• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effect Of Catalyst On Cassava Starch Hydrothermal Carbonization Process

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Effect Of Catalyst On Cassava Starch Hydrothermal Carbonization Process"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

FENDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Katalis Pada Proses Karbonisasi Hidrotermal Pati Singkong adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Fendi

(3)

Process. Under direction of AKHIRUDDIN and AGUS KARTONO.

Carbon materials have been synthesized from cassava starch through the process of hydrothermal carbonization (HTC) with the aid of ferrocene catalyst. Cassava starch material is sealed in an autoclave type Thermostat Model 25X All-American Pressure Sterilizer for 24 hours at 120 oC with a pressure of 15 psi, and then characterized to determine the structure, surface morphology, electrical properties and dielectric properties. The addition of a catalyst affect the rate of material crystallinity and the formation of tubular structures. HTC materials are synthesized semiconductor characterized by the response to light and the sample conductivity. Materials synthesis hydrothermal carbonization can also be applied as a function of the electrode.

(4)

FENDI. Pengaruh Katalis Pada Proses Karbonisasi Hidrotermal Pati Singkong. Dibimbing oleh AKHIRUDDIN dan AGUS KARTONO.

Sintesis bahan karbon fungsional seperti karbon nanotube dan fullerenes, saat ini menjadi topik hangat karena potensinya yang penting dalam penyimpanan gas, katalis, dan fuel cell dimana secara tradisional bahan-bahan fungsional berbasis karbon dihasilkan dari bahan awal bahan bakar fosil. Disisi lain, konsumsi energi meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk sehingga diperlukan sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis seperti biomassa. Salah satu bahan biomassa yaitu singkong merupakan tanaman yang mengandung pati dan merupakan tanaman dapat tumbuh disemua propinsi di Indonesia namun belum menjadi perhatian serius untuk menjadi produk yang bernilai tinggi. Oleh karena itu dalam penelitian ini memanfaatkan bahan pati singkong yang diharapkan menjadi bahan produk untuk berbagai aplikasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh katalis pada proses karbonisasi hidrotermal pati singkong.

Bahan karbon disintesis melalui metode hidrotermal pada suhu 120 oC dan tekanan 15 psi selama 24 jam. Selanjutnya dikeringkan dalam furnace, membuat bubuk dan pelet karbon. Proses hidrotermal dilakukan dengan tanpa katalis, dan dengan memvariasikan penggunaan jumlah katalis. Katalis yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk ferrocene dengan massa yang digunakan antara lain 0,8 gram, 1,6 gram dan 2,4 gram. Karakterisasi dilakukan dengan menggunakan X-Ray Difraksi (XRD), Scaning Electron Microscopy (SEM), I-V meter, HIOKI 3522-50 LCR HiTESTER, dan Particle Size Analizer (PSA).

Pengaruh penggunaan katalis ditunjukkan oleh hasil karakterisasi XRD karbonisasi hidrotermal pati singkong yang menunjukkan karbon dengan sudut difraksi 2θ = 25,5450o (tanpa katalis), sudut 2θ = 26,4236o (massa katalis 0,8 gram), sudut 2θ = 25,λ643o (massa katalis 0,6 gram) dan sudut 2θ = 25,6149o (massa katalis 2,4 gram). Hasil yang diperoleh juga menunjukkan tingkat kristalinitas yang berbeda pada setiap penggunaan katalis yakni 30,01% (tanpa katalis), 40,23% (massa katalis 0,8 gram), 42,56% (massa katalis 0,6 gram), dan 23,94% (massa katalis 2,4 gram).

Karakterisasi dengan SEM juga menunjukkan morfologi permukaan yang berbeda pada penggunaan katalis dengan jumlah yang berbeda, dimana diameter partikel berada dalam rentang nanometer. Pengamatan dengan I-V meter juga menunjukkan adanya respon cahaya dari masing-masing karbon hasil karbonisasi hidrotermal. Respon cahaya yang paling signifikan ditunjukkan oleh sampel karbon yang menggunakan katalis yang paling banyak (sampel C261). Hasil pengukuran nilai konduktivitas karbon berkisar dalam rentang nilai konduktivitas material semikonduktor. Pengukuran sampel karbon terhadap suhu juga menunjukkan respon karbon terhadap suhu yang ditandai dengan perubahan nilai konduktivitasnya. Hal ini mengindikasikan bahwa karbon yang dihasilkan diduga dapat dimanfaatkan sebagai bahan sensor suhu.

(5)

suhu yang lebih tinggi. Sedangkan ketergantungan konstanta dielektrik terhadap frekuensi dan suhu menunjukkan pola yang sama dengan kapasitansi yang diakibatkan oleh hubungan yang linier antara kapasitansi dengan konstanta dielektrik.

Analisis terhadap ukuran partikel dilakukan dengan menggunakan PSA (Particle Size Analizer) dimana hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa karbon mempunyai ukuran partikel dalam skala nanometer. Hal ini sangat penting untuk aplikasi material dalam teknologi yang berbasis nanomaterial.

(6)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengukitipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

FENDI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biofisika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

NRP : G751090051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Akhiruddin,S.Si,M.Si Dr. Agus Kartono,S.Si,M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biofisika Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Agus Kartono, S.Si, M.Si Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul penelitian adalah pengaruh katalis pada proses karbonisasi hidrotermal pati singkong. Penelitian ini menggunakan bahan biomasa berupa pati singkong. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Oktober 2010 hingga Juni 2011 di Laboratorium Biofisika Departemen Fisika, Laboratorium Terpadu Puslitbang Hasil Hutan Bogor, BATAN Serpong dan Nanotech Indonesia Balai Inkubator Teknologi BPPT Serpong.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Akhiruddin, S.Si,M.Si dan Bapak Dr. Agus Kartono, S.Si,M.Si selaku pembimbing. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Irmansyah, M.Si sebagai penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis. Disamping itu, penulis juga menyampaikan penghargaan kepada Bapak Dr.Ir. Irzaman, M.Si selaku Ketua Departemen Fisika Fakultas MIPA beserta staf yang telah banyak memberikan saran dan motivasi, Kepala Lab.Terpadu Puslitbang Hasil Hutan Bogor beserta staf terkhusus Bapak Saptadi Darmawan, M.Si, Bapak Didik dan Dadang. Bapak Direktur PT BIN BATAN Serpong beserta staf dan secara khusus Bapak Drs. Sulistyoso, MT atas segala bantuannya. Penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Koordinator Kopertis Wilayah IX atas rekomendasi usulan beasiswa BPPS dan kepada Dirjen DIKTI atas bantuan berupa beasiswa BPPS kepada penulis. Ucapan terima kasih teristimewa kepada ayahanda La Ode Ndohoti (alm) dan ibunda Wa Ode Taima, serta saudara-saudara penulis atas segala doa dan kasih sayangnya. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman mahasiswa Mayor Biofisika Sekolah Pascasarjana IPB khususnya angkatan tahun 2009 dan teman-teman Sekolah Pascasarjana IPB seperantauan dari Sulawesi Tenggara serta semua pihak yang telah memberikan bantuannya baik secara langsung maupun tidak langsung selama penelitian hingga selesainnya tesis ini.

Penulis menyadari adanya kelemahan dan keterbatasan dalam penulisan tesis ini. Oleh karena itu, penulis terbuka menerima saran dan kritik dari pihak lain yang sifatnya membangun demi perbaikan pada masa-masa mendatang.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Masalili/Muna Sulawesi Tenggara pada tanggal 6 April 1982 dari ayah La Ode Ndohoti dan ibu Wa Ode Taima. Penulis merupakan putra keempat dari enam bersaudara.

Tahun Ajaran 1998/1999 penulis menjadi siswa SMU Negeri 2 Raha Sulawesi Tenggara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Raha dan pada tahun yang sama masuk UNHALU pada Jurusan Fisika Fakultas MIPA melalui program PPMP (Bebas Tes) dan lulus pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisika Dasar dan Elektronika. Penulis juga aktif dilembaga kemahasiswaan (Sekretaris Umum HMJ Fisika, Ketua Fraksi MIPA Majelis Permusyawatan Mahasiswa (MPM) UNHALU). Tahun 2007 penulis terdaftar sebagai dosen STIP Wuna Raha unit dari KOPERTIS Wilayah IX di Makassar Sulawesi Selatan.

