• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN EKSPRESI CYCLOOXYGENASE-2 DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA NASOFARING TIPE UNDIFFERENTIATED CARCINOMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN EKSPRESI CYCLOOXYGENASE-2 DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA NASOFARING TIPE UNDIFFERENTIATED CARCINOMA."

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

HUBUNGAN EKSPRESI

CYCLOOXYGENASE-2

DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA

NASOFARING TIPE

UNDIFFERENTIATED

CARCINOMA

ANAK AGUNG GDE BAGUS TRI KESUMA NIM 1014078203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

HUBUNGAN EKSPRESI

CYCLOOXYGENASE-2

DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA

NASOFARING TIPE

UNDIFFERENTIATED

CARCINOMA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

ANAK AGUNG GDE BAGUS TRI KESUMA NIM 1014078203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 2 FEBRUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. I Gde Ardika Nuaba Sp. T.H.T.K.L (K), FICS Prof. Dr.dr. N. Adiputra, Sp. Erg, PFK, MOH NIP. 19610615 1987 09 1 001 NIP. 19471211 1976 02 1 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal : 2 Februari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 511/ UN 14.4/ HK/ 2016

Tanggal : 9 Januari 2016

Penguji :

1. dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.T.H.T.K.L (K), FICS (Pembimbing I) 2. Prof.Dr.dr.N. Adiputra, M.OH (Pembimbing II)

3. Prof.dr.W. Suardana, Sp.T.H.T.K.L (K) 4. dr. Eka Putra Setiawan, Sp. T.H.T.K.L (K) 5. Dr.dr. I Made Muliarta, M.Kes

(5)
(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastyastu,

Pertama – tama perkenankanlah saya memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakutas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. KEMD, saya mengucapkan terima kasih sebesar besarnya atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi di Universitas Udayana.

Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. DR. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, saya mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya atas berkenannya mengijinkan saya menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Kepada direktur RSUP Sanglah dr. A, A. Sri Saraswati, M.Kes, saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan untuk melakukan penelitian di Poli THT-KL RSUP Sanglah.

(7)

vii

selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Sanglah dan dr. I Wayan Sucipta, Sp.T.H.T.K.L., selaku Sekretaris Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Sanglah, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar –besarnya, rasa kagum dan hormat setinggi – tingginya karena telah berkenan memberikan kesempatan, dukungan, bimbingan dan motivasi selama mengikuti pendidikan spesialisasi ini. Kepada dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS selaku Sekretaris Program Studi PPDS I Ilmu Kesehatan THT-KL dan sekaligus selaku pembimbing I, saya mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya atas kesempatan, bimbingan, motivasi dan waktu yang diberikan sejak awal pendidikan sampai akhir.

(8)

viii

Kepada semua guru saya di Bagian Ilmu THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. I Made Sudipta, Sp.T.H.T.K.L., dr Luh Made Ratnawati, Sp.T.H.T.K.L., dr. A. A. Sagung Putri, Sp.T.H.T.K.L., dr Made Wiranadha, Sp.T.H.T.K.L., dr. Made Lely Rahayu, Sp.T.H.T.K.L., dr. KM. Andi Dwi Saputra, Sp.T.H.T.K.L., dr. Sari Wulan Dwi Sutanegara, Sp.T.H.T.K.L., dr. Agus Rudi Asthuta, Sp.T.H.T.K.L., dr. Ketut Suanda, Sp.T.H.T.K.L., saya haturkan hormat yang setinggi – tingginya, penghargaan dan terima kasih yang sebesar –besarnya atas semua bimbingan, nasehatnya dan tiada mengenal waktu selalu memberikan dasar – dasar ilmu THT-Kl untuk diterapkan nantinya. Kepada semua teman – teman residen THT-KL, saya mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya dalam menjalani pendidikan yang penuh suka duka ini. Kepada segenap perawat dan karyawan yang telah membantu dan bekerjasama dalam lingkup THT-KL, saya mengucapkan terima kasih atas seluruh perhatian, bantuan dan pengalamannya selama pendidikan ini. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada semua pasien atas “ilmu” dan kerjasamanya.

(9)

ix

spesialisasi ini. Kepada kedua kakak saya, A. A. Eka Dharma Kusumawati, SH dan A. A Dewi Yuli Krisnawati, SIP., terima kasih saya ucapkan karena telah membantu dan membimbing dan mengawasi anak – anak saya.

Kepada istriku tercinta dr. Dewa Ayu Putu Diah Dharmayanti, M.Biomed, Sp.An., yang selalu mendampingi dengan penuh cinta kasih, pengertian, kesabaran, pengorbanan dan memberikan motivasi serta doa yang tulus selama saya menempuh pendidikan hingga terselesaikan tesis ini, saya mengucapkan penghargaan dan rasa terima kasih yang tak terhingga, kepada putra putriku tercinta, A. A. Gde Putra Kesuma dan A. A. Istri Laksita Putri Kesuma, yang telah menjadi motivasi dan semangat seta selalu bersabar menunggu ayah pulang, ayah ucapkan terima kasih.

Akhirnya saya menghaturkan doa semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak, yang tertulis diatas maupun yang tidak tertulis, yang telah membantu selama proses pendidikan dan penyelesaian tesis ini baik secara langsung dan tidak langsung.

(10)

x

ABSTRAK

HUBUNGAN EKSPRESI CYCLOOXYGENASE-2 DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA NASOFARING TIPE UNDIFFERENTIATED

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut, sehingga prognosis penderita buruk. WHO menetapkan KNF menjadi 3 tipe, dimana pada tipe undifferentiated carcinoma lebih banyak ditemukan dan stadium KNF diklasifikasi berdasarkan TNM . Kemajuan ilmu biologi molekuler menghasilkan pemahaman yang lebih baik terhadap marker biologi yang mempunyai nilai prognostik dan prediktif dari kanker. COX-2 adalah salah satu enzim yang merupakan salah satu bentuk dari prostaglandin yang terangsang selama proses radang dan neoplasma. Ekspresi seluler COX-2 meningkat diatas normal pada stadium awal karsinogesis dan melalui perkembangan tumor serta pertumbuhan invasif tumor. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan hubungan dan proporsi ekspresi COX-2 dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated carcinoma. Penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan cross-sectional dan dimulai dengan pengukuran COX-2 yang eligible dengan didapatkannya dua kelompok yaitu skor COX-2 dengan stadium IV dan skor COX-2 dengan stadium kurang dari IV. Dari catatan medik ditentukan sampel yang tergolong kriteria inklusi dan eksklusi serta dilakukan pencatatan data penderita KNF dengan hasil pemeriksaan histopatologi tipe undifferentiated carcinoma serta dilakukan pengumpulan data di Bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah kemudian dilakukan pengecatan IHK di Bagian Laboratorium PA FK/RSUP Sarjito Yogjakarta serta dilakuakn penilaian COX-2 oleh satu orang dokter spesialis Patologi Anatomi.

