• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENEGASKAN SUPREMASI PASAR DALAM JARGON DAYA DAING DAERAH

Dalam dokumen Negara Tanpa Warga Politik Kewarganegara (Halaman 59-70)

Orientasi dan kecenderungan nalar negara dalam merumuskan kewarganegaraan tersebut semakin tertegaskan di

16

Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya kecenderungan yudisialisasi politik dan pergeseran menuju bi-partiet dalam proses pengelolaan konflik hubungan industrial di Indonesia. Yudisialisasi politik yang dimaksud di sini adalah setiap konflik perburuhan diselesaikan tidak melalui proses negosiasi-negosiasi politik untuk menemukan konsensus bersama antara pemilik modal dan buruh dengan difasilitasi oleh negara melainkan dalam pengadilan hubungan industrial. Dalam hal ini ada proses a-politisasi hubungan perburuhan sekaligus mendorong negosiasi bi- partiet antara buruh dan pemilik modal yang tentu saja hubungannya a-simetris.

aras lokal (baca: tata kelola pemerintahan di Kab. Semarang) ketika ada dorongan yang sangat kuat untuk memastikan skema desentralisasi dan otonomi daerah yang sudah berjalan 10 tahun terakhir ini selaras dengan hasratuntuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi dan bekerjanya mekanisme pasar secara maksimal di aras lokal. Sebab membuka peluang bagi investasi diyakini akan mampu menggerakkan roda ekonomi yang pada gilirannya akan memberikan efek positif bagi kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana kita ketahui, untuk menciptakan daya saing daerah dan iklim investasi maka pemerintah pusat kemudian mendorong pemerintah daerah agar bisa menata ekonomi, sosial dan politik serta kelembagaan birokrasi sehingga segala halangan bagi investasi bisa diminimalisasi. 17 Beberapa halangan dan

rintangan tersebut, menurut Rencana Pembangunan Jangka

17

Sebagai ilustrasi, dalam beberapa tahun terakhir ini, Kementerian Dalam Negeri berupaya melakukan review dan membatalkan regulasi-regulasi yang dianggap bermasalah karena mengganggu iklim investasi. Sampai dengan akhir tahun 2009, Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan sebanyak 1.787 peraturan daerah yang ada di seluruh Indonesia. Semenjak tahun 2010, kewenangan membatalkan ini beralih ke tangan presiden. Hal yang menarik adalah banyak pula regulasi daerah yang dianggap menjadi masalah bagi penegakan hak asasi manusia. Namun

Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, terutama terkait dengan: (1) Prosedur perijinan yang terkait dengan investasi yang panjang, dimana prosedur perijinan untuk memulai usaha di Indonesia termasuk relatif lebih lama, mahal dan cukup rumit dibandingkandengan beberapa negara tetangga di kawasan Asia- Pasifik; (2) Masih rendahnya kepastian hukum yang tercermin dari masih banyaknya tumpang-tindih kebijakan antara pusat dan daerah serta kebijakan antar sektor; (3) Belum menariknya insentif bagi kegiatan investasi, dimana jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia termasuk tertinggal di dalam menyusun insentif investasi; (4) Rendahnya kualitas dan kapasitas infrastruktur yang sebagian besar terus memburuk sejak krisis; (5) Iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif; dan (6) Kurangnya jaminan keamanan untuk melakukan kegiatan investasi/usaha (Pemerintah RI, 2007).18

18

Argumentasi dalam RPJMN 2004-2009 tersebut tampak selaras dengan apa yang dibayangkan oleh para investor sebagai resiko-resiko investasi. Hasil kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) KADIN menegaskan bahwa ada 5 aspek yang menjadi dasar pertimbangan ketika investor ingin menanamkan modalnya di Indonesia, yaitu: (1) Kelembagaan, berupa kepastian hukum, keuangan daerah, aparatur dan regulasi daerah (2) Sosial Politik, berupa sosial & politik, keamanan dan budaya (3) Perekonomian daerah, berupa potensi ekonomi dan

