• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

BAB 5 PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

5.1 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Sosiodemografi di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab Sijunjung

Gambar 5.1 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan umur di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

Berdasarkan gambar 5.1 dapat dilihat bahwa proporsi umur yang tertinggi adalah umur >30 tahun sebesar 79% dan proporsi umur yang terendah adalah umur <30 tahun sebesar 21%. Umur >30 tahun lebih besar terkena penyakit filariasis, dimana pada usia tersebut lebih berpeluang untuk kontak dengan vektor penyakit filariasis karena tingginya aktivitas pekerjaan dibandingkan usia muda.

79% 21%

Umur

>30 tahun <30 tahun

Umur mempengaruhi risiko filariasis berkaitan dengan tingkat penularan filariasis yang relatif rendah dan tidak mudah terdeteksi. Penderita biasanya baru mengetahui penyakitnya setelah timbul gejala kronis berupa pembengkakan di kaki maupun tangan.

Penelitian ini sejalan dengan fitriani tahun 2011 di wilayah kabupaten pekalongan menyebutkan variabel umur berhubungan dengan kejadian filariasis. Hal ini terjadi karena tingginya aktivitas penduduk dewasa dibandingkan penduduk dengan usia yang lebih muda. Walaupun umur individu yang satu dengan yang lain sama, tetapi bila berbeda kecerdasan, persepsi, emosi, dan motivasi maka akan memberikan perilaku yang berbeda pula . Demikian juga walaupun individu tua memiliki pengalaman yang lebih banyak daripada yang muda, tidak dapat memberikan jaminan bahwa mereka memiliki perilaku yang baik, karena pada dasarnya setiap individu akan memberikan respon yang berbeda walaupun objeknya sama. Hal ini disebabkan oleh sifat khas dari individu itu sendiri. Oleh sebab itu perbedaan umur tidak menyebabkan perbedaan tindakan dalam pencegahan filariasis.

Gambar 5.2 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan Jenis kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

Berdasarkan gambar 5.2 dapat dilihat bahwa proporsi jenis kelamin yang tertinggi adalah laki-laki sebesar 72% dan proporsi jenis kelamin yang terendah adalah perempuan sebesar 28%. Hal ini diperkirakan karena perilaku penderita laki-laki yang sering beraktivitas di luar rumah pada malam hari.

Penelitian ini sejalan dengan fitriani tahun 2011 menyebutkan tidak berhubungannya variabel jenis kelamin dengan kejadian filariasis di Kabupaten Pekalongan dapat terjadi karena baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk terinfeksi filaria W. bancrofti. Laki-laki yang mencari nafkah dengan berdagang atau buruh di luar rumah pada malam hari untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sedangkan perempuan kebanyakan menjadi buruh batik di luar rumah pada malam hari untuk mendapatkan penghasilan

72% 28%

Jenis Kelamin

Laki-laki

tambahan. Hal ini mengakibatkan variabel jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian filariasis sesuai dengan penelitian bahwa filariasis pada wanita lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan laki-laki dan dapat disimpulkan terjadinya penularan filariasis bersifat lokal spesifik sesuai dengan keadaan.

Gambar 5.3 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

Berdasarkan gambar 5.3 dapat dilihat bahwa proporsi pekerjaan yang tertinggi adalah petani sebesar 37% dan proporsi pekerjaan yang terendah adalah tidak bekerja/ibu rumah tangga sebesar 9%. Pekerjaan yang beresiko terkena penyakit filariasis adalah petani dan buruh karena sering terkontak dengan vektor perantara yaitu nyamuk. Dan juga sesuai dengan kondisi wilayah Kab. Sijunjung

37 17 10 13 14 9 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Petani Buruh Pedagang pegawai

swasta

Pns/Tni/Polri Tidak

bekerja/IRT

Pekerjaan

yang merupakan daerah pertanian. Sehingga ketika masyarakat bekerja disawah memungkinkan terjadinya kontak dengan vektor perantara yaitu nyamuk.

Menurut hasil penelitian Nasrin(2008) di kabupaten Bangka Barat orang yang memiliki jenis pekerjaan berisiko akan berpeluang terkena penyakit filariasis sebesar 4,4 kali dibandingkan dengan orang yang memiliki pekerjaan tidak berisiko.

