• Tidak ada hasil yang ditemukan

Negara Tanpa Warga Politik Kewarganegara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Negara Tanpa Warga Politik Kewarganegara"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

PENERBIT :

Kerjasama Aksara Yogyakarta dan Yayasan Tifa

ALAMAT KONTAK :

Jl. Adhyaksa II No.1A, Perumahan Banteng Baru, Yogyakarta 55281. Telp/fax (62-0274) 880334.

E-mail : perhimpunan.aksara@gmail.com;

T

TIIMMPPEENNUULLIISS&&EEDDIITTOORR:: x Dati Fatimah,

x Hasrul Hanif x Sutrisno Budiharto,

T

TIIMMPPEENNEELLIITTII ::

x Aminatun Zubaedah, x Dati Fatimah,

x Hasrul Hanif

x Susilo Budi Sulistiyo x Sutrisno Budiharto, x Wakid

L

(5)

K

K

A

A

T

T

A

A

P

P

E

E

N

N

G

G

A

A

N

N

T

T

A

A

R

R

Pembaca yang budiman,

Ketika buku ini hadir ke sidang pembaca, buku ini bukanlah sekedar hasil analisa yang dilakukan terhadap setumpuk dokumen dan kebijakan, sederet catatan hasil wawancara ataupun juga review terhadap berita media massa. Buku ini juga bukan hasil dari proses analisa ilmiah yang berjarak dan kering dari pergulatan sosial politik, ataupun hanya diletakkan sebagai bagian dari upaya mengejar target dan mimbar akademis semata.

Tentu saja serangkaian metodologi ilmiah – melalui triangulasi, penggalian dan pemanfaatan data yang akurat - menjadi bagian dari proses riset yang menghasilkan buku ini, namun, buku ini lebih daripada itu. Buku ini adalah bagian dan sekaligus merekam proses penguatan dan advokasi untuk mendorong kesejahteraan dan pemenuhan hak kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam kebijakan di tingkat daerah.

(6)

menghadirkan wacana kewargaan (citizenship) dalam harian kehidupan buruh, pada fase awal bukanlah proses yang mudah. Terpatri dalam posisi absennya negara, kehidupan seputar buruh lebih didominasi dengan wacana warga perusahaan yang membuat negara hampir tidak punya peran dan tidak terbayangkan.

Adalah tantangan bagi Aksara untuk mengembangkan

pendekatan, metode, alat bantu dan pilihan-pilihan taktis yang lain dalam situasi seperti di atas. Meyakini bahwa adalah krusial mendudukkan konsep warga negara sebagai basis untuk mendesak pemenuhan hak (claiming rights), metode-metode alternatif mulai dari penguatan organisasi kewargaan, edukasi kritis, membangun dialog dengan pejabat politik kunci hingga penggunaan media-media serupa komik dan film adalah bagian yang mewarnai petajalan penguatan hak buruh migran lokal yang kami lakukan ini. Catatan atas proses-proses inilah yang terekam dalam buku riset aksi ini.

Yang juga menarik, proses finishing buku ini dilakukan bersamaan dengan keberhasilan gerakan buruh yang berhasil mendorong pengesahan UU BPJS yang akan menandai babak baru jaminan sosial bagi buruh di Indonesia. Dalam semangat yang sama, kami berharap buku ini menyumbang bagi gagasan dan upaya penguatan dan pemenuhan hak buruh dimanapun berada.

(7)

karenanya, kepada merekalah buku ini kami dedikasikan. Aksara juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada teman-teman yang menjadi tim penulis buku ini : Hasrul Hanif, Sutrisno Budiharto dan Dati Fatimah. Tak lupa, proses ini tidak akan mungkin dilakukan tanpa kerja keras Aminatun Zubaedah selaku Manajer Program yang mengawinkan rangkaian proses dikomunitas, aktivitas riset dan kampanye maupun juga advokasi dan lobby yang dilakukan. Juga tak akan mungkin cerita ini bisa dirangkai tanpa peran Simbah Wakid dan Susilo Budhi S yang menemani proses pembelajaran komunitas bersama Ari dan Rima di Semarang. Tanpa mereka, sulit membayangkan buku ini akan hadir ke depan sidang pembaca.

(8)

D

D

A

A

F

F

T

T

A

A

R

R

I

I

S

S

I

I

x Kata Pengantar ……… halaman v

x Daftar Isi ……… halaman viii

x 1.Memetakan Dinamika Politik Kewarganegaraan Sosial dalam Ruang

Politik Baru ……….….. halaman 1

x 2.Transformasi Kabupaten Semarang Sebagai Area Growth Pole

……….... halaman 20

x 3.Orientasi dan Desain Kelembagaan Negara di Bawah Kuasa Pasar

……… halaman 44

x 4.Absennya Anggaran Berbasis Hak ………. halaman 61

x 5.Sketsa Kemajuan Hak-Hak Ekonomi-Sosial Komunitas Buruh

………..…. halaman 79

(9)

1

1

K

M

K

M

e

e

e

e

w

w

m

m

a

a

e

e

r

r

t

t

g

g

a

a

a

a

k

k

n

n

a

a

e

e

n

n

g

g

a

a

D

D

r

r

i

i

a

a

n

n

a

a

a

a

n

n

m

m

S

S

i

i

o

o

k

k

s

s

a

a

i

i

a

a

P

P

l

l

o

o

l

l

i

i

t

t

i

i

k

k

d

d

a

a

l

l

a

a

m

m

R

R

u

u

a

a

n

n

g

g

P

P

o

o

l

l

i

i

t

t

i

i

k

k

B

B

a

a

r

r

u

u

ƒ

Hasrul Hanif

C

CA

AT

TA

AT

TA

AN

N

P

P

EM

E

MB

BU

UK

KA

A

ajian ini berusaha untuk memahami dinamika kewarganegaraan sosial (social citizenship) di aras lokal seiring dengan berjalannya proses demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia pasca 1998 –yang diyakini sebagai ruang politik (political space) baru. Kewarganegaraan sosial, dalam kajian ini, lebih dipahami sebagai sebuah praktik politik yang dinamis dalam konteks relasi negara-masyarakat dan bukan semata-mata terkait dengan aspek normatif dan status formal – apalagi legal- dari sebuah individu atau entitas kolektif.

Dengan berbasis data pada sebuah daerah yang memiliki karakter sosial urban dan semi-urban serta basis ekonomi industri manufaktur, kajian ini akan membedah secara mendalam

(10)

bagaimana politik kewarganegaraan sosial dipraktikkan dalam proses kebijakan dan politik keseharian (daily politics).Nantinya, beberapa proses tersebut akan ditilik lebih jauh melalui 3 dimensi penting, yaitu: jangkauan (inklusi/ekslusi), isi (hak-hak dasar), dan kedalaman (derajat keterlibatan warga).

Secara sederhana, dalam kajian ini, politik kewarganegaraan sosial dipahami sebagai gambaran dari bagaimana negara mendefinisikan dan merumuskan apa yang disebut warga dan sebaliknya bagaimana warga membayangkan negara. Interaksi keduanya inilah yang kemudian membentuk praktik konkrit dari gagasan kewarganegaraan (lihat Cornwall, Robins & Lieres, 2011).

Namun demikian, kajian ini akan lebih membahas bagaimana negara mendefinisikan warganegara serta orientasi dan kapasitas negara dalam memenuhi hak-hak ekonomi & sosial warganegara. Kajian ini juga akan membahas dampak dari politik negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak ekonomi & sosial terhadap kemajuan hak ekonomi & sosial buruh di semarang.

(11)

Semarang, Jawa Tengah di era demokratisasi dan desentralisasi karena beberapa alasan, yaitu: Pertama, dalam konteks makro-nasional, ada proses demokratisasi dan desentralisasi yang mengubah pola hubungan negara dan masyarakat. Demokratisasi memungkinkan kehadiran ruang-ruang partisipasi atau arena representasi alternatif, yang menjadi suplemen bagi ruang dan mekanisme representasi formal, seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dsb, semakin dibuka. Pada saat yang sama, ada upaya untuk mendorong transfer otoritas kekuasaan dari pusat ke daerah (devolusi) yang diiringi oleh upaya penguatan otonomi daerah dalam satu dasawarsa terakhir ini sejak diundangkannya UU No.22/1999 –yang diamandemen dengan UU No.32/2004 sehingga peluang perumusan kebijakan berbasis prefrensi lokal semakin terbuka.

