• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 + 11 12 13 14 15 16 17 18 19 LN_PSIt-1 + e1 LN_IPIt 2 21 22 23 24 25 26 27 28 29 LN_IPIt-1 e2 INF 3 31 32 33 34 35 36 37 38 39 INFt-1 e3 LN_DPKt 4 41 42 43 44 45 46 47 48 49 LN_DPKt-1 e4 NPFt 5 51 52 53 54 55 56 57 58 59 NPFt-1 e5 FDRt 6 61 62 63 64 65 66 67 68 69 FDRt-1 e6 SBKt 7 71 72 73 74 75 76 77 78 79 SBKt-1 e7 ERPt 8 81 82 83 84 85 86 87 88 89 ERPt-1 e8 ERDPKt 9 91 92 93 94 95 96 97 98 99 ERDPKt-1 e9 Keterangan:

PSIt = Pembiayaan sektor industri pada BPRS periode ke-t (juta rupiah) IPIt = Industrial Production Index periode ke-t (indeks)

INFt = Inflasi periode ke-t (persen)

DPKt = Dana Pihak Ketiga periode ke-t (juta rupiah)

NPFt = Pembiayaan tidak lancar sektor industri periode ke-t (juta) FDRt = Financing to Deposit Ratio periode ke-t (persen)

ERPt = Equivalent Rate pembiayaan periode ke-t (persen) ERDPKt = Equivalent Rate DPK periode ke-t (persen)

SBKt = Suku Bunga Kredit BPR periode ke-t (persen)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan BPRS di Indonesia

Kelahiran perbankan syariah di Indonesia dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang merupakan bank syariah pertama di Indonesia pada tahun 1992 dan disahkannya UU No. 7 Tahun 1992 yang mengakomodasikan bank untuk menjalankan kegiatan usaha secara konvesional atau berdasarkan prinsip syariah.

Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa waktu enam tahun terakhir terjadi 35 BPRS. Hal ini juga diikuti dengan peningkatan pada dana pihak ketiga, pembiayaan dan total aset BPRS. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa jumlah dana

pihak ketiga dan pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 total aset BPRS hanya berjumlah 2 123 miliar rupiah dengan jumlah dana pihak ketiga dan pembiayaan berturut-turut sebesar 1 250 miliar rupiah dan 1 586 miliar rupiah sementara pada tahun 2014 total aset BPRS telah mencapai 6 573 miliar dengan rata-rata pertumbuhan aset dari tahun 2009 hingga 2014 sebesar 26.49%. Sementara itu jumlah dana pihak ketiga dan pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS pada tahun 2014 berturut-turut sebesar 4 028 dan 5 004 miliar rupiah.

Gambar 5 Perkembangan DPK, pembiayaan, dan aset BPRS tahun 2009-2014 (miliar)

Sumber : Statistik Perbankan Syariah, OJK (2014)

Setiap tahunnya dari tahun 2009 hingga 2014 pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS selalu mengalami peningkatan walaupun bila dibandingkan dengan pembiayaan yang disalurkan BUS dan UUS, proporsi pembiayaan yang disalurkan BPRS hanya berkisar antara 1.98% hingga 2.5% dari total seluruh pembiayaan yang disalurkan industri perbankan syariah di Indonesia. Peningkatan total pembiayaan yang disalurkan BPRS setiap tahun ini sayangnya tidak diikuti oleh peningkatan proporsi pembiayaan bagi sektor industri pengolahan yang hanya berkisar antara 0.8% hingga 1.6% dari total seluruh pembiayaan pada tahun 2009 hingga 2014. Pada Gambar 6 disajikan presentase pembiayaan BPRS berdasarkan sektor-sektor ekonomi pada tahun 2014. Presentase pembiayaan terbesar yaitu pada pembiayaan sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai sebesar 48.59% sedangkan presentase pembiayaan terkecil adalah pada sektor pertambangan dengan nilai sebesar 0.21%. 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Ju m lah (Mi li ar) Tahun DPK Pembiayaan Aset

Gambar 6 Pembiayaan BPRS berdasarkan sektor ekonomi tahun 2014 (persen)

Sumber : Statistik Perbankan Syariah, OJK (2014)

Uji Pra Estimasi

Hasil Uji Stasioneritas

Langkah pertama dalam melakukan estimasi model VECM adalah uji stasioneritas data dengan metode Augmented Dicky Fuller (ADF) test. Uji stasioneritas dilakukan dalam dua tingkat, pertama pada tingkat level. Pengujian dilanjutkan pada tingkat first difference apabila data tidak stasioner pada tingkat level. Data dikatakan stasioner apabila nilai ADF-statistik lebih besar dari nilai t-statistik pada taraf nyata 5% atau apabila nilai probabilitasnya lebih dari taraf nyata 5%.

