• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

EKSPRESI CYCLOOXYGENASE-2 PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DENGAN PEMBERIAN KEMORADIOTERAPI KONKUREN

TESIS

Oleh:

FIRMAN NURDIANSAH

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

EKSPRESI CYCLOOXYGENASE-2 PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DENGAN PEMBERIAN KEMORADIOTERAPI KONKUREN

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu

Syarat untuk Mencapai Gelar Dokter Spesialis dalam Bidang Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher

Oleh :

FIRMAN NURDIANSAH

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada beliau Nabi Besar Muhammad SAW dan semua para sahabat beserta pengikutnya hingga akhir zaman.

Beribu ucapan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, sehingga saya diberi kesempatan untuk menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis bidang ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok bedah kepala leher di Departemen THT-KL di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian tentang Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) pada Penderita Karsinoma Nasofaring dengan pemberian kemoradioterapi konkuren.

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

dr. Farhat, M. Ked (ORL-HNS), Sp. THT-KL (K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, dr. Rizalina A. Asnir, Sp. THT-KL (K) dan dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL sebagai anggota pembimbing serta dr. Putri Ch. Eyanoer, MSEpid, Ph.D sebagai pembimbing ahli. Di tengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

(5)

kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok bedah kepala leher di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok bedah kepala leher di Departemen THT-KL di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok bedah kepala leher di Departemen THT-KL sampai selesai.

(6)

(ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang terhormat Ketua Departemen Patologi Anatomi beserta seluruh Staf Pengajar dan Staf Analis Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU yang telah banyak membantu, memberikan masukan, perhatian dan bimbingan di bidang Patologi Anatomi terutama mengenai pemeriksaan immunohistokimia dalam penulisan tesis ini.

Yang terhormat Ketua Komisi Etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran USU yang telah memberikan surat persetujuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU Pendidikan Dokter Spesialis bidang ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok bedah kepala leher di Departemen THT-KL atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang tercinta Ayahanda H. Nurdin dan Ibunda Hj. Aisah, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala doa dan dukungan selama kami belajar di Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok bedah kepala leher di Departemen THT-KL FK-USU.

Yang tercinta Ayah mertua H. Abdul Muin dan Ibu mertua Hj. Hawiah. Ayah dan Ibu mertua yang selama ini telah memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

(7)

ketabahan, pengertian dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya kepada ayahanda dalam menjalani pendidikan ini.

Kepada kakanda H. Sultan, Hj. Darmawati, H. Nawir, S.Ag, H. Darwis, H. Abdul Azis serta Adinda Salmiati, S.pdi, Alm Acok dan Rosmiati, Amd.Keb yang semuanya selalu mendorong, memberikan semangat do’a dan kasih sayangnya kepada kami dalam menjalani pendidikan ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Harapan kami dengan penulisan tesis ini akan menambah dan memperkaya khasanah pengetahuan dalam bidang Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher, dan lebih jauh bisa dipakai untuk dasar pengambilan keputusan dalam tindakan medik.

Sebagai akhir kata, kami mohon maaf apabila ada kesalahan dan semoga Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat dan HidayahNya kepada kita semua, amin.

Medan, Januari 2014 Penulis

(8)

ABSTRAK

Pendahuluan: Ekspresi seluler COX-2 meningkat di atas normal pada stadium awal karsinogenesis, dan selama perkembangan serta pertumbuhan invasif tumor. COX-2 terekspresi pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya membuktikan sebagai penyebab karsinogenesis. Pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang resisten menjadi lebih sensitif terhadap radioterapi.

Tujuan: Untuk mengetahui ekspresi COX-2 pada penderita karsinoma nasofaring dengan pemberian kemoradioterapi konkuren.

Metode: Penelitian ini bersifat Quasi eksperimental dengan 25 sampel dilakukan RSUP. H. Adam Malik Medan. Ekspresi COX-2 pada KNF diperiksa dengan imunohistokimia sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

Hasil Penelitian: Pada penderita KNF sebelum kemoradioterapi konkuren, gejala yang paling banyak ditemukan berupa benjolan leher sebanyak 22 sampel (88,0%), 21 sampel (84,0%) dengan kadar Hb 12-16 gr% dan 14 sampel (56,0%) dengan skor Karnofsky 70. Ekspresi COX-2 positif tertinggi terhadap ukuran tumor primer ditemukan pada kelompok T3 sebanyak 5 sampel (29,5%), 9 sampel (52,9%) pada kelompok N3 dan 11 sampel (64,7%) pada kelompok dengan stadium klinis IV, sedangkan pada penderita KNF sesudah kemoradioterapi konkuren, gejala yang paling banyak ditemukan berupa benjolan leher sebanyak 16 sampel (64,0%), 12 sampel (48,0%) dengan kadar Hb 12-16 gr% dan 17 sampel (68,0%) dengan skor Karnofsky ≥ 80. Ekspresi COX-2 positif tertinggi terhadap ukuran tumor primer ditemukan pada kelompok T1 sebanyak 6 sampel (50,0%), 5 sampel (41,7%) pada kelompok N0 dan 4 sampel (33,3%) pada kelompok dengan stadium klinis II. Dengan Wilcoxon Sign Rank test tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara kelompok ukuran tumor primer, kelenjar getah bening, stadium klinis sebelum kemoradioterapi dan sesudah kemoradioterapi konkuren dengan ekspresi COX-2 (p> 0,05). Kata kunci: Karsinoma nasofaring, Cyclooxygenase, Kemoradioterapi

(9)

ABSTRACT

Introduction: Cellular expression of COX-2 increased above normal in the early stages of carcinogenesis, and for the development and growth of invasive tumors. COX-2 overexpressed in some tumors and in its development proved to be the cause of carcinogenesis. Giving concurrent chemotherapy with radiotherapy is expected to kill cancer which cells sensitive to chemotherapy and change-resistant cancer cells to be more sensitive to radiotherapy.

Objective: To determine the expression of COX-2 in patients with NPC in H. Adam Malik hospital.

Method: A quasi experimental design was conducted in 25 samples at H. Adam Malik General Hospital Medan. NPC was examined with immunohistochemestry for COX-2 expression pre and post concurrent chemoradiotherapy.

Result: Patients with pre concurrent chemoradiotherapy NPC most common symptom found was neck lump with 22 samples (88,0%), 21 samples (84,0%) with Hb 12-16gr%, and 14 samples (56,0%) with Karnofsky score of 70. The expression of COX-2 positive found highest in the group with tumor size T3 as many as 5 samples (29,5%), 9 samples (52,9%) in group with N3, and 11 samples (64,7%) in group with clinical stage IV, whereas patients with post concurrent chemoradiotherapy NPC most common symptom found was neck lump with 16 samples (64,0%), 12 samples (48,0%) with Hb 12-16gr%, and 17 samples (68,0%) with Karnofsky score of ≥ 80. The expression of COX-2 positive found highest in the group with tumor size T1 as many as 6 samples (50,0%), 5 samples (41,7%) in group with N0, and 4 samples (33,3%) in group with clinical stage II. With Wilcoxon Sign Rank test, there was no significant difference between the size of the primary tumor, lymph nodes, clinical stage pre and post concurrent chemoradiotherapy with COX-2 expression (p > 0,05). Keyword: Nasopharyngeal carcinoma, Cyclooxygenase, Concurent

(10)

DAFTAR ISI

2.4 Peran COX-2 Dalam Perkembangan Kanker ... 27

2.5 Ekspresi COX-2 Pada Karsinoma Nasofaring ... 30

2.6 Penilaian Imunohistokimia COX-2 ... 31

2.7 Kerangka Konsep ... 33

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 35

3.1 Jenis Penelitian ... 35

3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian ... 35

3.3 Populasi, Sampel Dan Tekhnik Pengambilan Sampel .. 35

3.4 Variabel Penelitian ... 36

3.5 Definisi Operasional ... 36

3.6 Bahan Penelitian ... 38

3.7 Instrumen Penelitian ... 39

(11)

3.9 Kerangka Kerja ... 42

3.10 Cara Pengumpulan Data ... 43

3.11 Cara Analisis Data ... 43

3.12 Etika Penelitian ... 43

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 44

BAB 5. PEMBAHASAN ... 52

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

6.1 Kesimpulan ... 58

6.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

PERSONALIA PENELITIAN ... 51

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi frekuensi gambaran klinis berdasarkan karsinoma nasofaring ... 44 Tabel 2. Distribusi frekuensi kadar hemoglobin berdasarkan

karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren ... 45 Tabel 3. Distribusi frekuensi skor karnofsky berdasarkan karsinoma

nasofaring sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren 45 Tabel 4. Distribusi frekuensi ukuran tumor primer (T) KNF

berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren ... 46 Tabel 5. Perbedaan antara kelompok ukuran tumor primer (T) KNF

berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren ... 47 Tabel 6. Distribusi frekuensi kelenjar getah bening (N) KNF

berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren ... 47 Tabel 7. Perbedaan antara kelompok kelenjar getah bening (N) KNF

berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren ... 49 Tabel 8. Distribusi frekuensi stadium Klinis KNF berdasarkan

ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren ... 50 Tabel 9. Perbedaan antara kelompok stadium Klinis KNF

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR SINGKATAN

AJCC : American Joint Committee on Cancer BCL-2 : B-cell leukemia- 2

C : Celsius

CD-44 : Cluster of Differentiation 44 CDDP : cisdiamine-dichloroplatinum CI : Continuous Infusion

Cm : Centimeter COX : Cyclooxygenase COX-1 : Cyclooxygenase-1 COX-2 : Cyclooxygenase-2 CR : Complete Respons

CT-Scan : Computed Tomography-Scan DAB : 3,3’-Diaminobenzidine

(15)

m2 : Meter2 Mg : Miligram mm3 : Milimeter

MRI : Magnetic Resonance Imaging N : Nodul (kelenjar getah bening)

NCCN : National Comprehensive Cancer Network NHS : Normal Horse Serum

NK : Natural killer

NSAID : Non steroidal anti-inflammatory drugs ODC : Ornithine decarboxylase activity

p : Proporsi

PBS : Phosphat Buffer Saline PG : Prostaglandin

PGD2 : Prostaglandin D2 pH : Potensial Hidrogen PT : Perseroan Terbatas p53 : Protein 53

(16)
(17)

ABSTRAK

Pendahuluan: Ekspresi seluler COX-2 meningkat di atas normal pada stadium awal karsinogenesis, dan selama perkembangan serta pertumbuhan invasif tumor. COX-2 terekspresi pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya membuktikan sebagai penyebab karsinogenesis. Pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang resisten menjadi lebih sensitif terhadap radioterapi.

Tujuan: Untuk mengetahui ekspresi COX-2 pada penderita karsinoma nasofaring dengan pemberian kemoradioterapi konkuren.

Metode: Penelitian ini bersifat Quasi eksperimental dengan 25 sampel dilakukan RSUP. H. Adam Malik Medan. Ekspresi COX-2 pada KNF diperiksa dengan imunohistokimia sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

Hasil Penelitian: Pada penderita KNF sebelum kemoradioterapi konkuren, gejala yang paling banyak ditemukan berupa benjolan leher sebanyak 22 sampel (88,0%), 21 sampel (84,0%) dengan kadar Hb 12-16 gr% dan 14 sampel (56,0%) dengan skor Karnofsky 70. Ekspresi COX-2 positif tertinggi terhadap ukuran tumor primer ditemukan pada kelompok T3 sebanyak 5 sampel (29,5%), 9 sampel (52,9%) pada kelompok N3 dan 11 sampel (64,7%) pada kelompok dengan stadium klinis IV, sedangkan pada penderita KNF sesudah kemoradioterapi konkuren, gejala yang paling banyak ditemukan berupa benjolan leher sebanyak 16 sampel (64,0%), 12 sampel (48,0%) dengan kadar Hb 12-16 gr% dan 17 sampel (68,0%) dengan skor Karnofsky ≥ 80. Ekspresi COX-2 positif tertinggi terhadap ukuran tumor primer ditemukan pada kelompok T1 sebanyak 6 sampel (50,0%), 5 sampel (41,7%) pada kelompok N0 dan 4 sampel (33,3%) pada kelompok dengan stadium klinis II. Dengan Wilcoxon Sign Rank test tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara kelompok ukuran tumor primer, kelenjar getah bening, stadium klinis sebelum kemoradioterapi dan sesudah kemoradioterapi konkuren dengan ekspresi COX-2 (p> 0,05). Kata kunci: Karsinoma nasofaring, Cyclooxygenase, Kemoradioterapi

(18)

ABSTRACT

Introduction: Cellular expression of COX-2 increased above normal in the early stages of carcinogenesis, and for the development and growth of invasive tumors. COX-2 overexpressed in some tumors and in its development proved to be the cause of carcinogenesis. Giving concurrent chemotherapy with radiotherapy is expected to kill cancer which cells sensitive to chemotherapy and change-resistant cancer cells to be more sensitive to radiotherapy.

Objective: To determine the expression of COX-2 in patients with NPC in H. Adam Malik hospital.

Method: A quasi experimental design was conducted in 25 samples at H. Adam Malik General Hospital Medan. NPC was examined with immunohistochemestry for COX-2 expression pre and post concurrent chemoradiotherapy.

Result: Patients with pre concurrent chemoradiotherapy NPC most common symptom found was neck lump with 22 samples (88,0%), 21 samples (84,0%) with Hb 12-16gr%, and 14 samples (56,0%) with Karnofsky score of 70. The expression of COX-2 positive found highest in the group with tumor size T3 as many as 5 samples (29,5%), 9 samples (52,9%) in group with N3, and 11 samples (64,7%) in group with clinical stage IV, whereas patients with post concurrent chemoradiotherapy NPC most common symptom found was neck lump with 16 samples (64,0%), 12 samples (48,0%) with Hb 12-16gr%, and 17 samples (68,0%) with Karnofsky score of ≥ 80. The expression of COX-2 positive found highest in the group with tumor size T1 as many as 6 samples (50,0%), 5 samples (41,7%) in group with N0, and 4 samples (33,3%) in group with clinical stage II. With Wilcoxon Sign Rank test, there was no significant difference between the size of the primary tumor, lymph nodes, clinical stage pre and post concurrent chemoradiotherapy with COX-2 expression (p > 0,05). Keyword: Nasopharyngeal carcinoma, Cyclooxygenase, Concurent

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan 2006; Wei 2006). Angka kejadiannya lebih dari 95% keganasan di nasofaring pada dewasa, dan 20%–35% pada keganasan nasofaring anak-anak (Jeyakumar et al. 2006). Karsinoma nasofaring merupakan salah satu tipe kanker yang paling dominan di Cina bagian Selatan dan Asia Tenggara. Lebih dari 50.000 kasus KNF baru dilaporkan setiap tahun di daerah ini (Lo et al. 2006). Prevalensi KNF di Indonesia adalah 6,2 per 100.000 penduduk setiap tahun dan di Medan prevalensinya adalah 4,3 per 100.000 penduduk setiap tahunnya (Adham et al. 2012). Di RSUP. H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2002 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 (10,5%) pasien baru onkologi kepala leher dan pada tahun 2006-2010 ditemukan 335 kasus baru KNF (Lutan 2003; Puspitasari 2011).

Diagnosis dini seringkali sulit dilakukan karena gejala yang tidak khas dan pemeriksaan nasofaring yang sulit dilakukan. Kendala yang dihadapi dalam penanganan KNF adalah bahwa sebagian besar penderita datang pada stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Selain itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastasis regional maupun jauh. Keadaan inilah yang menyebabkan penatalaksanaan KNF belum memberikan hasil yang memuaskan (Mulyarjo 2002; Jeyakumar et al. 2006).

(20)

terangsang selama proses inflamasi, nyeri dan kanker (Murono et al. 2001; Andrianto 2008; Levita et al. 2009).

Ekspresi seluler COX-2 meningkat di atas normal pada stadium awal karsinogenesis, dan selama perkembangan serta pertumbuhan invasif tumor (Gallo et al. 2001; Choy & Milas, 2003). COX-2 terekspresi pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya membuktikan sebagai penyebab karsinogenesis (Murono et al. 2001; Andrianto 2008; Levita et al. 2009).

Terapi utama KNF sampai saat ini adalah radioterapi. Penelitian meta-analisis terbaru menyatakan perlunya kemoterapi tambahan terhadap radioterapi. Kemoradioterapi konkuren dianggap lebih baik dari pada radioterapi tunggal. COX-2 merupakan salah satu target potensial yang menarik untuk penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Overekspresi COX-2 banyak terdapat pada tumor ganas seperti karsinoma nasofaring dan berhubungan dengan agresifitas tumor dan prognosis buruk (Guigay et al. 2006; Jeyakumar et al. 2006; Wei 2006; Yeh et al. 2006; Mohammadianpanah et al. 2011).

Mengingat pentingnya peran COX-2 sebagai faktor prognosis pada proses karsinogenesis KNF dan sampai saat ini di RSUP H. Adam Malik Medan belum ada data mengenai ekspresi COX-2 pada penderita karsinoma nasofaring dengan pemberian kemoradioterapi konkuren, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

(21)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Mengetahui ekspresi COX-2 pada penderita karsinoma nasofaring dengan pemberian kemoradioterapi konkuren.