(12)

normatif, demokratisasi diyakini merupakan proses yang akan mendorong penguatan akses, keterlibatan dan pengaruh masyarakat dalam proses kebijakan. Sedangkan desentralisasi dan otonomi daerah, dengan prinsip subsidiaritas1-nya, dibayangkan

bisa menjadi struktur kesempatan politik (political opportunity structure) positif karena bertujuan untuk mendekatkan proses pelayanan publik pada masyarakat dan memastikan prinsip pelayanan berbasis hak (rights-based public services) bisa berjalan. Penataan size of governing diyakini bisa mengoptimalkan ketersediaan, akses, adaptabilitas, dan kualitas hak-hak dasar warga (bandingkan Devas & Delay, 2006).

Namun, tidak tertutup kemungkinan apabila keduanya bisa juga menjadi hambatan (constraint). Proses demokratisasi sangat mungkin terjebak pada logika prosedural dan elitis. Sedangkan

desentralisasi dan otonomi daerah bisa mendorong penguatan „ego spasial‟ yang dibasiskan pada batas wilayah daerah otonom

1

(13)

(kabupaten/kota) (lihat Pratikno, 2006). „ego spasial‟, secara kasat mata, tentu saja tidak akan mengancam hak setiap orang untuk bergerak atau berdiam di satu tempat dengan bebas sebagaimana termaktub dalam pasal 13 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Namun kondisi ini bisa membuka peluang bagi praktek ekslusi pada individu atau kelompok sosial tertentu karena setiap orang tidak mudah mengakses hak-hak dasarnya dengan baik hanya dikarenakan bukan penduduk tetap atau tidak memiliki kartu identitas tetap.2

Kedua, Kabupaten Semarang -dalam waktu yang sangat

panjang- merupakan salah satu daerah titik pertumbuhan (growth pole) penting di Jawa Tengah yang ditandai oleh menjamurnya berbagai industri manufaktur. Daerah ini pelan-pelan bertransformasi menjadi daerah urban yang juga menarik bagi arus urbanisasi dari daerah-daerah lain.

Konteks lokal ini akan memberikan warna tersendiri pada watak politik kewarganegaraan sosial di Kabupaten Semarang.

2

Bila kondisi berlangsung, dengan mengacu pada bentuk negara kesatuan (unitary state), sebenarnya terkesan janggal. Karena dalam Negara kesatuan, pada dasarnya, tidak ada

(14)

Pola hubungan antara tiga aktor penting, yaitu negara, pemilik modal dan warganegara menjadi hal yang akan menentukan praktek rill bagaimana hak asasi manusia, khususnya hak-hak ekonomi dan sosial, di penuhi secara serius serta siapa yang akan memenuhinya.

Lebih jauh, isu-isu perburuhan bukan hanya, secara tidak terelakkan, akan menguat menjadi isu publik yang dominan tanpa harus menafikan isu-isu publik yang lain, tapi juga menjadi isu publik yang kompleks. Komunitas-komunitas buruh sendiri yang variatif dan terfragmentasi bisa mendorong kepentingan yang beragam juga. Pada saat yang sama, energi buruh juga lebih banyak dihabiskan dengan isu-isu “workplace” sehingga mendorong kesadaran politik yang lebih luas (politics of claim) menjadi tantangan tersendiri.

Selain itu, kehadiran growth pole selalu membuka peluang arus urbanisasi yang sangat kuat. Kondisi ini membuka peluang

bagi keberadaan buruh migran “lokal” antar daerah dalam jumlah

(15)

memiliki “rumah asal” di luar wilayah kabupaten tersebut.

Kondisi ini akan memberikan tantangan tersendiri karena pemenuhan hak-hak ekonomi & sosial mereka akan juga sangat tergantung bagaimana birokrasi di pemerintah daerah melihat mereka: apakah mereka merupakan warganegara dan “aset” atau beban (burden).

Al hasil, dua konteks utama yang sudah diuraikan di atas tersebut menjadi alasan kuat mengapa politik kewarganegaraan sosial di Kabupaten Semarang pasca desentralisasi dan otonomi daerah perlu dikaji secara mendalam. Kajian ini berusaha mendalami dinamika politik kewarganegaraan sosial dengan dua pertanyaan mendasar: “Bagaimana konsepsi kewarganegaraan

serta orientasi kebijakan dan desain kelembagaan negara dalam memenuhi hak ekonomi & sosial komunitas buruh?”

(16)

pemenuhan hak-hak ekonomi & sosial warganegara di aras lokal ke depan dengan jauh lebih baik.

TUJUAN

Kajian ini bukan kajian akademik semata tapi merupakan action research untuk aktivitas research based advocacy yang nantinya akan digunakan bagi perumusan strategi advokasi dan pembuatan rekomendasi kebijakan dalam proses advokasi kebijakan yang ada. Secara umum, kajian ini berusaha untuk melihat dinamika politik kewarganegaraan sosial komunitas buruh di era demokratisasi serta desentralisasi &otonomi daerah.

(17)

KERANGKA ANALISA KEWARGANEGARAAN SOSIAL

Hak asasi manusia (HAM) pada dasarnya merupakan yang bersifat kodrati dan universal. Setiap manusia, dari berbagai ras, etnis, agama, warna kulit memiliki hak yang sama karena dasar eksistensinya sebagai manusia yang diyakini berada dalam posisi yang setara.

Namun dalam praktiknya, aktualisasi HAM tidak cukup

dengan basis moral tersebut tapi membutuhkan “infrastruktur”

politik. Dengan kata lain, fondasi dan instrumen politik dibutuhkan untuk memastikan dan mengafirmasi hak-hak dasar tersebut bisa dilekatkan pada setiap manusia. Meminjam penjelasan Hannah Arendt (dalam Hardiman, 2007:6), pada praktik nyata, HAM bukanlah sesuatu yang bersifat pra-politik karena HAM dan cakupannya hanya hadir, didefinisikan, dirumuskan dan dipraktikkan secara konkrit justru dalam praktik politik dan kebijakan.

(18)

wadah kontrak sosial- dengan anggota dalam komunitas politik itu dimana keduanya diikat dalam beragam hak (rights) dan tanggungjawab (responsibilities) yang bersifat resiprokal. Institusi politik ini biasanya kita lekatkan pada negara yang kita yakini sebagai pemangku kewajiban (duty holder). Sedangkan anggota komunitas politik tersebut kemudian kita sebut sebagai warganegara yang kita yakini sebagai pemangku hak (rights holders). Warganegara adalah subyek politik aktif yang dalam dirinya dilekatkan atribut berbagai hak (rights) dan tanggungjawab (responsibilities) (Heywood, 2007:207).

Singkat kata, kewarganegaraan di sini kemudian lebih dimaknai sebagai hak untuk mendapatkan hak (right to have rights) (Jones & Gaventa, 2002). Titik tekannya pada bagaimana hak-hak dasar tersebut dirumuskan dan diklaim melalui berbagai pola hubungan negara dan masyarakat serta aksi-aksi kolektif. Kewarganegaraan bukan sekedar fokus pada hak-hak dasar itu sendiri secara per se.

(19)

hanya dibangun di atas fondasi nilai “kebebasan‟ (freedom) semata tapi juga fondasi nilai kesetaraan (equality). Sebab manusia tidak hanya membutuhkan hak untuk memiliki, kebebasan dari rasa takut serta kebebasan untuk berekspresi, berkeyakinan dan berserikat namun juga pada dasarnya membutuhkan hak untuk sejahtera dan menguasai sumberdaya. Tentu saja, aspek kebebasan dan aspek kesetaraan merupakan

“satu mata uang dengan dua sisi” (indivisibility) karena ketercukupan sosial ini diyakini sebagai instrumen dasar penting (means) bagi terwujudnya partisipasi politik dalam kehidupan sosial dan juga menjadi tujuan kehidupan itu sendiri (ends) (Bandingkan Sen, 1999).

Dengan kata lain, gagasan kewarganegaraan sosial

menegaskan akan urgensi aspek “sosial” dari gagasan

(20)

kesejahteraan dan keamanan ekonomi secara minimal hingga standar untuk menikmati kehidupan yang layak menurut sebuah masyarakat secara maksimal (Marshall, 1992: 8 dalam Root, 2006:26).