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

Ruang Lingkup Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Karbon ... 5

Pati... 6 Amilosa... 7 Amilopektin... 8 Glikogen... 9 Katalis... 9 Hidrotermal... 13

Sintesis Hidrotermal Bahan Karbon... 14

Sifat Listrik... 16

Kapasitor dan Bahan Dielektrik... 18

Struktur Kristal... 22

Produk Elektroda... 22

Karakterisasi Material Nanostruktur... 23

Scanning Elektron Microscopy (SEM)... 23

Difraksi Sinar-X (XRD)... 26

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 31

Alat dan Bahan ... 31

(13)

Pencampuran bahan dengan magnetic stirrer... 34

Karbonisasi Hidrotermal... 35

Karakterisasi Hasil Karbonisasi Hidrotermal... 37

Uji Elektroda Karbon... 38

HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)... 39

Morfologi Karbon... 40

Sifat Listrik... 43

Sifat Dielektrik... 49

Distribusi dan Ukuran Partikel... 53

Pengujian Elektroda Karbon... 53

SIMPULAN DAN SARAN ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(14)
(15)

Halaman

1 Tiga allotrop karbon... 6

2 Pati... 7

3 Amilosa... 7

4 Amilopektin... 8

5 Isomaltosa; 6-O-(α-D-glukopiranosil)-D glukopiranosa... 9

6 Setiap reaksi katalis merupakan siklus tahap dasar di mana mengikat molekul reaktan ke katalis, bereaksi, dan setelah produk terlepas dari katalis keduanya bebas untuk siklus berikutnya... 10

7 Diagram energi potensial dari reaksi katalis heterogen, dengan gas reaktan dan produk serta katalis padat. Reaksi tanpa katalis harus mengatasi hambatan energi besar, sedangkan hambatan di jalur katalis jauh lebih rendah... 10

8 Teknik karakterisasi katalis: lingkaran merupakan sampel yang diteliti, tanda panah menunjukkan proses eksitasi, dan panah keluar menunjukkan bagaimana informasi harus diekstrak... 13

9 Skema ilustrasi sintesis bahan karbon fungsional dari biomassa dan karbohidrat melalui proses karbonisasi hidrotermal (HTC). Bahan karbon fungsional dapat disintesis secara langsung atau dibantu katalis/template... 14

10 Karbonisasi Hidrotermal... 15

11 Suatu kapasitor terdiri dari dua keping konduktor sejajar yang terpisah. Ketika konduktor-konduktor dihubungkan pada ujung-ujung suatu baterai, baterai memindahkan muatan dari satu konduktor ke konduktor lainnya sampai perbedaan potensial antara ujung-ujung konduktor sama dengan perbedaan potensial antara ujung-ujung baterai. Jumlah muatan yang dipindahkan sebanding dengan perbedaan potensial... 19

12 (a) Garis-garis medan listrik antara keping-keping suatu kapasitor keping sejajar yang terpisah pada jarak yang sama menunjukkan bahwa medan listrik bersifat seragam. (b) garis-garis medan listrik antara keping-keping suatu kapasitor keping sejajar ditunjukkan oleh semburan minyak... 20

13 Dalam SEM berkas elektron berenergi tinggi mengenai permukaan material. Elektron pantulan dan elektron sekunder dipancarkaan kembali dengan sudut yang bergantung pada profil permukaan material... 24

14 Difraksi Sinar-X oleh kristal... 26

15 Pola difraksi sinar-X pada kristal seng sulfida. Pola difraksi dideteksi langsung pada pelat potografis... 27

(16)

18 Makin lebar puncak difraksi sinar-X makin kecil ukuran kristalin. Ukuran kristalin yang menghasilkan pola difraksi pada gambar bawah lebih kecil daripada ukuran kristalin yang

menghasilkan pola difraksi... 29

19 Diagram alir tahapan penelitian... 33

20 Set Up proses sintesis hidrotermal... 34

21 Bubuk Karbon : sampel C23 (a), sampel C241 (b), sampel C251 (c), sampel C261 (d)... 36

22 Pembuatan pelet karbon sampel C23, C241, C251, C261... 36

23 Pelet karbon sampel C23, C241, C251, C261... 36

24 Pengukuran I-V sampel pada kondisi terang... 37

25 Proses pengujian elektroda karbon... 38

26 Pola difraksi pada karbonisasi hidrotermal pati singkong... 39

27 Morfologi permukaan sampel C23. Perbesaran 60.000 kali... 41

28 Morfologi permukaan sampel C241. Perbesaran 60.000 kali... 41

29 Morfologi permukaan sampel C251. Perbesaran 60.000 kali... 42

30 Morfologi permukaan sampel C261. Perbesaran 60.000 kali... 42

31 Karakteristik arus-tegangan sampel C23, C241, C251, C261. Kondisi gelap... 43

32 Karakteristik arus-tegangan sampel C23... 44

33 Karakteristik arus-tegangan sampel C241... 44

34 Karakteristik arus-tegangan sampel C251... 45

35 Karakteristik arus-tegangan sampel C261... 45

36 Karakteristik konduktivitas terhadap frekuensi... 46

37 Karakteristik konduktivitas terhadap suhu... 47

38 Karakteristik konduktivitas terhadap jumlah katalis... 48

39 Karakteristik konduktivitas terhadap suhu... 48

40 Karakteristik kapasitansi terhadap frekuensi... 49

41 Karakteristik kapasitansi terhadap suhu... 50

42 Karakteristik konstanta dielektrik terhadap frekuensi (a)... 51

43 Karakteristik konstanta dielektrik terhadap suhu (b)... 52

(17)

Halaman

1 Peralatan yang digunakan dalam penelitian ... 63

2 Data kristalinitas sampel... 65

3 Data ICDD... 71

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sintesis bahan karbon fungsional seperti karbon nanotube dan fullerenes, saat ini menjadi topik hangat karena potensinya yang penting dalam penyimpanan gas, katalis, dan fuel cell. Secara tradisional bahan-bahan fungsional berbasis karbon dihasilkan dari bahan awal bahan bakar fosil, namun biomassa dapat memberikan alternatif yang murah, terbarukan dan 'hijau' di masa depan. Dengan demikian, penggunaan biomassa sebagai bahan awal untuk sintesis bahan fungsional berbasis karbon sedang diselidiki (Hu 2008). Beberapa penelitian tentang sintesis karbon menggunakan bahan berupa etil alkohol, polyethylene glycol (PEG), metanol, hidrokarbon benzenene dan sumber biomasa seperti limbah pertanian & karbohidrat.

Pemenuhan konsumsi energi dapat dipenuhi melalui energi komersial antara lain dalam bentuk bahan bakar minyak, gas, listrik, briket batubara dan energi tradisional yang belum memanfaatkan teknologi antara lain dalam bentuk

panas matahari dan biomassa. Disisi lain, konsumsi energi meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk.

Energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya

energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik contohnya panas bumi, tenaga air, angin, biomassa, biogas dan gelombang.

Biomassa merupakan keseluruhan materi yang berasal dari makhluk hidup, termasuk bahan organik baik yang hidup maupun yang mati, baik yang ada di atas permukaan tanah maupun yang ada di bawah permukaan tanah (Sutaryo 2009).

(19)

Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Sumatera Utara yang menyumbang sebesar 89,47% dari produksi nasional sedangkan propinsi yang lain sekitar 11-12%. Sampai saat ini pemanfaatan singkong di Indonesia masih sangat terbatas. Pemanfaatan singkong sebagian besar diolah menjadi produk setengah jadi berupa pati (tapioka), tepung singkong, dan gaplek. Padahal, kandungan pati dari singkong yang tinggi merupakan potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi produk yang lebih bernilai tinggi. Thailand adalah salah satu contoh negara yang telah berhasil mengembangkan teknologi pengolahan pati singkong menjadi berbagai produk turunannya yang bernilai tinggi untuk pangan, pakan dan industri (Anonim 2010).

Dengan potensi singkong tersebut maka memungkinkan untuk dikembangkan sebagai bahan alternatif untuk sintesis karbon dalam aspek biomassa karena nilai yang rendah, jumlah besar, regenerasi yang cepat, akses mudah dan ramah lingkungan, memiliki kualifikasi sebagai bahan awal yang menjanjikan untuk sintesis bahan-bahan karbon fungsional.

Sintesis karbon telah dilakukan dengan beberapa metode antara lain arc discharge, laser ablation, chemical vapor deposition (CVD) dan hidrotermal. Dalam penelitian ini menggunakan metode hidrotermal untuk mensintesis karbon. Metode ini dipilih karena mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan

metode sintesis lainnya yaitu lebih ramah lingkungan, dan selain mengurangi biaya keseluruhan dari proses sintesis, reaksi suhu rendah juga menghindari masalah yang umumnya dihadapi dengan teknologi suhu tinggi seperti kontrol stoikiometri buruk akibat penguapan komponen, adanya penyebab cacat termal, pembentukan fase dan transformasi fasa yang tidak diinginkan (Suchanek 2003).

(20)

selulosa menjadi bahan seperti karbon dan fokus karya awal utamanya pada persiapan biofuel dari biomassa (Baccile 2008). Saat ini, proses HTC telah digunakan untuk sintesis karbon berbentuk bola seragam yang menggunakan gula atau glukosa sebagai prekursor dalam suhu rendah (≤ 200 oC) (Hu 2008).

Katalis mempunyai peranan penting dan merupakan partikel berukuran kecil (~10-9 meter, atau nanometer). Sifat permukaannya yang unik dapat meningkatkan reaksi kimia yang penting ke arah produk yang bermanfaat. Dalam setiap jenis proses katalis, katalis tersebar pada bahan dengan luas permukaan yang tinggi, yang dikenal sebagai katalis pendukung. Dukungan ini memberikan kekuatan mekanik melalui katalis disamping meningkatkan permukaan katalis spesifik dan meningkatkan laju reaksi (Talapatra 2011). Selanjutnya, berbagai bahan karbon fungsional dari biomassa melalui proses HTC disintesis dengan prospek yang menjanjikan dalam berbagai aplikasi (Hu 2008)

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini memfokuskan pengaruh katalis pada karbonisasi hidrotermal yang menggunakan bahan pati singkong.