5.2 Distribusi Proporsi Penderita Filariais Berdasarkan Lingkungan Fisik di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab Sijunjung

Gambar 5.4 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan Ketersediaan Saluran Pembuangan Air Limbah di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

Berdasarkan gambar 5.4 dapat dilihat bahwa proporsi ketersediaan saluran pembuangan air limbah yang tertinggi adalah tidak ada ketersediaan saluran

39 61 0 10 20 30 40 50 60 70 Ketersediaan Saluran Pembuangan Air Limbah

Ada

pembuangan air limbah sebesar 61% dan ada ketersediaan saluran pembuangan air limbah yang terendah sebesar 39%.

Menurut Notoatmodjo (2005) yang menyatakan air buangan yang tidak saniter dapat menjadi media perkembang biakan mikroorganisme patogen, larva nyamuk atau serangga yang dapat menjadi media trasmisi penyakit seperti kolera, thypus, disentri, malaria dan demam berdarah. Sarana pembuangan air limbah yang sehat dapat mengalirkan limbah ke tempat penampungan air limbah dengan lancar tanpa mencemari lingkungan dan badan air.

Gambar 5.5 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan Tempat Perkembangbiakan Nyamuk di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

58 42 0 10 20 30 40 50 60 70 Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Ada Tidak ada

Berdasarkan gambar 5.5 dapat dilihat bahwa proporsi tempat perkembangbiakan nyamuk yang tertinggi adalah ada tempat perkembangbiakan nyamuk sebesar 58% dan tidak ada tempat perkembangbiakan yang terendah sebesar 42%. Hal ini dikarenakan pada hasil penelitian didapatkan bahwa rumah mayoritas memiliki tempat perkembangbiakan nyamuk yang alami ataupun buatan jadi nyamuk mempunyai tempat untuk melangsungkan proses berkembang biak, tempat perkembang biak nyamuk termasuk kedalam lingkungan biologi yang sangat penting untuk proses meletakkan telur nyamuk.

Penelitian ini sejalan penelitian Widiyanto (2007), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara tempat perindukan nyamuk dengan kejadian Demam Filariasis.

Menurut Anies (2006) tempat perindukan nyamuk ini bermacam-macam tergantung jenis nyamuknya, ada yang hidup di pantai, rawa-rawa, persawahan, tambak ikan maupun air bersih di pegunungan. Prinsipnya sedapat mungkin meniadakan tempat perindukan nyamuk tersebut dengan menjaga kebersihan lingkungan. Sehubungan dengan hal tersebut, tempat perindukan nyamuk buatan seperti vas bunga sebaiknya dapat diberi campuran pasir dan air, tempat minum burung diganti airnya setiap hari, ban bekas, botol, kaleng semuanya harus dikubur atau dihancurkan dan didaur ulang untuk keperluan industri (Chahaya,2003).

Gambar 5.6 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan Tempat Peristirahatan Nyamuk di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

Berdasarkan gambar 5.6 dapat dilihat bahwa proporsi tempat peristirahatan nyamuk yang tertinggi adalah ada tempat peristirahatan nyamuk sebesar 73% dan tidak ada tempat peristirahatan nyamuk yang terendah sebesar 27%. Daerah yang disenangi nyamuk adalah daerah yang tersedia tempat beristirahat karena ini juga merupakan tempat untuk menunggu waktu bertelur adalah pada baju yang bergantungan yang dibiarkan bergantungan pada pintu dalam kamar sehingga menjadi tempat peristirahatan yang cocok bagi nyamuk, dan tempat gelap, lembab dan sedikit angin . Menurut hasil penelitian juga bahwa rumah yang mempunyai tempat peristirahatan yaitu sebanyak 74% sehingga kemungkinan jumlah populasi nyamuk disekitar rumah akan bertambah dan merupakan faktor resiko.

73 27 0 10 20 30 40 50 60 70 80

Tempat Peristirahatan Nyamuk

Ada

Menurut Handayani (2008), habitat nyamuk adalah suatu daerah dimana tersedia tempat beristirahat, setiap nyamuk pada waktu aktivitasnya akan melakukan orientasi terhadap habitatnya untuk memenuhi kebutuhan fisiologis yaitu hinggap istirahat selama 24 jam – 48 jam lalu kawin dan sesudah itu menuju hospes setelah cukup memperoleh darah dari hospes nyamuk kembali ke tempat istirahat untuk menunggu waktu bertelur begitulah terus menerus proses ini berkelajutan yang disebut siklus Gonotropik : yaitu dimulai dari Tempat berkembang biak kemudian ke tempat hospes (makan) selanjutnya ke tempat istirahat begitu terus menerus berlangsung.