Pada penelitian ini didapatkan karakteristik subjek sebagai berikut, rerata umur pasien adalah 51,7 ± 14,4 tahun, dimana umur termuda pada usia 18 tahun dan paling tua pada usia 80 tahun. Proporsi jenis kelamin laki – laki lebih banyak daripada perempuan, yaitu sebanyak 42 pasien laki-laki (67,7%). Distribusi karakteristik pekerjaan yang paling banyak adalah pekerja swasta yaitu sebanyak 32 orang (51,6%). Untuk gambaran stadium klinis KNF tipe undifferentiated carcinoma yang paling banyak adalah pada stadium III dan IV B yaitu sebanyak 19 pasien (30,7%) dan yang paling sedikit yaitu stadium II A sebanyak 3 pasien (4,8%). Proporsi untuk skor yang paling banyak yaitu pada COX-2 skor 3 sebanyak 34 pasien (54,8%) dan yang paling sedikit pada COX-2 skor 2 sebanyak 4 pasien (6,5%). Hubungan COX-2 dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated carcinoma didapatkan COX-2 skor 1 sebanyak 7 pasien (100%) yang terjadi pada stadium <IV , COX-2 skor 2 sebanyak 4 pasien (100%) pada stadium <IV. COX-2 skor 3 sebanyak 20 pasien (58,8%) pada stadium<IV dan 14 pasien (41,2%) stadium IV. COX-2 skor 4 sebanyak 17 pasien (100%) pada stadium IV. Secara statistik hal ini bermakna dengan nilai p dari Fisher’s exact test p<0,001. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan kuat antara skor COX-2 dengan stadium klinis KNF dimana terlihat semakin tinggi ekspresi COX-2 maka kejadian KNF stadium IV semakin tinggi.

(11)

xi

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP OF CYCLOOXYGENASE-2 EXPRESSION AND CLINICAL STAGE OF THE UNDIFFERENTIATED TYPE NASOPHARYNGEAL

CARCINOMA

Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a malignant tumor typically diagnoses in the late stage, consequency of the patient’s bad prognosis. WHO defined NPC into 3 types, with undifferentiated carcinoma type as the most commonly found and classified based on TNM. The advances of molecular biology has found better understanding in biology marker with prognostic and predictive values of cancer. COX-2 is one form of enzyme of prostaglandin which is stimulated during inflammation process and in neoplasma. Cellular COX-2 expression raises above normal in early stage of carcinogenesis with the development of the tumor and invasive tumor growth. The aim of this study is to prove the relationship and proportion of COX-2 expression with the clinical stage of the undifferentiated carcinoma type NPC.

This study ia an observational analytic study with a cross-sectional design started with measurement of eligible COX-2 from two groups, ie: COX-2 score in stage IV and COX-2 score with stage less than IV. The samples were classified by inclusion and exclusion criteria based on the medical record, data record of NPC patients with histopathology result of undifferentiated carcinoma type and further data collected from Pathology Anatomy Department of Sanglah General Hospital, then IHK staining at the Pathology Anatomy Laboratory Department of Sarjito General Hospital Yogyakarta and examination of COX-2 was performed by one pathology anatomy specialist doctor.

The result of this study, the average age of patients were 51,7 with standard deviation 14,4 with the youngest at age 18 and the oldest at age 80 years old. The proportion of sex was more male than female, 42 patients (67,7%). The characteristic work distribution were mainly private employes, ie: 32 people (51,6%). The clinical stage description of the undifferentiated carcinoma type NPC was mainly stage III and IV B of 19 patients (30,7%) and stage II A of 3 patients (4,8%). The proportion of the highest score is score 3 COX-2 of 34 patients (54,8%) and score 2 COX-2 of 4 patients (6,5%). The relationship of COX-2 and the undifferentiated carcinoma type NPC resulted score 1 COX-2 with 7 patients (100%) which occured in stage <IV, score 2 COX-2 with 4 patients (100%) in stage <IV. Score 3 COX-2 with 20 patients (58,8%) in stage <IV and 14 patients (41,2%) in stage IV. Score 4 COX-2 with 17 patients (100%) stage IV. Statistically it was significan with the p value of the Fisher’s exact test p< 0,001. This study showed there is a strong relationship of COX-2 score and clinical stage of NPC clinical stage where is with higher COX-2 expression pattern there is a higher incidence of NPC stage IV.

Keyword: undifferentiated carcinoma type NPC, clinical stage, COX-2 expression.

(12)

xii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

2.2.5 Histopatologi dan stadium ... 15

2.2.6 Diagnosis ... 18

2.2.7 Penatalaksanaan dan prognosis ... 19

(13)

xiii

4.3.5 Perhitungan besar sampel ... 41

4.4 Hubungan Antar Variabel ... 42

4.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 42

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Digby Score ... 15 Tabel 5.1 Gambaran karakteristik Subyek Penelitian ... 48 Tabel 5.2 Gambaran stadium Klinis KNFTipe Undifferentiated Carcinoma,

skor COX-2 dan Intensitas Pewarnaan COX-2 ... 49 Tabel 5.3 Hasil Aanalisis Bivariabel Hubungan COX-2 dengan

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring ... 8

Gambar 2.2 Skema sederhana dasar molekuler penyakit kanker ... 22

Gambar 2.3 Enam tanda utama kanker ... 24

Gambar 2.4 Jalur Cyclooxygenase ... 26

Gambar 3.1 Bagan konsep ... 37

Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian ... 38

Gambar 4.2 Hubungan Antar Variabel ... 42

Gambar 4.3 Alur Penelitian... 45

Gambar 5.2.1 Gambaran stadium klinis KNF tipe undifferentiated ... 50

Gambar 5.2.2 Skor COX-2... 50

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

AJCC = American Joint Committee on Cancer

BCL2 = B Cell Lymphoma 2

BFGF = Basic Fibroblast Growth Factor

CT-Scan = Computed Tomography Scaning

COX-2 = Cyclooxygenase-2

DNA = Deoxyribonucleic Acid

EBV = Epstein Barr Virus

ECM = Extracellular Matrix

EGFR = Epidermal Growth Factor Receptor

EBNA = Epstein Barr Virus Nuclear Antigen

HLA = Histocompatibility Locus Antigen

IARC = Internasional Agency for Research on Cancer

IgA = Imunoglobulin A IL = Interleukin

KNF = Karsinoma Nasofaring LMP = Latent Membran Protein

MRI = Magnetic Resonance Imaging

MAPK = Mitogen Activated Protein Kinase

MMP2 = Matrix Metalloproteinase-2

NALT = Nose Associated Lymphoid Tissue

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Surat Kelaikan Etik ... 65 Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian ... 66 Lampiran 3. Subjek Penelitian ... 67 Lampiran 4. Gambaran mikroskopis ekspresi COX-2 KNF