Perumusan Masalah

Beberapa penelitian mengenai sintesis nanomaterial karbon memanfaatkan sumber non biomassa seperti polyethylene (PE) atau ethylene glycol (EG) dengan menggunakan katalis Ni, Co, dan Fe untuk mendapatkan material karbon seperti carbon nanotube. Dalam penelitian ini difokuskan pada karbonisasi hidrotermal dari biomasa berupa pati singkong dengan menggunakan katalis ferrocene. Selain itu, menganalisis struktur, morfologi, sifat listrik, sifat dielektrik, dan ukuran partikel dari material hasil karbonisasi hidrotermal serta menguji karbon sebagai fungsi elektroda.

Tujuan Penelitian

(21)

Electron Microscopy (SEM). Selain itu, karakterisasi juga dilakukan untuk mengetahui sifat listrik, sifat dielektrik, dan ukuran partikel dari material hasil karbonisasi hidrotermal tersebut. Dengan mengetahui hasil karakterisasi tersebut diharapkan dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang antara lain mencakup elektronika, material komposit, dan sensor.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan metode karbonisasi hidrotermal, dan karakterisasinya. Selain itu, dapat dijadikan sebagai dasar penelitian selanjutnya dalam mensintesis nanomaterial dari bahan biomassa untuk dapat diaplikasikan diberbagai bidang antara lain di bidang energi sebagai kapasitor, dan material elektroda pada fuel cell, serta diharapkan dapat diaplikasikan di bidang sensor.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi karbonisasi hidrotermal dari

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Karbon

Karbon merupakan unsur yang paling serbaguna dalam tabel periodik, berkat jenis, kekuatan, dan jumlah ikatan dapat terbentuk dengan unsur-unsur yang berbeda. Keragaman ikatan dan geometri yang berhubungan memungkinkan adanya struktur isomer, isomer geometrik, dan enansiomer.

Sifat-sifat karbon akibat langsung dari susunan elektron di sekitar inti atom. Ada enam elektron valensi dalam sebuah atom karbon, dibagi secara merata antara orbital 1s, 2s, dan 2p. Karena orbital atom 2p dapat menyimpan hingga enam elektron, karbon dapat membuat hingga empat ikatan. Namun, elektron valensi yang terlibat dalam ikatan kimia menempati orbital 2s dan 2p (O’Connell 2006).

Ikatan kovalen dibentuk oleh promosi elektron 2s untuk satu atau lebih orbital 2p dimana orbital hibrida yang dihasilkan adalah jumlah dari orbital asli. Tergantung pada seberapa orbital p yang terlibat, hal ini dapat terjadi dalam tiga cara yang berbeda. Pada tipe pertama, persilangan pasangan orbital 2s dengan salah satu orbital 2p yang membentuk dua orbital hibrida sp1 dalam geometri linier dipisahkan oleh sudut 180˚. Jenis kedua melibatkan hibridisasi orbital 2s dengan hibridisasi dua orbital 2p. Sebagai akibatnya, tiga orbital sp2 terbentuk. Ini

berada di bidang yang sama dipisahkan dengan sudut 120˚. Dalam hibridisasi

ketiga, salah satu orbital 2s disilangkan dengan tiga orbital 2p, menghasilkan empat orbital sp3 dipisahkan dengan sudut 10λ,5˚. Hibridisasi sp3 menghasilkan pengaturan tetrahedral karakteristik ikatan. Ketiga kasus tersebut, energi yang diperlukan untuk hibridisasi orbital atom diberikan melalui energi bebas membentuk ikatan kimia dengan atom lain (O’Connell 2006).

(23)

Gambar 1 Tiga allotrop karbon.

Jaringan kristal memberikan kekerasan berlian (substansi yang paling sulit diketahui) dan sifat konduksi panas yang sangat baik (sekitar lima kali lebih baik dari tembaga). Grafit terbuat dari lembaran planar berlapis karbon terhibridisasi sp2 atom terikat bersama-sama dalam jaringan heksagonal. Geometri yang berbeda dari ikatan kimia membuat grafit lembut, licin, buram, dan konduktif listrik. Berbeda dengan berlian, setiap atom karbon dalam lembaran grafit hanya

terikat pada tiga atom lainnya. Buckminsterfullerenes, atau fullerenes adalah allotrop karbon ketiga dan terdiri dari golongan molekul bulat atau silinder dengan semua atom karbon terhibridisasi sp2 (O’Connell 2006).

Pati

(24)

Gambar 2 Pati (Keenan 1992)

Pati dapat dipisahkan menjadi dua fraksi utama berdasarkan kelarutan bila dibubur (triturasi) dengan air panas: sekitar 20% pati adalah amilosa (larut) dan 80% sisanya ialah amilopektin (tidak larut).

Amilosa

Hidrolisis lengkap amilosa menghasilkan hanya D-glukosa; hidrolisis parsial menghasilkan maltosa sebagai satu-satunya disakarida. Disimpulkan

bahwa amilosa adalah polimer linear dari αDglukosa yang dihubungkan secara

-1,4’. Beda antara amilosa dan selulosa ialah ikatan glikosidanyaμ β dalam selulosa dan α dalam amilosa. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan sifat antara kedua polisakarida ini.

(25)

Terdapat 250 satuan glukosa atau lebih per molekul amilosa. Pengukuran panjang rantai dikacaukan oleh fakta bahwa amilosa alamiah terdegradasi menjadi rantai yang lebih kecil selama pemisahan dan pemuaian.

Molekul amilosa membentuk spiral di sekitar molekul I2; timbul warna biru tua dari intaraksi antara keduanya. Warna ini merupakan dasar uji iod untuk pati, dimana suatu larutan iod ditambahkan ke suatu contoh yang tidak diketahui untuk menguji hadirnya pati.

Amilopektin

Suatu polisakarida yang jauh lebih besar dari pada amilosa, mengandung 1000 satuan glukosa atau lebih per molekul. Seperti rantai dalam amilosa, rantai

utama dari amilopektin mengandung 1,4’-α-D-glukosa. Tidak seperti amilosa, amilopektin bercabang sehingga terdapat satu glukosa ujung untuk kira-kira tiap

25 satuan glukosa. Ikatan pada titik percabangan ialah ikatan 1,6’-α-glikosida.

Gambar 4 Amilopektin

(26)

Gambar 5 Isomaltosa; 6-O-(α-D-glukopiranosil)-D-glukopiranosa

Glikogen

Dari segi struktur, glikogen mirip amilopektin. Glikogen mengandung rantai glukosa yang terikat -1-4’-α dengan percabangan-percabangan (1,6’-α). Beda antara glikogen dan amilopektin ialah bahwa glikogen lebih bercabang

daripada amilopektin (Fessenden 1982).

Katalis

Sebuah katalis mempercepat reaksi kimia dengan membentuk reaksi ikatan dengan molekul, dan dengan membiarkan ini untuk bereaksi terhadap suatu produk yang terlepas dari katalis, dan sedemikian rupa sehingga tersedia untuk reaksi berikutnya. Bahkan dapat digambarkan reaksi katalis sebagai peristiwa siklik dimana katalis berpartisipasi dan kembali dalam bentuk aslinya pada akhir siklus.

Berikut reaksi katalis antara dua molekul A dan B untuk menghasilkan produk P (Gambar 6). Siklus ini dimulai dengan ikatan molekul A dan B pada

(27)

Gambar 6 Setiap reaksi katalis merupakan siklus tahap dasar, di mana mengikat molekul reaktan ke katalis, bereaksi, dan setelah produk terlepas dari katalis keduanya bebas untuk siklus berikutnya.

Untuk melihat bagaimana katalis mempercepat reaksi, perlu dilihat diagram energi potensial pada Gambar 7 yang membandingkan reaksi non-katalis dan reaksi katalis. Untuk reaksi non-katalis, jumlah tersebut adalah mekanisme yang umum untuk memvisualisasikan persamaan Arrhenius: hasil reaksi ketika A dan B bertumbukan dengan energi yang cukup untuk mengatasi hambatan aktivasi pada gambar 7. Perubahan energi bebas Gibbs antara reaktan A + B dan produk P

adalan ∆G.

Reaksi katalis dimulai dengan ikatan reaktan A dan B pada katalis dalam reaksi spontan. Oleh karena itu, pembentukan kompleks ini adalah eksotermik, dan energi bebas diturunkan. Selanjutnya mengikuti reaksi antara A dan B, sementara keduanya terikat pada katalis. Tahap ini terkait dengan energi aktivasi, namun secara signifikan lebih rendah daripada untuk reaksi tanpa katalis. Akhirnya, produk P terpisah dari katalis pada tahap endotermik.

(28)

Diagram energi Gambar 7 menggambarkan beberapa poin penting:

Katalis menawarkan jalan alternatif untuk reaksi yang lebih kompleks, sangat aktif tapi jauh lebih menguntungkan.

Energi aktivasi reaksi katalis secara signifikan lebih kecil daripada reaksi tanpa katalis, sehingga laju reaksi katalis lebih jauh.

Perubahan energi bebas secara keseluruhan untuk reaksi katalis sama dengan reaksi tanpa katalis. Oleh karena itu, katalis tidak mempengaruhi tetapan kesetimbangan untuk reaksi keseluruhan A + B ke P.

Katalis mempercepat reaksi baik maju dan sebaliknya pada tingkat yang sama. Dengan kata lain, jika katalis mempercepat pembentukan produk P dari A dan B, maka hal yang sama terjadi untuk dekomposisi P menjadi A dan B.

(Chorkendorff 2003).

Beberapa bahan yang digunakan dalam penyusunan katalis industri terbagi dalam tiga unsur utama: agen katalis aktif, pendukung dan promotor.

