• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Melani & Sofyan (2013) keluhan utama berupa benjolan dileher 89,4% kemudian hidung sumbat dan terapi yang paling banyak digunakan adalah kemoterapi 57,6%. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemberian kemoradioterapi konkuren memberikan hasil yang lebih baik daripada pemberian radioterapi tunggal pada karsinoma nasofaring stadium II, stadium lanjut lokal (locally advance) dan stadium lanjut (Chen et al. 2011; Lin et al. 2003).

Dengan pemberian kemoradioterapi konkuren pada karsinoma nasofaring memang diharapkan terjadi perbaikan gejala klinis sebagaimana yang dijumpai pada penelitian ini dimana perbaikan gejala klinis sebelum dan sesudah kemoraditerapi konkuren yang paling banyak ditemukan pada gejala hidung sumbat, tinnitus dan epistaksis.

Didukung oleh Cummings, Fredrickson & Harker (2005) mengatakan tanda yang paling sering ditemukan adalah benjolan pada leher (80%), umumnya bersifat bilateral, di mana kelenjar limfe yang terlibat paling sering adalah nodus limfe jugulodigastrik, atas dan tengah pada rantai servikal anterior. Mulyarjo (2002) menambahkan melalui aliran getah bening, sel-sel kanker dapat sampai ke kelenjar getah bening leher dan tertahan disana, karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung ke bagian tubuh yang lebih jauh. Pembesaran tampak sebagai benjolan pada leher samping (limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan (fixed). Limfadenopati servikal merupakan gejala utama yang membawa penderita datang ke dokter. Hal yang sama dalam pernyataan Roezin & Adham (2009) keluhan benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.

Harahap (2009) menambahkan pada 4768 penderita KNF, gejala yang dikeluhkan pada saat pertama datang adalah benjolan di leher (76%), gangguan hidung (73%), gangguan telinga (62%), sakit kepala (35%), penglihatan ganda (11%), rasa kebas di wajah (8%), penurunan berat badan (7%) dan trismus (3%).

Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL (Rasyid 2000). Pada penelitian menggunakan uji korelasi prospektif meneliti antara hemoglobin sebelum dan sesudah radioterapi dan didapatkan hasil yang signifikan (Holzner et al. 2002).

Gao et al. (2009) meneliti nilai hemoglobin sebelum, sesaat dan sesudah radioterapi pada 520 pasien karsinoma nasofaring yang mendapat radioterapi dan menyimpulkan nilai Hb sebelum radioterapi lebih baik dari saat radioterapi dan lebih baik dari sesudah radioterapi, seperti halnya dengan penelitian ini.

Penurunan kadar Hb pada penderita karsinoma nasofaring yang menjalani kemoradioterapi dikarenakan efek penekanan sumsum tulang akibat obat-obat kemoterapi, radioterapi, asupan makanan yang tidak mencukupi dan infiltrasi tumor pada tulang (Gao et al. 2009).

Berbeda dengan penelitian Puspasari (2010) penelitian yang bersifat observasional tidak didapatkan perbedaan yang bermakna, hal ini dapat disebabkan oleh karena derajat kemaknaan dari penelitian yang terlalu lemah p=0,056 yang mungkin disebabkan jumlah sampel yang didapat kurang. Didapatkan alasan lain yaitu pada data catatan medik ditemukan perubahan status gizi bila kadar hemoglobin menurun selama masa radioterapi, hal-hal yang dilakukan meliputi transfusi darah dan peningkatan asupan makanan. Tidak setiap catatan medik menjelaskan apa saja yang diberikan ke pasien ketika kadar hemoglobin pasien menurun, karena bila kadar hemoglobin pasien menurun <10, maka proses terapi radioterapi tidak dapat dilanjutkan dan harus ditunda sampai kadar hemoglobin >10 (Puspasari 2010).