Tabel 5 Hasil uji stasioneritas Variabel

Level FirstDifference

ADF-statistik t-statistik 5% Prob. ADF-statistik t-statistik 5% Prob. LN_PSI -1.683* -2.903 0.436 -7.073* -2.904 0.000 LN_IPI -2.409* -2.903 0.143 -7.653* -2.904 0.000 INF -5.927* -2.903 0.000 -9.858* -2.904 0.000 LN_DPK -1.488* -2.903 0.534 -7.705* -2.904 0.000 NPF -3.612* -3.474 0.037 -7.935* -2.904 0.000 FDR -2.296* -2.903 0.176 -7.135* -2.904 0.000 ERDPK -3.602* -3.474 0.037 -4.230* -2.904 0.001 ERP -5.310* -2.903 0.000 -12.291* -2.904 0.000 SBK -2.076* -3.474 0.177 -8.656* -3.475 0.000

Keterangan : Tanda (*) menunjukkan variabel stasioner pada taraf nyata 5% Perdagangan, restoran, dan hotel, 48.59 Industri pengolahan, 1.64 Listrik, 0.29 Pertambangan, 0.21 Konstruksi, 7.32 Jasa dunia usaha, 15.17 Pertanian, kehutanan, dan sarana pertanian, 10.07 Pengangkutan, pergudangan, dan

Hasil Uji Lag Optimum

Langkah selanjutnya dalam estimasi VECM adalah melakukan pengujian lag optimum dengan melihat lag optimum yang. Lag yang digunakan pada penelitian ini dipilih berdasarkan Schwarz Infotmation Criterion (SC) yaitu lag 1

Tabel 6 Hasil uji lag optimum

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -183.863 NA 2.56e-09 -5.757* 6.053 5.874 1 366.805 936.957* 2.13e-15* -8.263* -5.301* -7.091* 2 436.084 99.268 3.42e-15 -7.913* -2.286 -5.686 3 495.684 69.385 9.15e-15 -7.274* 1.018 -3.993 4 607.680 100.295* 7.74e-15 -8.199* 2.758 -3.863 5 744.943 86.046 6.73e-15 -9.879* 3.744 -4.488

Keterangan : Tanda (*) menunjukkan lag optimum

Hasil Uji Stabilitas VAR

Model VAR dinyatakan stabil apabila root-nya memiliki modulus kurang dari satu. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dapat dilihat bahwa nilai modulus dari seluruh roots kurang dari satu sehingga model VAR dapat dikatakan stabil. Tabel 7 Hasil uji stabilitas VAR

Root Modulus 0.961187 - 0.009483i 0.961234 0.961187 + 0.009483i 0.961234 0.824741 - 0.052308i 0.826398 0.824741 + 0.052308i 0.826398 0.715745 0.715745 0.512421 0.512421 0.299965 - 0.035441i 0.302051 0.299965 + 0.035441i 0.302051 0.016759 0.016759

Hasil Uji Kausalitas Granger

Hasil uji kausalitas granger menunjukkan terdapat variabel-variabel yang memiliki hubungan satu arah yaitu inflasi terhadap pembiayaan sektor industri pengolahan dan suku bunga kredit. Kedua, equivalent rate DPK terhadap suku bunga kredit, dan equivalent rate pembiayaan. Ketiga, pembiayaan sektor industri pengolahan terhadap non performing financing. Berdasarkan hasil uji kausalitas granger diketahui bahwa tidak terdapat variabel yang memiliki hubungan timbal balik dua arah. Hasil uji kausalitas granger dapat dilihat pada lampiran 5.

Hasil Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner pada level terkointegrasi atau tidak. Uji kointegrasi dilakukan menggunakan Johansen Cointegration Test dengan cara membandingkan trace statistic dengan critical value. Nilai trace statistic yang lebih besar dari critical value mengindikasikan adanya kointegrasi. Berdasarkan Tabel 9, terdapat satu

variabel yang terkointegrasi dalam model ini. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode VECM karena semua variabel stasioner pada first difference dan terdapat satu kointegrasi antar variabel.