Agen katalis aktif merupakan konstituen yang terutama bertanggung jawab untuk fungsi katalitis termasuk logam, semikonduktor dan isolator. Jenis konduktivitas listrik (terutama untuk kenyamanan) mengklasifikasikan komponen aktif. Baik konduktivitas listrik dan sifat katalis tergantung pada konfigurasi elektronik atom, meskipun tidak saling berhubungan.

Pendukung atau pembawa adalah bahan yang sering digunakan sebagai

pendukung katalis padat berpori dengan area permukaan keseluruhan (eksternal dan internal) menyediakan luas permukaan yang tinggi untuk komponen aktif.

Pendukung juga memberikan bentuk dan kekuatan mekanis untuk katalis dan dalam beberapa kasus hal itu mempengaruhi aktivitas katalis.

Promotor merupakan penambahan senyawa untuk meningkatkan fungsi fisika atau kimia katalis. Meskipun promotor ditambahkan dalam jumlah yang relatif kecil seringkali dipilih untuk menentukan sifat katalis. Promotor mungkin dimasukkan ke dalam katalis selama setiap tahapan dalam pengolahan kimia unsur katalis. Dalam beberapa kasus, promotor ditambahkan selama reaksi.

(29)

secara luas digunakan termasuk alumina, silica gel, karbon aktif, zeolit, silikon karbida, titania, magnesia, dan berbagai silikat.

Kebanyakan katalis, dimana logam merupakan komponen aktif yang didukung katalis karena persyaratan utamanya adalah penggunaan area permukaan logam besar. Contoh katalis pendukung adalah karbon aktif didukung Pt dan Pd, dan Ni dalam alumina.

Katalis industri diproduksi melalui beberapa metode yang melibatkan satu atau lebih tahapan proses seperti pengendapan, pencucian, proses mengapur, peresapan, pencucian, dan pembentukan fusi termal.

Rangka katalis terdiri dari kerangka logam yang tersisa setelah dikurangi komponen campuran logam mulia setelah dihilangkan melalui penyucian dengan basa atau asam. Kerangka logam secara eksklusif masuk ke grup IB dan VIIB dari tabel periodik (Fe, Co, Ni, Cu, dan Ag), sedangkan Al, Zn, Si, dan Mg adalah komponen campuran logam paling sering digunakan. Campuran logam disusun oleh fusi komponen dalam proporsi yang tepat. Raney mempeloporkan pengembangan rangka katalis. Katalis Ni dan Co digunakan secara luas, yang

sangat aktif untuk reaksi hidrogenasi. Katalis dibuat dari campuran logam nikel-aluminium dengan pencucian hampir semua nikel-aluminium dengan larutan asam kuat memisahkan katalis nikel berpori. Pelucutan campuran logam 50-50 dengan

20-30% larutan natrium hidroksida memberikan katalis Ni yang sangat aktif yang mengandung 90-97% Ni, 4 - 8% logam Al, 0,3 - 0,5% aluminium oksida, dan 1-2% hidrogen terlarut dalam kerangka (Wijngaarden 1998).

Dalam industri, penekanan utama pada pengembangan sebuah katalis aktif, selektif, stabil dan kuat secara mekanis. Untuk mencapai hal ini, dibutuhkan alat yang mengidentifikasi sifat struktural yang efisien membedakan dari katalis yang kurang efisien. Hubungan empiris antara faktor-faktor yang mengatur komposisi katalis (misalnya ukuran partikel dan bentuk, dan dimensi pori) dan ini

menentukan kinerja katalis yang sangat berguna dalam pengembangan katalis, walaupun tidak selalu memberikan wawasan mendasar tentang bagaimana katalis beroperasi pada tingkat molekuler .

(30)

beberapa jenis eksitasi (dalam anak panah pada Gambar 8) dimana respon katalis (dilambangkan dengan panah keluar). Misalnya, penyinaran katalis dengan foton sinar-X menghasilkan foto elektron, pada spektroskopi foto elektron sinar-X (XPS) merupakan salah satu alat karakterisasi yang paling berguna.

Gambar 8 Teknik karakterisasi katalis: lingkaran merupakan sampel yang diteliti, tanda panah menunjukkan proses eksitasi, dan panah keluar menunjukkan bagaimana informasi harus diekstrak (Chorkendorff 2003).

Hidrotermal

Rogers (1966) menyatakan bahwa hidrotermal adalah proses yang melibatkan air panas atau cairan panas lainnya yang mudah menguap karena adanya hubungan dengan sebuah sumber panas. Endapan hidrotermal adalah endapan yang terbentuk karena pengendapan mineral-mineral dari air panas atau cairan-cairan lainnya secara komparatif (Suparman 2010).

(31)

Karbonisasi Hidrotermal Bahan Karbon

Proses karbonisasi hidrotermal (HTC) untuk sintesis bahan karbon fungsional dari biomassa telah dipelajari secara intensif. Biasanya, biomassa yang digunakan untuk proses ini meliputi bahan tanaman mentah dan karbohidrat. Bahan tanaman mentah secara langsung diperoleh dari residu pertanian dan kayu, sedangkan karbohidrat biasanya termasuk gula, pati, hemiselulosa, dan selulosa.

Eksperimen menggunakan produk tertentu yang mengandung selulosa, hemiselulosa, sampai lignin, dan lebih kecil jumlah polimer polar sebagai bahan awal. Setelah senyawa biomassa dipanaskan dalam autoclave yang disegel dalam asam sitrat pada suhu 200 ◦C selama 16 jam, maka diperoleh dua jenis bahan karbon.

Jaringan "Soft" tanaman tanpa diperpanjang suatu rangka kristal selulosa menghasilkan karbon nanopartikel berbentuk bola dengan ukuran yang sangat kecil. Di samping itu, menarik untuk dicatat bahwa permukaan nanopartikel karbon sangat hidrofilik dan mudah didispersikan air karena penguraian bagian komponen lain dalam biomassa.

Gambar 9 Skema ilustrasi sintesis bahan karbon fungsional dari biomassa dan karbohidrat melalui proses karbonisasi hidrotermal (HTC). Bahan karbon fungsional dapat disintesis secara langsung atau dibantu katalis/template.

Jaringan "Hard" tanaman dengan struktur rangka kristal selulosa walaupun

(32)

makro dan mikro diakibatkan oleh hilangnya massa yang cukup besar. Munculnya perubahan struktur yang signifikan pada skala nanometer menghasilkan spons, mengakibatkan jaringan karbon berikutnya dengan struktur mesopori.

Mekanisme karbonisasi hidrotermal dengan menggunakan bahan biomassa ditunjukkan melalui skema berikut:

Gambar 10 Karbonisasi hidrotermal (Beccile 2008).

Penting untuk memperoleh pemahaman tentang mekanisme katalisis dalam proses HTC selama pembentukan bahan karbon dan modifikasi permukaan terkait. Yu et al (2004) melaporkan bahwa karbonisasi hidrotermal pati dapat secara efektif dipercepat dengan adanya ion logam yang juga mengarahkan

sintesis terhadap nanoarsitektur berbagai logam-karbon. Selain itu, kehadiran [Fe(NH4)2(SO4)2] efektif dapat mengkatalisis karbonisasi butiran beras mentah dalam proses HTC.

Konversi hidrotermal (250-350 °C) dari glukosa diselidiki menggunakan reaktor sejumlah kapiler kuarsa. Kinetika penguraian glukosa secara keseluruhan umumnya ditentukan dan disesuaikan dengan data literatur. Perhatian telah ditujukkan untuk memulai penguraian glukosa dimana produk peluruhan glukosa primer diidentifikasi dari literatur dan digunakan dalam eksperimen.

(33)

setelah waktu ini. Ditemukan bahwa produk air terjadi terutama di selang waktu 5 menit pertama, yang konstan (3 mol/mol glukosa) dan tidak terpengaruh oleh suhu atau konsentrasi glukosa. Hasil produk minyak disebut air-aseton larut (WSS) menunjukkan hasil maksimum dalam selang waktu kurang lebih 5 menit. Setelah 5 menit berkurang dalam rangka gas dan char, yang dinamakan air-aseton tidak larut (WSIS). Namun, kuantitas tertentu dari WSS stabil bahkan setelah selang waktu 10 hari. Komposisi unsur dari WSS dan WSIS ditemukan sangat mirip menunjukkan bahwa keduanya sebenarnya adalah produk yang sama dimana difraksinasi dengan metode pemisahan sesuai dengan kelarutan dalam aseton. Komposisi gas, WSS, dan WSIS digunakan sebagai dasar untuk estimasi dari

entalpi reaksi secara keseluruhan, dengan perhitungan ΔHr = 1,5 ± 0,5 MJ/kg.

Ditemukan bahwa konsentrasi glukosa yang lebih tinggi menghasilkan lebih banyak WSIS dan WSS kurang, sedangkan hasil gas dan air tidak berubah. Semua temuan itu dimasukkan ke dalam satu jalur reaksi rekayasa dan model kinetik dekomposisi hidrotermal glukosa (Knezevic 2009).

Sifat Listrik

Arus listrik pada kawat didefinisikan sebagai jumlah total muatan yang melewatinya per satuan waktu pada suatu titik. Dengan demikian, arus rata-rata I

didefinisikan sebagai:

(1)

Dimana ΔQ adalah jumlah muatan yang melewati konduktor pada suatu lokasi

selama jangka waktu Δt. Arus listrik diukur dalam coulomb per detik dengan

nama khusus ampere yang disingkat amp atau A.