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi salah satu penyebab kematian utama di bidang kanker kepala leher, sehingga angka ketahanan hidup rendah dan prognosis penderita buruk. Etiologi KNF sangat kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan lingkungan (Brennan, 2006). Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF sehingga kekerapan cukup tinggi terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia (Her, 2001). KNF merupakan kanker yang sering terjadi di Indonesia dan menempati peringkat ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara, kanker kulit dan merupakan kanker yang paling sering terjadi di bagian kepala leher. Penyakit ini 100% terkait dengan EBV, terutama tipe undifferentiated carcinoma. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher adalah KNF, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), tumor ganas rongga mulut, tonsil, tiroid dan hipofaring dalam presentase yang lebih rendah (Roezin dan Adham, 2007).

(19)

2

Berdasarkan data Patologi Anatomi angka kejadian KNF di Indonesia adalah 4,7 per 100.000 penduduk, di mana angka ini merupakan data resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (Lutan dkk, 2003).

Diagnosis dini sangat menentukan prognosis penderita. Hal ini sulit dicapai karena anatomi nasofaring tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak maupun leher. Diagnosis dini KNF, merupakan KNF dengan stadium I atau II, dimana pada stadium ini belum terjadi metastasis regional. Hal ini sangat sulit dicapai baik di Indonesia maupun di luar negeri. Metastasis merupakan penyebab kematian (90%) dari semua kanker, dan menimbulkan gejala klinis yang berbeda. Metastasis menunjukkan proses yang terkoordinasi, memiliki tahapan-tahapan yang meliputi pemisahan sel dari tumor primer untuk berkembang menjadi lesi baru di organ jauh. Metastasis merupakan hasil dari pengaruh yang kompleks dari perubahan adhesi antar sel, motilitas dan migrasi sel (Chew, 2003). Pertumbuhan tumor yang cepat menyebabkan KNF memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menginvasi daerah yang berdekatan, bermetastasis ke limfonodi regional dan organ jauh. Lebih dari 60% pasien KNF yang datang didiagnosis dengan metastasis. Apabila telah terjadi metastasis maka prognosis penyakit menjadi jelek dan menyebabkan tingkat kegagalan terapi yang tinggi (Nakayana dkk., 2011).

Diagnosis pasti memerlukan biopsi lesi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk menentukan stadium penyakit. Pemeriksaan radiologi yang lebih baik untuk KNF adalah CT-Scan (Computed Tomography

(20)

3

enhancement pada regio tersebut dapat dicurigai adanya suatu proses keganasan.

Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang perluasan dan keterlibatan intrakranial. CT-Scan pada bone setting dapat menunjukkan adanya erosi tulang. Faktor-faktor ini penting untuk menentukan stadium penyakit (Jeyakumar dkk., 2006).

Masalah yang dihadapi dalam penanganan KNF adalah bahwa sebagian besar penderita datang pada stadium lanjut, dan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Diagnosis dini seringkali sulit dilakukan karena gejala yang tidak khas dan pemeriksaan nasofaring yang sulit dilakukan. Selain itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastasis regional maupun jauh, sehingga menyebabkan penatalaksanaan KNF belum memberikan hasil yang memuaskan (Jeyakumar dkk., 2006).

Radioterapi merupakan pengobatan terpilih dalam penatalaksanaan KNF. Radioterapi merupakan pilihan utama dalam pengobatan KNF kasus baru dan belum mengalami metastasis. Apabila KNF sudah bermetastasis, maka penggunaan kemoterapi menunjukan respon yang tinggi (King dkk., 2006).

(21)

4

merupakan akumulasi dari lesi genetik yang sangat kompleks (Cho, 2007). Akumulasi lesi genetik tersebut antara lain berupa aktivitas gen pemicu pertumbuhan tumor (protoonkogen), tidak adanya aktivitas gen penghambat tumor dan gen pengendali apoptosis (programmed cell death) (Widiastuti dkk., 2001).

Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sintesis prostaglandin meningkat pada sel tumor dan jaringan kanker. Peningkatan nilai prostaglandin telah dideteksi pada kanker di berbagai lokasi anatomi, termasuk kepala dan leher, dan peran metabolit tersebut dalam pertumbuhan tumor serta metastasis telah dapat dipastikan.

Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim pada jalur biosintetik dari prostaglandin

(PG), tromboksan dan prostasiklin dari asam arakhidonat. Terdapat dua bentuk COX yaitu COX-1 berfungsi sebagai housekeeping gen pada hampir semua jaringan normal, dan COX-2 terangsang selama proses radang dan neoplasma (Choy dan Milas, 2003). Penelitian Tan dan Putti (2005), menyatakan bahwa ekspresi COX-2 sangat sering terlihat pada epitel nasofaring dari sel normal yang progresif, dysplasia dan karsinoma. Di samping itu juga terdapat hubungan ekspresi COX-2 dan prognosis buruk pada stadium lanjut KNF tipe undifferentiated carcinoma.

(22)

5

meningkat sekitar 60% pada pasien KNF stadium IV dan juga pada KNF yang mengalami metastasis (Chen dkk., 2005).

Penelitian mengenai marker biologi yang mempunyai nilai prognosis dan prediksi untuk penderita KNF belum banyak dilakukan, sehingga masih belum banyak data yang bisa menyatakan bahwa COX-2 mempunyai nilai prognosis dan nilai prediksi pada KNF. Dengan pemeriksaan IHK protein COX-2 yang berperan pada tumorgenesis KNF tipe undifferentiated carcinoma maka adalah hal yang penting untuk strategi penatalaksanaan penderita KNF.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: apakah terdapat hubungan ekspresi COX-2 dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated carcinoma ?

1.3Tujuan Penelitian

1. Membuktikan adanya hubungan antara ekspresi COX-2 dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated carcinoma.

2. Membuktikan proporsi ekspresi COX-2 pada stadium klinis KNF tipe

(23)

6

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teori

Dapat menambah pengetahuan dan informasi mengenai hubungan ekspresi COX-2 dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated carcinoma.