Tabel 8 Hasil uji kointegrasi Hypotesized

No. of CE(s) Eigenvalue

Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob** None * 0.685392 266.0764 228.2979 0.0002 At most 1 0.448082 185.1264 187.4701 0.0654 At most 2 0.406530 143.5215 150.5585 0.1164 At most 3 0.337947 106.9977 117.7082 0.1951 At most 4 0.290288 78.12897 88.80380 0.2294 At most 5 0.242965 54.12622 63.87610 0.2506 At most 6 0.182502 34.64203 42.91525 0.2601 At most 7 0.165937 20.53655 25.87211 0.1999 At most 8 0.105895 7.835260 12.51798 0.2654

Keterangan : Tanda (*) menunjukkan adanya kointegrasi

Hasil Estimasi VECM

Faktor-faktor yang memengaruhi pembiayaan sektor industri pengolahan dapat dilihat dari hasil estimasi VECM. Estimasi VECM menunjukkan pengaruh dari variabel-variabel yang diteliti terhadap pembiayaan sektor industri pengolahan pada jangka pendek dan jangka panjang. Penentuan signifikansi pada variabel yang digunakan berdasarkan taraf nyata 5%. Nilai CointEq1 menunjukkan adanya koreksi kesalahan yang signifikan dari jangka pendek ke jangka panjang dengan nilai -0.2914.

Tabel 9 Hasil estimasi VECM

Jangka Pendek

Variabel Koefisien Standard Error t-statistik

CointEq1 -0.2914 0.0685 -4.2577 LN_PSI 0.0445 0.1178 0.3775 LN_IPI 0.0030* 0.1833 0.0162 INF 0.0110* 0.0042 2.6015 LN_DPK -0.0611 0.2212 -0.2765 NPF 0.2072* 0.0543 3.8129 FDR 0.0005 0.0005 1.1042 ERDPK -0.0055 0.0038 -1.4687 ERP 0.0008 0.0034 0.2418 SBK 0.0404 0.0249 1.6237

Jangka Panjang

Variabel Koefisien Standard Error t-statistik

LN_IPI 1.4765* 0.2869 5.1461 INF -0.0732* 0.0109 -6.7012 LN_DPK 1.1000* 0.2270 4.8455 NPF -0.6405** 0.1187 -5.3972 FDR 0.0017* 0.0009 1.7975 ERDPK 0.0032* 0.0034 0.9292 ERP -0.0175* 0.0089 -1.9644 SBK 0.0548* 0.0183 2.9869

Keterangan : Tanda (*) menunjukkan variabel signifikan pada taraf nyata 5%

Berdasarkan hasil estimasi VECM, variabel yang berpengaruh signifikan pada jangka pendek adalah inflasi dan NPF sementara pada jangka panjang variabel yang berpengaruh signifikan adalah IPI, inflasi, dana pihak ketiga, NPF, equivalent rate pembiayaan, dan suku bunga kredit. FDRdan equivalent rate dana pihak ketiga tidak berpengaruh signifikan pada pembiayaan sektor industri pengolahan.

Indeks Produksi Industri

Variabel Indeks Produksi Industri (IPI) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembiayaan sektor industri pengolahan dengan nilai koefisien 1.4765, artinya setiap kenaikan indeks produksi industri sebesar 1% akan meningkatkan pembiayaan sektor industri pengolahan sebesar 1.4765% dengan asumsi ceteris paribus. Indeks produksi industri merupakan ukuran dari output-output yang dihasilkan oleh sektor industri. Nilai indeks yang semakin tiggi menunjukkan kondisi makroekonomi dan performa sektor industri yang semakin baik sehingga bank akan meningkatkan pembiayaannya pada sektor ini karena sektor ini dianggap potensial untuk memberikan keuntungan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Poghosyan (2010) dan Kusumawati (2013).

Inflasi

Variabel inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pembiayaan sektor industri pengolahan dengan nilai koefisien 0.0732, artinya setiap terjadi kenaikan pada tingkat inflasi sebesar 1% maka pembiayaan sektor industri pengolahan akan turun sebesar 0.0732% dengan asumsi ceteris paribus. Ketika terjadi kenaikan tingkat inflasi, daya beli masyarakat akan menurun dan risiko kredit akan meningkat sehingga bank akan lebih hati-hati dalam menyalurkan pembiayaannya terutama pada sektor-sektor yang memiliki risiko tinggi. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pasha (2009) dan Danistyo (2009). Non Performing Financing

Variabel Non Performing Financing (NPF) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pembiayaan sektor industri pengolaha dengan nilai koefisien 0.6405, artinya saat NPF naik sebesar 1% maka pembiayaan sektor industri pengolahan akan turun sebesar 0.6405% dengan asumsi ceteris paribus. NPF merupakan rasio pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan. Nilai NPF yang tinggi menyatakan semakin besarnya pembiayaan yang bermasalah.