1.3.2. Tujuan khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi gambaran klinis penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

b. Mengetahui distribusi frekuensi kadar hemoglobin penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

c. Mengetahui distribusi frekuensi skor karnofsky penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

d. Mengetahui distribusi frekuensi kelompok ukuran tumor primer (T) karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

e. Mengetahui perbedaan antara kelompok ukuran tumor primer (T) karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

f. Mengetahui distribusi frekuensi kelompok ukuran kelenjar getah bening (N) karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

g. Mengetahui perbedaan antara kelompok ukuran kelenjar getah bening (N) karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

(22)

i. Mengetahui perbedaan antara kelompok stadium klinis karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat antara lain:

a. Untuk mengetahui rerata ekspresi COX-2 pada penderita KNFsebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

b. Untuk mengetahui kondisi klinis pada penderita KNF sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren untuk menentukan standar terapi yang dibutuhkan.

c. Untuk mengetahui rerata peningkatan skor karnofsky setelah terapi guna memprediksi kualitas hidup penderita selanjutnya. d. Sebagai data dasar penggunaan COX-2 sebagai faktor

prognostik untuk KNF

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karsinoma Nasofaring

Nasofaring adalah ruangan berbentuk trapezoid dengan lokasi di posterior dari koana, kemudian meluas ke inferior ke bagian batas bawah dari palatum mole. Batas superior dibentuk oleh basisphenoid dan basisocciput. Batas posterior dibentuk oleh fasia prevertebralis dari atlas dan axis. Fossa Rosenmuller yang berada di superior dan posterior dari torus tubarius, merupakan tanda yang penting karena merupakan lokasi yang paling sering timbulnya karsinoma nasofaring (Jeyakumar et al. 2006).

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu tipe kanker yang paling dominan di Cina bagian selatan dan Asia Tenggara, lebih dari 50.000 kasus KNF baru dilaporkan setiap tahun di daerah-daerah ini (Lo et al. 2006). KNF merupakan tumor ganas yang paling banyak ditemukan pada daerah kepala dan leher, di Indonesia prevalensinya adalah 6,2 per 100.000 penduduk setiap tahun dan di Medan prevalensinya adalah 4,3 per 100.000 penduduk setiap tahunnya (Adham et al. 2012). Di RSUP. H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2002 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 (10,5%) pasien baru onkologi kepala leher dan pada tahun 2006-2010 ditemukan 335 kasus baru KNF (Lutan 2003; Puspitasari 2011).

Sebagian besar penderita KNF berumur di atas 20 tahun, dengan umur paling banyak antara 50-70 tahun. Di Cina, KNF mulai muncul usia 15-19 tahun. KNF sering ditemukan pada usia 15-34 tahun dan mencapai puncaknya usia 35-64 tahun kemudian menurun setelah usia tersebut. KNF lebih sering dijumpai pada pria dibanding wanita yaitu 2-3:1 (Chew 1997; Munir 2009).

(24)

faktor virus. Faktor etiologi yang penting lainnya pada beberapa tipe dari KNF adalah EBV (Epstein-barr virus). Klonal EBV DNA telah ditemukan pada beberapa lesi pre-invasif, menunjukkan bahwa adanya hubungan antara EBV DNA dengan proses transformasi. Hubungan lain meliputi infeksi hidung yang kronis, hygiene yang buruk, ventilasi yang buruk dari nasofaring, dan paparan dari nitrosamin dan hidrokarbon polisiklik pada makanan yang diasinkan (Lo et al. 2004; Jeyakumar et al. 2006).

KNF jarang datang berobat sebelum penyakitnya menyebar ke kelenjar getah bening regional. Skinner et al. menemukan bahwa massa leher yang unilateral adalah gejala utama pada waktu pertama sekali datang berobat, muncul pada 36% kasus. Gejalanya juga meliputi obstruksi hidung, epistaksis, sekret purulen, rhinorrhea yang berdarah, pendengaran berkurang, tinnitus dan sakit kepala. Keterlibatan saraf kranial yang disebabkan invasi basis kranial terlihat pada 25% kasus (Her 2001; Jeyakumar et al. 2006).

Konfirmasi pasti diagnosis KNF diperoleh dari hasil biopsi positif yang diambil dari tumor di nasofaring. Pemeriksaan radiologi yang lebih baik untuk KNF adalah CT-Scan dengan kontras dan MRI dengan enhancement (Chew 1997; Jayekumar et al. 2006; Wei 2006 ).

KNF umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya. Kemoterapi berfungsi sebagai radiosensitizer dan membantu dalam mengurangi metastasis jauh (Mould & Tai 2002; Guigay et al. 2006).

KNF diklasifikasikan oleh World Health Organization (WHO) menjadi 3 tipe histologi, yaitu:

Tipe 1 :Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (keratinizing squamous cell carcinoma)

Tipe 2 :Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratinisasi (non keratinizing squamous cell carcinoma)

(25)

Tipe 2 dan tipe 3 memiliki hubungan dengan Epstein-Barr Virus (Lutzky et al. 2008).

Gambar 1: Penataksanaan KNF menurut NCCN 2010

Pada gambar 1 merupakan penatalaksanaan KNF berdasarkan NCCN 2010 dengan pemberian radioterapi bersamaan kemoterapi disebut Kemoradioterapi konkuren yaitu kemoterapi cisplatin 100 mg/m2 diberikan pada hari ke-1, 22 dan 43 bersamaan dengan radioterapi ≥ 70 Gy pada tumor primer dan 50 Gy pada pembesaran kelenjar getah bening leher bilateral, kemudian dilanjutkan kemoterapi adjuvant dengan kombinasi cisplatin 80 mg/m2 bolus infus diberikan pada hari pertama dan dosis 5 fluorouracil (5 FU) 1000 mg/m2/hari diberikan dengan infus selama 24 jam pada hari 1-5. Siklus diulang setiap 4 minggu, diberikan sampai 3 siklus (NCCN 2010)

Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010:

Tumor Primer (T)

(26)

Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring.

T2 Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.

T3 Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal

T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ruang mastikator.

KGB Regional (N)

NX KGB regional tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada metastasis ke KGB regional

N1 Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.

N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular. N3 Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau

pada fossa supraklavikular: N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm N3b Meluas ke fossa supraklavikular Metastasis Jauh (M)

M0 Tanpa metastasis jauh M1 Metastasis jauh

Kelompok stadium :

0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0

II T1 N1 M0

(27)

T2 N1 M0

Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama bertahun-tahun. Ini disebabkan karena nasofaring berdekatan dengan struktur penting dan sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan terhadap tumor primer sulit dilakukan. KNF umumnya tidak dapat dioperasi karena berada dalam mukosa nasofaring yang melekat erat pada tulang dasar tengkorak, lebih responsif terhadap radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya (Wei 2006; Guigay et al. 2006).

(28)

Pemberian radioterapi telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada pasien dengan N0 dan N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3 (Wei 2006).

Radioterapi dapat diberikan secara konvensional, yakni dengan pemberian dosis total 66,6-75,6 Gy, diberikan 1,8-2 Gy per fraksi, 5 fraksi per minggu (Yeh et al. 2006). Penelitian oleh Niibe et al. (2004) menyatakan suatu metode pemberian radioterapi dengan metode hiperfraksinasi pada karsinoma orofaring, yaitu dengan memberikan radiasi 2 Gy per fraksi, 2 fraksi per hari dengan jarak 6 jam, 5 hari seminggu sehingga total dosis sama dengan radioterapi konvensional yaitu 66 Gy atau lebih, memberikan hasil yang lebih baik dalam hal kesintasan hidup keseluruhan (overall survival rate) dan angka kontrol lokoregional (loco-regional control rate).

Berdasarkan NCCN 2010, radioterapi definitif diberikan pada karsinoma nasofaring dengan stadium T1N0M0.

Efek samping akut radioterapi adalah radiomukositis, stomatitis, ngilu pada gigi dan hilangnya indera pengecapan. Di samping itu, sebagai efek lanjut juga dapat terjadi xerostomia, trismus, otitis media, pendengaran menurun, hipotiroidisme, hiperpigmentasi kulit pada lintasan sinar, fibrosis subkutan atau osteoradionekrosis mandibula. Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal (Munir 2009).

2.2.2 Kemoterapi

(29)

mg/m2 dengan bolus infus diberikan pada hari pertama dan dosis 5 FU 1000 mg/m2/hari diberikan dengan infus selama 24 jam pada hari 1-5. Siklus diulang setiap 4 minggu. Kemoterapi diberikan 2-4 siklus (Mould & Tai 2002; Yeh et al. 2006).

2.2.3 Kemoradioterapi konkuren

Kemoradioterapi konkuren adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi. Penelitian inter grup 1997 pertama kali menunjukkan bahwa pengunaan kemoterapi bersamaan dengan radioterapi meningkatkan kesintasan hidup keseluruhan (overall survival) apabila dibandingkan dengan penggunaan radioterapi tunggal. Dengan cara kemoradioterapi konkuren ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang resisten menjadi lebih sensitif terhadap radioterapi. Kemoterapi berfungsi sebagai radiosensitizer dan membantu dalam mengurangi metastasis jauh (Mould & Tai 2002; Kentjono 2003; Wei 2006).