Hak-hak sosial (social rights) tersebut hanya akan bisa terwujud apabila ada dua hal yang paling dasar dalam sebuah tatanan politik, yaitu:Pertama, de-komodifikasi. Tatanan politik yag ada seyogyanya memastikan barang sosial (social goods) betul-betul menjadi hak (rights) bukan komoditas yang dikelola melalui mekanisme public goods: tidak ada proses kompetisi (non-rivalry) dan tidak ada ekslusi (non-excludable) untuk mengaksesnya. Berbagai kebutuhan dasar tersebut tidak bisa diserahkan atau tunduk pada mekanisme pasar. Kedua, de-stratifikasi struktur sosial. Tatanan politik yang ada harus mampu mendorong proses redistribusi sosial untuk meminimalisasi adanya kesenjangan sosial di dalam masyarakat (bandingkan dengan Esping-Andersen, 2006).

(21)

(Bandingkan dengan Isin & Turner, 2002). Pertama, jangkauan (extent). Meskipun secara normatif, gagasan kewarganegaraan merupakan gagasan yang universal namun dalam praktiknya selalu ada proses identifikasi siapa yang dianggap sebagai bagian dari anggota (membership) atau bukan bagian (the other). Dalam praktek, ada tata aturan dan norma inklusi dan ekslusi yang mendefinisikan bagaimana batas-batas keanggotaan dalam sebuah polity dan antar polity semestinya. Dengan kata lain, proses ini akan mendefinisikan siapa yang mendapatkan hak-hak nya dan siapa yang bukan.

Kedua, isi (content). Praktek kewarganegaraan menekankan

tentang apa saja yang kemudian diyakini sebagai hak (rights) – bukan komoditas- sekaligus bagaimana tanggung jawab (responsibilities) dilekatkan dan diletakkan. Pada saat bersamaan, dimensi ini menekankan aspek bagaimana keuntungan (benefits) dan beban (burdens) dialokasikan.

Ketiga, kedalaman (depth). Praktek kewarganegaraan juga

(22)

mengklaim apa yang disebut hak asasi manusia. Dengan kata lain, kewarganegaraan bukanlah status semata dimana menjadi warga dalam cara pikir legal dan sosial berarti menikmati hak-hak dasar bagi seseorang untuk berpartsipasi secara positif. Lebih jauh, kewarganegaraan dalam praktiknya adalah bagaimana warganegara berusaha untuk memastikan potensi statusnya tersebut. Kewarganegaraan merupakan cerminan dari bagaimana gagasan tentang hakasasi manusia ditafsirkan dan dimediasi

(23)

Dalam hal hubungan negara dan masyarakat, proses politik ini lah yang akan lebih menentukan sejauh mana negara akan memainkan perannya sebagai pemangku kewajiban dan apa saja yang dianggap sebagai hak-hak dasar. Proses politik ini pulalah yang menentukan sejauh mana warga sebagai pemangku hak bisa merumuskan dan melakukan politics of claim atas hak-hak mereka.

Praktek kewarganegaraan akan memberikan gambaran lebih konkrit tentang hubungan negara & warganegara dalam pengejawantahan hak-hak ekonomi & sosial. Praktek kewarganegaraan akan memberikan gambaran gamblang tentang seperti apa dan sejauh mana negara melaksanakan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi & sosial secara konkrit.3

3Sebagaimana kita ketahui, seperti diatur lebih jauh dalam “The Limburg Principles On The

(24)

METODE

Kajian ini dilakukan sejak bulan Januari 2011 sampai dengan September 2011 di wilayah Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kajian ini merupakan riset kualitatif dengan metode case

Kedua, kewajiban untuk melindungi (obligation to protect). Negara berkewajiban untuk mencegah adanya pelanggaran terhadap hak ekonomi & sosial oleh pihak ketiga. Negara akan dianggap melakukan pelanggaran apabila negara dalam gagal mengembangkan ukuran-ukuran dasar untuk melindungi individu yang ada di wilayah mereka dari tindakan-tindakan yang melanggar hak ekonomi & sosial oleh pihak ketiga. Termasuk juga pelanggaran apabila negara sengaja melakukan pengabaian dan ekslusi.

Ketiga, Kewajiban untuk memenuhi (obligation to fullfil). Kewajiban ini mendorong negara untuk merumuskan produk legislasi, mengembangkan sistem administrasi,sistem yudisial,anggaran dan berbagai instrumen lainnya untuk merealisasikan secara penuh hak ekonomi & sosial.

Dalam setiap masing-masing kewajiban tersebut terkandung dimensi kewajiban atas hasil (obligation of results) dan kewajiban tindakan (obligation of conducts). Yang dimaksud dengan kewajiban atas hasil adalah kewajiban untuk mencapai dampak (outcome) tertentu melalui implementasi program dan kebijakan yang aktif. Dengan kata lain, negara berkewajiban untuk mencapai target khusus untuk memenuhi standar-standar subtansi secara detail. Sedangkan kewajiban tindakan lebih merupakan kewajiban negara untuk melakukan tindakan-tindakan atau langkah-langkah tertentu (tindakan aktif atau membiarkan) yang seyogyanya bisa merealisasikan pemenuhan hak-hak ekonomi & sosial.

(25)

study untuk memahami lebih jauh realitas sosial dan bagaimana antar subyek memahami dan menafsir realitas tersebut.

Proses penelusuran data menggunakan metode trianggulasi dalam melakukan penelusuran data, yaitu: desk study, observasi, FGD yang diperoleh melalui pertemuan-pertemuan komunitas, in-depth interview dengan narasumber penting sembari melakukan thick description terhadap beberapa tipologi komunitas buruh yang ada. Bahkan penelitian juga memanfaatkan catatan-catatan dari anggota komunitas buruh sendiri

Riset dilakukan dengan beberapa tahapan berikut ini:

# tahap awal atau prelimenary research dilakukan dengan desk study terhadap dokumen-dokumen yang ada sekaligus melakukan need assessment untuk menemukan pemetaan profil wilayah, buruh, dan gerakan buruh.

# tahap lanjut berupa field work dilakukan dengan depth interview, survei persepsi, observasi dan thick description dan FGD.

(26)

SISTEMATIKA ARGUMENTASI

Laporan penelitian ini akan diawali oleh Bab 1 sebagai bab pengantar. Bab pengantar berisi tentang latar belakang dan tujuan dari penelitian ini. Selanjutnya dalam bab ini akan dibahas kerangka analisa yang digunakan untuk mengkaji serta metode untuk mengkaji dan sistematika penulisan.

Selanjutnya, Bab 2 akan menguraikan profil Kabupaten Semarang sebagai daerah growth pole. Bab ini akan menguraikan saujana (landscape) sosial-politik dan ekonomi di daerah tersebut. Bab ini juga akan menjelaskan bagaimana masalah dan tantangan yang ada di Kabupaten Semarang sebagai daerah growth pole.

Penjelasan tentang konsepsi kewarganegaraan serta orientasi kebijakan negara dalam mengejawantahkan hak-hak ekonomi dan sosial warganegara akan diuraikan pada Bab 3 dan Bab 4. Bab 3

(27)

Bab 4 akan lebih banyak menguraikan kapasitas pembiayaan hak-hak ekonomi & sosial. Bab ini akan menguraikan aspek penerimaan (revenue) dan pembiayaan (expenditure) dalam struktur APBD Kabupaten Semarang.

Sejauh mana hak-hak ekonomi & sosial benar-benar terpenuhi akan dibahas pada Bab 5. Dengan diawali dengan uraian berabagai tipologi buruh, Bab 5 akan menguraikan bagaimana efek dari proses politik dan kebijakan praktik terhadap proses penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekonomi & sosial di komunitas buruh secara konkrit.

Bab 6 akan menjadi bab penutup. Bab ini akan mendetailkan

(28)

2

T

S

T

S

e

r

e

r

b

a

b

a

a

n

n

a

g

g

s

s

a

a

f

f

i

o

o

i

r

r

A

A

m

m

r

r

e

a

a

e

a

s

a

s

i

i

G

G

K

K

r

r

a

a

o

o

w

b

b

w

u

u

t

t

p

h

p

h

a

a

P

P

t

t

e

e

o

o

n

n

l

l

e

e

S

S

e

e

m

m

a

a

r

r

a

a

n

n

g

g

ƒ

ƒ HHAASSRRUULL HHAANNIIFF&&DDAATTII FFAATTIIMMAAHH

emahaman akan konteks dimana politik kewarganegaraan sosial berlangsung menjadi sebuah kebutuhan penting. Hal ini dikarenakan konteks, baik ekonomi, sosial maupun politik, sedikit banyak akan sangat mempengaruhi dinamika politik kewarganegaraan sosial, baik dalam relasi antar aktor hingga isu yang dikedepankan.