Untuk menghasilkan arus listrik pada rangkaian dibutuhkan beda potensial. Melalui eksperimen bahwa arus pada kawat logam sebanding dengan beda

potensial V yang diberikan yaitu I ∞ V.

(34)

makin besar arus. Demikian pula beda potensial listrik yang lebih besar, atau tegangan menyebabkan aliran arus listrik menjadi lebih besar.

Tepatnya besar aliran arus pada kawat tidak hanya bergantung pada tegangan, tetapi juga pada hambatan yang diberikan kawat terhadap aliran elektron. Dinding-dinding pipa, atau tepian sungai dan batu-batu ditengahnya memberikan hambatan terhadap aliran arus. Dengan cara yang sama, elektron-elektron diperlambat karena adanya interaksi dengan atom-atom kawat. Makin tinggi hambatan ini, makin kecil arus untuk suatu tegangan V sehingga arus berbanding terbalik dengan hambatan yaitu:

(2)

Dimana R adalah hambatan kawat atau suatu alat lainnya, V adalah beda potensial dan I adalah arus yang mengalir. Hubungan di atas sering dituliskan:

(3)

Persamaan tersebut dikenal sebagai hukum Ohm. Hukum Ohm menyatakan bahwa arus yang melalui konduktor logam sebanding dengan tegangan yang

diberikan, I∞V. Sehingga R konstan, tidak bergantung V untuk konduktor logam.

Tetapi hubungan ini tidak berlaku umum untuk bahan dan alat lain seperti dioda,

tabung hampa udara, transistor dan sebagainya. Dengan demikian “hukum Ohm”

bukan merupakan hukum dasar, tetapi lebih berupa deskripsi mengenai kelas bahan (konduktor logam) tertentu. Bahan atau alat yang tidak mengikuti hukum Ohm dikatakan nonohmik. Hambatan didefinisikan oleh:

(4)

Dimana R adalah hambatan dengan satuan Ohm dan disingkat Ω (Giancoli 2001).

Konduktivitas listrik (σ) bahan superionik adalah kontribusi jumlah

muatan ion pada bahan dan ditulis :

(5)

dimana ni adalah konsentrasi pembawa muatan dengan muatan Zi dan mobilitas µi. Konduktivitas ionik sebagai fungsi suhu dapat didekati dengan model

Arrhenius yaitu :

(35)

dimana σο, k, T, Ea adalah konstanta eksponen, konstanta Boltzman, suhu (Kelvin) dan energi aktivasi. Konduktivitas ionik suatu bahan ditentukan oleh struktur kristalnya, misalnya bahan dengan konduktivitas tinggi mempunyai tipe struktur dengan tumpukan atom tidak padat, sehingga mempunyai jaringan untuk dilewati ion yang bergerak.

Persamaan konduktivitas :

(7)

menghubungkan antara kerapatan arus (J) dan medan listrik (ε) dimana σ adalah konduktivitas, kebalikan dari resistivitas (ρ). Misalnya arus I pada sebuah sampel bahan ionik dengan penampang tetap A (m2) dan panjang L (m) dan diberi

tegangan V pada bahan yang diukur.

Kerapatan arus (J) adalah I/A (Ampere/m2), dan medan listrik (ε) adalah V/L

(V/m) persamaan 7, direduksi menjadi:

(8)

Tahanan R dari bahan diberikan sebagai R= V/I maka :

(9)

atau

(10)

Konduktansi, G = 1/R; resistivitas, ρ = 1/σ, maka persamaan 10 ditulis :

(11)

satuannya adalah Ω−1m-1 atau Siemen/m (Purwanto 2007).

Kapasitor dan Bahan Dielektrik.

(36)

daya, sehingga dapat digunakan pada kalkulator atau radio ketika baterai tidak dapat digunakan.

Kapasitor yang biasa digunakan adalah kapasitor keping sejajar yang menggunakan dua keping konduktor sejajar. Ketika keping-keping terhubung pada piranti yang bermuatan, contohnya baterai seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11. Muatan dipindahkan dari satu konduktor ke konduktor lainnya sampai perbedaan potensial antara konduktor-konduktor, akibat muatan-muatan yang sama dan berlawanan tanda yang dimiliki konduktor-konduktor tersebut, sama dengan beda potensial antara ujung-ujung baterai. Jumlah muatan pada keping bergantung pada perbedaan potensial dan pada geometri dari kapasitor, contohnya pada luas dan jarak antarkeping pada kapasitor keping sejajar. Misalkan Q adalah besar muatan pada tiap keping dan V adalah perbedaan potensial antara keping-keping. Rasio Q/V disebut kapasitansi C:

C = Q/V (12)

Kapasitansi adalah suatu ukuran dari “kapasitas” penyimpanan muatan untuk

suatu perbedaan potensial tertentu.

Gambar 11 Suatu kapasitor terdiri dari dua keping konduktor sejajar yang terpisah. Ketika konduktor-konduktor dihubungkan pada ujung-ujung suatu baterai, baterai memindahkan muatan dari satu konduktor ke konduktor lainnya sampai perbedaan potensial antara ujung-ujung konduktor sama dengan perbedaan potensial antara ujung-ujung baterai. Jumlah muatan yang dipindahkan sebanding dengan perbedaan potensial.

(37)

Gambar 12 (a) Garis-garis medan listrik antara keping-keping suatu kapasitor keping sejajar yang terpisah pada jarak yang sama menunjukkan bahwa medan listrik bersifat seragam. (b) garis-garis medan listrik antara keping-keping suatu kapasitor keping sejajar ditunjukkan oleh semburan minyak.

Misalkan suatu kapasitor keping sejajar terdiri dari dua keping yang sama luasnya A dan terpisah dengan jarak s. Harga s lebih kecil dibanding panjang dan lebar keping. Diberikan muatan +Q pada satu keping dan –Q pada keping lainnya. Karena keping-keping ini berdekatan, medan listrik pada suatu titik diantara keping (tidak termasuk titik-titik di dekat ujung keping) mendekati besar medan yang diakibatkan oleh dua bidang tak berhingga yang sejajar tetapi muatannya berlawanan. Tiap bidang memberikan medan listrik seragam sebesar σ/2ε0, sehingga total medan diantara keping adalah E = σ/ε0, dimana σ = Q/A adalah muatan persatuan luas pada tiap bidang. Oleh karena medan listrik antara bidang-bidang kapasitor bersifat seragam (Gambar 12), perbedaan potensial antara bidang-bidang sama dengan medan dikali jarak pemisah s:

(13)

Dengan demikian kapasitansi dari kapasitor keping sejajar adalah

(14)

(38)

berbanding terbalik dengan jarak pemisah. Secara umum, kapasitansi bergantung pada ukuran, bentuk, dan pengaturan geometri dari konduktor-konduktor. Karena kapasitansi dinyatakan dengan Farad dan A/s dalam meter, maka satuan SI untuk permisivitas ruang hampa (ε0) juga dapat ditulis sebagai Farad per meter sesuai dengan persamaan 14:

ε0 = 8,85 x 10-12 F/m = 8,85 pF/m (15)

(Tipler 2001).

Sebagian besar kapasitor memiliki lembar isolator yang disebut dielektrikum yang diletakan diantara pelat-pelatnya. Hal ini dilakukan untuk beberapa tujuan. Pertama, karena tegangan yang lebih tinggi dapat diberikan tanpa adanya muatan yang melewati ruang antar pelat, walaupun tidak secepat udara, dielektrikum terputus (muatan tiba-tiba mulai mengalir melaluinya ketika tegangan cukup tinggi). Disamping itu dielektrikum memungkinkan pelat diletakan lebih dekat satu sama lain tanpa bersentuhan, sehingga memungkinkan naiknya kapasitansi karena jarak d lebih kecil. Secara eksperimental ditemukan bahwa jika dielektrikum memenuhi ruang antara kedua konduktor tersebut,

kapasitor akan naik sebesar faktor K yang dikenal sebagai konstanta dielektrikum (Giancoli 2001).

Berbeda dari konduktor, material dielektrik tidak memiliki elektron bebas

yang dapat bergerak dengan mudah didalam material; elektron dalam dielektrik merupakan elektron terikat. Dibawah pengaruh medan listrik, pada suhu kamar, pergerakan elektron hampir tidak terdeteksi. Namun pada temperatur tinggi aliran arus bisa terdeteksi jika diberikan medan listrik pada dielektrik. Arus ini bukan saja ditimbulkan oleh elektron yang bergerak tetapi juga oleh pergerakan ion dan pergerakan molekul polar yaitu molekul yang membentuk dipole. Dalam kaitan ini, suatu teknik yang disebut thermostimulated current merupakan salah satu teknik untuk mempelajari perilaku dielektrik.

(39)

Permitivitas relatif suatu dielektrik disebut juga konstanta dielektrik (εr) yang didefinisikan sebagai perbandingan antara permitivitas dielektrik (ε) dengan permitivitas ruang hampa (ε0).

(16)

Jika suatu dielektrik dengan permitivitas relatif εr disisipkan di antara elektroda kapasitor pelat paralel yang memiliki luas A dan berjarak d, maka kapasitansi pelat paralel yang semula (sebelum disisipi dielektrik) adalah:

(17)

Berubah menjadi

(18)

atau

(19)

Jadi penyisipan dielektrik pada kapasitor pelat paralel akan meningkatkan

kapasitansi sebesar εr kali (Sudirham 2010).