Penelitian Baehaqi (2012) dengan desain penelitian observasional bahwa pasien yang terbanyak adalah kelompok pada skor karnofsky 70 sebanyak 10 orang. Harnoko et al. (2007) menambahkan tampilan klinis penderita kanker paru dalam skor karnofsky terbanyak adalah 70-80 (73,5%). Dalam pengelompokan tampilan klinis 70-80 pada skor Karnofsky sebanyak 14 (77,8%) pada kelompok megestrol asetat dan 11 (68,8%) kelompok kontrol. Melalui uji chi square tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok (p=0,302). Pasien pada skor karnofsky sebelum kemoradioterapi melakukan aktifitas yang terbatas setelah menjalani kemoradioterapi meningkat menjadi skor 80 sebanyak 35%. Walaupun ketahanan hidup yang lama merupakan tujuan utama kemoterapi, namun kualitas hidup juga merupakan pertimbangan yang penting dalam terapi (Kayl & Meyers 2006). Sesuai dengan penelitian ini skor karnofsky pada penderita KNF cenderung membaik.

Hasil penelitian Tjokroprawiro & Yusuf (2012) dari 123 pasien (77,4%) dengan ukuran tumor <4 cm sedangkan sisanya 36 pasien (22,6%) dengan ukuran tumor >4 cm. Disimpulkan tidak terdapat perbedaan dalam respon terapi yang didapat pada pasien dengan ukuran tumor >4 cm (16,7% respon lengkap) dengan <4 cm respon lengkap (33,3%) (p=0,062). Iskandar, Andrijono & Supriana (2008) menambahkan adanya kecenderungan kemungkinan terjadinya persistensi 2,3 kali pada kelompok radioterapi dibandingkan dengan yang mendapat kemoradioterapi. Hubungan antara jenis terapi dengan persistensi HPV ini menunjukkan tidak ada perbedaan antara yang mendapat kemoradioterapi dibanding dengan yang hanya mendapat radioterapi saja (p=0,09).

Hal ini diduga karena perkembangan tumor bergantung pada antara lain selisih tingkat proliferasi dengan tingkat apoptosis, sehingga semakin besar selisihnya, semakin besar pula pertumbuhan tumor. Ternyata penurunan tingkat ekspresi COX-2 menurunkan selisih tingkat proliferasi dan apoptosis, yang berarti mengurangi tingkat pertumbuhan tumor (Gandamihardja et al. 2010).

Pada awal perkembangan kanker kolon ekspresi COX-2 lebih sedikit (Sheehan et al. 1999). Perkembangan ukuran tumor meningkat memiliki hubungan dengan peningkatan COX-2. Hal ini disebabkan oleh semakin luas area inflamasi maka semakin banyak sel yang mengekspresikan COX-2 (Sinicrope & Gill 2004). Sesuai dengan penelitian ini ekspresi COX- 2 pada penderita KNF terdapat perbaikan klinis sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren. Ekspresi COX-2 sangat sedikit terdapat pada mukosa kolon, terekspresi 50% pada adenoma dan 80% pada karsinoma (William et al. 1999).

Widiastuti (2011) menyatakan bahwa tidak didapatkan perbedaan rerata ekspresi protein BCL-2, CD-44, COX-2 dan VEGF pada penderita KNF di nasofaring dan kelenjar getah bening di leher. Pada penelitian ini juga tidak didapatkan perbedaan bermakna ukuran kelenjar getah bening sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren secara statistik namun secara klinis terjadi perbaikan klinis bermakna sesudah kemoradioterapi konkuren dilihat dari distribusi tampilan ekspresi COX-2 positif kelompok N2-N3 menjadi N0-N1. Penelitian oleh Uchida et al. (2013) melaporkan sebanyak 24 pasien dengan metastasis yang melibatkan kelenjar getah bening menerima kemoterapi. Kejadian kambuh adalah 4 (16%) dengan kemoterapi dan 6 (5%) tanpa kemoterapi dari 116 pasien, dan antar kelompok tidak signifikan (p=0,06). Penjalaran ke getah bening merupakan faktor penyebab sulitnya menghentikan metastasis karsinoma nasofaring, karena sel kanker dapat bermigrasi/berpindah ke organ lain melalui getah bening. Penyebaran ke kelenjar ini tejadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan sub mukosa nasofaring. Penyebaran ke kelenjar getah bening biasanya berawal dari nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu nodus Rouvierre.