Oleh karena itu, bab 2 ini akan menguraikan profil Kabupaten Semarang sebagai daerah yang pelan-pelan menjadi sebuah daerah growth pole penting di wilayah Jawa Tengah. Dalam bab ini akan dibahas saujana (landscape)sosial, ekonomi dan politik Kabupaten Semarang. Bab 2 akan diawali dengan penjelasan tentang konfigurasi demograsi dan struktur sosial. Selanjutnya akan dijelaskan konfigurasi pemerintahan lokal serta

(29)

karakter ekonomi yang menunjukkan watak industri yang bersandingan dengan watak rural berbasis pertanian.

Singkatnya, sebagai daerah growth pole,4 profil Kabupaten

Semarang tidak hanya mencerminkan struktur sosial yang tidak lagi tunggal. Lebih jauh, daerah ini juga mencerminkan struktur politik yang plural dan struktur ekonomi yang tidak monolitik.

MASYARAKAT BERSTRUKTUR GANDA (DUAL SOCIETY)

Data resmi pemerintah Kabupaten Semarang pada tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang mendiami wilayah daerah otonom ini sebanyak 1.061.870 jiwa. 5 Laju

pertumbuhan penduduk rata-rata 1,89% per tahun ( rentang

4

Istilah “growth pole” –yang pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Francois Ferroux (1955)- digunakan untuk menunjuk pada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi tidaklah tersebar di seluruh wilayah dan tidak terjadi secara bersamaan melainkan akan terpusat pada daerah-daerah tertentu karena adanya keunggulan dan kondisi-kondisi tertentu yang memicunya. Para “arsitek” industrialisasi di Indonesia,semenjak rejim Orde Baru, masih sangat kuat dipengaruhi oleh cara berpikir “growth pole” ini dan mengidentikkannya dengan kota-kota utama dalam pola yang hirarkis daripada serius mengembangkan pembangunan ekonomi lokal berbasis keunggulan kluster yang berimbang. Akibatnya, banyak potensi ekonomi lokal yang “mati‟ dan justru tersedot dalam arus “pusat‟ tersebut (bandingkan Munir & Fitanto, 2005).

5

(30)

tahun 2005-2009) dan rata-rata kepadatan penduduk 1.118 jiwa/km2. Adapun komposisi penduduk laki-laki dan perempuan

relatif berimbang atau tidak ada perbedaan yang signifikan. Sebagian besar penduduk Kabupaten Semarang yang merupakan usia produktif. Penduduk yang berada dalam rentang usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 73%, sedangkan penduduk yang berada di usia pasca produktif (>65) sebanyak 7%. Terakhir penduduk dengan usia pra produktif (0-14 tahun) sebanyak 20% pada tahun 2009.

Komposisi piramida penduduk seperti di atas sebenarnya akan menguntungkan Kabupaten Semarang sebagai daerah growth pole. Bila komposisi usia produktif -yang menanggung beban ekonomi dan sosial-jauh lebih besar dibandingkan dengan usia pasca produktif dan pra-produktifsebenarnya menjadi modal yang kuat untuk mendorong pembangunan ekonomi dan sosial di Kabupaten Semarang. Selain itu, Kabupaten Semarang bisa

(31)

produktif -yang seringkali menjadi masalah besar bagi banyak negara.

Hal yang menarik adalah struktur sosial Kabupaten Semarang pelan-pelan menunjukkan tipologi sosial ganda (dual society) seiring dengan menguatnya proses industrialisasi di daerah growth pole ini. Hal ini ditandai oleh adanya kecenderungan beberapa wilayah kecamatan yang menjadi wilayah industrialisasi mengalami proses transisi menuju karakter masyarakat urban. Sedangkan sebagian besar kecamatan lainnya berkarakter rural. Hal ini bisa dikonfirmasi dari indikator-indikator seperti (1) densitas sosio-demografi, dengan sub-indikator: (a) kepadatan penduduk, (a) Pluralitas latarbelakang sosial, (2) densitas ekonomi, dengan sub-indikator: (a) industrialisasi, (b) aktivitas non-agrikultur, dan (3) pemanfaatan teknologi, dengan sub-indikator: (a) ketersediaan & akses, (b) melek teknologi (Lihat tabel 1)

Tabel 1. Densitas Sosio-Demografi per Kecamatan

KECAMATAN Densitas Sosio-demografi (org/km2)

Bergas 1.239

Bawen 1.083

(32)

Ungaran Barat 1.860

Sumber: Semarang dalam Angka 2009

Selain itu, sebagai daerah growth pole, Kabupaten Semarang tampaknya menjadi wilayah yang sangat menarik bagi penduduk-penduduk kabupaten/kota yang ada di sekitarnya. Tidak semua yang mendiami atau yang bekerja di Kabupaten Semarang

(33)

bertempat tinggal di luar Kabupaten Semarang namun bekerja di Kabupaten Semarang). Data Dinas Kependudukan dan pencatatan Sipil Kabupaten Semarang tahun 2009 menunjukkan 9.699 orang pindah dari dan 5.686 orang datang ke Kabupaten Semarang.6

KONFIGURASI POLITIK LOKAL YANG PLURAL

Konfigurasi politik lokal di Kabupaten Semarang menunjukkan watak yang tidak monolitik dengan ditandai tidakadanya kekuatan politik yang mendominasi politik formal yang ada. Pada PEMILU 2009, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memang menjadi partai yang meraih kursi terbanyak di DPRD Kabupaten Semarang untuk periode 2009-2014 namun bukanlah partai dominan di parlemen lokal yang menguasai lebih 50% lebih kursi. Sebab Partai Demokrat menyusul di urutan kedua (6 kursi). Sedangkan GOLKAR, PKB, PAN, dan

6

(34)

PPP menyusul di urutan ketiga dengan jumlah kursi masing 5 kursi. Total anggota parlemen di DPRD Kabupaten Semarang sebanyak 45 orang (lihat tabel 2).

Tabel 2. Komposisi Perolehan Kursi di DPRD Kab. Semarang Periode 2009-2014

(35)

Hanura. Mereka mengalahkan pasangan (1) Hj. Siti Ambar Fatonah dan Wuwuh Beno Nugroho, SH yang diusung oleh Golkar, PPP, PKS dan PKPI, (2) Dr. Subroto, SE, MM dan Atika Arisanti, S.Sos yang diusung oleh PKB dan Gerindra, dan (3) Hadi Putratno, SE, MM dan Dra.Hj. Fadhilah dari perseorangan.

Menurut hasil penilaian Kementrian Dalam Negeri tahun 2011 tentang Peringkat Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Kabupaten Semarang dalam kategori kabupaten dengan kinerja tinggi. Meskipun demikian bila dibandingkan dengan 344 kabupaten yang ada di wilayah Indonesia, Kabupaten Semarang berada dalam posisi ke-113. Dengan kata lain, belum ada prestasi yang luar biasa bila dikaitkan dengan kinerja pemerintahan daerah.

TRANSFORMASI EKONOMI AREA GROWTH POLE

(36)

semata namun juga aspek ketenagakerjaan serta laju mobilitas tenaga kerja.

1.Pilar Utama Ekonomi

Kabupaten Semarang merupakan salah satu kabupaten yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang baik dan positif (lihat tabel 3). Hasil survei Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) tahun 2006, berdasarkan indikator kondisi existing (berupa angka pertumbuhan, rasio pekerja dan angkatan kerja, nilai investasi dan rasio PAD dan APBD), survei publik dan tingkat inovasi, menunjukkan bahwa kabupaten Semarang berada dalam urutan ke-7 diantara 40 kabupaten yang ada di Jateng dan DIY dalam hal pertumbuhan ekonomi di bawah Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Pekalongan, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Magelang.

Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi Kab. Semarang 2005-2009

Tahun PertumbuhanEkonomi Inflasi

2005 3,11 17,16

2006 3,81 06,43

2007 4,72 06,03

2008 4,26 11,03

(37)

Aktivitas ekonomi Kabupaten Semarang selama ini mengandalkan tiga sektor utama yang menjadi penyumbang PDRB terbesar bagi daerah. Tiga sektor utama tersebut adalah industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor pertanian (lihat tabel 4).

Tabel 4. Distribusi PDRB Kab. Semarang Tahun 2009

NO SEKTOR Distribusi (%)

ADHB ADHK

1. Industri pengolahan 43,08 46,62

2. Perdagangan, hotel dan restoran 20,36 21,49

3. Pertanian 15,04 13,02

4. Jasa-Jasa 9,22 8,55

5. Lembaga Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan

Sumber: modifikasi ILPPD Kab. Semarang 2009

(38)

PMA dan 848 Investasi non fasilitas dengan nilai total Rp. 306.452.000.000 di tahun 2008. Sedangkan di tahun 2009, ada 10 proyek PMA dan 471 investasi non fasilitas dengan nilai total Rp. 379.056.080.000.