Struktur Kristal

Kristal merupakan susunan atom-atom yang teratur dalam ruang tiga dimensi. Keteraturan susunan tersebut terjadi karena harus terpenuhinya kondisi geometris, ketentuan ikatan atom, serta susunan yang rapat. Walaupun tidak mudah untuk menyatakan bagaimana atom tersusun dalam padatan, namun ada hal-hal yang bisa menjadi faktor penting yang menentukan terbentuknya polihedra koordinasi susunan atom-atom. Secara ideal, susunan polihedra koordinasi paling stabil adalah yang memungkinkan terjadinya energi per satuan volume yang minimum. Keadaan tersebut dicapai jika: kenetralan listrik terpenuhi, ikatan kovalen yang diskrit dan terarah terpenuhi, gaya tolak ion-ion menjadi minimal,

serta susunan atom serapat mungkin (Sudirham 2010).

Produk Elektroda

(40)

molekul air dan ion-ion air (H+ dan OH-) yang mempunyai peranan dalam reaksi elektrokimia.

Pada katode inert terjadi proses sebagai berikut:

1. Jika ion logam lebih muda direduksi daripada ion hidrogen, elektrolisis larutan air (dari) garam-garamnya akan mengakibatkan terbentuknya logam pada katode. Misalnya, jika suatu larutan air (dari) CuCl2, AgNO3, atau HgCl2 dielektrolisis akan terbentuk masing-masing Cu, Ag atau Hg.

2. Jika ion logam lebih sukar direduksi daripada ion hidrogen, elektrolisis larutan air (dari) garam-garamnya biasanya membebaskan gas hidrogen pada katode. Misalnya, jika NaCl, KCl atau MgCl2 dalam air dielektrolisis, hidrogen akan dibebaskan pada katode pada tiap kasus.

Pada Anode inert terjadi proses sebagai berikut:

1. Oksigen dibebaskan selama elektrolisis dari garam anion-oksi yang mengandung suatu unsur dengan keadaan oksidasi tinggi, misalnya, SO42- dan NO3-. Artinya, H2O lebih muda dioksidasi daripada anion semacam itu. Misalnya:

4AgNO3 + 2H2O 4Ag + O2 + 4HNO3

H2O O2 + 4H+ + 4e- (anode) 2. Anion seperti Cl-, Br- dan I- (tetapi tidak F-) lebih mudah dioksidasi daripada

air. Jadi akan dibebaskan halogen bebas. Misalnya, selama elektrolisis natrium klorida pekat. Dalam hal larutan encer, baik oksigen maupun klor akan terbentuk. Oleh karena potensial penguraian relatif untuk Cl- dan H2O berubah karena berkurangnya konsentrasi ion klorida.

(Keenan 1992).

Karakterisasi Material Nanostruktur

Scanning Elektron Microscopy (SEM)

(41)

akan memantulkan kembali berkas tersebut atau menghasilkan elektron sekunder ke segala arah. Tetapi ada satu arah dimana berkas dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Detektor di dalam SEM mendeteksi elektron yang dipantulkan dan menentukan lokasi berkas yang dipantulkan dengan intensitas tertingggi. Arah tersebut memberi informasi profil permukaan benda seperti seberapa landai dan kemana arah kemiringan.

Pada saat dilakukan pengamatan, lokasi permukaan benda yang ditembak dengan berkas elektron di scan ke seluruh area pengamatan. Lokasi pengamatan dapat dibatasi dengan melakukan zoom-in atau zoom-out.

Berdasarkan arah pantulan berkas pada berbagai titik pengamatan maka profil permukaan benda dapat dibangun mengggunakan program pengolahan gambar yang ada dalam komputer.

Gambar 13 Dalam SEM berkas elektron berenergi tinggi mengenai permukaan material. Elektron pantulan dan elektron sekunder dipancarkaan kembali dengan sudut yang bergantung pada profil permukaan material.

SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada mikroskop optik. Hal ini disebabkan panjang gelombang de Broglie yang dimiliki elektron lebih pendek

daripada gelombang optik. Makin kecil panjang gelombang yang digunakan makin tinggi resolusi mikroskop. Panjang gelombang de Broglie elektron adalah:

= h/p (20)

dengan h adalah konstanta Planck dan p adalah momentum elektron. Momentum elektron dapat ditentukan dari energi kinetik melalui hubungan:

(42)

dengan K energi kinetik elektron dan m adalah massanya. Dalam SEM, berkas elektron keluar dari filamen panas lalu dipercepat pada potensial tinggi V. Akibat percepatan tersebut, akhirnya elektron memiliki energi kinetik

K = eV (22)

Dengan menggunakan persamaan (21) dan (22) kita dapat menulis momentum elektron sebagai

(23)

dengan demikian panjang gelombang de Broglie yang dimiliki elektron adalah

(24)

Umumnya tegangan yang digunakan pada SEM adalah puluhan kilo Volt. Sebagai ilustrasi, misalnya SEM dioperasikan pada tegangan 20 kV maka panjang gelombang de Broglie elektron sekitar 9x10-12 m.

Syarat agar SEM dapat menghasilkan citra permukaan yang tajam adalah

permukaan benda harus bersifat sebagai pemantul elektron atau dapat melepaskan elektron sekunder ketika ditembak dengan berkas elektron. Material yang memiliki sifat demikian adalah logam. Jika permukaan logam diamati di bawah SEM maka profil permukaan akan tampak dengan jelas.

Agar profil permukaaan bukan logam dapat diamati secara jelas dengan SEM maka permukaan material tersebut harus dilapisi dengan logam seperti emas.

Film tipis logam dibuat pada permukaan material tersebut sehingga dapat memantulkan berkas elektron. Metode pelapisan yang umumnya dilakukan adalah evaporasi dan sputtering.

(43)

evaporasi. Agar proses ini dapat berlangsung efisien maka logam pelapis yang digunakan harus yang memiliki titik lebur rendah.

Prinsip kerja sputtering mirip dengan evaporasi. Namun sputtering dapat berlangsung pada suhu rendah (suhu kamar). Permukaan logam ditembak dengan ion gas berenergi tinggi hingga terpental keluar dari permukaan sampel, atom-atom logam tersebut membentuk fase padat dalam bentuk film tipis. Ketebalan lapisan dikontrol dengan mengatur lama waktu sputtering.

Pada saat pengukuran dengan SEM, lokasi di permukaan sampel tidak boleh terlalu lama dikenai berkas. Elektron yang berenergi tinggi pada berkas dapat mencabut atom-atom di permukaan sampel hingga permukaan tersebut akan rusak dengan cepat. Film tipis di permukaan sampel akan menguap dan kembali menjadi isolator. Akhirnya bayangan yang terekam tiba-tiba menjadi hitam (Abdullah 2009).

Difraksi Sinar-X (XRD).

Pada kristal sederhana seperti NaCl, atom tersusun dengan pola kubus yang teratur dan atom-atom berjarak d satu sama lain (Gambar 14).

Gambar 14 Difraksi sinar-X oleh kristal.

Seberkas sinar-X jatuh pada kristal dengan sudut φ terhadap permukaan, dan

kedua berkas yang ditunjukkan dipantulkan dari dua bidang atom setelahnya seperti digambarkan. Kedua berkas akan berinterferensi konstruktif jika jarak ekstra yang ditempuh berkas I lebih jauh sebesar kelipatan bilangan bulat dari panjang gelombang dibandingkan dengan yang ditempuh berkas II. Jarak ekstra

(44)

mλ = 2d sin φ, m = 1,2,3,..., (25) dimana m bisa merupakan bilangan bulat berapa saja dan φ bukan sudut terhadap

normal permukaan. Persamaan di atas dikenal dengan persamaan Bragg.

Dengan demikian, jika panjang gelombang sinar-X diketahui dan sudut φ dimana

interferensi konstruktif terjadi diukur, d bisa didapatkan.

Pola difraksi sinar-X yang sebenarnya sangat rumit. Pertama, kristal merupakan benda tiga dimensi dan sinar-X dapat didifraksikan dari bidang-bidang yang berbeda dengan sudut berbeda di dalam kristal. Walaupun analisisnya kompleks, banyak yang dapat dipelajari mengenai zat apa saja yang bisa dibuat dalam bentuk kristal. Jika zat tersebut bukan merupakan kristal tunggal tetapi campuran dari banyak kristal yang kecil seperti pada logam atau serbuk maka yang didapatkan bukan serangkaian bercak (Gambar 15) melainkan serangkaian lingkaran (Gambar 16). Setiap lingkaran berhubungan dengan orde m tertentu (persamaan 25) dari satu pasangan bidang paralel tertentu.

Gambar 15 Pola difraksi sinar-X pada kristal seng sulfida. Pola difraksi dideteksi langsung pada pelat potografis.

(45)

Ukuran kristalin ditentukan berdasarkan pelebaran puncak difraksi sinar-X yang muncul. Metode ini sebenarnya memprediksi ukuran kristal dalam material, bukan ukuran partikel. Jika satu partikel mengandung sejumlah kristal kecil (kristalin), seperti diilustrasikan pada Gambar 17(a), maka informasi yang diberikan metode Schrerrer adalah ukuran kristalin tersebut, bukan ukuran partikel. Untuk partikel berukuran nanometer, biasanya satu partikel hanya mengandung satu kristalin, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 17(b). Dengan demikian, ukuran kristalin yang diprediksi dengan metode Schreer juga merupakan ukuran partikel.