1.4.2 Manfaat aplikatif

Penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam mendukung pengembangan dan pemahaman marker biologi serta pemanfaatan ekspresi COX-2 sebagai faktor prediktif untuk penderita KNF.

1.4.3 Manfaat bagi institusi

Penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam penatalaksanaan KNF serta mendukung pengembangan pemanfaatan penghambat COX-2 sebagai terapi tambahan pada penderita KNF.

1.4.4 Manfaat bagi masyarakat

Peningkatan kualitas hidup pada penderita KNF dengan mengetahui secara dini prognosis penderita KNF.

1.4.5 Manfaat bagi pengembangan ilmu dan penelitian

(24)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Karsinoma Nasofaring

2.2.1 Anatomi nasofaring

Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior septum nasi. Lantai dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh sfenoid. Dinding lateral terdapat muara tuba Eustachius. Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau kripta. Secara histologi mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia (pseudostratified ciliated columnar

epithelium) yang ke arah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis

(stratified squamous epithelium). Di antara keduanya terdapat epitel peralihan

(transitional epithelium) yang terutama didapatkan pada dinding lateral di daerah fosa

Rosenmuller (Brennan, 2006).

Nasofaring memiliki pleksus limfatik submukosa yang banyak. Daerah drainase urutan pertama adalah nodul retrofaringeal yang terdapat di ruang retrofaringeal di antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia prevertebral. Sistem limfatik kemudian bermuara ke cincin juguler interna profunda bagian atas pada dasar tengkorak di dalam ruang parafaring retrostyloid di ujung atas otot sternokleidomastoid. Kemudian sistem limfatik bermuara ke posterior daerah

(25)

8

syaraf aksesorius dan bagian depan ke kelompok jugulodigastrik. Nasofaring adalah struktur yang terletak di garis tengah tubuh, kaya akan pembuluh limfe dengan muara yang bersilangan sehingga penyebaran sel tumor bilateral dan kontralateral tidak jarang dijumpai (Bailey dkk., 2006). Anatomi nasofaring disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2. 1 Anatomi Nasofaring

(dikutip dari Bailey dkk., 2006)

2.2.2 Epidemiologi

(26)

9

kulit dan merupakan kanker yang paling sering terjadi di bagian kepala leher. Penyakit ini 100% terkait dengan EBV, terutama tipe undifferentiated carcinoma. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher adalah KNF, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), tumor ganas rongga mulut, tonsil, tiroid dan hipofaring dalam prosentase yang lebih rendah (Roezin dan Adham, 2007). Berdasarkan data resmi yang dikeluarkan Departemen Kesehatan, angka kejadian KNF di Indonesia adalah 4,7 per 100.000 penduduk. (Roezin dan Adham, 2007). Dari data profil karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Hasanudin Makasar, periode Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di bidang THT-KL adalah karsinoma nasofaring. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2002-2007 ditemukan 684 penderita karsinoma nasofaring (Lutan dkk., 2003).

Berdasarkan data Internasional Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru karsinoma nasofaring di seluruh dunia dan sekitar 50.000 atau sekitar 40% dari kasus yang meninggal berasal dari Cina (Chang dan Adam, 2006). Penderita KNF dapat terjadi pada semua umur, rata-rata penderita karsinoma nasofaring berumur 45-55 tahun dengan 23,3 kasus/100.000 laki-laki dan 8,9 kasus/100.000 perempuan. Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3:1 (Jeon dkk., 2005).

(27)

10

Secara umum KNF ditemukan pada populasi yang lebih muda daripada kanker kepala dan leher di tempat lain. Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun dan mencapai puncak pada dekade IV dan dekade V (Chan dan Felip, 2009). Pada daerah resiko rendah usia terbanyak pada dekade V dan dekade VI tapi masih terdapat angka kejadian yang signifikan pada usia di bawah 30 tahun, dengan puncak awalnya antara usia 15-25 tahun. KNF lebih sering dijumpai pada pria daripada wanita dengan perbandingan pria dan wanita 3 : 1 (Marur dan Forastiere, 2008). Di Indonesia perbandingan penderita laki-laki dan perempuan berkisar antara 2-3 berbanding 1, dengan frekuensi terbanyak pada umur 40-60 tahun. Hasil penelitian di dalam maupun luar negeri melaporkan bahwa sebagian besar penderita (69-96%) datang berobat ke rumah sakit sudah dalam keadaan stadium lanjut atau stadium III dan IV (Widiastuti dkk., 2011).

2.2.3 Etiologi

Sampai saat ini penyebab pasti karsinoma nasofaring masih belum jelas. Secara umum etiologi karsinoma nasofaring merupakan hasil interaksi kondisi genetik yang

susceptible, bahan karsinogenik yang ada di lingkungan atau environmental

carcinogen dan adanya infeksi EBV (Chan dan Felip, 2009). Penelitian Her (2001),

(28)

11

Faktor ekstrinsik:

a. Infeksi Virus Epstein-Barr

KNF dianggap memiliki hubungan erat dengan EBV. Terutama antibodi IgA terhadap EBV dan DNA EBV dalam kadar yang tinggi pada serum penderita KNF. Dari berbagai jenis KNF hanya tipe undifferentiated yang memiliki hubungan imunohistologis dengan EBV. Tidak jelas bagaimana DNA virus berhubungan dengan karsinoma sel epitel dan kapan sel epitel terinfeksi dengan EBV, apakah sebelum atau sesudahnya berubah menjadi keganasan atau sebagai akibat rusaknya sistem pertahanan tubuh. EBV mampu merubah limfosit B namun tidak cukup bukti yang menyatakan bahwa dapat merubah sel epitel. EBV sendiri tidak bereplikasi di dalam sel tumor karsinoma nasofaring dan antigen virusnya tidak diekspresikan pada tumor ini (Cho, 2007; Jeyakumar dkk., 2006).

b. Faktor lingkungan dan kebiasaan hidup

Ikan yang diasinkan dianggap sebagai faktor etiologi penting pada populasi Cina bagian selatan. Ikan laut yang diasinkan mengandung sejumlah nitrosamine volatile

(29)

12

Sejumlah faktor inhalasi dari lingkungan telah dilaporkan berhubungan dengan KNF. Dilaporkan juga adanya hubungan positif antara penggunaan bahan bakar fosil untuk memasak dan KNF. Di Kenya kejadian KNF cukup tinggi, di mana penduduk yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang buruk di mana asap dan uap hasil memasak tidak dapat keluar dari atap yang sangat tertutup rapat. Orang merokok selama 10 tahun atau lebih memiliki resiko tinggi terhadap KNF (Kumar, 2003).