2.Sketsa Ketenagakerjaan

Menurut data mutakhir dari BPS PropinsiJawa Tengah, Kabupaten Semarang memiliki angkatan kerja (penduduk usia kerja)7

mencapai lebih dari 510. 942 orang (atau 55,67% dari total jumlah penduduk). Dari total angkatan kerja tersebut, sebanyak 470.675 orang (51,29% dari total jumlah penduduk) dikategorikan sedangkan bekerja sedangkan 40.267 orang lainnya dikatagorikan sebagai penganggur (4,39%dari total jumlah penduduk ).

Ironisnya, angkatan kerja yang telah bekerja ternyata banyak yang berstatus bukan pekerja tetap. Mereka berstatus sebagai

7

(39)

pekerja tak dibayar, pekerja bebas sektor pertanian dan pekerja bebas non pertanian, serta buruh tidak tetap. Sedang penduduk yang berstatus sebagai pekerja tetap hanya berkisar 17%, yakni terdiri buruh tetap sebanyak 16.061 (1,75%) dan karyawan/pegawai sebanyak 141.032 (15,37%) (lihat tabel 5)

Tabel 5. Status Pekerjaan Utama Penduduk Usia Kerja di Kabupaten Semarang Tahun 2009

STATUS PEKERJAAN UTAMA JUMLAH

% dengan jumlah penduduk

Berusaha Sendiri 8.448

0,92%

Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap 107.902 11,76%

Berusaha Dibantu Buruh Tetap 16.061

1,75%

Buruh / Karyawan / Pegawai 141.032

15,37%

Pekerja Bebas di Pertanian 15.278 1,66%

Pekerja Bebas Non Pertanian 23.038

2,51%

Pekerja Tidak Dibayar 82.884 9,03%

Total jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu

470.675

51,29%

Total Jumlah penduduk 917.745 100,00%

Sumber: Modifikasi BPS Jateng [

http://jateng.bps.go.id/2006/web06bab103/web06_103030105.htm ]

(40)

hasil registrasi kependudukan menunjukkan bahwa sebagian besar mata pencaharian utama penduduk adalah sebagai petani baik petani penggarap maupun petani pemilik lahan, dsb. Adapun pekerja yang sedang yang bekerja di sektor industri menempati urutan ketiga (lihat tabel 6).

Tabel 6. Penduduk Usia Kerja yang Bekerja Per Sektor 2009

PEKERJAAN PER SEKTOR

Pertambangan, Listrik, Gas dan Air Bersih 3.549 0,39%

Industri 102.040 11,12%

Jumlah Usia Kerja yang Bekerja 470.675 51,29%

Total Penduduk

917.745 100,00%

Sumber: Modifikasi BPS Jateng [

http://jateng.bps.go.id/2006/web06bab103/web06_103030105.htm ]

(41)

Semarang dan sektor industri karena sektor ini memiliki daya serap tenaga kerja paling tinggi. Data peningkatan industri dan penyerapan tenga kerja itu setidaknya dapat dilihat dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan (LKPJ-AMJ) Bupati Semarang 2005-2010 (lihat tabel 7).

(42)

rata-rata 3,75% per tahun. Sedang penyerapan tenaga kerja industri menengah besar juga meningkat dari 63.763 orang pada tahun 2005 menjadi 71.506 orang tahun 2009 atau meningkat rata-rata pertahun sebesar 3 %.

Sedang data dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Semarang menyebutkan, penyerapan tenaga kerja pada Kelompok Lapangan Usaha Industri (KLUI) sebesar rata-rata 3 (tiga) kali lipat atau 215% per tahun. Hal ini disebabkan pada pada tahun 2009 di Kelompok Lapangan Usaha Industri (KLUI) III banyak didirikan pabrik konveksi mencapai puluhan perusahaan (lihat tabel 8).

Tabel 8. Tabel Penyerapan Tenaga Pada Kelompok Lapangan Usaha Industri (KLUI)

(43)

3.Masalah dan Tantangan EkonomiArea Growth Pole

Seiring dengan menguatnya pertumbuhan ekonomi di daerah Kabupaten Semarang berbagai masalah dan tantangan juga tumbuh dan turut mengiringi transformasi ekonomi yang ada. Permasalahan dan tantangan tersebut terkait dengan pemerataan, daya serap tenaga kerja dsb sebagaimana yang akan diuraikan secara detail di bawah ini.

a)Pertumbuhan tanpa Pemerataan

Pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan ekonomi yang relatif berhasil didorong di kabupaten Semarang tidak dibarengin dengan kemampuan mendorong pemerataan ekonomi yang sangat kuat. Hasil Survei JPIP 2006 menempatkan Kabupaten Semarang dalam posisi ke-9 dalam hal pemerataan ekonomi diantara kabupaten/kota yang ada di Jateng & DIY.

(44)

dan sawah (14%) dibandingkan industri (0,4%). Sedangkan mata pencaharian utama justru berada di sektor industri pengolahan. Kedua, angka kemiskinan di Kabupaten Semarang masih tinggi. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Semarang adalah sebanyak 30,5%, angka yang jauh lebih tinggi daripada angka nasional sebesar 15,5% dan Jawa Tengah sebanyak 19,5%. Kondisi ini semakin diperparah oleh maraknya PHK, yang angkanya mencapai 11.000 orang pada tahun 2009, karena berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin.

Ironisnya justru daerah-daerah yang menjadi kantong industri menjadi kantong-kantong utama kemiskinan. Peta kemiskinan dan pengangguran yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa kecamatan ungaran, Bawen Pringapus dan Tengaran, dengan derajat yang berbeda-beda masih dihadapkan dengan masalah kemiskinan dan pengangguran yang relatif akut (lihat lampiran).

b)Arus Migrasi Lokal di tengah Keterbatasan Daya

(45)

Di tengah masih terbatasnya daya serap tenaga kerja terutama bagi angkatan kerja produktif yang berasal dari daerah tersebut, arus migrasi lokal tampaknya tetap mengalir di wilayah Kabupaten semarang.8Penduduk luar daerah yang datang ke

Kabupaten Semarang untuk bekerja di sektor formal maupun non-formal, terbilang tidak sedikit. Sayangnya, pendataan migrasi pekerja lintas daerah ini tampaknya belum berjalan optimal. Yang pasti, migrasi penduduk di Kabupaten Semarang terbilang cukup dinamis (lihat tabel 9).

8

(46)

Tabel 9. Jumlah Penduduk dan Migrasi Penduduk

Sumber: Kabupaten Semarang Dalam Angka Tahun 2010

Arus migrasi lokal para buruh ini memunculkan dampak

hadirnya buruh “undercover”. Istilah ini muncul di kalangan

(47)

buruh harian lepas. Jumlah buruh under cover ini justru jauh lebih besar jika dibandingkan dengan karyawan tetap.”9

Sebagaimana diakui oleh Jati Tri Mulyanto, SH, MM, camat Bawen, 10 semenjak kawasan industri tumbuh di Kabupaten

Semarang, banyak para pendatang mencari kerja di Kabupaten Semarang yang kemudian menimbulkan dilema tersendiri. Dilema tersebut muncul karena arus migrasi lokal ini menguat justru di saat kesempatan kerja bagi para pencari kerja penduduk tetap Kabupaten Semarang sendiri tidak selalu ada karena kualitas SDM kurang memenuhi kualifikasi/kompetensi. Menurutnya, penduduk lokal berpendidikan rendah hanya bisa menjadi buruh rumahan (home-based worker). Mereka bekerja di rumah sendiri-sendiri dengan menerima pesanan dari sejumlah industri pengolahan seperti produksi sepatu atau industri tekstil.11

9

Wawancara tim peneliti.

10

Wawancara tim peneliti dengan Jati Tri Mulyanto, SH,MM, camat Bawen kab Semarang,4 Maret 2011Semarang

11

(48)

c) Dominasi Buruh Non-Formal

Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, sektor industri di Kabupaten Semarang banyak menyerap tenaga kerja dan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya baik pada sektor formal maupun non-formal. Namun para pekerja tidak semuanya memiliki tipe yang seragam, melainkan memiliki tipologi beragam berdasar latar belakang status hukum pekerja dan jenis perusahaannya.