Gambar 17 (a) Satu partikel mengandung sejumlah kristalin dan (b) satu partikel hanya mengandung satu kristalin (kristal tunggal).

Kristal yang berukuran besar dengan satu orientasi menghasilkan puncak difraksi yang mendekati sebuah garis vertikal. Kristalin yang sangat kecil menghasilkan puncak difraksi yang sangat lebar. Lebar puncak difraksi tersebut memberikan informasi tentang ukuran kristalin.

Kristalin yang kecil menghasilkan puncak yang lebar karena kristalin yang kecil memiliki bidang pantul sinar-X yang terbatas. Puncak difraksi dihasilkan oleh interferensi secara konstruktif gelombang yang dipantulkan oleh bidang-bidang kristal. Di dalam interferensi gelombang didapatkan bahwa makin banyak

jumlah celah interferensi makin sempit ukuran garis frinji pada layar. Interferensi celah banyak dengan jumlah celah tak berhingga menghasilkan frinji yang sangat

(46)

Gambar 18 Makin lebar puncak difraksi sinar-X makin kecil ukuran kristalin. Ukuran kristalin yang menghasilkan pola difraksi pada gambar bawah lebih kecil daripada ukuran kristalin yang menghasilkan pola difraksi atas.

Hubungan antara ukuran kristalin dengan lebar puncak difraksi sinar-X dapat diproksimasi dengan persamaan Schreer:

(26)

dengan D adalah ukuran (diameter) kristalin, adalah panjang gelombang sinar-X

(47)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober 2010 hingga bulan Juni 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biofisika Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor (IPB), Balitbang Kehutanan Republik Indonesia Kota Bogor, BATAN Serpong, dan Balai Inkubator Teknologi BPPT Serpong.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, spatula, pipet, lempung dan mortar, gelas pirex, labu takar, magnetik stirrer, tanur (furnace) dan keramik, mikrometer digital, pemanas (heat plate), kaca konduktif

ITO dan penjepit, plat seng, resistor 1kΩ, multieter, lampu visible, kertas indikator

pH, penggaris, autoclave, cetakan dan alat tekan, I-V meter, HIOKI 3522-50 LCR HiTESTER, XRD, SEM, Particle Size Analizer (PSA) tipe Beckman Coulter. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati singkong sebagai sumber karbon, bubuk ferrocene sebagai katalis (0,8 gram, 1,6 gram dan 2,4 gram), air bidestilasi, akuades, Polyetilene Glicol (PEG), dan bubuk NH4Cl.

Sampel

Sampel yang disintesis sebanyak 4 buah sampel, dimana setiap sampel diberikan label berdasarkan perlakuan katalis yang diberikan terhadap sampel. Berbagai label sampel tersebut antara lain:

1. Sampel C23 adalah sampel hasil sintesis karbonisasi hidrotermal dimana pada bahan pati singkong 10% berat tidak diberikan penambahan katalis ferrocene sebelum mengalami proses hidrotermal.

(48)

3. Sampel C251 adalah sampel hasil sintesis karbonisasi hidrotermal dimana pada bahan pati singkong 10% berat diberikan penambahan katalis ferrocene sebanyak 1,6 gram (10 mmol) sebelum mengalami proses hidrotermal.

4. Sampel C261 adalah sampel hasil sintesis karbonisasi hidrotermal dimana pada bahan pati singkong 10% berat diberikan penambahan katalis ferrocene sebanyak 2,4 gram (15 mmol) sebelum mengalami proses hidrotermal.

Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi berberapa tahap antara lain persiapan literatur yang mendukung topik penelitian, pembuatan proposal, persiapan alat dan bahan yang akan digunakan; pencampuaran 10% berat pati singkong dengan penambahan katalis ferrocene (Fe(C5H5)2) sebanyak 0,8 gram, 1,6 gram dan 2,4 gram untuk masing-masing 10% berat pati singkong tersebut menggunakan magnetik stirrer dengan kecepatan 450 rpm selama 160 menit; penentuan kondisi pH bahan menggunakan kertas indikator pH.

Tahap sintesis karbonisasi hidrotermal dengan suhu 120 oC dan tekanan

1,5 psi selama 24 jam; tahap pengeringan sampel dalam furnace dengan suhu maksimum 200 oC selama 12 jam dimana kenaikan suhu 5,9o/menit kemudian suhu dinaikan lagi menjadi 300oC selama 12 jam dimana kenaikan suhu

(49)

Gambar 19 Diagram alir tahapan penelitian

Persiapan Reaktor

Reaktor yang digunakan berupa autoclave lengkap dengan alat pengukur suhu dan tekanan. Autoclave yang digunakan berupa Thermostat Model 25X All-American Pressure Sterilizer. Sebelum digunakan, autoclave diisi air akuades

Pencampuran Bahan dengan Magnetik

Stirrer

Pembuatan Pelet Karbon Persiapan

Reaktor

Persiapan Alat dan Bahan

Sintesis Karbon dengan Metode Hidrotermal

Anealling 200 oC selama 12 jam dan 300 oC

selama 12 jam

Karakterisasi menggunakan XRD, SEM, LCR Meter, & PSA

Pengolahan Data

Penyusunan Tesis Pembuatan Bubuk

Karbon

(50)

dengan ketinggian air dari dasar autoclave adalah 4 cm. Katup udara pada bagian penutup autoclave ditutup agar udara yang ada dalam autoclave tidak keluar sehingga suhunya dapat dipertahankan. Suhu yang digunakan selama proses sintesis adalah 120 oC dengan tekanan 15 psi. Susunan alat tersebut dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20 Set Up proses sintesis hidroternal

Pencampuran bahan dengan magnetic stirrer

Tahap pencampuran dengan magnetic stirrer dilakukan dengan menyiapkan bahan-bahan seperti pati singkong, bubuk ferrocene, air bidestilasi, gelas pirex, labu takar, dan magnetic.

Tahap pertama adalah memasukan 10 gram pati singkong ke dalam gelas pirex dan ditambahkan air bidestilasi dengan volume 50 ml, selanjutnya diaduk 450 rpm selama 45 menit pada suhu ruang. Bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu takar dan ditambahkan air bidestilasi menggunakan pipet hingga mencapai 10% berat. Selanjutnya diaduk 450 rpm selama 35 menit pada suhu

(51)

Tahap kedua adalah penambahan katalis ferrocene pada bahan pati singkong 10% berat. Mula-mula bahan pati singkong 10% berat dimasukkan ke dalam gelas pirex dan ditambahkan katalis berupa bubuk ferrocen. Sampel pertama dilakukan penambahan bubuk ferrocen sebanyak 0,8 gram (5 mmol) pada bahan pati singkong 10% berat, sampel kedua dengan penambahan bubuk ferrocen 1,6 gram (10 mmol) pada bahan pati singkong 10% berat dan sampel ke tiga dengan penambahan bubuk ferrocene 2,4 gram (15 mmol) pada bahan pati singkong 10% berat. Kemudian bahan diaduk 450 rpm selama 90 menit pada suhu ruang untuk masing-masing sampel. Tahap berikutnya dilakukan pengukuran pH dimana masing-masing sampel mempunyai pH = 5. Hal ini menunjukkan bahwa sampel dalam kondisi asam. Selanjutnya sampel dipersiapkan ke tahap karbonisasi hidrotermal.

Karbonisasi Hidrotermal

Sampel yang telah melalui proses pencampuran dengan magnetic stirrer dimasukan ke dalam autoclave dan dikunci rapat sehingga tidak ada udara yang masuk dan ke luar dari autoclave tersebut. Suhu dalam autoclave selanjutnya dinaikkan hingga jarum pada pengukur suhu dan tekanan menunjukkan 120 oC dan 15 psi. Kondisi sampel dalam autoclave dipertahankan pada suhu tersebut selama 24 jam. Setelah mencapai waktu 24 jam maka suhu dalam autoclave diturunkan hingga mencapai suhu ruang agar sampel dapat dikeluarkan dari autoclave. Tahap selanjutnya adalah pengeringan dengan menggunakan furnace. Endapan sampel yang terbentuk dalam autoclave disimpan ke dalam cawan dan dimasukkan ke dalam furnace. Suhu furnace dilakukan optimasi sebagai berikut: tahap pertama suhu dinaikan dari suhu Tawal = 32 oC hingga mencapai Takhir = 200 o

C dengan tingkat kenaikan suhu 5,9o per menit dan di anealling selama 12 jam; tahap ke dua suhu dinaikan lagi dari suhu Tawal = 32 oC hingga mencapai Takhir = 300 oC dengan tingkat kenaikan suhu 9,22o per menit dan di anealling selama 12 jam. Selanjutnya mengeluarkan sampel dalam furnace pada saat suhu dalam furnace kembali ke suhu awal.

(52)

dengan mortar hingga terbentuk bubuk halus. Selanjutnya bubuk dibentuk pelet dimana bubuk karbon dimasukan ke dalam cetakan dan dipres dengan menggunakan alat tekan dengan tekanan 20 Mpa selama 30 menit untuk masing-masing sampel.

Gambar 21 Bubuk karbon : sampel C23 (a), sampel C241 (b), sampel C251 (c), sampel C261 (d).