Gambar 5.7 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan Kawat Kasa Pada Ventilasi di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

37 45 18 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Kawat Kasa Pada Ventilasi

Ada, jika tidak rusak

Ada, rusak

Berdasarkan gambar 5.7 dapat dilihat bahwa proporsi kawat kasa pada ventilasi yang tertinggi adalah ada, rusak kawat kasa pada ventilasi sebesar 45% dan tidak ada kawat kasa pada ventilasi yang terendah sebesar 18%. Kawat kasa pada ventilasi ini berfungsi untuk mencegahnya nyamuk masuk kedalam rumah sesuai dengan hasil penelitian bahwa tidak ada perbedaan antara ada kawat kasa pada ventilasi dengan tidak ada kawat kasa pada ventialsi dengan kejadian Filariasis hal ini dikarenakan responden mempunyai kebiasaan keluar rumah pada malam hari dan juga nyamuk mempunyai kebiasaan menggigit pada luar rumah dan pada malam hari sehingga responden mempunyai peluang untuk tergigit nyamuk serta terjadinya filariasis.

Menurut Yatim (2007) pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi terjadinya kontak dengan nyamuk yaitu dengan pemasangan kawat kasa pada ventilasi. Kawat kasa harus dipasang pada setiap lubang yang ada pada rumah, kesulitan biasanya pada pemasangan di pintu dimana biasanya diperlukan pintu ganda. Jumlah lubang pada kawat kasa yang dianggap optimal 14-16 perinci (2,5cm) bahannya bermacam-macam mulai tembaga aluminium sampai plastik.

Gambar 5.8 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan Pencahayaan di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

Berdasarkan gambar 5.8 dapat dilihat bahwa proporsi pencahayaan yang tertinggi adalah tidak ada pencahayaan sebesar 58% dan ada pencahyaan yang terendah sebesar 36%.

Menurut Sarudji (2010) secara implisit pencahayaan dalam rumah perlu mendapatkan perhatian khusus karena berpengaruh dalam aspek kenyamanan, keamanan dan keselamatan, produktivitas serta estetika. Ditinjau dari segi sumber cahaya ada dua jenis pencahayaan yaitu pencahayaan alami dan pencahayan buatan. Yang ideal setiap ruangan harus mendapatkan cahaya alami setiap pagi hari untuk membunuh kuman yang ada di ruangan/lantai atau untuk menghindari kelembaban udara, pada prinsipnya cahaya yang diperlukan suatu ruangan harus mempunyai

42 58 0 10 20 30 40 50 60 70 Pencahayaan Ada Tidak ada

intesitas sesuai dengan peruntukannya, disamping tidak menimbulkan silau atau menimbulkan bayangan yang tidak diinginkan karena tidak benar peletakan sumber atau arah pencahayaanya. Luas jendela untuk pencahayaan alami minimal 20% luas lantai.

5.3 Distribusi Proporsi Penderita Filariais Berdasarkan Lingkungan Sosial di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab Sijunjung

Gambar 5.9 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan Kebiasaan Keluar Rumah Malam Hari di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

Berdasarkan gambar 5.9 dapat dilihat bahwa proporsi kebiasaan keluar rumah malam hari yang tertinggi adalah selalu keluar rumah malam hari sebesar 47% dan kadang-kadang keluar rumah malam hari yang terendah sebesar 26%. Rendahnya tindakan masyarakat yang ada di wilyah kerja Puskesmas Gambok Kab.

47 26 27 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Kebiasaan Keluar Rumah Malam Hari

Selalu

Kadang-kadang

Sijunjung karena mereka selalu keluar rumah akan memberikan luang kepada nyamuk untuk menggigit dikarenakan karena pada beberapa nyamuk ada yang berperilaku mencari darah pada malam hari.

Penelitian ini sejalan dengan Kadarusman (2003) diketahui bahwa kebiasaan keluar pada malam hari ada hubungan denga kejadian filariasis (p= 0,002).