Faktor intrinsik: Genetik

Ras mongoloid terutama bagian selatan merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia (Dewi dkk., 2012). Pasien dengan KNF pada populasi Cina berasal dari sub populasi dengan genetik yang khas. Sampai saat ini HLA adalah satu-satunya sistem genetik yang memiliki hubungan erat dengan kanker ini. Lokus HLA yang terlibat pada KNF adalah lokus HLA-A dan DR yang terdapat pada rantai pendek kromosom 6 (Cho, 2007).

2.2.4 Gejala dan tanda klinis

(30)

13

tumor primer dan perluasannya. Secara umum dapat dibagi menjadi empat kelompok gejala, antara lain gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata serta gejala metastasis atau gejala leher. Adanya kecurigaan tumor ganas nasofaring harus dipikirkan apabila dijumpai trias gejala sebagai berikut: 1) tumor leher, gejala telinga dan gejala hidung, 2) gejala intrakranial, gejala telinga dan gejala hidung, 3) tumor leher, gejala intrakranial dan gejala hidung (Gourzones dkk., 2013). KNF sering muncul pertama kali di fosa Rosenmuller dekat dengan muara tuba Eustachius, sehingga gejala-gejala awal berupa keluhan di telinga seperti rasa penuh, berdenging, kadang-kadang disertai penurunan pendengaran. Gejala ini disebabkan oleh karena oklusi muara tuba Eustachius oleh masa tumor. Gejala hidung dapat berupa pilek-pilek, hidung buntu dan ingus bercampur darah. Gejala di mata berupa pandangan kabur atau diplopia (Chew, 2003).

Metastasis tumor ke kelenjar getah bening leher regional sering terjadi, yaitu sekitar 65%-80%. Pembesaran kelenjar getah bening servikal merupakan gejala pertama yang timbul pada penderita KNF. Kelenjar limfe retrofaringeal lateral

(rouviere nodes) merupakan filter kelenjar yang pertama, namun tidak dapat

(31)

14

Gejala lanjut karsinoma nasofaring terjadi akibat perluasan tumor ke jaringan sekitarnya. Tumor dapat meluas ke arah superior menuju ke intrakranial dan menjalar sepanjang fosa kranii media. Sel tumor biasanya masuk ke rongga tengkorak melalui foramen laserum dan menimbulkan lesi pada kelompok saraf kranialis anterior (saraf kranialis III, IV dan VI). Perluasan tumor ke arah anterior menuju rongga hidung, sinus paranasalis, fosa pterigopalatina sampai orbita, sehingga terjadi lesi pada saraf kranialis I dan II. Tumor yang besar dapat mendesak palatum mole, menimbulkan obstruksi saluran nafas atas dan saluran makanan. Perluasan tumor ke arah posterolateral menuju ruang parafaring dan fosa pterigopalatina yang kemudian masuk ke foramen jugularis sehingga menimbulkan kerusakan saraf kranialis posterior (saraf kranialis IX, X, XI dan XII) serta nervus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fisura orbitalis. Perluasan tumor ke arah inferior menuju rongga mulut atau regio retrotonsil dapat menimbulkan sumbatan saluran nafas dan saluran makanan (Chew, 2003; Jeyakumar dkk., 2006).

Setiap gejala mempunyai nilai dalam mendiagnosis KNF. Bila jumlah nilai 50, diagnosis KNF dapat ditegakkan. Walaupun terbukti KNF secara klinis, biopsi nasofaring mutlak dilakukan untuk konfirmasi diagnosis histopatologi dan menentukan subtipe histopatologi yang erat hubungannya dengan pengobatan dan prognosis (Chew, 2003). Untuk nilai mendiagnosis KNF ditunjukkan pada Tabel 1.

(32)

15

GEJALA NILAI

Massa terlihat di nasofarinh 25

Limfadenopati Leher 25

Gejala di hidung seperti epistaksis dan hidung buntu 15 Gejala telinga seperti tinitus dan penurunan

pendengaran

15

Sakit Kepala unilateral atau bilateral 5

Gangguan neurologi 5

Eksoftalmus 5

Dikutip dari Chew,2003

2.2.5 Histopatologi dan stadium

WHO menetapkan KNF sebagai kanker yang berasal dari sel skuamous dan dibedakan menjadi 3 tip

1) WHO tipe I: keratinizing squamous cell carcinoma, menunjukkan differensiasi skuamosa dengan adanya jembatan interseluler dan atau keratinisasi di atasnya.

(33)

16

3) WHO tipe III: Undifferentiated carcinoma, mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen. Sel ganas memiliki inti bulat sampai oval dan vesikuler, batas sel yang tidak jelas, dapat ditemukan sel ganas berbentuk spindle dengan inti hiperkromatik.

Tumor tipe 2 dan tipe 3 lebih radiosensitif dan memiliki hubungan yang kuat dengan virus Epstein-Barr (Chan dan Felip, 2009).

Penentuan stadium dilakukan berdasarkan klasifikasi TNM dalam AJCC

(American Joint Committee on Cancer) tahun 2008 sebagai berikut: (Deschler dan

Day, 2008)

T = Tumor primer

Tx : Tumor primer tidak dapat ditentukan T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer Tis : Karsinoma insitu

T1 : Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan atau kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring.

T2 : Tumor meluas sampai pada jaringan lunak

T2a: Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga hidung tanpa Perluasan ke parafaring

T2b: Dengan perluasan ke parafaring

(34)

17

hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal atau ruang mastikator.

N = Pembesaran kelenjar getah bening regional

Nx : Pembesaran kelenjar getah bening regional tidak dapat ditentukan N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional

N1 : Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, diatas fossa supraklavikula dan atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang. N2 : Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikula.

N3 : Metastasis pada kelenjar getah bening di atas 6 cm dan atau pada supraklavikula

N3a: Ukuran kelenjar getah bening > 6 cm

N3b: Kelenjar getah bening meluas ke fossa supraklavikula

M = Metastase jauh

Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan M0 : Tidak ada metastasis jauh

M1 : Terdapat metastasis jauh

Stadium klinik

(35)

18

Stadium I : T1 N0 M0 Stadium IIA : T2a N0 M0 Stadium IIB : T1 N1 M0 T2a N1 M0 T2b N0, N1 M0 Stadium III : T1 N2 M0 T2a, T2b N2 M0 T3 N0, N1, N2 M0 Stadium IVA : T4 N0, N1, N2 M0 Stadium IVB : Semua T N3 M0 Stadium IVC : Semua T semua N M1

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, radiologis dan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi biopsi nasofaring merupakan

gold standard untuk penegakan diagnosis. Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk

mendapatkan informasi adanya tumor nasofaring, perluasan tumor ke jaringan sekitarnya dan adanya destruksi tulang dasar tengkorak. Untuk memperoleh gambaran lesi yang lebih jelas, dapat dilakukan pemeriksaan tomogram atau

computed tomography scaning (CT-Scan) dengan kontras maupun magnetic

(36)

19

CT-Scan dapat menunjukkan perluasan jaringan lunak di daerah nasofaring dan ke arah lateral menuju ruang paranasofaring. CT-Scan sensitif untuk mendeteksi erosi tulang, terutama dasar tengkorak. Perluasan tumor ke intrakranial melalui foramen ovale dengan penyebaran perineural juga dapat di deteksi, yang merupakan bukti keterlibatan sinus kavernosus tanpa erosi dasar tengkorak (Chew, 2003; Nakayana dkk., 2011).