Gambar 22 Pembuatan pelet karbon sampel C23, C241, C251, C261

(53)

Karakterisasi Hasil Karbonisasi Hidrotermal

Karakterisasi yang dilakukan terhadap karbon sampel C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261 antara lain sebagai berikut:

Karakterisasi menggunakan XRD dilakukan untuk menentukan struktur material dan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan serta tingkat kristalinitas sampel.

Karakterisasi menggunakan SEM dilakukan untuk menggambarkan profil permukaan dan ukuran diameter sampel. Sebelum sampel d scan maka pada sampel dilakukan pelapisan dengan logam konduktif supaya diperoleh gambar profil permukaan yang jelas.

Karakterisasi dengan I-V meter untuk mengetahui karakteristik Arus-Tegangan (I-V). Karakterisasi dilakukan dengan memberikan perlakuan pada sampel berupa cahaya lampu (terang) dan tanpa cahaya lampu (gelap) pada saat pengukuran. Pada proses pengukuran, sampel diletakan diantara dua buah elektroda konduktif kaca ITO dengan menggunakan penjepit.

Gambar 24 Pengukuran I-V sampel pada kondisi terang

Karakterisasi menggunakan HIOKI 3522-50 LCR HiTESTER untuk menentukan konduktivitas dan sifat dielektrik (kapasitansi dan konstanta dielektrik). Pada proses ini, sampel diberi dua tipe perlakuan. Tipe pertama, pengukuran konduktansi dan kapasitansi dengan mengubah frekuensi; sedangkan tipe kedua, pengukuran konduktansi dan kapasitansi dengan mengubah suhu sampel dimana sampel yang diukur diletakan di atas pemanas (hot plate) sehingga pengaturan terhadap suhu sampel dapat dilakukan. Pada prose pengukuran,

(54)

menggunakan penjepit. Setelah mengukur konduktansi dan kapasitansi terhadap frekuensi dan suhu, selanjutnya dihitung konduktivitas dan konstanta dielektrik.

Karakterisasi menggunakan PSA tipe Beckman Coulter untuk menentukan ukuran partikel sampel C23, sampel C241, sampel C251, dan sampel C261.

Uji Elektroda Karbon

Pengujian elektroda karbon dilakukan melalui tahap sebagai berikut: Tahap pertama adalah pembuatan elektrolit. Pada tahap ini direaksikan 10 gram PEG dan 0,5 gram NH4Cl ke dalam 10 mL air bidestilasi. Larutan kemudian diaduk 450 rpm selama 195 menit pada suhu kamar. Tahap kedua adalah penyusunan rangkaian dimana elektrolit diletakan diantara plat seng dan karbon

yang telah dibuat pelet. Selanjutnya dihubungkan dengan hambatan 1 kΩ dan

diukur tegangan rangkaian pada hambatan tersebut. Proses pengujian elektroda tersebut dapat dilihat pada Gambar 25.

(55)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

Hasil karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan disamping menentukan tingkat kristalinitas dari material yang dihasilkan. Berdasarkan analisa yang dilakukan nampak bahwa sudut difraksi karbon terdapat pada sudut 2θ sebagai berikutμ untuk karbonisasi pati singkong tanpa penambahan katalis, puncak difraksi pada

sudut 2θ = 25,5450o

sedangkan untuk karbonisasi hidrotermal pada pati singkong

dengan penambahan katalis 0,8 gram, sudut difraksi adalah pada sudut 2θ =

26,4236o; untuk karbonisasi hidrotermal dengan penambahan katalis 1,6 gram,

sudut difraksi adalah pada sudut 2θ = 25,λ643o

; dan untuk karbonisasi dengan

penambahan katalis 2,4 gram, sudut difraksi adalah pada sudut 2θ = 25,6149o (Lampiran 2). Kehadiran unsur karbon tersebut ditentukan berdasarkan kesesuaian data XRD dengan data yang dinyatakan oleh International Centre for Diffraction Data (ICDD) (Lampiran 3).

Gambar 26 Pola difraksi pada karbonisasi hidrotermal pati singkong. sampel C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261

(56)

Tabel 1 Ukuran Kristal Sampel C23, C241, C251, dan C261.

Sampel 2θ

(deg)

Cos θ

(rad)

FWHM

(rad) (nm) k

D = k /Bcosθ

(nm)

C23 25,5450 0,975280556 0 0,15406 0,9 0

C241 26,4236 0,973558564 0 0,15406 0,9 0

C251 25,9643 0,974465897 0,0181422 0,15406 0,9 7,843

C261 25,6149 0,975145653 0,0036633 0,15406 0,9 38,814

Hasil analisa XRD menunjukkan adanya tingkat kristalinitas yang berbeda dari masing-masing sampel yang dihasilkan dengan perbedaan jumlah katalis yang digunakan. Tingkat kristalinitas sampel C23, C241, C251, C261 berturut-turut adalah 30,01%, 40,23%, 42,56%, dan 23,94%. Tingkat kristalinitas sampel yang lebih rendah menunjukkan sampel semakin amorf yang berarti daerah ruang kosong semakin besar sehingga transport proton semakin mudah (Handayani 2008) dan mempunyai jaringan untuk dilewati ion yang bergerak (Purwanto 2007). Selain itu, spektrum XRD juga menunjukkan bahwa dengan penambahan katalis ferrocene nampak adanya penurunan tingkat intensitas pada pembentukan puncak difraksi dengan makin bertambahnya jumlah katalis yang digunakan.

Morfologi Karbon

Profil permukaan sampel diperoleh melalui pengujian scanning elektron mikroscopy (SEM). Sampel dilakukan pelapisan dengan logam konduktif (emas). Hal ini dilakukan agar SEM dapat menghasilkan citra permukaan yang tajam sehingga profil permukaan dapat diamati dengan jelas. Berikut adalah foto SEM pada sampel hasil karbonisasi hidrotermal tanpa penggunaan katalis (Gambar 27) dengan perbesaran 60.000 kali. Pada foto SEM menunjukkan bar skala yang

panjangnya 0,2 m. Pengukuran yang dilakukan menggunakan penggaris

menunjukkan panjang bar tersebut adalah 1,25 cm maka 1,25 cm pada gambar

yang bersesuaian dengan panjang 0,2 m ukuran sebenarnya. Pengukuran

diameter partikel pada gambar sampel C23 dengan menggunakan penggaris adalah

3 cm maka diameter riil partikel tersebut adalah (3 cm/1,25 cm) x 0,2 m = 480

(57)

Penggunaan katalis dalam proses karbonisasi hidrotermal juga mempengaruhi bentuk dan ukuran setiap sampel yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari foto SEM dengan perbesaran 60.000 kali yang menunjukkan adanya perbedaan profil permukaan yang signifikan pada setiap sampel. Sedangkan perbedaan ukuran diameter masing-masing sampel yakni sampel C23 mempunyai diameter 480 nm, sampel C251 mempunyai diameter 160 nm dan sampel C261 mempunyai diameter 200 nm

Gambar 27 Morfologi permukaan sampel C23. Perbesaran 60.000 kali

Foto SEM dengan penggunaan katalis ferrocene 0,8 gram profil sampel belum terlihat jelas sehingga sulit untuk mengidentifikasi ukuran sampel yang dihasilkan seperti pada Gambar 28.

(58)

Namun dengan penggunaan katalis ferrocene sebanyak 1,6 gram dan 2,4 gram dengan perbesaran foto SEM yang sama (60.000 kali) maka profil sampel menunjukkan terbentuknya struktur menyerupai tabung. Hal ini

Gambar

Gambar 2 Pati   (Keenan 1992)
Gambar 5 Isomaltosa; 6-O- (α-D-glukopiranosil)-D-glukopiranosa
Gambar 15  Pola difraksi sinar-X pada kristal seng sulfida. Pola difraksi dideteksi  langsung pada pelat potografis
Gambar  18  Makin  lebar  puncak  difraksi  sinar-X  makin  kecil  ukuran  kristalin.  Ukuran  kristalin  yang  menghasilkan  pola  difraksi  pada  gambar  bawah lebih kecil daripada ukuran kristalin yang menghasilkan pola  difraksi atas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengujian akurasi deteksi yang telah dilakukan, didapatkan hasil pada tabel 4.3 Hasil Pengujian Akurasi Deteksi dengan skenario manusia berhimpit dan menggunakan resolusi

Data akan diklasifikasikan berdasarkan bentuk-bentuk abreviasi, kemudian dideskripsikan pola yang terjadi pada proses pembentukan abreviasi dalam bahasa Sunda tersebut,

Konsep SQ Garden Street Child s ebagai upaya Penanaman Akhlakul Karimah pada Anak Jalanan di Kota Makassar yaitu didesain lebih unik dan menarik dengan mengutamakan

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui penerapan strategi Make a Match dapat meningkatkan keaktifan siswa kelas VIII dalam pembelajaran, serta dapat mengetahui

Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Keteladanan berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter religius siswa. Hal ini didasarkan

Oleh karena itu, kami Sekretaris PRO mendesain program training khusus untuk para corporate secretary dengan tujuan, memberikan skill dan pengetahuan yang sesuai

Uji coba sistem dan program dalam pembuatan website Pak Oles Jogja ini dilakukan dengan pengetesan fungsi dan logika yang telah diberikan pada masing-

Tugas akhir ini mengimplementasikan salah satu metode pengklasifikasi yang dapat digunakan untuk klasifikasi segmen vaskular retina yaitu Support Vector Machine dan menggunakan