Kombinasi radiasi dan kemoterapi secara konkuren juga bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas jaringan kanker terhadap radiasi, disebut radiosensitizer. Berbagai jenis kemoterapi digunakan sebagai radiosensitizer ini, yang terbanyak adalah cisplatin yang mempunyai target pada sel-sel hipoksik tumor serta menghambat reparasi pita DNA yang mengalami cedera. Seperti diketahui radiasi menjadi kurang efektif pada jaringan kanker yang hipoksik. Kelompok paclitaxel menghambat sel agar tetap berada dalam fase mitosis, suatu fase dalam siklus sel yang paling sensitif terhadap radiasi (Candelaria et al. 2006).

Sampai sekarang, regimen dengan dasar platinum merupakan standar kemoterapi pada pasien KNF dengan metastasis, dan terapi lini pertama yang paling banyak digunakan adalah kombinasi cisplatin dengan 5-FU. Kombinasi platinum dengan bahan baru seperti gemcitabine atau paclitaxel telah menunjukkan angka respon yang baik (Guigay et al. 2006).

(30)

hari 1, 22, 43 atau cisplatin 40 mg/m2 setiap minggu bersamaan dengan radioterapi > 70 Gy pada tumor primer dan 50 Gy pada pembesaran kelenjar getah bening leher bilateral, serta booster bila perlu.

2.3 Cyclooxygenase (COX)

Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim pada jalur biosintetik dari prostaglandin (PG), tromboksan dan prostasiklin dari asam arakhidonat. Terdapat dua bentuk COX yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 berfungsi sebagai housekeeping gen pada hampir semua jaringan normal. COX-2 terangsang selama proses inflamasi, nyeri dan kanker. COX-1 timbul sebagai respon dari produksi PG dan mempunyai fungsi penting pada homeostatik. COX-1 berisi 70 kd subunit sedangkan COX-2 berisi 74 kd protein yang mempunyai 60% homolog dengan COX-1. COX-2 mengandung bermacam-macam stimulasi seperti sitokin, hormon dan mitogen (Murono et al. 2001; Andrianto 2008; Levita et al. 2009).

(31)

Gambar 2 menunjukkan, sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat melalui aktivitas enzim cyclooxygenase. Obat-obatan anti-inflamasi akan menghambat aktivitas enzim cyclooxygenase, sedangkan COX-2 selektif inhibitor hanya menghambat COX-2. COX-1 berfungsi sebagai housekeeping gen pada hampir semua jaringan normal. COX-2 terangsang selama proses inflamasi, nyeri dan kanker. Enzim cyclooxygenase akan mensintesa prostaglandin H (PGH) kemudian akan dikonversi menjadi prostaglandin H2 (PGH2). PGH2 merupakan prekursos umum yang akan berubah menjadi berbagai prostaglandin dan tromboksan (PGE2, PGF2α, PGD2, PGI2 dan TX) (Choy & Milas 2003).

Sel inflamasi akan membebaskan metabolisme dari asam arakidonat atau eicosanoid termasuk prostanoid, prostaglandin dan leukotrines. Cyclooxygenase merupakan kunci enzim yang mengontrol rate-limiting step pada sintesa prostanoid dan sel tumor, serta metabolisme yang diproduksi oleh aksi cyclooxygenase pada asam arakhidonat menunjukkan benturan pada bermacam-macam jalur karsinogenik. Transformasi neoplastik dari proliferatif steam cell dan invasif tumor memerlukan suatu micro enviroment dari aktivasi sel inflamasi dan elemen sel stromal (Murono et al. 2001; Andrianto 2008).

Peningkatan level prostaglandin telah dideteksi pada kanker di berbagai lokasi anatomi, termasuk kepala dan leher, dan peran metabolit tersebut dalam pertumbuhan tumor dan metastasis telah dapat dipastikan. Prostaglandin (PG), terutama yang seri E, ditemukan mempengaruhi proliferasi sel dan respon imun host, menunjukkan perannya sebagai promotor dan memfasilitasi pertumbuhan dan penyebaran tumor (Gallo et al. 2001).

PG yang berasal dari COX-2 berperan dalam karsinogenesis, inflamasi, supresi respon imun, inhibisi apoptosis, angiogenesis, invasif sel tumor dan metastasis (Choy & Milas 2003).

(32)

berhubungan dengan peningkatan sintesis DNA, yang menghasilkan bentuk ornithine decarboxylase activity (ODC). Diduga bahwa ada hubungan antara PG ekspresi COX-2, proliferasi sel dan metastasis (Rishikesh & Sadhana 2003).

Ekspresi COX-2 yang berlebihan ditemukan berhubungan dengan peningkatan produksi PGE2. Interleukin-1 (IL-1) yang berhubungan dengan tumor telah menunjukkan peningkatan ekspresi COX-2. COX-2 dan reseptor tromboksan A2 (TXA2) berhubungan pengaktifan invasi sel dan angiogenesis. Ekspresi COX-2 memacu berbagai sel untuk meningkatan produksi PG. PG menekan produksi sel NK (natural killer). Penekanan ini juga menyebabkan hambatan dari IL-2 dan IFN-α serta menurunkan pengaturan reseptornya. Ini menunjukkan PG mempunyai sistem imun yang menekan peranan tumor dalam kanker. Oleh karena itu secara jelas COX-2 derivat PG mempunyai peranan dalam pertumbuhan kanker melalui mekanisme biokimia yang meliputi stimulasi pertumbuhan tumor dan pembentukan pembuluh darah baru (Rishikesh & Sadhana 2003).

2.4 Peran COX-2 Dalam Perkembangan Kanker

(33)

growth factor (VEGF) di LMP1 akan mengekspresikan sel. Oleh karena LMP1 positif pada KNF maka cenderung menyerang lebih banyak diluar nasofaring dan kelenjar limfe dari pada LMP1 negatif pada KNF. Induksi COX-2 oleh LMP1 menyokong untuk invasif angiogenesis dan LMP1 menambah produksi PGE2 pada sel epitel nasofaring yang ditembus induksi COX-2. Pada inflamasi kronik dan metabolik produk dari fagositosis sering disertai dengan pembentukan yang berlebihan dari reaksi oksigen dan nitrogen yang merusak DNA, lipoprotein dan membran sel (Murono et al. 2001; Andrianto 2008).

COX-2 terekspresi pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya membuktikan bahwa akan menyebabkan karsinogenesis. Telah dilaporkan terjadi perubahan metabolisme xenobiotik, yang meningkatkan pertumbuhan tumor invasif, angiogenesis dan menghambat apoptosis. Banyak penelitian menyatakan bahwa COX-2 inhibitor menekan pembentukan tumor (Murono et al. 2001; Andrianto 2008).

Peningkatan level COX-2 telah ditemukan pada berbagai lesi premaligna dan kanker epitel. Peningkatan ekspresi COX-2 telah dilaporkan pada berbagai macam tumor, seperti kanker kolon, kanker paru, kanker payudara, kanker lambung, kanker esofagus, kanker kepala dan leher, yang menunjukkan bahwa COX-2 mungkin terlibat dalam proses karsinogenesis. Peningkatan regulasi COX-2 pada sel kanker juga dihubungkan dengan peningkatan angiogenesis dan metastasis (Murono et al. 2001; Kyzas et al. 2005; Soo et al. 2005; Kaul et al. 2006).

(34)

Suatu laporan awal menunjukkan bahwa pemakaian aspirin dan indometasin mungkin memiliki efek analog dalam menunda pertumbuhan tumor kepala dan leher baik secara eksperimental dan in vivo (Gallo et al. 2001; Choy & Milas 2003).

Peningkatan ekspresi COX-2 telah dilaporkan pada berbagai jenis kanker pada manusia, termasuk sedikitnya 80% dari kanker payudara, kolon, esofagus, hati, paru, pankreas, prostat, serviks serta kepala dan leher (Choy & Milas 2003).

Kontribusi COX-2 yang penting, bahkan prinsipil terhadap pertumbuhan tumor mungkin perannya dalam menstimulasi pembentukan pembuluh darah baru tumor atau angiogenesis. Angiogenesis sangat penting bagi pertumbuhan tumor yang ekspansif, karena tumor tidak dapat tumbuh melebihi batas suplai darahnya. Proses angiogenesis diatur oleh faktor pertumbuhan yang dihasilkan sel tumor, sel endotelial, fibroblas dan sel inflamasi infiltrasi tumor. Faktor pertumbuhan angiogenik yang paling poten pada proses angiogenesis tumor adalah VEGF. Produksi VEGF oleh sel tumor dan perluasan vaskularisasi tumor diukur dengan densitas pembuluh mikro pada tumor dan merupakan indikator prognostik yang baik untuk respon terapi dan survival untuk beberapa tipe kanker (Choy & Milas 2003).