Penelitian yang dilakukan Sunardi (2006) yang menyatakan bahwa responden yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari berpeluang terjangkit filariasis sebesar 26,3 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Dengan kondisi inilah kejadian filariasis di Kabupaten Sijunjung masih merupakan permasalahan kesehatan, dimana pada umumnya nyamuk mempunyai aktivitas menggigit pada malam hari seperti Anopheles sp, Culex dan Mansonia sp. Hanya sebagian kecil yang aktif menggigit pada siang hari, misal: Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Sebagian besar nyamuk mempunyai dua puncak aktivitas pada malam hari, puncak aktivitas menggigit pertama terjadi sebelum tengah malam dan puncak kedua menjelang pagi hari. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk.

Gambar 5.10 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan Pemakaian Kelambu di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

Berdasarkan gambar 5.10 dapat dilihat bahwa proporsi pemakaian kelambu yang tertinggi adalah tidak pernah memakai kelambu sebesar 45% dan selalu memakai kelambu yang terendah sebesar 26%. Penggunaan kelambu tidak dilakukan karena mereka telah menggunakan anti nyamuk penggunaan anti nyamuk bakar dapat mengurangi kontak antara nyamuk dengan seseorang dan penggunaan anti nyamuk di Kabupaten Sijunjung dinilai masih efektif untuk mengusir nyamuk.

Penelitian ini sejalan dengan Ansyari (2004) diketahui bahwa kebiasaan tidak menggunakan kelambu waktu tidur sebagai faktor resiko kejadian filariasis (OR=8,09).

Menurut Yatim (2007) menghindari gigitan nyamuk pada daerah yang penderitanya banyak adalah sangat penting dan upaya yang dapat dilakukan berupa penggunaan kelambu merupakan alat yang telah digunakan sejak dahulu,

26 29 45 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Pemakaian Kelambu Selalu Kadang-kadang Tidak pernah

penggunaannya dewasa ini sudah jauh berkurang karena dianggap kurang praktis. Banyak penduduk menganggap bahwa pengggunaannya menyebabkan perasaan yang lebih panas di ruangan yang telah penuh sesak, jumlah lubang per cm kelambu sebaiknya 6-8 dengan diameter 1,2-1,5 mm. Dan penggunaan obat nyamuk berbagi macam obat nyamuk yang beredar di masyarakat dari yang tidak mengandung bahan aktif sampai yang mengandung insektisida. Kelemahan obat nyamuk adalah timbulnya iritasi pada orang yang sensitif sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan.

Prinsip penggunaan kelambu adalah upaya untuk mencegah kontak dengan nyamuk, jenis kelambu manapun yang digunakan oleh responden pada saat tidur, tetap menjadi upaya yang penting dalam rangka mencegahpenularan penyakit filariasis, namun penggunaan kelambu tidak akan berarti kalau tidak diikuti dengan pemakaian yang rutin oleh seseorang. Salah satu cara yang digunakan Insecticide Treated Net (ITN) yang cukup efektif sebagai proteksi dirri terhadap gigitan nyamukdan serangga lainnya .

Faktor kebiasaan memakai kelambu pada waktu tidur secara teoritis memilki kontribusi dalam pencegahan filariasis, karena pada umumnya aktivitas menggigit nyamuk tertinggi pada malam hari.

Gambar 5.11 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk Bakar di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

Berdasarkan gambar 5.11 dapat dilihat bahwa proporsi kebiasaan memakai obat anti nyamuk bakar yang tertinggi adalah tidak pernah memakai obat anti nyamuk bakar sebesar 43% dan selalu memakai obat anti nyamuk bakar yang terendah sebesar 25%. Masyarakat yang ada di wilayah kerja Kab. Sijunjung sudah banyak memakai obat anti nyamuk bakar di rumah karena obat anti nyamuk bakar di nilai sangat efektif dalam mengusir nyamuk.

Salah satu cara untuk mencegah dari gigitan nyamuk adalah dengan penggunaan obat anti nyamuk. Metode perlindungan diri ini digunakan oleh individu atau kelompok kecil pada masyarakat untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk dengan cara mencegah kontak antara tubuh manusia dengan nyamuk,

25 32 43 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk Bakar

Selalu

Kadang-kadang

dimana peralatannya kecil, mudah dibawa dan sederhana dalam penggunaannya, diantaranya obat anti nyamuk seperti: bakar, oil dan obat poles anti nyamuk.

