhadap jumlah katalis pada suhu 40 oC.

Gambar 39 Karakteristik konduktivitas terhadap suhu. Lnσ(S/m)-sampel C23, Lnσ(S/m)-sampel C241, Lnσ(S/m)-sampel C251,

Lnσ(S/m)-sampel C261.

Gradien (kemiringan) kurva konduktivitas terhadap suhu mutlak pada Gambar 39 menunjukkan adanya energi aktivasi masing-masing sampel. Plot energi aktivasi untuk masing-masing sampel pada suhu mutlak antara lain sampel C23 pada suhu 323 K – 363 K, sampel C241 pada suhu 343 K – 363 K, sampel C251 pada suhu 343 K – 393 K, dan sampel C261 pada suhu 333 K – 363 K. Hal ini nampak adanya perbedaan rentang suhu mutlak untuk energi aktivasi pada setiap sampel yang menggunakan jumlah katalis yang berbeda. Dari kurva kemiringan plot konduktivitas terhadap suhu mutlak menunjukkan bahwa energi aktivasi yang paling rendah terdapat pada sampel C241 dibandingkan dengan sampel lainnya. Dengan rendahnya energi aktivasi tersebut maka nilai konduktivitasnya lebih besar (Handayani 2008).

Penggunaan katalis pada sampel C23, C241, C251 dan C261 juga memberikan respon yang berbeda terhadap suhu (Gambar 37 dan Gambar 39). Dimana respon material terhadap suhu nampak adanya perubahan nilai konduktivitas dengan makin tingginya suhu yang diberikan pada sampel. Oleh karena itu, material tersebut diduga dapat digunakan dalam bidang elektronika sebagai bahan sensor suhu.

Sifat Dielektrik.

Karakterisasi sifat dielektrik sampel meliputi karakterisasi terhadap kapasitansi dan konstanta dielektrik sampel.

Kapasitansi adalah suatu ukuran dari “kapasitas” penyimpanan muatan untuk perbedaan potensial tertentu. Dalam penelitian ini pengukuran kapasitansi pada tegangan tertentu yaitu 1 Volt, karena perbedaan potensial sebanding dengan muatan sehingga kapasitansi tidak bergantung kepada muatan maupun tegangan.

Pengukuran terhadap kapasitansi menunjukkan adanya respon terhadap frekuensi dan suhu yang ditunjukkan oleh gambar berikut:

Gambar 40 Karakteristik kapasitansi terhadap frekuensi. sampel C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261.

Gambar 41 Karakteristik kapasitansi terhadap suhu. sampel C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261.

Setiap sampel menunjukkan adanya ketergantungan kapasitansi terhadap frekuensi (Gambar 40) dan suhu (Gambar 41). Kapasitansi meningkat pada frekuensi yang lebih rendah sedangkan pada frekuensi yang lebih tinggi kapasitansi cenderung mengalami penurunan dan hampir konstan pada setiap sampel yang disebabkan oleh kerapatan kemasan setiap sampel (Abu-Hilal 2006), dimana tingkat kerapatan ini dipengaruhi oleh penggunaan jumlah katalis yang berbeda. Kapasitansi juga bergantung suhu yang ditandai dengan meningkatnya kapasitansi pada suhu yang lebih tinggi.

Peningkatan kapasitansi terjadi karena adanya polarisasi pada bahan dielektrik yakni peristiwa pergerakan elektron, ion, dan molekul-molekul polar di dalam dielektrik yang diakibatkan oleh adanya medan listrik.

Peningkatan kapasitansi pada suhu tinggi dapat disebabkan oleh polarisasi muatan ruang dan polarisasi orientasi. Polarisasi muatan ruang terjadi karena pemisahan muatan-muatan ruang yang merupakan muatan-muatan bebas dalam ruang dielektrik. Dengan proses ini maka terjadi pengumpulan muatan sejenis di dua sisi dielektrik. Sedangkan Polarisasi orientasi terjadi pada material dengan membentuk momen dipole permanen. Dipole-dipole permanen ini akan cenderung mengarahkan diri sejajar dengan medan listrik, namun tidak semua dipole akan sejajar dengan arah medan (Sudirham 2010).