Hal ini menjadi gayung bersambut dengan orientasi yang ada di pemerintah daerah Kabupaten Semarang selalu menekankan pentingnya daya saing daerah sebagai orientasi utama. Dalam

rangka mewujudkan visi “Semarang Mandiri, Tertib dan

Sejahtera” (2011-2015), pemerintah daerah Kabupaten Semarang merumuskan berbagai misi berupa (1) Meningkatkan kualitas SDM yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berbudaya serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, (2) Mengembangkan produk unggulan berbasis potensi lokal (intanpari) yang sinergi dan berdaya saing serta berwawasan lingkungan untuk menciptakan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, (3) Menciptakan pemerintahan yang katalistik dan dinamis dengan mengedepankan prinsip good governance didukung kelembagaan yang efektif dan kinerja aparatur yang kompeten, serta pemanfaatan teknologi informasi, (4) Menyediakan infrastruktur daerah yang merata guna mendukung peningkatan kualitas pelayanan dasar dan pembangunan, dan (5)

struktur ekonomi (4) Tenaga kerja dan produktivitas, berupa biaya tenaga kerja, ketersediaan tenaga kerja dan produktivitas serta (5) Infratruktur fisik, berupa ketersediaan infrastruktur dan

Mendorong terciptanya partisipasi dan kemandirian masyarakat, kesetaraan dan keadilan gender serta perlindungan anak di semua bidang pembangunan.

Dalam berbagai kesempatan, birokrasi-birokrasi kunci dalam sektor ketenagakerjaan di pemerintahan daerah Kabupaten Semarang yang berhasil ditemui oleh tim peneliti maupun dalam forum-forum dialog dengan komunitas buruh yang difasilitasi AKSARA juga selalu menekankan aspek pentingnya pembangunan ekonomi dan daya saing daerah sebagai kunci penting untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan keluar dari jeratan kemiskinan dimana kehadiran investasi menjadi poin utamanya.19

MENCIPTAKAN SUBYEK A-POLITIS & STABILITAS SOSIAL DEMI DAYA SAING DAERAH

Hal menarik kemudian adalah para birokrat di Kabupaten Semarang secara sadar selalu mengidentikkan iklim investasi yang kondusif di Kabupaten Semarang dengan penciptaan stabilitas

19

Wawancara tim peneliti dengan Wityastuningsih,Kab. Pelatihan & penempatan, Disnakertransos Kab. Semarang, 5 Maret 2011…,Semarang. Wawancara tim peneliti dengan Hendy Lestari, Ka. Bid Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dan Pengawasan, Dinsosnakertrans Pemkab Semarang,5 maret 2011…Semarang

sosial. 20 21 Upaya penekanan pada aspek stabilitas sosial ini

kemudian dimaknai secara sederhana dengan memastikan tidak ada riak-riak sosial apapun yang diciptakan oleh gerakan buruh. Dengan kata lain, stabilitas sosial identik dengan tidakadanya aksi buruh karena gerakan buruh dicitrakan sebagai sebagai resiko politik paling besar bagi investasi.22

20

Hal ini misalnya dikemukakan secara eksplisit oleh Tyas Iswinarso, Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi ketika melakukan audiensi dengan berbagai komunitas buruh yang difasilitasi oleh AKSARA di bulan Juni 2011. Dalam kesempatan tersebut, Tyas menekankan bahwa upaya-upaya buruh untuk mengekrepresikan kepentingannya lewat cara-cara yang non- kooperatif seperti demontrasi, dsb merupakan sesuatu yang “kontra produktif‟ dan justru bisa merugikan buruh sendiri karena akan berpengaruh terhadap iklim investasi yang ada.