Gambar 5.12 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis berdasarkan Kebiasaan Memakai Repellent di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

Berdasarkan gambar 5.12 dapat dilihat bahwa proporsi kebiasaan memakai repelent yang tertinggi adalah tidak pernah memakai repellent sebesar 39% dan selalu memakai repellent yang terendah sebesar 24%. Masyarakat yang ada di wilayah kerja Puskesmas Gambok selalu memakai obat anti nyamuk bakar jadi mereka hanya menganggap obat anti nyamuk bakar yang paling efektif, tetapi ada sebagian masyarakat untuk mencegah vektor perantara yaitu nyamuk dengan menambahkan memakai repellent di rumah maupun di luar rumah, untuk pencegahan. 24 37 39 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Kebiasaan Memakai Repellent

Selalu

Kadang-kadang

Menggunakan obat repellent merupakan metode perlindungan diri oleh individu atau kelompok kecil pada masyarakat untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk. Dengan cara mencegah kontak antara tubuh manusia dengan nyamuk. Penggunaan repellent ini tidak akan berarti apa-apa jika kebiasaan masyarakat masih sering keluar pada malam hari dengan tidak menggunakan pelindung diri. Mengingat hal tersebut diatas diharapkan masyarakat menggunakan repellent secara rutin untuk menghindari kontak dengan nyamuk. Prinsip utama agar terhindar filariasis adalah menghidarkan diri dari gigitan nyamuk vektor infektif atau berusaha seminimal mungkin kontak dengan nyamuk. Masyarakat sebaiknya selalu membiasakan diri memakai obat nyamuk oles saat beraktivitas di luar rumah pada malam hari maupun sebelum tidur.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

6.1.1 Distribusi proporsi berdasarkan sosiodemografi pada penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medias Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung tertinggi pada umur > 30 tahun yaitu (79%), jenis kelamin laki-laki 72%, dan petani 37%.

6.1.2 Distribusi proporsi berdasarkan lingkungan fisik rumah pada penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung tertinggi yaitu tidak ada ketersediaan saluran pembuangan air limbah 61% (61 rumah), ada tempat perkembangbiakan nyamuk 58% (58 rumah), ada tempat peristirahatan nyamuk 73% (73 rumah), ada, rusak kawat kasa pada ventilasi 45% (45 rumah), dan tidak ada pencahayaan 58% (58 rumah).

6.1.3 Distribusi proporsi berdasarkan lingkungan sosial penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung tertinggi yaitu selalu keluar malam hari 47% (47 orang), tidak pernah memakai kelambu 45% (45 orang), tidak pernah memakai obat anti nyamuk bakar 43% (43 orang), dan tidak pernah memakai repellent 39% (39 orang).

6.2 Saran

6.2.1 Pihak Puskesmas dan Dinas Kesehatan terus melakukan penyuluhan secara berkala tentang filariasis guna meningkatkan sikap dan tindakan masyarakat dalam mencegah terjadinya filariasis.

6.2.2 Masyarakat mengurangi aktifitas keluar rumah pada malam hari serta jika keluar rumah memakai baju dan celana panjang sebagai pelindung diri dan menggunakan kelambu insektisida sewaktu tidur.

6.2.3 Masyarakat dapat meminimalkan tempat perindukan dan tempat peristirahatan nyamuk yang ada pada lingkungan rumah dengan menjaga kebersihan lingkungan serta masyarakat melakukan gotong royong.

DAFTAR PUSTAKA

Asri Maharani, Bagus Febrianto, Saptop, Widiarti, 2006. Studi Faktor Resiko Filariasis di Desa Sambirejo Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Rinbinkes BPVRP Salatiga.

Chin, J. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Editor: dr. I. Nyoman Kandun, CV. Infomedika, Edisi 17 Cetakan 11. Jakarta. Depkes RI, 2003. Modul Pemberantasan Vektor. Ditjend PP & PL.

Jakarta.

________, 2006. Epidemiologi Filariasis. Ditjend PP & PL. Jakarta. ________, 2006. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis.

Ditjend PP & PL. Jakarta.