Peningkatan kapasitansi terhadap frekuensi juga dapat disebabkan oleh polarisasi elektronik dan polarisasi ion pada bahan dielektrik. Polarisasi elektronik terjadi karena pergeseran awan elektron pada atom atau molekul karena adanya

medan listrik dimana pusat muatan listrik positif dan negatif yang semula berimpit menjadi terpisah sehingga terbentuk dipole. Pemisahan titik pusat muatan ini berlangsung sampai terjadi keseimbangan dengan medan listrik yang menyebabkannya. Dipole yang terbentuk merupakan dipole tidak permanen, artinya dipole terbentuk selama ada pengaruh medan listrik saja. Jika medan listrik hilang maka titik-titik pusat muatan kembali berimpit lagi. Apabila medan yang diberikan adalah medan searah, dipole terbentuk hampir seketika dengan hadirnya medan listrik. Sedangkan Polarisasi ion terjadi karena pergeseran ion-ion yang berlawanan tanda oleh pengaruh medan listrik. Sebagaimana halnya dengan polarisasi elektronik, dipole yang terbentuk dalam polarisasi ion juga merupakan dipole tidak permanen. Namun polarisasi ion terjadi lebih lambat dari polarisasi elektronik. Apabila di berikan medan searah, diperlukan waktu lebih lama untuk mencapai keadaan seimbang (Sudirham 2010).

Respon kapasitansi memiliki ketergantungan yang kuat terhadap suhu, sedangkan kapasitansi cenderung ke nilai konstan pada frekuensi yang lebih tinggi. Anomali ini dianggap berasal dari penyusutan oksigen keluar dari sampel selama proses pemanasan (Abu-Hilal 2006).

Karakterisasi konstanta dielektrik terhadap frekuensi dan suhu pada masing-masing sampel ditunjukkan oleh gambar berikut:

Gambar 42 Karakteristik konstanta dielektrik terhadap frekuensi (a).

Gambar 43 Karakteristik konstanta dielektrik terhadap suhu(b).

sampel C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261.

Berdasarkan Gambar 42 di atas menunjukkan bahwa konstanta dielektrik mengalami penurunan dengan bertambahnya frekuensi, dimana masing-masing sampel mempunyai tingkat penurunan yang berbeda bergantung dari banyaknya katalis yang digunakan. Pada gambar 42 memperlihatkan konstanta dielektrik yang mengalami penurunan dengan penambahan katalis sampel dan bertambahnya frekuensi. Pola tersebut mirip dengan karakteristik kapasitansi terhadap frekuensi. Hal ini terjadi karena antara kapasitansi dan konstanta dielektrik mempunyai hubungan yang linier. Sehingga peningkatan faktor konstanta dielektrik akan meningkatkan kapasitansi. Konstanta dielektrik tertinggi terdapat pada sampel C241.

Karakteristik konstanta dielektrik sampel juga menunjukkan adanya peningkatan terhadap suhu. Semua sampel memperlihatkan pola yang sama terhadap suhu. Pengaruh penggunaan katalis dapat dilihat dari menurunnya konstanta dielektrik pada setiap sampel dengan penggunaan katalis yang berbeda. Oleh karena konstanta dielektrik mempunyai hubungan yang linier dengan kapasitansi, maka karakteristik konstanta dielektrik terhadap suhu juga menunjukkan pola yang sama dengan pola karakteristik kapasitansi terhadap suhu. Tingginya konstanta dielektrik yang dimiliki oleh sampel menunjukkan makin tingginya kemampuan yang dimiliki oleh sampel tersebut dalam penyimpanan muatan.

Distribusi dan Ukuran Partikel.