21

Padahal hasil kajian KPPOD-KADIN (2003) -yang menanyai derajat resiko investasi menurut para investor dan mengelolanya dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP)- menyebutkan bahwa investor menganggap urgensi aspek buruh dan stabilitas sosial lebih kecil dibandingkan kepastian hukum, tata kelola birokrasi dan infrastruktur. Dengan kata lain, kepastian hukum dan tata kelembagaan birokrasi menjadi jauh lebih urgen.

22

Kapasitas kelembagaan birokrasi sebagai salah satu aspek yang dipertimbangkan oleh investor ketika melakukan investasi justru sama sekali tidak dikemukakan. Padahal, dari aspek kelembagaan birokrasi, Kabupaten Semarang sebagai salah satu daerah investasi utama justru tidak menunjukkan adanya prestasi yang luar biasa dalam mendorong reformasi tata kelola pemerintahan agar bisa kondusif bagi investasi. Menurut data KPPOD-KADIN (2009) yang melakukan “Survei Kabupaten/Kota Terbaik di Indonesia untuk Bidang Pelayanan Penanaman Modal 2009”, Kabupaten Semarang, diantara 217 kabupaten yang ada di seluruh Indonesia, hanya berada di urutan ke-90 apabila ditinjau dari aspek kelembagaan instansi pelayanan penanaman modal daerah, pelayanan perijinan usaha, mekanisme pengaduan dan evaluasi kinerja pelayanan, teknologi dan sistem informasi pelayanan penanaman modal dan perijinan, ketersediaan dan kualitas data/informasi pelayanan penanaman modal di daerah serta inovasi dan capaian

Kini, buruh tampaknya tetap tidak “boleh” lagi menjadi

subyek politik aktif yang bukan hanya memiliki kesadaran yang kuat atas haknya tapi juga secara serius memperjuangkan hak-hak dasarnya dalam berbagai proses politik dan proses kebijakan yang ada. Setiap kemunculan benih kesadaran politik yang menguat dalam komunitas buruh lebih dipahami sebagai hasrat “subversif” yang harus dipadamkan sebelum berkembang menjadi kesadaran dan aksi kolektif.

Merawat Korporatisme Negara di Aras Lokal dan Memadamkan Kesadaran “Subversif”

Pemerintah daerah Kabupaten Semarang kemudian mengembangkan beberapa strategi untuk memastikan stabilitas sosial bisa berjalan dengan baik. Pertama, pemerintah daerah Kabupaten Semarang membentuk Tim Deteksi Dini.23 Tim Deteksi

Dini merupakan kolaborasi aparat keamanan, pemerintah dan aktivis serikat pekerja yang mau kooperatif. Tugas utama dari Tim

23

Wawancara tim peneliti dengan Wityastuningsih, Ka. Bid Pelatihan dan penempatan, Dinsosnakertrans Pemkab Semarang, 5 Maret 2011…Semarang. Wawancara tim peneliti dengan Ari. Munanto.,pengurus DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kab. Semarang.4 Maret 2011., Semarang

Deteksi Dini adalah memastikan untuk mencegah potensi gangguan stabilitas sosial-politik agar tidak termanifestasi sejak

din serta membuat “peta kerawanan”. Tim Deteksi Dini juga

melakukan kunjungan berkala ke perusahaan-perusahaan untuk berkomunikasi dengan pemilik modal dan komunitas buruh yang ada di dalamnya.