Data resmi industri dan tenaga kerja dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Semarang – sebagaimana termatub dalam LKPJ-AMJ Bupati Semarang 2005-2010-, menyebutkan jumlah pekerja pada sektor formal lebih besar (lihat tabel 10). Namun demikian, beberapa aktivis buruh menengarai bahwa data pekerja non formal di Kabupaten Semarang jauh lebih besar. 12 Sebagaimana ditegaskan oleh

Siagawati:

12

(49)

“Saya yakin, jumlah pekerja non-formal di sektor industri jauh lebih banyak. Mungkin hanya datanya saja yang belum jelas. Sebab, terkait tumbuhnya kawasan industri tumbuh di Kabupaten Semarang juga banyak bermunculan pekerja bebas yang melakukan aktivitas produksi di rumah masing-masing,”

Tabel. 10 Pekerja Industri Firmal dan Non-Formal Kabupaten Semarang Tahun 2005 – 2009

(50)

berstatus sebagai karyawan/buruh tetap hanya berkisar 17% dari jumlah penduduk Kabupaten Semarang. Sementara penduduk yang bekerja dengan status sebagai pekerja tak dibayar, pekerja bebas sektor pertanian dan pekerja bebas non pertanian, serta buruh tidak tetap, jauh lebih besar (lihat kembali tabel 5 di atas).

d)Dominasi Tenaga Kerja perempuan

Sebagaimana ditegaskan oleh Wityastuningsih, Ka.bid Pelatihan dan Penempatan, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Semarang,13 salah satu tantangan atau pekerjaan rumah

yang harus juga diselesaikan oleh pemerintah daerah adalah kenyataan bahwa tenaga kerja yang terserap di berbagai perusahaan sebagian besar perempuan. Data dari Disnerktrans Prop. Jawa Tengah tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 144.279 pekerja di Kabupaten Semarang sebagian besar adalah perempuan –yaitu 100.376 orang-, sedang laki-laki hanya 43.903 orang.

13

(51)

Lebih khusus, pekerja perempuan juga relatif menonjol dalam dunia hiburan malam. Misalnya, wilayah Sukosari, Kelurahan Bawen terdapat 38 wisma karaoke yang dikelola oleh 33 bapak/ibu

pengasuh. Sedangkan jumlah pekerja perempuan di karaoke

mencapai 118 orang.14 [ ]

14

(52)

3

3

O

N

O

N

r

r

e

e

i

i

g

g

e

e

a

a

n

n

r

r

t

t

a

a

a

a

d

s

d

s

i

i

i

i

d

d

B

B

a

a

a

a

n

n

w

w

D

D

a

a

h

h

e

e

s

s

K

K

a

a

i

u

i

u

n

n

a

a

s

s

K

K

a

a

e

e

P

P

l

l

e

e

a

a

m

m

s

s

a

a

b

b

r

r

a

a

g

g

a

a

a

a

n

n

ƒ Hasrul Hanif

ab ini akan menguraikan secara lebih mendalam bagaimana negara, baik di aras nasional mapun aras lokal, mendefinisikan warga atau subyek politik yang dilekatkan pelbagai hak-hak dasar dan tanggungjawab. Tentu saja, hal tersebut akan dilihat dari orientasi dan praktik nyata kebijakan negara dan bukan semata-mata dari sesuatu yang bersifat normatif.

Oleh karena itu, bab ini akan membahas orientasi dan derajat kapasitas kelembagaan negara, khususnya di Kabupaten Semarang, dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi & sosial warga, khususnya komunitas buruh. Identifikasi atas orientasi atau paradigmatik kebijakan negara merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Sebab orientasi ini lah yang akan menggambarkan sejauh mana kesadaran akan

(53)

pentingnya menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi & sosial dimiliki oleh negara. Karena boleh jadi proses kebijakan dan pelayanan publik yang ada diorientasikan pada kepentingan yang lain.

PENEGASAN FORMAL YANG MENYISAKAN EKSLUSI

Proses amandemen konstitusi yang berlangsung pasca 1998 sebanyak 4 kali telah memberikan ruang bagi adanya upaya penegasan secara formal atas kewarganegaraan. Sebelumnya, UUD 1945 sebagai konstitusi tidak menyebutkan secara detail dan terpisah tentang pengakuan negara atas hak-hak dasar warganegara. Namun dalam UUD 1945 pasca amandemen kemudian diatur tentang secara terperinci hak-hak konstitusional warga sebagaimana diatur dalam Bab X dan XA (mulai dari pasal 26 hingga pasa 29). Perubahan ini menandai adanya pengakuan formal secara eksplisit bahwa setiap subyek yang mendiami wilayah republik Indonesia diakui sebagai warga atau subyek yang memiliki hak-hak dasar.

(54)

berbagai regulasi yang terkait dengan hak-hak dasar warga. UU No. 39 tahun 1999 mengatur lebih jauh tentang hak-hak asasi manusia atau hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga. Proses ini semakin tertegaskan dengan adanya UU No. 11 tahun 2005 dan UU No.12 tahun 2005 yang merupakan bentuk ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Singkat kata, secara normatif dan formal, ada perubahan berarti untuk menegaskan jaminan hak-hak dasar warga.

(55)

diskriminasi dan eksploitasi (sic) (lihat pasal 5 ayat (2) UU No. 11 tahun 2009).

Kelompok-kelompok sosial yang dianggap sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam praktik kebijakan lebih dilihat sebagai deviasi sosial yang mesti dinormalkan atau didisplinkan dibandingkan sebagai warga yang dilekatkan hak-hak dasarnya. Dalam prakteknya, kelompok-kelompok sosial kemudian ini seringkali mengalami praktik-praktik kekerasan atau kebijakan koersif karena lebih dianggap

sebagai “sampah sosial” daripada sebagai subyek politik yang

memiliki hak-hak dasar. 15

TUNDUK PADA SUPREMASI PASAR

Sejarah mencatat bahwa kehadiran tuntutan atas pemenuhan

15

(56)

hak-hak ekonomi & sosial sebagai hak dasar warga – yang mendasari hadirnya gagasan kewarganegaraan sosial- muncul di

saat revolusi industrialisasi di Eropa telah memakan “anak”nya

sendiri dan menghadirkan kesenjangan sosial, ketidakpastian, dsb di tengah laju pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, gagasan kewarganegaraan sosial justru lahir atas kesadaran bahwa mekanisme pasar tidak lah sempurna dan bisa menimbulkan resiko sosial dan efek destruktif secara struktural. Kehadiran negara yang berusaha untuk melindungi warga dari efek tersebut menjadi sebuah kebutuhan (lihat Esping-Andersen, 1985).

Namun sayangnya, praktik di Indonesia menunjukkan bahwa orientasi kewarganegaraan dalam nalar negara saat ini justru menunjukkan ada kecenderungan sebaliknya. Hal ini bisa ditandai oleh keseriusan negara untuk menempatkan instrumen pasar sebagai instrumen satu-satunya –tanpa koreksi- dalam

mengelola urusan publik, termasuk “pemenuhan” hak dasar. Bila

(57)

memenuhi hak-hak dasar warga dalam aspek ketenagakerjaan

sepertinya “jauh panggang dari api”.

Kebijakan perburuhan lebih merupakan akomodasi negara terhadap menguatnya adaptasi mekanisme pasar dalam pengelolaan sektor publik daripada sebagai upaya proteksi yang dilakukan oleh negara –sebagai duty holder- terhadap buruh di tengah fleksibilitas pasar kerja (labour market) yang semakin tidak pasti dan tidak stabil karena proses globalisasi dan transformasi teknologi.

Tampak jelas negara meyakini bahwa pasar kerja adalah komoditas –bukan hak dasar- yang proses pengelolaannya sangat mungkin dikelola melalui mekanisme pasar. Oleh karena itu, tata kelola dan kebijakan perburuhan kemudian lebih merupakan upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif atau memastikan mekanisme pasar berjalan secara optimal. Dalihnya adalah investasi yang kuat akan membuka pasar kerja dan menggerakkan ekonomi sehingga kemakmuran bisa dicapai.

(58)

dasar, yaitu: Pertama, Menciptakan iklim yang kondusif untuk investasi. Negara berkepentingan untuk memastikan kekuatan pemodal mampu menginvestasikan modal mereka di Indonesia secara maksimal dan aman. Menariknya, secara sengaja, negara mereduksi keunggulan komparatif atau daya tarik Indonesia untuk investasihanya padaadanya keberlimpahan sumberdaya

alam dan buruh yang murah. Dalam leaflet “Invest in Remarkable Indonesia” yang dicetak oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal

(BKPM) RI, jelas-jelas menempatkan biaya buruh murah –bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya sebagai salah satu alasan mengapa para investor harus menginvestasikan modal mereka di Indonesia.