MRI lebih baik dari pada CT-Scan dalam membedakan tumor dengan inflamasi jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastasis kelenjar retrofaringeal dan leher dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi sumsum tulang oleh tumor, di mana CT-Scan tidak dapat mendeteksi infiltrasi ini kecuali disertai erosi tulang. Penting untuk mendeteksi infiltrasi sumsum tulang ini karena berhubungan dengan peningkatan resiko metastasis jauh (Chew. 2003; Nakayana dkk., 2011). Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, diagnosis karsinoma nasofaring sangat ditunjang dengan beberapa pemeriksaan tambahan yaitu; pemeriksaan serologi, pulasan imunohistokimia, hibridisasi in situ, polymerase chain

reaction (PCR) dan Southern blotting (Gourzones dkk., 2013; Marur dan Forastiere,

2008).

2.2.7 Penatalaksanaan dan prognosis

(37)

20

80% sampai 100%, sedangkan untuk KNF stadium lanjut respon radioterapi menurun tajam dengan angka ketahanan hidup 5 tahun yang kurang dari 40%. Hasil radioterapi pada stadium lanjut didapatkan kurang memuaskan sehingga para ahli berupaya mencari cara untuk meningkatkan kontrol lokoregional dan sistemik, sekaligus meningkatkan survival rate (Brenan, 2006; Marur dan Forastiere, 2008).

KNF merupakan salah satu keganasan yang responsif terhadap pemberian kemoterapi. Pemberian kemoterapi pada KNF diindikasikan pada kasus penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Pemberian kemoterapi terutama diberikan pada KNF dengan penyakit lokoregional tingkat lanjut dikombinasikan dengan radioterapi sangat bermanfaat dalam mengurangi resiko metastasis jauh dan dapat meningkatkan kontrol lokal. Kemoterapi dapat diberikan sebelum (neoadjuvant), selama (concurrent) atau setelah (adjuvant) pemberian radioterapi (Brenan, 2006).

Sebanyak 70% pasien yang baru terdiagnosis KNF datang pada stadium III dan IV, dengan penyakit lokal lanjut dan metastasis. Standar pengobatan adalah radioterapi dikombinasikan dengan kemoterapi. Akhir-akhir ini dilaporkan beberapa cara meningkatkan kontrol tumor pada KNF yaitu accelerated fractionation

radiotherapy, brakhiterapi, tiga dimensional radioterapi dan kombinasi kemoterapi

dengan radioterapi (Brenan, 2006).

(38)

21

1) Adanya anaplasia dan atau pleomorfism. 2) Angka proliferasi sel yang tinggi, dihitung dari jumlah mitosis atau dengan proliferasi yang dihubungkan dengan petanda imunohistokimia. 3) Jumlah infiltrasi sel limfosit yang sedikit. 4) Tingginya densitas dari S-100 protein yang hasilnya positif untuk sel-sel dendritik. 5) Dijumpai pembuluh darah kecil. 6) Dijumpai ekspresi human epidermal reseptor protein-2 (King dkk., 2006).

2.3 Biologi Sel Kanker

Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak terkendali. Sel kanker memiliki kemampuan untuk menyerang jaringan biologis lainnnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastase). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan adanya kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa buah mutasi dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi tersebut dapat terjadi secara spontan ataupun diwariskan (Kumar dkk., 2010).

Suatu pertumbuhan normal diatur oleh kelompok gen, yaitu growth promoting

protooncogenes, growth inhibiting cancer supresor genes (antioncogenes) dan gen

(39)

22

keganasan. Proses karsinogenesis merupakan suatu proses multitahapan dan terjadi baik secara fenotip dan genetik, seperti disajikan pada Gambar 2.2 (Kumar dkk., 2010).

(40)

23

The six hallmark of cancer (6 karakter sel kanker) adalah enam perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang secara bersama-sama menentukan, fenotip keganasan, yaitu (Barnes, 2002) :

1) Growth signal anatomy, sel normal memerlukan sinyal eksternal untuk

pertumbuhan dan pembelahannya, sedang sel kanker mampu memproduksi

growth factor dan growth receptor sendiri. Dalam proliferasinya sel kanker

tidak tergantung pada sinyal pertumbuhan normal. Mutasi yang dimiliki memungkinkan sel kanker untuk memperpendek growth factor pathway.

2) Evasion Growth inhibitory signal, sel normal merespon sinyal penghambatan

pertumbuhan untuk mencapai homeostasis. Jadi ada waktu tertentu bagi sel normal untuk proliferasi dan mencapai pendewasaan.

3) Evasion of Apoptosis Signal, pada sel normal kerusakan DNA akan dikurangi

jumlahnya dengan mekanisme apoptosis, bila ada kerusakan DNA yang tidak bisa lagi direparasi. Sel kanker tidak memiliki kepekaan terhadap sinyal apoptosis.

4) Unlimited replicative potential, sel normal mengenal dan mampu

menghentikan pembelahan selnya bila sudah mencapai jumlah tertentu dan mencapai pendewasaan.

5) Angiogenesis (formation of blood vessel), sel normal memiliki ketergantungan

(41)

24

normal lebih sederhana atau konstan sampai dengan sel dewasa. Sel kanker mampu menginduksi angiogenesis, yaitu pertumbuhan pembuluh darah baru di sekitar jaringan kanker. Pembentukan pembuluh darah itu baru diperlukan untuk survival sel kanker dan ekspansi ke bagian lain dari tubuh (metastasis).

6) Invasion and metastasis, sel normal memiliki kepatuhan untuk berpindah ke

lokasi lain di dalam tubuh. Perpindahan sel kanker dari lokasi primernya ke lokasi sekunder atau tertiernya merupakan faktor utama adanya kematian yang disebabkan karena kanker.