Kedua, Pemda Kab. Semarang merawat strategi “korporatisme negara” dalam mengelola aspirasi komunitas buruh dengan

penganakemasan gerakan-gerakan buruh yg kooperatif dan moderat.24 Organisasi-organisasi serikat pekerja yang kooperatif dan moderat, khususnya SPSI, SPN, SPKes, bukan hanya diberi ruang kesekretariatan di kantor Dinsosnakertrans Pemkab Semarang tapi juga mendapatkan alokasi dana Bantuan Sosial

24

Strategi ini sebenarnya merupakan yang sudah cukup lama dipakai oleh negara untuk “menundukkan” komunitas buruh, terutama oleh rejim Orde Baru. Strategi korporatisme negara mengandaikan adanya representasi yang bisa dikontrol oleh negara yang berperan memfasilitasi komunikasi dan artikulasi kepentingan warganegara. Ruang representasi ini sengaja “dibatasi” untuk memastikan berbagai artikulasi kepentingan kelompok sosial yang diwakilinya tetap selaras

yang bersumber dari dana APBD.25

Selain menekankan aspek stabilitas sosial, Pemkab. Semarang juga mendorong kebijakan bi-partiet (pengusaha-buruh) dalam menyelesaikan konflik dalam perusahaan. Pemda hanya akan masuk untuk memfasilitasi penyelesaian konflik apabila ada indikasi perselisihan yang tidak terselesaikan.26 Kondisi ini tentu

saja tidak menguntungkan bagi komunitas buruh karena mendorong perusahaan berhadapan langsung dengan buruh dimana posisi buruh dan perusahaan sangat tidak seimbang.

Sementara itu, kapasitas kelembagaan untuk menopang kebijakan perburuhan ini sangat minim. Pemkab Semarang, dengan difasilitasi oleh JICA, memang berhasil mengembangkan sistem informasi peluang kerja (Public Employment Service) yang bisa diakses oleh masyarakat. Namun Dinsosnakertrans Pemkab Semarang hanya memiliki 6 fungsional mediator yang sangat

25

Menurut pengakuan Ari, pengurus SPN, Pemerintah daerah memberikan bantuan sosial rata-rata 20 juta per tahun yang dibagikan kepada 4 serikat pekerja. Wawancara tim peneliti dengan Ari..,pengurus DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kab. Semarang. 19 Januari 2011., Semarang

26

Wawancara tim peneliti dengan Hendy Lestari, Ka. Bid Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dan Pengawasan, Dinsosnakertrans Pemkab Semarang,5 Maret 2011…Semarang.

terbatas & hanya 3 pengawas bersertifikat yang tidak memungkinkan melakukan pengawasan secara optimal karena jumlah perusahaan yang sangat banyak.27 Sementara itu, Pemkab

Semarang juga tidak memiliki mekanisme monitoring dan pengaduan yang tersistematis dan tidak ada perlindungan terhadap saksi apabila mengadukan indikasi pelanggaran.28 [ ]

27

Wawancara tim peneliti dengan Wityastuningsih,Kab. Pelatihan & penempatan, Disnakertransos Kab. Semarang, 5 Maret 2011…,Semarang.

28

Wawancara tim peneliti dengan Hendy Lestari, Ka. Bid Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dan Pengawasan, Dinsosnakertrans Pemkab Semarang,5 maret 2011…Semarang. Wawancara tim peneliti dengan Wityastuningsih,Kab. Pelatihan & penempatan, Disnakertransos Kab.

4

4

ABBAebebrrssbbeeaannssnniiyyssaaHHAAaanknkggggaarraann

ƒ HASRUL HANIF & SUTRISNO BUDIHARTO

ab ini akan membahas lebih jauh struktur anggaran publik atau APBD di Kabupaten Semarang untuk melihat kapasitas pembiayaan bagi pemenuhan hak-hak ekonomi & sosial warga Kabupaten Semarang, khususnya komunitas buruh. Pada dasarnya, struktur anggaran publik mencermin derajat komitmen pemerintah daerah.

Bab ini akan melihat dua aspek utama dalam struktur anggaran publik yaitu aspek input (revenue) dan output (expenditure). Aspek input penting untuk melihat sumber-sumber pembiayaan. Sedangkan aspek output dipakai untuk melihat keberpihakan terhadap kepentingan warga alokasi anggaran.

Dalam dokumen Negara Tanpa Warga Politik Kewarganegara (Halaman 59-70)

Dokumen terkait