Prostaglandin yang berasal dari COX-2 menstimulasi produksi faktor pertumbuhan angiogenik dan beberapa studi telah melaporkan hubungan antara ekspresi COX-2 pada kanker manusia dengan level produksi VEGF dan densitas pembuluh darah mikro pada tumor. Inhibisi selektif terhadap aktivitas COX-2 pada beberapa model hewan berhubungan dengan pengurangan produksi VEGF tumor, pengurangan pembentukan pembuluh darah baru, dan peningkatan proses apoptosis sel tumor (Choy & Milas 2003).

(35)

dapat juga mengirim sinyal ke dalam sel, karena itu stimulasi sel pertumbuhan menurunkan apoptosis. Gen Bcl-2 penting dalam pengaturan apoptosis. Gen Bcl-2 juga ditemukan dalam kanker kolon yang memberikan overekspresi dari isoenzim COX-2. Hubungan yang nyata antara overekspresi, produksi PG dan ekspresi dari gen Bcl-2 dalam kanker telah diselidiki. Hambatan dari hasil isoenzim COX menghasilkan penurunan produksi bentuk substrat PG seperti asam arakhidonat (Rishikesh & Sadhana 2003).

Mekanisme NSAID menghambat pertumbuhan tumor masih belum sepenuhnya dimengerti, tapi mungkin melibatkan blokade COX, yang menekan produksi eicosanoid, terutama PG dan mungkin mempengaruhi proliferasi sel, apoptosis dan respon imun (Gallo et al. 2001).

2.5 Ekspresi COX-2 Pada Karsinoma Nasofaring

Tan & Putti (2005) melakukan penelitian untuk menilai ekspresi COX-2 pada karsinoma nasofaring. Penelitiannya menunjukkan terdapat proporsi yang tinggi yaitu 60 dari 85 kasus karsinoma nasofaring (71%) yang mengekspresikan COX-2 positif, berdasarkan penelitian Loong et al. (2009) juga menemukan ekspresi COX-2 positif pada karsinoma nasofaring 71%, penelitian lain dengan proporsi yang sama dilaporkan 83% ekpsresi COX-2 positif pada karsinoma nasofaring (Tan & Putti 2005; Loong et al. 2009).

Soo et al. (2005) menemukan peningkatan ekspresi COX-2 pada 33 dari 42 kasus karsinoma nasofaring (79%) dengan menggunakan metode immunohistokimia (Soo et al. 2005).

(36)

banyak yang tidak mengekspresikan COX-2 atau mengekspresikan COX-2 dalam jumlah minimal (Sari 2004).

2.6 Penilaian Imunohistokimia COX-2

Cara penilaian dengan metode konsensus dan terdiri dari intensitas pewarnaan (0,1,2 atau 3) dan tingkat pewarnaan (0= 0%; 1 = < 10%; 2 = 10-50%; 3 = >50%). Hasil untuk intensitas pewarnaan dan tingkat pewarnaan yang dikalikan untuk memberikan skor COX-2 pada setiap kasus, sel-sel tersebut dianggap sebagai COX-2 positif (skor ≥ 4 dari 9) (Tan & Putti 2005).

Gambar 3: Pewarnaan Imunohistokimia COX-2 (Tan & Putti 2005).

(37)
(38)

2.7 Kerangka Konsep

= Variabel Penelitian

Tromboksan Prostasiklin

Asam arakhidonat

Prostaglandin

- Angiogenesis - Apoptosis - Proliferasi sel

- Supresi respon imun - Invasi sel tumor

Inflamasi Infeksi EBV

Karsinoma nasofaring - UkuranTumor primer (T) - Ukuran kelanjar getah

bening leher (N)

- Stadium klinis - Gambaran klinis

- Kadar hemoglobin

- Skor karnofsky score

Kemoradioterapi konkuren

COX-2

Radiosensitizer Sel-sel hipoksik tumor

(39)
(40)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat Quasi eksperimental. 3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2013 sampai Oktober 2013.

3.3 Populasi, Sampel Dan Tekhnik Pengambilan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah penderita yang didiagnosis KNF berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil biopsi histopatologi yang berobat ke divisi Onkologi-Bedah Kepala Leher Departemen THT-KL FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan dan telah menjalani kemoradioterapi konkuren.

3.3.2 Kriteria sampel 3.3.2.1 Inklusi

1. Penderita yang didiagnosis KNF, baik laki-laki maupun perempuan pada kelompok umur di atas atau sama dengan 20 tahun dengan keadaan umum baik.

2. Penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan radioterapi, kemoterapi dan kombinasi keduanya.

3. Bersedia diikutsertakan dengan menandatangani informed consent

3.3.2.2 Eksklusi

Keadaan umum yang jelek. 3.3.3 Besar sampel

(41)

n ≥ Z2α. P (1 - P) d2 Keterangan:

n : jumlah sampel

Z : nilai standar distribusi statistik pada kesalahan tertentu α Error 0,05 = 1,96.

P : Proporsi COX-2 pada penderita KNF = 83% = 0,83 (Loong et al. 2009)

d : tingkat akurasi nilai estimasi dengan nilai sebenarnya = 15 % = 0,15 n ≥ (1, 96)2. 0,83 ( 1 - 0,83 )

( 0,15)2 n ≥ 24,09 = 25

Besar sampel yang didapat 25 orang. 3.3.4 Tekhnik pengambilan sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah dengan cara non probability consecutive sampling

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel dependent: Ukuran tumor primer (T), ukuran kelenjar getah bening leher (N), stadium klinis.

3.4.2 Variabel independent: Ekspresi COX-2

3.5 Definisi Operasional

1. Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang melapisi permukaan nasofaring dengan diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi.

(42)

Hasil ukur skor immunoreaktif: Ekspresi COX-2 negatif: 0-3

Ekspresi COX-2 positif / overexpression: 4-9

3. Kemoradioterapi konkuren adalah pemberian radioterapi bersamaan dengan kemoterapi. Berdasarkan NCCN 2010 kemoterapi cisplatin 100 mg/m2 diberikan pada hari ke-1, 22 dan 43 bersamaan dengan radioterapi ≥ 70 Gy pada tumor primer dan 50 Gy pada pembesaran kelenjar getah bening leher bilateral. 4. Gambaran klinis adalah keadaan atau keluhan seseorang datang

berobat antara lain benjolan di leher, epistaksis, hidung sumbat, tinnitus, pandangan ganda, sakit kepala.

5. Kadar hemoglobin adalah ukuran pigmen pembawa oksigen dan protein utama dalam sel darah merah.

Hasil ukur: 12-16 gr%, 10 – 11,9 gr%, <10 gr%

6. Skor karnofsky adalah cara standar untuk mengukur kemampuan pasien kanker dalam melakukan tugas sehari-hari.

Hasil ukur: ≥ 80, 70, ≤60

≥ 80 : Aktivitas seperti biasa

70 : Mampu merawat diri sendiri tapi tidak dapat beraktivitas normal atau bekerja.

≤60 : Aktivitas dengan bantuan orang lain

7. Tumor primer (T) karsinoma nasofaring adalah besar dan perluasan tumor primer sesuai kriteria AJCC tahun 2010 yang diukur oleh ahli Radiologi dengan memakai CT-Scan.

Hasil ukur : 0,1, 2, 3, 4

T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer

T1 : Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring. T2 : Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.

(43)

T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ruang mastikator.

8. Ukuran kelenjar getah bening leher (N) adalah ukuran kelenjar getah bening leher sesuai kriteria AJCC tahun 2010 yang diukur oleh ahli Radiologi dengan memakai CT-Scan.

Hasil ukur: 0,1,2,3

N0 : Tidak ada metastasis ke KGB regional

N1 : Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.

N2 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular. N3 : Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm

dan/atau pada fossa supraklavicular.

9. Stadium karsinoma nasofaring adalah penentuan stadium penyakit berdasarkan klasifikasi AJCC tahun 2010 yang dikelompokkan menjadi: 0,I, II, III, IV.

3.6 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaringan nasofaring dalam bentuk blok parafin dengan pulasan hematoksilin eosin yang telah didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring. Bahan ini diperiksa secara imunohistokimia sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren dengan menilai imunoreaktivitas antibodi COX-2.

Reagen untuk pemeriksaan histopatologi: formalin 10%, blok parafin, aqua destillata, hematoxyllin-eosin.

(44)

Phosphat Buffer Saline (PBS), antibodi primer COX-2 mouse monoclonal antibody (Santa Cruz Biotechnology), antibodi sekunder, Envision, Choromogen Diamino Benzidine (DAB). Lathium Carbonat jenuh, Tris EDTA, Hematoxylin, aqua destillata.

3.7 Instrumen Penelitian

Penelitian ini membutuhkan beberapa peralatan sebagai berikut: 1. Catatan medis penderita dan status penelitian penderita 2. Formulir persetujuan ikut penelitian

3. Alat tulis menulis

4. Alat untuk biopsi: blakesley nasal foscep lurus/bengkok, endoskopi kaku, 4 mm, 00.

5. Alat untuk pemeriksaan imunohistokimia: sistem visualisasi imunohistokimia (Envision kit), mesin pemotong jaringan (microtome), silanized slide.