Karakterisasi menggunakan SEM masih terbatas pada penentuan diameter partikel, sehingga diperlukan karakterisasi Particle Size Analizer (PSA). Hal ini dilakukan untuk mengetahui ukuran dari partikel yang dihasilkan. Hasil analisa menunjukkan ukuran partikel masing-masing sampel dengan persentasi maksimum antara lain 157,8 nm (sampel C23), 586 nm (sampel C241), 187,6 nm (sampel C251), dan 278,4 nm (sampel C261). Hal ini menunjukkan tingkat perbedaan ukuran partikel dari masing-masing sampel dimana partikel yang dihasilkan dalam skala nanometer. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh tingkat kehomogenan sampel karena pengaruh lamanya waktu pengadukan dengan magnetic stirrer disamping pengaruh katalis yang digunakan dalam proses sintesis. Selain itu, pelarut yang digunakan dalam analisis tersebut (Lampiran 4) adalah air sehingga memberikan pengaruh terhadap tingkat kelarutan sampel pada saat dilakukan analisis. Penentuan ukuran partikel tersebut penting dilakukan karena jika diamati hasil akhir dari riset dibidang nanomaterial adalah mengubah teknologi yang ada sekarang yang umumnya berbasis pada material skala mikrometer menjadi teknologi yang berbasis pada material nanometer (Abdullah 2009).

Material ukuran nanometer juga memiliki sejumlah sifat kimia dan fisika yang lebih unggul dari material ukuran besar (bulk). Selain itu, material dalam ukuran nanometer memiliki sifat-sifat yang lebih kaya karena ada beberapa sifat yang dimiliki material ukuran ini yang tidak dimiliki oleh material ukuran besar, dan yang menarik adalah sejumlah sifat tersebut dapat diubah-ubah melalui pengontrolan ukuran material, pengaturan komposisi kimiawi, modifikasi permukaan, dan pengontrolan interaksi partikel.

Pengujian Elektroda Karbon

Penggunaan elektroda karbon yang dihubungkan dengan elektrolit diukur tegangan yang dihasilkan dengan menggunakan hambatan 1 kΩ ditunjukkan melalui Gambar 44.

Gambar 44 Hubungan tegangan (mV) terhadap waktu (jam)

Berdasarkan Gambar 44 nampak bahwa dengan bertambahnya waktu maka nilai tegangan mengalami penurunan. Keadaan tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh tingkat keasaman elektrolit (larutan yang menghantar arus listrik) yang digunakan sehingga ion hidrogen pada katoda akan tereduksi. Hasil reduksi tersebut menempel dan melapisi permukaan katoda maka terjadilah polarisasi pada katoda. Polarisasi ini menghambat proses selanjutnya dan menurunkan tegangan (V). Selain itu, elektrolit asam mendorong elektroda seng dan cenderung melarutkannya. Tetapi setiap atom seng meninggalkan dua elektron, sehingga memasuki larutan sebagai ion positif. Elektroda seng dengan demikian mendapatkan muatan negatif. Sementara makin banyak ion seng yang memasuki larutan, elektrolit selama sesaat dapat bermuatan positif. Karena hal ini dan melalui reaksi kimia lainnya, elektron-elektron tertarik lepas dari elektroda karbon. Sehingga elektroda karbon menjadi bermuatan positif. Karena ada muatan yang berlawanan pada kedua elektroda, maka ada beda potensial antara kedua terminal. Pada sel yang terminal-terminalnya tidak terhubung hanya sedikit seng yang terlarut, karena sementara elektroda seng menjadi bertambah negatif maka ion seng positif baru yang dihasilkan akan tertarik kembali ke elektroda. Dengan demikian, beda potensial atau tegangan tertentu dipertahankan antara kedua terminal. Jika muatan dibiarkan mengalir antara terminal misalnya resistor dengan hambatan tertentu (atau bola lampu) maka lebih banyak seng yang terlarut. Setelah beberapa waktu, satu elektroda atau lainnya terpakai habis dan akhirnya

oleh Gambar 44. Disamping itu, tegangan yang ada diantara terminal-terminal rangkaian tergantung pada bahan elektroda dan kemampuan relatifnya untuk terlarut atau melepaskan elektron.

Nilai tegangan yang dihasilkan nampak masih kecil, hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain elektrolit yang digunakan atau dapat juga dipengaruhi oleh masih rendahnya konduktivitas yang dimiliki oleh sampel yang digunakan, dimana konduktivitas sampel yang digunakan masih dalam rentang semikonduktor.

Dokumen terkait