Kedua, fleksibilitas pasar kerja. Kalau sekilas kita lihat, Indonesia sepertinya mengadopsi skema „negara kesejahteraan‟ dalam mengatur pasar pangsa kerja dengan mendorong tripartiet dalam pengelolaan konflik perburuhan dan penetapan upah minimum. Sebagaimana kita ketahui, negara-negara yang

(59)

kerja agar tidak merugikan buruh, termasuk memastikan kontrol atas upah buruh.

Namun adopsi tersebut sebenarnya semu. Orientasi utama negara justru adalah memberikan insentif kepada pengusaha dengan membuka peluang fleksibilitas pasar kerja dimana perusahaan dapat merespon permintaan dan penawaran terhadap pasar secara efisien. maka dibukalah peluang lebih jauh bagi fleksibilitas tenaga kerja (kontrak dan outsourcing) dimana pengusaha dengan mudah bisa merekrut tenaga kerja apabila ada permintaan tinggi dan memberhentikan buruhnya apabila permintaan pasar sedang lesu (Habibi, 2009:145).16

MENEGASKAN SUPREMASI PASAR DALAM JARGON DAYA DAING DAERAH

Orientasi dan kecenderungan nalar negara dalam merumuskan kewarganegaraan tersebut semakin tertegaskan di

16

(60)

aras lokal (baca: tata kelola pemerintahan di Kab. Semarang) ketika ada dorongan yang sangat kuat untuk memastikan skema desentralisasi dan otonomi daerah yang sudah berjalan 10 tahun terakhir ini selaras dengan hasratuntuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi dan bekerjanya mekanisme pasar secara maksimal di aras lokal. Sebab membuka peluang bagi investasi diyakini akan mampu menggerakkan roda ekonomi yang pada gilirannya akan memberikan efek positif bagi kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana kita ketahui, untuk menciptakan daya saing daerah dan iklim investasi maka pemerintah pusat kemudian mendorong pemerintah daerah agar bisa menata ekonomi, sosial dan politik serta kelembagaan birokrasi sehingga segala halangan bagi investasi bisa diminimalisasi. 17 Beberapa halangan dan

rintangan tersebut, menurut Rencana Pembangunan Jangka

17

(61)

Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, terutama terkait dengan: (1) Prosedur perijinan yang terkait dengan investasi yang panjang, dimana prosedur perijinan untuk memulai usaha di Indonesia termasuk relatif lebih lama, mahal dan cukup rumit dibandingkandengan beberapa negara tetangga di kawasan Asia-Pasifik; (2) Masih rendahnya kepastian hukum yang tercermin dari masih banyaknya tumpang-tindih kebijakan antara pusat dan daerah serta kebijakan antar sektor; (3) Belum menariknya insentif bagi kegiatan investasi, dimana jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia termasuk tertinggal di dalam menyusun insentif investasi; (4) Rendahnya kualitas dan kapasitas infrastruktur yang sebagian besar terus memburuk sejak krisis; (5) Iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif; dan (6) Kurangnya jaminan keamanan untuk melakukan kegiatan investasi/usaha (Pemerintah RI, 2007).18

18

(62)

Hal ini menjadi gayung bersambut dengan orientasi yang ada di pemerintah daerah Kabupaten Semarang selalu menekankan pentingnya daya saing daerah sebagai orientasi utama. Dalam

rangka mewujudkan visi “Semarang Mandiri, Tertib dan

Sejahtera” (2011-2015), pemerintah daerah Kabupaten Semarang merumuskan berbagai misi berupa (1) Meningkatkan kualitas SDM yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berbudaya serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, (2) Mengembangkan produk unggulan berbasis potensi lokal (intanpari) yang sinergi dan berdaya saing serta berwawasan lingkungan untuk menciptakan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, (3) Menciptakan pemerintahan yang katalistik dan dinamis dengan mengedepankan prinsip good governance didukung kelembagaan yang efektif dan kinerja aparatur yang kompeten, serta pemanfaatan teknologi informasi, (4) Menyediakan infrastruktur daerah yang merata guna mendukung peningkatan kualitas pelayanan dasar dan pembangunan, dan (5)

(63)

Mendorong terciptanya partisipasi dan kemandirian masyarakat, kesetaraan dan keadilan gender serta perlindungan anak di semua bidang pembangunan.

Dalam berbagai kesempatan, birokrasi-birokrasi kunci dalam sektor ketenagakerjaan di pemerintahan daerah Kabupaten Semarang yang berhasil ditemui oleh tim peneliti maupun dalam forum-forum dialog dengan komunitas buruh yang difasilitasi AKSARA juga selalu menekankan aspek pentingnya pembangunan ekonomi dan daya saing daerah sebagai kunci penting untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan keluar dari jeratan kemiskinan dimana kehadiran investasi menjadi poin utamanya.19

MENCIPTAKAN SUBYEK A-POLITIS & STABILITAS SOSIAL DEMI DAYA SAING DAERAH

Hal menarik kemudian adalah para birokrat di Kabupaten Semarang secara sadar selalu mengidentikkan iklim investasi yang kondusif di Kabupaten Semarang dengan penciptaan stabilitas

19

(64)

sosial. 20 21 Upaya penekanan pada aspek stabilitas sosial ini

kemudian dimaknai secara sederhana dengan memastikan tidak ada riak-riak sosial apapun yang diciptakan oleh gerakan buruh. Dengan kata lain, stabilitas sosial identik dengan tidakadanya aksi buruh karena gerakan buruh dicitrakan sebagai sebagai resiko politik paling besar bagi investasi.22

20

Hal ini misalnya dikemukakan secara eksplisit oleh Tyas Iswinarso, Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi ketika melakukan audiensi dengan berbagai komunitas buruh yang difasilitasi oleh AKSARA di bulan Juni 2011. Dalam kesempatan tersebut, Tyas menekankan bahwa upaya-upaya buruh untuk mengekrepresikan kepentingannya lewat cara-cara yang non-kooperatif seperti demontrasi, dsb merupakan sesuatu yang “kontra produktif‟ dan justru bisa merugikan buruh sendiri karena akan berpengaruh terhadap iklim investasi yang ada.

21

Padahal hasil kajian KPPOD-KADIN (2003) -yang menanyai derajat resiko investasi menurut para investor dan mengelolanya dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP)- menyebutkan bahwa investor menganggap urgensi aspek buruh dan stabilitas sosial lebih kecil dibandingkan kepastian hukum, tata kelola birokrasi dan infrastruktur. Dengan kata lain, kepastian hukum dan tata kelembagaan birokrasi menjadi jauh lebih urgen.

22

(65)

Kini, buruh tampaknya tetap tidak “boleh” lagi menjadi

subyek politik aktif yang bukan hanya memiliki kesadaran yang kuat atas haknya tapi juga secara serius memperjuangkan hak-hak dasarnya dalam berbagai proses politik dan proses kebijakan yang ada. Setiap kemunculan benih kesadaran politik yang menguat dalam komunitas buruh lebih dipahami sebagai hasrat “subversif” yang harus dipadamkan sebelum berkembang menjadi kesadaran dan aksi kolektif.

Merawat Korporatisme Negara di Aras Lokal dan Memadamkan Kesadaran “Subversif”

Pemerintah daerah Kabupaten Semarang kemudian mengembangkan beberapa strategi untuk memastikan stabilitas sosial bisa berjalan dengan baik. Pertama, pemerintah daerah Kabupaten Semarang membentuk Tim Deteksi Dini.23 Tim Deteksi

Dini merupakan kolaborasi aparat keamanan, pemerintah dan aktivis serikat pekerja yang mau kooperatif. Tugas utama dari Tim

23

(66)

Deteksi Dini adalah memastikan untuk mencegah potensi gangguan stabilitas sosial-politik agar tidak termanifestasi sejak

din serta membuat “peta kerawanan”. Tim Deteksi Dini juga

melakukan kunjungan berkala ke perusahaan-perusahaan untuk berkomunikasi dengan pemilik modal dan komunitas buruh yang ada di dalamnya.