6. Mikroskop (Olympus CX21)

3.8 Prosedur Kerja Pewarnaan Imunohistokimia COX-2

1. Deparafinisasi slide (Xylol 1, Xylol 2, Xylol 3) @ 5menit 2. Rehidrasi (Alkohol absolute, Alkohol 96%,

Alkohol 80%, Alkohol 70%)

@ 4menit

3. Cuci dengan air mengalir 5 menit 4. Masukkan slide ke dalam PT Link Dako

Epitope Retrieval : set up Preheat 65°C, Running time 98°C selama 15 menit.

± 1 jam

5. Pap Pen. Segera masukkan dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4

5 menit

6. Blocking dengan peroxidase block 5-10 mnt 7. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 5 menit 8. Blocking dengan Normal Horse Serum (NHS)

3%

(45)

9. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 5 menit 10. Inkubasi dengan Antibodi COX-2 dengan

pengenceran 1:40

1 jam

11. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 /Tween 20

5 menit

12. Dako Real Envision Rabbit/Mouse 30 menit 13. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4

/Tween 20

5-10 menit 14. DAB+Substrat Chromogen solution dengan

pengenceran 20 µL DAB : 1000 µL substrat (tahan 5 hari di suhu 2-8°C setelah dicampur)

5 menit

15. Cuci dengan air mengalir 10 menit 16. Counterstain dengan Hematoxylin 3 menit 17. Cuci dengan air mengalir 5 menit 18. Lithium carbonat (5% dlm aqua) 2 menit 19. Cuci dengan air mengalir 5 menit 20. Dehidrasi (Alkohol 80%, Alkohol 96%, Alkohol

Absolute)

@5 menit

21. Clearing (Xylol 1, Xylol 2, Xylol 3) @5 menit 22. Mounting + cover glass

Untuk identifikasi ekspresi COX-2 dilakukan langkah-langkah di atas dan dilakukan perwarnaan imunohistokimia COX-2 secara tidak langsung (Indirect) kemudian untuk skor akhir digunakan skor imunoreaktif yang dievaluasi oleh tiga orang ahli patologi. Penilaian ekspresi COX-2 bersifat semikuantitatif yang dinyatakan dengan:

• Skor Intensitas (Intensitas pewarnaan) COX-2 dinilai: 0 : berarti negatif

(46)

• Skor luas (Tingkat pewarnaan) COX-2 dinilai: 0 : berarti negatif

1 : pewarnaan positif < 10% jumlah sel 2 : pewarnaan positif 10-50% jumlah sel 3 : pewarnaan positif > 50% jumlah sel

Menurut prosentase area pewarnaan positif dibandingkan dengan keseluruhan area karsinoma pada 1-3 lapang pandang (LP) yang dinilai.

(47)

3.9 Kerangka Kerja

Gambar 5 : Kerangka kerja

NON KARSINOMA NASOFARING

IMUNOHISTOKIMIA COX-2

POSITIF/OVEREXPRESSION Skor: 4 - 9

NEGATIF Skor: 0 - 3

Kemoradioterapi konkuren NCCN 2010

NEGATIF Skor: 0 - 3

POSITIF/OVEREXPRESSION Skor: 4 - 9

SUSPEK KARSINOMA NASOFARING

BIOPSI

KARSINOMA NASOFARING

(48)

3.10 Cara Pengumpulan Data

Data diambil dari hasil pemeriksaan di Departemen Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia di Departemen Patologi Anatomi FK USU.

3.11 Cara Analisis Data

Data yang telah terkumpul dideskripsikan untuk menjelaskan distribusi gambaran klinis, ukuran tumor (T), ukuran kelenjar getah bening (N), stadium klinis, kadar hemoglobin, skor karnofsky. Untuk menilai perbedaan variabel yang diteliti sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren digunakan Wilcoxon Sign Rank test karena data tidak terdistribusi normal. Keseluruhan data dipresentasikan dalam bentuk tabel.

3.12 Etika Penelitian

(49)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian Quasi eksperimental. Sampel diambil secara consecutive sampling dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dengan perhitungan minimal besar sampel yaitu 25 sampel, kemudian dilakukan uji statistik Wilcoxon Signed Ranks test. Diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1. Distribusi frekuensi gambaran klinis berdasarkan karsinoma nasofaring.

Gejala klinis Sebelum

kemoradioterapi

(50)

Tabel 4.2. Distribusi frekuensi kadar hemoglobin berdasarkan karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren. Kadar Hb

(gr%)

Sebelum kemoradioterapi Sesudah kemoradioterapi

n % n %

Pada penelitian ditemukan kadar hemoglobin dengan distribusi frekuensi tertinggi pada kadar Hb 12-16gr% sebanyak 21 (84,0%) sebelum kemoradioterapi konkuren dan 12 (48,0%) sesudah kemoradioterapi konkuren. Distribusi kadar hemoglobin terendah berdasarkan karsinoma nasofaring pada kadar <10 gr% sebanyak 0 sebelum kemoradioterapi konkuren dan 3 (12,0%) sesudah kemoradioterapi konkuren.

Tabel 4.3. Distribusi frekuensi skor karnofsky berdasarkan karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren

Skor karnofsky

(51)

Tabel 4.4. Distribusi frekuensi ukuran tumor primer (T) KNF berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren

(52)

Tabel 4.5. Perbedaan antara kelompok ukuran tumor primer (T) KNF berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren

p=0,132

Distribusi frekuensi antara kelompok ukuran tumor primer pada karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren. Ekspresi COX-2 positif sebelum kemoradioterapi konkuren tertinggi ditemukan pada kelompok T2-T3-T4 yaitu sebanyak 13 (76,5%) dan ekspresi COX-2 negatif tertinggi pada kelompok T2-T3-T4 yaitu sebanyak 6 (75,0%). Sedangkan Ekspresi COX-2 positif sesudah kemoradioterapi konkuren ditemukan hasil yang sama pada kelompok T0-T1 dan T2-T3-T4 yaitu sebanyak 6 (50,0%) dan ekspresi COX-2 negatif tertinggi pada kelompok T0-T1 yaitu sebanyak 7 (53,8%).

Dilakukan Wilcoxon Signed Ranks Test untuk menilai adanya perbedaan antara kelompok ukuran tumor primer (T) sebelum kemoradioterapi konkuren dan sesudah kemoradioterapi konkuren dengan ekspresi COX-2 didapatkan nilai p > 0,05.

(53)

kemoradioterapi konkuren dan sesudah kemoradioterapi konkuren dengan ekspresi COX-2.

Tabel 4.6. Distribusi frekuensi kelenjar getah bening (N) KNF berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren

(54)

Tabel 4.7. Perbedaan antara kelompok kelenjar getah bening (N) KNF berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren

p=0,096

Distribusi frekuensi antara kelompok ukuran kelenjar getah bening pada karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren. Ekspresi COX-2 positif sebelum kemoradioterapi konkuren tertinggi ditemukan pada kelompok N2-N3 yaitu sebanyak 14 (82,4%) dan ekspresi COX-2 negatif tertinggi pada kelompok N2-N3 yaitu sebanyak 5 (62,5%). Sedangkan ekspresi COX-2 positif sesudah kemoradioterapi konkuren tertinggi ditemukan pada kelompok N0-N1 yaitu sebanyak 9 (75,0%) dan ekspresi COX-2 negatif juga tertinggi ditemukan pada kelompok N0-N1 yaitu sebanyak 8 (61,5%).

Dilakukan Wilcoxon Signed Ranks Test untuk menilai adanya perbedaan antara kelompok kelenjar getah bening (N) sebelum kemoradioterapi konkuren dan sesudah kemoradioterapi konkuren dengan ekspresi COX-2 didapatkan nilai p > 0,05.

(55)

Tabel 4.8. Distribusi frekuensi stadium Klinis KNF berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren

(56)

Tabel 4.9. Perbedaan antara kelompok Stadium Klinis KNF berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren.

p=0,059

Distribusi frekuensi antara kelompok ukuran stadium klinis pada karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi COX-2 sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren. Ekspresi COX-2 positif sebelum kemoradioterapi konkuren tertinggi ditemukan pada kelompok stadium II-III-IV yaitu sebanyak 17 (100%) dan ekpresi COX-2 negatif tertinggi pada kelompok II-III-IV yaitu sebanyak 8 (100%). Sedangkan ekspresi COX-2 positif sesudah kemoradioterapi konkuren tertinggi ditemukan pada kelompok II-III-IV yaitu sebanyak 10 (83,3%) dan ekspresi COX-2 negatif juga tertinggi ditemukan pada kelompok stadium II-III-IV yaitu sebanyak 10 (76,9%).