Gambar 2.3 Enam tanda utama kanker (The hallmarks of cancer) (dikutip dari Barnes, 2002)

2.4 Epstein Barr Virus (EBV)

(42)

25

terdapat LMP-2A yaitu suatu protein laten yang memberikan signal kehidupan dan menginhibisi aktivitas sel B dan pintu masuk siklus litik. Ketika reaktif terjadi, litik yang berat pada protein viral akan diekspresikan dengan aktivasi inhibisi mekanisme immun. Termasuk interleukin 10 homolog yang menginhibisi co-stimulator antigen presenting fungsi monosit, makrofag dan beberapa interferon yang mengurangi pelepasan sitokin, interferon α dan β. Sebagai tambahan bcl-2 homolog prolog sel dari survival untuk inhibisi apoptosis (Gourzones dkk., 2013).

Keganasan seperti KNF dapat muncul dari klon sel terinfeksi EBV setelah terinfeksi beberapa tahun. Pada klonal, EBV dapat menetapkan derajat dari perkembangan tumor. Genom EBV merupakan monoclonal yang alami dan menunjukkan bahwa infeksi EBV pada KNF terjadi lebih dulu oleh ekspansi dari klon yang malignansi, spesifik kesalahan dari imun, stimulasi proliferasi sel B oleh infeksi lain dan abrasi genetik sekunder atau mutasi merupakan faktor tambahan dari karsinogenesis (Jeon dkk., 2005)

Pada undifferentiated nasopharynx carcinoma, EBV menginfeksi sel epitel nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller′s di Waldeyer ring. Walaupun

hubungan reseptor EBV pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat diuraikan dan EBV banyak masuk ke sel nasofaring berupa IgA-mediated endocytosis. EBV juga dapat dideteksi pada karsinoma in situ, suatu prekursor

undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Infeksi EBV dapat terjadi sebelum

(43)

26

2.5 Cyclooxygenase-2 (COX-2)

Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim pada jalur biosintetik dari prostaglandin (PG), Tromboxan dan Prostacycline dari Arachidonic Acid (AA). Enzim ini pertama kali ditemukan pada tahun 1988 oleh Dr.Daniel Simmons seorang peneliti dari Harvard University (Kim dkk., 2004).

Gambar 2.4 Jalur Cyclooxygenase (dikutip dari Kim dkk.,2004)

Terdapat dua bentuk COX, yaitu cyclooxygenase-1 (COX-1) dan

cyclooxygenase-2 (COX-2). COX-1 berfungsi sebagai housekeeping pada hampir

(44)

27

COX-2 adalah enzim yang dapat diinduksi dalam makrofag, bertanggung jawab untuk pengeluaran produksi prostaglandin (PG) yang tinggi selama inflamasi dan respon imun. COX-2 adalah enzim yang dapat meningkatkan respon untuk merangsang faktor pertumbuhan, peningkatan kadarnya banyak ditemukan dalam beberapa progressivity human carcinoma (Widiastuti dkk., 2011).

Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein plasma yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel. Terjadinya proses inflamasi diinisiasi oleh perubahan di dalam pembuluh darah yang meningkatkan rekrutmen leukosit dan perpindahan cairan serta protein plasma di dalam jaringan (Dewi dkk, 2012).

(45)

28

2.5.1 Biologi cyclooxygenase-2 (COX-2)

Cyclooxygenase (COX) merupakan bagian integral dari membran terutama membran mikrosomal. Melalui pemeriksaan mikroskop fluorescence dan teknik pewarnaaan histofluoresence menunjukkan bahwa gambaran Cyclooxygenase-1 (COX-1) dan Cyclooxygenase-2 (COX-2) berlokasi pada retikulum endoplasma dan membran inti, COX-2 konsentrasinya lebih tinggi pada membran inti (Choy dan Milas, 2003).

Dengan berkembangnya ilmu kedokteran, ditemukan 3 family Cyclooxygenase

(46)

29

2.5.2 Cyclooxygenase, prostaglandin dan kanker

Famili COX adalah enzim yang terdiri dari dua anggota, COX-1 adalah enzim yang terekspresi di banyak organ dan COX-2 hanya terekspresi pada jaringan tertentu saja. Di mana ekspresinya meningkat oleh sejumlah rangsangan, faktor pertumbuhan dan onkogen (Hasibuan dkk., 2014).

Ke dua enzim COX mengkatalisis asam arakidonat menjadi prostaglandin G2 (PGG2) dan sesudah itu menjadi prostaglandin H2 (PGH2), yang berperan sebagai subtsrat untuk isomerisasi multipel yang secara sendirinya berespon untuk generasi yang menghasilkan eikosanoid, termasuk PGE2, PGI2 dan TXA2. Di dalam sel-sel epitel PGE2 akan menekan apoptosis dengan meningkatkan ekspresi BCL-2 dan juga meningkatkan ekspresi Mitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) yang dapat meningkatkan migrasi sel atau lebih invasif dan mengaktivasi Epidermal Growth

Factor Reseptor (EGFR). Selanjutnya, COX-2 akan menginduksi angiogenesis,

sehingga memiliki kemampuan untuk tumbuh dan bermetastasis (Kim dkk., 2004; Loong dkk., 2009).

(47)

30

menyokong pertumbuhan massa tumor (Hasibuan dkk., 2014). COX-2 secara konsisten terekspresi dalam pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor. Efek proangionik dari COX-2 dapat meningkatkan ekspresi dari Vascular Endothelial

Growth Factor (VEGF) (Huang dkk., 2010; Loong dkk., 2009).

Selain peranannya dalam karsinogenesis, peningkatan ekspresi COX-2 juga dihubungkan dengan perkembangan kanker pada manusia. Sel tumor serta komponen seluler stroma tumor (seperti infiltrasi makrofag, limfosit, fibroblas dan sel endotel) menghasilkan COX-2, yang akan meningkatkan produksi beberapa macam prostaglandin. Namun matriks ekstraseluler tumor, sel stromal pada tumor juga berperan penting terhadap progresi dari tumor (Choy dan Milas, 2003).

2.5.3 Peranan COX-2 terhadap Apoptosis dan dalam Memicu

Angiogenesis

Apotosis pada sel normal bertujuan untuk mencegah proliferasi yang tidak

terkontrol dengan mengeleminasi sel-sel yang mengalami senescent atau mengalami kerusakan molekuler. Fungsi terutama pada sel-sel epitel yang terus mengalami pembaharuan melalui siklus proliferasi sel, kemudian mengalami diferensiasi akhir,

senescent dan akhirnya mati (Sobolewski dkk., 2010).