_________, 2006. Pedoman Promosi Kesehatan Dalam Eliminasi Filariasis. Ditjend PP & PL. Jakarta.

_________, 2007. Ekologi Dan Aspek Perilaku Vektor. Ditjend PP & PL. Jakarta.

_________, 2007. Pedoman Program Penamggulangan Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di Indonesia. Ditjend P2M & PL. Jakarta. _________, 2009. Pedoman Pemberantasan Filariasis di Indonesia.

Jakarta.

_________, 2009. Kasus Klinis Filariasis di Indonesia. Ditjend PP & PL. Jakarta.

Dinas Kesehatan Kabupaten Sijunjung, 2012. Penyusunan Profil Kesehatan Kabupaten Sijunjung. Sijunjung.

Dinkes SUMUT, 2011. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara 2010. Sumatera Utara.

Isgiyanto A. Teknik Pengambilan Sampel Pada Penelitian Non Eksperimental. Penerbit Buku Kesehatan. Jogjakarta.

Juriastuti P, 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kelurahan Jati Sempurna Makara. Buletin Kesehatan, Volume 14 no 1. Juni.

Kadarusman, 2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Desa Talang Babat Kecamatan Muara Sabak Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. FKM UI Jakarta.

Machfoed, I. 2008. Menjaga Kesehatan Rumah Dari Berbagai Penyakit Kesehatan Lingkungan-Kesehatan Masyarakat Sanitasi Pedesaan Dan Perkotaan. Fitramaya. Jakarta.

Nasri Noor, 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Renika Cipta.

Nurmaini, 2003. Mengidentifikasi Vektor dan Pengendalian Nyamuk Anopheles Aconitus secara Sederhana. Fakultas Kesehatan Masyarakat Bagian Kesehatan Lingkungan Universitas Sumatera Utara.

Notoadmojo S, 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta.

Notoadmojo S, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.

Oemijati, 2006. Parasitologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Pusat Data Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. Filariasis

di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Juli 2010, Volume 1. Sarudji D. Kesehatan Lingkungan, Karya Putra Darwanti 2010. Bandung Yatim F, 2009. Macam-macam Penyakit Menular dan Cara

LAMPIRAN II OUTPUT DATA

Frequency Table

Umurk

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid <30 21 21.0 21.0 21.0 >30 79 79.0 79.0 100.0 Total 100 100.0 100.0 JK

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Laki-laki 72 72.0 72.0 72.0 Perempuan 28 28.0 28.0 100.0 Total 100 100.0 100.0 Kerja

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid petani 37 37.0 37.0 37.0 Buruh 17 17.0 17.0 54.0 Pedagang 10 10.0 10.0 64.0 Pegawai swasta 13 13.0 13.0 77.0 Pns/tni/polri 14 14.0 14.0 91.0

Tidak bekerja/ibu rumah tangga 9 9.0 9.0 100.0

Frequency Table

spal

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid ada 39 39.0 39.0 39.0 tidak ada 61 61.0 61.0 100.0 Total 100 100.0 100.0 kembang

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid ada 58 58.0 58.0 58.0 tidak ada 42 42.0 42.0 100.0 Total 100 100.0 100.0 istirahat

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ada 73 73.0 73.0 73.0

tidak ada 27 27.0 27.0 100.0

ventilasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ada tidak rusak 37 37.0 37.0 37.0

ada, rusak 45 45.0 45.0 82.0

tidak ada 18 18.0 18.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

cahaya

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid ada 42 42.0 42.0 42.0 tidak ada 58 58.0 58.0 100.0 Total 100 100.0 100.0 Frequency Table keluar

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid selalu 47 47.0 47.0 47.0 kadang-kadang 26 26.0 26.0 73.0 tidak pernah 27 27.0 27.0 100.0 Total 100 100.0 100.0

kelambu

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid selalu 26 26.0 26.0 26.0 kadang-kadang 29 29.0 29.0 55.0 tidak pernah 45 45.0 45.0 100.0 Total 100 100.0 100.0 obat

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid selalu 25 25.0 25.0 25.0 kadang-kadang 32 32.0 32.0 57.0 tidak pernah 43 43.0 43.0 100.0 Total 100 100.0 100.0 repellent

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid selalu 24 24.0 24.0 24.0 kadang-kadang 37 37.0 37.0 61.0 tidak pernah 39 39.0 39.0 100.0 Total 100 100.0 100.0

Dokumen terkait