Dilakukan Wilcoxon Signed Ranks Test untuk menilai adanya perbedaan antara kelompok stadium klinis sebelum kemoradioterapi konkuren dan sesudah kemoradioterapi konkuren dengan ekspresi COX-2 didapatkan nilai p > 0,05.

(57)

BAB 5 PEMBAHASAN

Penelitian Melani & Sofyan (2013) keluhan utama berupa benjolan dileher 89,4% kemudian hidung sumbat dan terapi yang paling banyak digunakan adalah kemoterapi 57,6%. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemberian kemoradioterapi konkuren memberikan hasil yang lebih baik daripada pemberian radioterapi tunggal pada karsinoma nasofaring stadium II, stadium lanjut lokal (locally advance) dan stadium lanjut (Chen et al. 2011; Lin et al. 2003).

Dengan pemberian kemoradioterapi konkuren pada karsinoma nasofaring memang diharapkan terjadi perbaikan gejala klinis sebagaimana yang dijumpai pada penelitian ini dimana perbaikan gejala klinis sebelum dan sesudah kemoraditerapi konkuren yang paling banyak ditemukan pada gejala hidung sumbat, tinnitus dan epistaksis.

(58)

Harahap (2009) menambahkan pada 4768 penderita KNF, gejala yang dikeluhkan pada saat pertama datang adalah benjolan di leher (76%), gangguan hidung (73%), gangguan telinga (62%), sakit kepala (35%), penglihatan ganda (11%), rasa kebas di wajah (8%), penurunan berat badan (7%) dan trismus (3%).

Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL (Rasyid 2000). Pada penelitian menggunakan uji korelasi prospektif meneliti antara hemoglobin sebelum dan sesudah radioterapi dan didapatkan hasil yang signifikan (Holzner et al. 2002).

Gao et al. (2009) meneliti nilai hemoglobin sebelum, sesaat dan sesudah radioterapi pada 520 pasien karsinoma nasofaring yang mendapat radioterapi dan menyimpulkan nilai Hb sebelum radioterapi lebih baik dari saat radioterapi dan lebih baik dari sesudah radioterapi, seperti halnya dengan penelitian ini.

Penurunan kadar Hb pada penderita karsinoma nasofaring yang menjalani kemoradioterapi dikarenakan efek penekanan sumsum tulang akibat obat-obat kemoterapi, radioterapi, asupan makanan yang tidak mencukupi dan infiltrasi tumor pada tulang (Gao et al. 2009).

(59)

Penelitian Baehaqi (2012) dengan desain penelitian observasional bahwa pasien yang terbanyak adalah kelompok pada skor karnofsky 70 sebanyak 10 orang. Harnoko et al. (2007) menambahkan tampilan klinis penderita kanker paru dalam skor karnofsky terbanyak adalah 70-80 (73,5%). Dalam pengelompokan tampilan klinis 70-80 pada skor Karnofsky sebanyak 14 (77,8%) pada kelompok megestrol asetat dan 11 (68,8%) kelompok kontrol. Melalui uji chi square tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok (p=0,302). Pasien pada skor karnofsky sebelum kemoradioterapi melakukan aktifitas yang terbatas setelah menjalani kemoradioterapi meningkat menjadi skor 80 sebanyak 35%. Walaupun ketahanan hidup yang lama merupakan tujuan utama kemoterapi, namun kualitas hidup juga merupakan pertimbangan yang penting dalam terapi (Kayl & Meyers 2006). Sesuai dengan penelitian ini skor karnofsky pada penderita KNF cenderung membaik.

Hasil penelitian Tjokroprawiro & Yusuf (2012) dari 123 pasien (77,4%) dengan ukuran tumor <4 cm sedangkan sisanya 36 pasien (22,6%) dengan ukuran tumor >4 cm. Disimpulkan tidak terdapat perbedaan dalam respon terapi yang didapat pada pasien dengan ukuran tumor >4 cm (16,7% respon lengkap) dengan <4 cm respon lengkap (33,3%) (p=0,062). Iskandar, Andrijono & Supriana (2008) menambahkan adanya kecenderungan kemungkinan terjadinya persistensi 2,3 kali pada kelompok radioterapi dibandingkan dengan yang mendapat kemoradioterapi. Hubungan antara jenis terapi dengan persistensi HPV ini menunjukkan tidak ada perbedaan antara yang mendapat kemoradioterapi dibanding dengan yang hanya mendapat radioterapi saja (p=0,09).

(60)

Pada awal perkembangan kanker kolon ekspresi COX-2 lebih sedikit (Sheehan et al. 1999). Perkembangan ukuran tumor meningkat memiliki hubungan dengan peningkatan COX-2. Hal ini disebabkan oleh semakin luas area inflamasi maka semakin banyak sel yang mengekspresikan 2 (Sinicrope & Gill 2004). Sesuai dengan penelitian ini ekspresi COX-2 pada penderita KNF terdapat perbaikan klinis sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren. Ekspresi COX-2 sangat sedikit terdapat pada mukosa kolon, terekspresi 50% pada adenoma dan 80% pada karsinoma (William et al. 1999).

Widiastuti (2011) menyatakan bahwa tidak didapatkan perbedaan rerata ekspresi protein BCL-2, CD-44, COX-2 dan VEGF pada penderita KNF di nasofaring dan kelenjar getah bening di leher. Pada penelitian ini juga tidak didapatkan perbedaan bermakna ukuran kelenjar getah bening sebelum dan sesudah kemoradioterapi konkuren secara statistik namun secara klinis terjadi perbaikan klinis bermakna sesudah kemoradioterapi konkuren dilihat dari distribusi tampilan ekspresi COX-2 positif kelompok N2-N3 menjadi N0-N1. Penelitian oleh Uchida et al. (2013) melaporkan sebanyak 24 pasien dengan metastasis yang melibatkan kelenjar getah bening menerima kemoterapi. Kejadian kambuh adalah 4 (16%) dengan kemoterapi dan 6 (5%) tanpa kemoterapi dari 116 pasien, dan antar kelompok tidak signifikan (p=0,06). Penjalaran ke getah bening merupakan faktor penyebab sulitnya menghentikan metastasis karsinoma nasofaring, karena sel kanker dapat bermigrasi/berpindah ke organ lain melalui getah bening. Penyebaran ke kelenjar ini tejadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan sub mukosa nasofaring. Penyebaran ke kelenjar getah bening biasanya berawal dari nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu nodus Rouvierre.

(61)

ukurannya lebih dari 3 cm tetapi kurang dari 6 cm kemungkinan kambuh menjadi 35,1%. Kelenjar getah bening dengan ukuran lebih dari 6 cm kemungkinan kambuh sebesar 55,5%. Tumor kambuh biasanya lebih resisten. Median survival setelah kambuhnya tumor primer di nasofaring sekitar 10 minggu. Sedangkan Neel (1993) mendapatkan angka bertahan hidup 10 tahun sebesar 30,5% pada pengobatan radiasi yang pertama kali, dan hanya 11,5% bila diberikan radiasi ulang setelah mengalami kekambuhan (Kentjono 2003).

Hal ini berbeda dengan Ekawati & Handayani (2012) bahwa terdapat perbedaan kelangsungan hidup (survival rate) antara penderita locally advanced cervical cancer yang mendapat kemoradioterapi dibandingkan dengan penderita yang mendapat radioterapi saja. Penelitian lain yang serupa mendapatkan perbedaan pola regresi antara tumor primer dan kelenjar getah bening leher. Terjadi Complete Respons pada akhir dari radioterapi (62%) dan meningkat menjadi 80% pada 2 bulan pasca radioterapi, sedangkan pada kelenjar getah bening leher hanya CR 32 % pada akhir radioterapi dan meningkat menjadi 76% pada 2 bulan setelah radioterapi (Vijayakumar & Hellman 1997; Ekawati & Handayani 2012). Penelitian Gandamihardja et al. (2010) menyatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada stadium penyakit dan umur penderita berdasarkan peran cyclooxygenase antara kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil penelitian ini juga didukung penelitian Tan & Putti (2005) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara ekspresi COX-2 dengan stadium tumor yang lebih tinggi.

(62)

Firdaus dan Prijadi (2009) menambahkan bahwa beberapa penelitian melaporkan 5 year-survival-rate pasien dengan terapi radiasi primer sekitar 40-60%. 5 year-survival-rate KNF stadium I sekitar 85-95%, dan stadium II dengan terapi radiasi saja sekitar 70-80%. 5 year-survival-rate stadium III dan IV dengan penatalaksanaan radioterapi saja berkisar 24-80%, dimana hasil maksimal didapatkan pada penduduk Asia Tenggara dan dengan tambahan kemoterapi.