Menurut Bedwinek (1983) bila tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening leher (N0), biasanya tidak menunjukkan kekambuhan setelah radioterapi. Kelenjar getah bening leher dengan ukuran kurang dari 3 cm mempunyai kemungkinan kambuh sebesar 4,3%, sedangkan bila

ukurannya lebih dari 3 cm tetapi kurang dari 6 cm kemungkinan kambuh menjadi 35,1%. Kelenjar getah bening dengan ukuran lebih dari 6 cm kemungkinan kambuh sebesar 55,5%. Tumor kambuh biasanya lebih resisten. Median survival setelah kambuhnya tumor primer di nasofaring sekitar 10 minggu. Sedangkan Neel (1993) mendapatkan angka bertahan hidup 10 tahun sebesar 30,5% pada pengobatan radiasi yang pertama kali, dan hanya 11,5% bila diberikan radiasi ulang setelah mengalami kekambuhan (Kentjono 2003).

Hal ini berbeda dengan Ekawati & Handayani (2012) bahwa terdapat perbedaan kelangsungan hidup (survival rate) antara penderita locally advanced cervical cancer yang mendapat kemoradioterapi dibandingkan dengan penderita yang mendapat radioterapi saja. Penelitian lain yang serupa mendapatkan perbedaan pola regresi antara tumor primer dan kelenjar getah bening leher. Terjadi Complete Respons pada akhir dari radioterapi (62%) dan meningkat menjadi 80% pada 2 bulan pasca radioterapi, sedangkan pada kelenjar getah bening leher hanya CR 32 % pada akhir radioterapi dan meningkat menjadi 76% pada 2 bulan setelah radioterapi (Vijayakumar & Hellman 1997; Ekawati & Handayani 2012). Penelitian Gandamihardja et al. (2010) menyatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada stadium penyakit dan umur penderita berdasarkan peran cyclooxygenase antara kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil penelitian ini juga didukung penelitian Tan & Putti (2005) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara ekspresi COX-2 dengan stadium tumor yang lebih tinggi.

Kemoradioterapi dapat mengecilkan stadium, hal ini juga terlihat dari distribusi sesudah kemoradioterapi menunjukkan hasil stadium lebih kecil dari stadium IV menjadi stadium II dan III. Hal ini diperkuat oleh Roberts, Beuno & Sugarbaker 1999) bahwa penderita sindrom vena kava superior yang diberikan kemoradioterapi berhasil menurunkan staging dari stadium IIIB (dengan keterlibatan kelenjar peritrakeal ipsilateral) menjadi stadium I (Roberts, Beuno & Sugarbaker 1999).

Firdaus dan Prijadi (2009) menambahkan bahwa beberapa penelitian melaporkan 5 year-survival-rate pasien dengan terapi radiasi primer sekitar 40-60%. 5 year-survival-rate KNF stadium I sekitar 85-95%, dan stadium II dengan terapi radiasi saja sekitar 70-80%. 5 year-survival-rate stadium III dan IV dengan penatalaksanaan radioterapi saja berkisar 24-80%, dimana hasil maksimal didapatkan pada penduduk Asia Tenggara dan dengan tambahan kemoterapi.

Penelitian meta-analisis Agulnik & Siu (2005) terhadap 8 penelitian membandingkan kemoradioterapi dengan radioterapi tunggal. Semua penelitian ini menggunakan radioterapi dan kemoterapi Cisplatin mendapatkan peningkatan survival rate apabila kemoterapi diberikan secara konkuren dengan radioterapi. Meta-analisis ini mengkonfirmasi peranan konkuren kemoradioterapi sebagai penatalaksanaan standard untuk KNF stadium lanjut lokoregional.

Tidak seperti keganasan kepala leher lainnya, karsinoma nasofaring mempunyai risiko terjadinya rekurensi, dan follow-up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga pasien karsinoma nasofaring perlu di follow-up setidaknya 10 tahun setealh terapi (Roezin & Adham 2009).

Dokumen terkait