Terganggunya mekanisme apoptosis menyebabkan sel-sel tumor memiliki waktu

survive lebih lama dan terjadi akumulasi genetic error. Terjadinya gangguan pada

(48)

31

studi menyatakan bahwa COX-2 merupakan faktor yang penting terhadap terganggunya mekanisme apoptosis (Kim dkk., 2004).

Sedangkan angiogenesis merupakan proses yang diperlukan untuk menstabilkan koloni tumor yang baru terbentuk dan untuk menyokong pertumbuhan massa tumor. COX-2 dan PG merupakan faktor potensial yang penting pada angiogenesis tumor, di mana COX-2 secara konsisten terekspresi dalam pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor dan pembuluh darah di sekitar tumor (Huang dkk., 2010; Kim dkk., 2004).

2.5.4 Peranan COX-2 terhadap Invasi Sel Kanker

(49)

32

Meskipun prinsip efek tumorigenik dari COX-2 termasuk memicu PGE2, COX-2 juga memiliki aktivasi peroksidase dan hasilnya dapat berpotensi terbentuknya mutagen DNA pada jaringan yang berisiko. Tergantung dari lingkungan jaringannya, karsinogen dapat terbentuk melalui aktivasi peroksidase dari COX-2 yang berasal dari bermacam subtrat termasuk amin aromatik, amin heterosiklik, derivat hidrokarbon polisiklik (Chen dkk., 2005; Widiastuti dkk., 2011).

2.5.5 Hubungan EBV dengan COX-2

Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim pada biosintetik pathway dari prostaglandin (PG) dan thromboxans dari asam arakidonat. COX-2 tertampil pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya membuktikan bahwa akan menyebabkan karsinogenesis. Telah dilaporkan terjadi perubahan metabolisme xenobiotik, yang meningkatkan pertumbuhan tumor invasif, angiogenesis dan menghambat apoptosis. COX-2 mensensitisasi Prostaglandin E2 (PGE2) untuk menstimulasi BCL-2 dan inhibit apoptosis serta menyokong IL-6 untuk sintesis haptoglobin. PGE2 dihubungkan dengan tumor metastasis, IL-6 dengan sel karsinoma invasif sedangkan haptoglobin dengan implantasi dan angiogenesis (Chen dkk., 2005; Kim dkk., 2004; Gallo dkk., 2001).

COX-2 mengandung bermacam-macam stimulasi seperti sitokin, faktor pertumbuhan dan onkogen. Pada semua tumor, infeksi EBV merupakan laten yang predominan. Gen EBV diekspresikan pada infeksi laten yang dibatasi 6 EBV Nuclear

(50)

33

diekspresikan pada KNF dan pada nasal T/Natural Kill Cell Lymphoma. LMP-1 dideteksi lebih 70% pada KNF dan semua infeksi EBV preinvasif lesi nasofaring. (Nurdiansah dkk., 2013 ; Chua dkk., 2009).

Induksi COX-2 oleh LMP-1 menyokong untuk invasif angiogenesis dan LMP-1 menambah produksi prostaglandin E2 pada sel epitel nasofaring. COX merupakan kunci enzim yang mengontrol rate-limiting step pada sintesis prostanoid dan sel neoplasma, serta metabolisme yang diproduksi oleh aksi COX-2 pada asam arakidonat menunjukkan benturan pada bermacam-macam pathway karsinogenik (Hasibuan dkk., 2014; Sobolewski dkk., 2010). Menurut Choy dan Milas (2003), ekspresi seluler COX-2 meningkat pada stadium awal dan melalui perkembangan tumor serta pertumbuhan invasif dari KNF. Tan dan Putti (2005) dan Loong dkk (2009), melakukan penelitian untuk menilai ekspresi COX-2 pada KNF. Penelitiannya menunjukkan terdapat proporsi tinggi KNF yang mengekspresikan COX-2 dan terdapat hubungan ekspresi COX-2 dan prognosis buruk pada stadium lanjut KNF tipe undifferentiated carcinoma.

Pada KNF tipe undifferentiated carcinoma EBV menginfeksi sel epitel nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller dan waldayer ring. Walaupun hubungan reseptor EBV pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat diuraikan dan EBV banyak masuk ke sel nasofaring berupa IgA mediated

(51)

34

ekspansi klonal dari perubahan sel nasofaring dan berubah menjadi sel malignant

(Dewi dkk., 2012).

Berdasarkan hal tersebut diatas diperkuat oleh teori karsinogenesis Kumar dkk., 2010 yaitu:

1. Mutasi Somatik, yaitu perubahan urutan letak nukleotida dalam asam amino rantai DNA yang menyebabkan perubahan kode genetik. Menghasilkan produksi protein yang abnormal, sehingga regulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel terganggu, sel menjadi otonom dan lepas dari regulasi normal dan dapat tumbuh tanpa batas.

2. Penyimpangan Diferensiasi Sel (Teori Epigenetik), terjadinya gangguan sistem atau mekanisme regulasi gen seperti represif, depresi serta ekspresi regulasi sehingga timbul gangguan pertumbuhan dan diferensiasi sel.

3. Aktivasi Virus yang masuk ke dalam inti sel dan berintegrasi dengan DNA penderita serta mengubah fenotip sel dengan menyisipkan informasi baru atau mengubah transkripsi dan tranlasi sel.

Gambar

Gambar 2. 1 Anatomi Nasofaring

Referensi

Dokumen terkait

Nadhifia Iryadini, Mitha Rizkyta, Noor Budiarti, Terima kasih ciwi-ciwi atas dukungan, semangat dan bantuannya hingga tugas akhir ini bisa selesai dengan baik.3.

a.pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing; b.kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan

Oleh karena F2 memiliki aktivitas antibakteri paling tinggi dan berada dalam jumlah paling besar, maka penentuan MIC dilakukan terhadap senyawa yang terdapat di

8 Pengasahan batu akik harus memakai APD dalam bekerja 9 Meskipun bekerja singkat anda tetap memakai APD 10 Pemakaian APD sangat bermanfaat dalam proses. pengasahan batu akik

Untuk mempercepat pembungaan tanaman anggrek Dendrobium 'Sarifah Fatimah' dengan kualitas dan kuantitas bunga yang cukup baik dapat diberikan paklobutrazol dengan

______ murid dapat mencapai objektif yang ditetapkan dan ______ murid yang tidak mencapai objektif akan diberi bimbingan khas dalam sesi akan datang.

Proyek adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sebuah atau beberapa orang tim untuk menyelesaikan suatu produk atau pekerjaan dalam ruang lungkup, waktu dan biaya yang

Proses ini terangkai sejak awal 2011, ketika obrolan seputar kesejahteraan dan peran negara diinisiasi oleh Aksara di Kabupaten Semarang dengan beberapa