Kedua, Pemda Kab. Semarang merawat strategi “korporatisme negara” dalam mengelola aspirasi komunitas buruh dengan

penganakemasan gerakan-gerakan buruh yg kooperatif dan moderat.24 Organisasi-organisasi serikat pekerja yang kooperatif dan moderat, khususnya SPSI, SPN, SPKes, bukan hanya diberi ruang kesekretariatan di kantor Dinsosnakertrans Pemkab Semarang tapi juga mendapatkan alokasi dana Bantuan Sosial

24

(67)

yang bersumber dari dana APBD.25

Selain menekankan aspek stabilitas sosial, Pemkab. Semarang juga mendorong kebijakan bi-partiet (pengusaha-buruh) dalam menyelesaikan konflik dalam perusahaan. Pemda hanya akan masuk untuk memfasilitasi penyelesaian konflik apabila ada indikasi perselisihan yang tidak terselesaikan.26 Kondisi ini tentu

saja tidak menguntungkan bagi komunitas buruh karena mendorong perusahaan berhadapan langsung dengan buruh dimana posisi buruh dan perusahaan sangat tidak seimbang.

Sementara itu, kapasitas kelembagaan untuk menopang kebijakan perburuhan ini sangat minim. Pemkab Semarang, dengan difasilitasi oleh JICA, memang berhasil mengembangkan sistem informasi peluang kerja (Public Employment Service) yang bisa diakses oleh masyarakat. Namun Dinsosnakertrans Pemkab Semarang hanya memiliki 6 fungsional mediator yang sangat

25

Menurut pengakuan Ari, pengurus SPN, Pemerintah daerah memberikan bantuan sosial rata-rata 20 juta per tahun yang dibagikan kepada 4 serikat pekerja. Wawancara tim peneliti dengan Ari..,pengurus DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kab. Semarang. 19 Januari 2011., Semarang

26

(68)

terbatas & hanya 3 pengawas bersertifikat yang tidak memungkinkan melakukan pengawasan secara optimal karena jumlah perusahaan yang sangat banyak.27 Sementara itu, Pemkab

Semarang juga tidak memiliki mekanisme monitoring dan pengaduan yang tersistematis dan tidak ada perlindungan terhadap saksi apabila mengadukan indikasi pelanggaran.28 [ ]

27

Wawancara tim peneliti dengan Wityastuningsih,Kab. Pelatihan & penempatan, Disnakertransos Kab. Semarang, 5 Maret 2011…,Semarang.

28

(69)

4

4

A

B

B

A

e

b

e

b

r

r

s

s

b

b

e

e

a

a

n

n

s

s

n

n

i

i

y

y

s

s

a

a

H

H

A

A

a

a

n

k

n

k

g

g

g

g

a

a

r

r

a

a

n

n

ƒ HASRUL HANIF & SUTRISNO BUDIHARTO

ab ini akan membahas lebih jauh struktur anggaran publik atau APBD di Kabupaten Semarang untuk melihat kapasitas pembiayaan bagi pemenuhan hak-hak ekonomi & sosial warga Kabupaten Semarang, khususnya komunitas buruh. Pada dasarnya, struktur anggaran publik mencermin derajat komitmen pemerintah daerah.

Bab ini akan melihat dua aspek utama dalam struktur anggaran publik yaitu aspek input (revenue) dan output (expenditure). Aspek input penting untuk melihat sumber-sumber pembiayaan. Sedangkan aspek output dipakai untuk melihat keberpihakan terhadap kepentingan warga alokasi anggaran.

(70)

BASIS PENDAPATAN DAERAH

1.Kapasitas Fiskal yang Belum Memadai

Sebagai sumber pendapatan daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Semarang masih jauh di bawah struktur anggaran yang bersumber dari dana perimbangan serta dana-dana lainnya yang bersumber dari pemerintah pusat. Hal ini menjadi ironi tersendiri sebab, seperti diuraikan di bab 2, sektor industri merupakan sektor andalan bagi Kabupaten Semarang. Namun ternyata banyaknya industri yang tumbuh di Kabupaten Semarang tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Pendapatan asli daerah (PAD) setempat.

(71)

hasil pajak dari aneka aktivitas usaha industri yang ada di daerahnya sendiri.

Oleh karena itu, sumber pendapatan asli daerah (PAD) hanya mengandalkan pungutan-pungutan local seperti Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah. Maka tak mengherankan, meskipun bertaburan dengan industri skala menengah dan besar, kapasitas fiskal Kabupaten Semarang masih tidak memadai dan tidak beda jauh dengan daerah lain yang

„miskin‟ industri.

Rendahnya kapasitas fiskal Kabupaten Semarang setidaknya dapat dilihat dari ringkasan APBD Kabupaten Semarang 2011 dalam tabel di bawah ini.

Tabel 11. Ringkasan APBD Kabupaten Semarang 2011

No Uraian 2011 %

1 JUMLAH PENDAPATAN DAERAH Rp945.858.312.000 100,0%

1.1. PAD Rp134.484.580.000 14,2%

1.2. DANA PERIMBANGAN Rp677.534.416.000 71,6%

1.3. LAIN-LAIN PENDAPATAN Rp133.839.316.000 14,2%

2 JUMLAH BELANJA DAERAH Rp942.876.102.000 100,0%

(72)

2.2. BELANJA LANGSUNG Rp313.210.849.000 33,2%

SURPLUS / DEFISIT Rp2.982.210.000 0,3%

Sumber: Perda Kab. Semarang No.12/2010

Seperti terlihat dalam tabel 11 di atas, untuk menjalankan aktivitas pemerintahan serta pelaksanaan program/kegiatan pembangunan di Kabupaten Semarang selama tahun 2011 membutuhkan anggaran belanja sebesar Rp 942,876 miliar. Sementara jumlah pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Semarang tahun 2011 hanya Rp. 134,484 miliar. Artinya, kapasitas fiskal PAD dalam memenuhi anggaran belanja daerah hanya berkisar 14,3%.

(73)

Daerah Lain. Tingkat ketergantungan terhadap Dana Perimbangan sebesar 71,9%, sedang pendapatan lain-lain sebesar 14,2%.

2.Sumber Fiskal Ditopang oleh Masyarakat Kelas Menengah

ke Bawah

Bila kita tilik lebih mendalam, dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Semarang tahun 2011 sebesar Rp. 134,484 miliar, sumber utama berasal dari Retribusi Daerah. Sumber utama lainnyaadalah Pajak Daerah, Lain-lain PAD yang sah. Sumber terkecil adalah Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah (lihat tabel 12).

Tabel 12. Rincian Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Semarang 2011

No Uraian APBD 2011 %

1.1. Jumlah PAD Rp134.484.580.000 100,0%

1.1.1. Pajak Daerah Rp40.441.363.000 30,1%

1.1.2. Retribusi Daerah Rp70.252.645.000 52,2%

1.1.3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Rp3.624.830.000 2,7%

1.1.4 Lain-lain PAD yang Sah Rp20.165.742.000 15,0%

Sumber: Perda Kab. Semarang No.12/2010

Gambar

Tabel 2. Komposisi Perolehan Kursi di DPRD Kab. Semarang Periode 2009-2014
Tabel 4. Distribusi PDRB Kab. Semarang Tahun 2009
Tabel 5. Status Pekerjaan Utama Penduduk Usia Kerja  di Kabupaten Semarang Tahun 2009
Tabel 6. Penduduk Usia Kerja  yang Bekerja Per Sektor 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

RSIA Mutiara Bunda memberikan beberapa jenis pelayanan medis untuk Ibu dan Anak antara lain poliklinik umum dan poliklinik Anak, poliklinik Kebidanan & Kandungan, Unit

Hasil pengolahan dapat disimpulkan bahwa (1) komitmen organisasi, motivasi kerja, dan kompetensi secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan

X untuk meminimalkan angka kecelakaan kerja pada proses angkat angkut material/ bahan menggunakan tower crane antara lain telah dibuat dan dilaksanakan program housekeeping,

Data yang dibutuhkan penelitian ini ialah data tentang karakteristik warga sembilan desa di kawasan pemangkuan hutan Parung Panjang, kabupaten Bogor termasuk

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Jakarta (FEB UMJ) didirikan pada tanggal 18 Juni 1963 bersamaan dengan beberapa fakultas lain diantaranya fakultas Hukum

kompetitif dalam mengubah dunia, perusahaan harus berinovasi dan mengadaptasi praktek tata kelola perusahaan mereka sehingga mereka dapat memenuhi tuntutan baru dan memahami

(1987) mengatakan bahwa, implikasi dari hal ini adalah peluang untuk terjadinya kompetisi mutlak yakni hanya satu pemenang menjadi sangat kecil, karena walaupun setiap

Pada bagian penutup merupakan bab keempat yang akan menguraikan kesipulan dan saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengaturan terhadap pihak yang terkait