Penelitian meta-analisis Agulnik & Siu (2005) terhadap 8 penelitian membandingkan kemoradioterapi dengan radioterapi tunggal. Semua penelitian ini menggunakan radioterapi dan kemoterapi Cisplatin mendapatkan peningkatan survival rate apabila kemoterapi diberikan secara konkuren dengan radioterapi. Meta-analisis ini mengkonfirmasi peranan konkuren kemoradioterapi sebagai penatalaksanaan standard untuk KNF stadium lanjut lokoregional.

(63)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan bahwa

1. Distribusi frekuensi gambaran klinis tertinggi ditemukan pada kelompok benjolan leher sebanyak 22 gejala (88,0%) (sebelum kemoradioterapi konkuren) dan 16 gejala (64,0%) (sesudah kemoradioterapi konkuren).

2. Distribusi frekuensi Kadar hemoglobin tertinggi pada kadar Hb 12-16gr% sebanyak 21 (84,0%) (sebelum kemoradioterapi konkuren) dan 12 (48,0%) (sesudah kemoradioterapi konkuren). 3. Distribusi frekuensi Skor karnofsky berdasarkan karsinoma

nasofaring tertinggi pada kelompok 70 sebanyak 14 (56,0%) (sebelum kemoradioterapi konkuren) dan sebanyak 17 (68,0%) pada kelompok ≥ 80 (sesudah kemoradioterapi konkuren). 4. Distribusi frekuensi ukuran tumor primer pada karsinoma

nasofaring berdasarkan tampilan ekspresi COX-2 positif tertinggi ditemukan pada kelompok T3 sebanyak 5 (29,5%) (sebelum kemoradioterapi konkuren) dan T1 sebanyak 6 (50,0%) (sesudah kemoradioterapi konkuren). Secara klinis terdapat perbaikan klinis bermakna antara kelompok ukuran tumor primer (T) sebelum kemoradioterapi konkuren dan sesudah kemoradioterapi konkuren dengan ekspresi COX-2 namun dengan uji statistik dengan Wilcoxon signed Ranks Test tidak dijumpai perbedaan yang bermakna (p > 0,05).

(64)

(41,7%) (sesudah kemoradioterapi konkuren). Secara klinis terdapat perbaikan klinis bermakna antara kelompok kelenjar getah bening (N) sebelum kemoradioterapi konkuren dan sesudah kemoradioterapi konkuren dengan ekspresi COX-2 namun dengan uji statistik dengan Wilcoxon signed Ranks Test tidak dijumpai perbedaan yang bermakna (p > 0,05).

6. Distribusi frekuensi stadium klinis pada karsinoma nasofaring berdasarkan tampilan ekspresi COX-2 positif tertinggi pada stadium IV sebanyak 11 (64,7%) (sebelum kemoradioterapi konkuren) dan pada stadium II sebanyak 4 (33,3%) (sesudah kemoradioterapi konkuren). Secara klinis terdapat perbaikan klinis bermakna antara kelompok stadium klinis sebelum kemoradioterapi konkuren dan sesudah kemoradioterapi konkuren dengan ekspresi COX-2 namun dengan uji statistik dengan Wilcoxon signed Ranks Test tidak dijumpai perbedaan yang bermakna (p > 0,05).

6.2 Saran

(65)

DAFTAR PUSTAKA

Adham, M, Kurniawan, AN, Muhtadi, AI, Roezin, A, Hermani, B, Gondhowiardjo, Tan, IB, & Middedrop, JM 2012, ‘Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs and symptoms at presentation’ Chinese Journal of cancer, vol. 31, no. 4, pp. 185 - 96.

Agulnik M., Siu LL. 2005. ‘State-of-the-art management of nasopharyngeal carcinoma: current and future directions’. Brit J Cancer (92) :pp.799-806.

Andrianto, Y 2008, Peranan Pemeriksaan Immunohistokimia COX-2 pada Karsinoma Nasofaring, Tesis, Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Baehaqi, R 2012, Hubungan Antara Jumlah Leukosit, Dan Skor Karnofsky pada Pasien Kanker Paru, Karya Tulis Ilmiah, Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Brennan, B 2006, ‘Nasopharyngeal Carcinoma’, Orphanet Journal of Rare Diseases, Vol. 1, no. 23, pp. 1 - 5.

Borek, C 2004, ‘Antioxidant and radiation therapy’, Nutrition J, Vol. 134, pp. 3207-3209.

(66)

Cervello, MD, Fodera, AM, Florena, M, Soresi, C, Tripodo, ND, Alessandro & Montalto, G 2005, ‘Correlation between expression of cyclooxygenase-2 and the presence of inflammatory cells in human primary hepatocellular carcinoma: Possible role in tumor promotion and angiogenesis’, World J. Gastroenterol, vol. 11, no.30, pp.4638-43.

Chen, QY, Wen, YF, Guo, L, Liu, H, Huang, PY, Mo, HY, Li, NW, Xiang, YQ, Luo, DH, Qiu, F, Sun, R, Deng, MQ, Chen, MY, Hua, YJ, Guo, X, Lao, KJ, Hong, MH, Qian, CN & Mai, HQ 2011, ‘Concurrent chemoradiotherapy vs radiotherapy alone in stage II nasopharyngeal carcinoma: Phase III randomized trial’, J Natl Cancer Inst, vol. 103, pp.1-10.

Chew, CT 1997, Nasopharynx (the post nasal space), in Kerr AG (ed), Scott-Brown’s Otolaryngology, Vol. 5, 6th edn, Butterworth Heinemann, Oxford.

Choy, H & Milas, L 2003, ‘Enhancing Radiotherapy with Cyclooxygenase-2 Enzym Inhibitors: A Rational Advance?’, Journal of the National Cancer Institute, Vol. 95, no. 19, pp. 1440-1452.

Cummings, CW, Fredrickson, JM, & Harker, LA 2005, Nasopharyngeal Carcinoma, Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery 4th edition, USA, Mosby.

(67)

Firdaus, MA & Prijadi, J 2009, Kemoterapi Neoadjuvan pada Karsinoma Nasofaring, Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang.

Gallo, O, Franchi, A, Magnelli, L, Sardi, I, Vannacci, A, Boddi, V, Chiarugi, V & Marsini, E 2001, ‘Cyclooxygenase-2 Pathway Correlates with VEGF Expression in Head and Neck Cancer. Implications for Tumor Angiogenesis and Metastasis’, Neoplasia, Vol. 3, no. 1, pp. 53 - 61.

Gandamihardja, S, Firman, F, Wirakusumah, Shahib, N,Sastramihardja, HS, Aziz, F 2010, ‘Peran Siklooksigenase dalam Pertumbuhan Kanker Leher Rahim’, Departemen Obstetri dan Ginekologi, Departemen Biokimia, Departemen Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Padjdjaran, Bagian Obsteri dan Ginekologi Klinik Universitas Indonesia. MKB, vol. 42, no. 4, pp.169-74.

Gao, J, Hu, JY, Xia, YF, Tao, YL & Li, G 2009, ‘Continuous fall in hemoglobin level is a poor prognostic factor in patients with nasopharyngeal carcinoma treated with radiotherapy’, Chinese Journal of Cancer, pp. 561-5.

Guigay, J, Temam, S, Bourhis, J, Pignon, JP, Armand, JP 2006, ‘Nasopharyngeal Carcinoma and Therapeutic Management: The Place of Chemotherapy’, Annals of Oncology, Vol. 17, no. 10, pp. 304 - 307.

Gambar

Gambar 1: Penataksanaan KNF menurut NCCN 2010
Gambar 2: Aktivitas enzim cyclooxygenase (Choy & Milas 2003)
Gambar 3:  Pewarnaan Imunohistokimia COX-2  (Tan & Putti 2005).
Gambar 5 : Kerangka kerja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa judul tesis yang berjudul “Perbedaan Ekspresi Trombospondin-1 pada Karsinoma Nasofaring WHO Tipe 3 Stadium III dan Stadium IV”

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta

untuk penyusunan penelitian tesis Saya dan tidak untuk keperluan

Penelitian yang akan dilaksanakan ini berjudul ” Gambaran Darah Tepi pada Penderita Karsinoma Nasofaring Sebelum dan Sesudah Kemoradioterapi di RSUP.H.Adam Malik tahun

Tidak menemukan hubungan signifikan antara ekspresi PPARγ pada frekuensi tumor primer (T) dan tipe histopatologi karsinoma nasofaring. Ditemukan hubungan signifikan antara

tumor primer, ukuran kelenjar getah bening, stadium klinis dan ekspresi immunohistokimia pre dan post kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan dengan plasebo,

Penelitian ini menemukan adanya hubungan ekspresi TNF- α dengan ukuran tumor primer dari karsinoma nasofaring (p &lt; 0,05) dimana hal ini sesuai dengan ber- bagai penelitian

LEMBAR PENGESAHAN PENGARUH PEMBERIAN PHALERIA MACROCARPA TERHADAP FUNGSI HEPAR PENDERITA KARSINOMA NASOFARING YANG MENDAPAT KEMOTERAPI CISPLATIN Oleh: Adi Januar Akbar