Signifikannya nilai NPF berarti bahwa kondisi pembiayaan bermasalah pada bank syariah harus mendapatkan perhatian. Pembiayaan bermasalah yang semakin besar akan mengurangi kemampuan bank untuk menyalurkan pembiayaan karena apabila terjadi pembiayaan bermasalah, bank wajib menyediakan cadangan khusus untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko yang dimasukkan dalam pos Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Danistyo (2009) dan Nugroho (2009).

Jumlah Dana Pihak Ketiga

Variabel jumlah dana pihak ketiga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembiayaan sektor industri pengolahan dengan nilai koefisien 1.1000, artinya setiap kenaikan jumlah dana pihak ketiga sebesar 1% akan meningkatkan pembiayaan sektor industri pengolahan sebesar 1.1000% dengan asumsi ceteris paribus. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Danistyo (2009), Arianti dan Muharam (2012), Qolby (2013) dan Nugraha (2014) yang menyatakan bahwa dana pihak ketiga berpengaruh positif terhadap pembiayaan. Dana pihak ketiga merupakan sumber pendanaan bank syariah yang paling utama sehingga peningkatan jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh bank syariah menyebabkan lebih banyak alokasi dana yang dapat disalurkan oleh bank syariah dalam bentuk pembiayaan salah satunya adalah pembiayaan pada sektor industri pengolahan.

Equivalent Rate Pembiayaan

Variabel equivalent rate pembiayaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pembiayaan sektor industri pengolahan dengan nilai koefisien 0.0175, artinya setiap kenaikan equivalent rate pembiayaan sebesar 1% akan menurunkan pembiayaan sektor industri pengolahan sebesar 0.0175% dengan asumsi ceteris paribus. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nugraha (2014) mengenai pembiayaan pada sektor jasa dunia usaha dimana saat terjadi kenaikan pada equivalent rate pembiayaan maka margin yang harus dibayarkan nasabah kepada bank syariah akan lebih besar sehingga nasabah akan mencari alternatif pembiayaan lain misalnya kredit bank konvensional sehingga pembiayaan sektor industri akan menurun.

Suku Bunga Kredit

Variabel suku bunga kredit berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembiayaan sektor industri pengolahan dengan nilai koefisien 0.0548, artinya setiap terjadi kenaikan 1% pada suku bunga kredit akan meningkatkan pembiayaan sektor industri pengolahan sebesar 0.0548% dengan asumsi ceteris paribus. Saat terjadi kenaikan suku bunga maka semakin banyak nilai bunga yang harus dibayarkan nasabah kredit atas pinjamannya kepada bank konvensional. Kondisi ini berdampak pada peningkatan pembiayaan pada bank syariah karena produk pembiayaan bank syariah dianggap sebagai substitusi dari kredit bank konvensional. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nugraha (2014).

Hasil Impulse Response Function

Analisis Impulse Response Function digunakan untuk melihat respon suatu variabel apabila terjadi guncangan (shock) pada variabel lain. Analisis ini mengukur respon perubahan yang terjadi pada pembiayaan sektor industri pengolahan terhadap guncangan (shock) yang terjadi pada masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan satu standar deviasi. Penelitian ini meneliti pengaruh shock selama 30 periode.

Gambar 7 Efek guncangan IPI, inflasi, dan DPK terhadap pembiayaan Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa saat terjadi guncangan pada indeks produksi industri, pembiayaan sektor industri pengolahan akan merespon positif hingga mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke 10 dengan kisaran nilai sebesar 0.72 %. Guncangan pada inflasi akan direspon negatif oleh pembiayaan sektor industri pengolahan dan mulai stabil di bulan ke 8 dengan nilai rata-rata sebesar 0.99%. Guncangan pada jumlah dana pihak ketiga akan direspon positif oleh pembiayaan sektor industri pengolahan dan mencapai keseimbangan pada bulan ke 7 dengan kisaran nilai sebesar 0.59%.

Gambar 8 Efek guncangan NPF, FDR, dan ERDPK terhadap pembiayaan Gambar 8 menunjukkan respon pembiayaan sektor industri pengolahan terhadap guncangan pada non performing financing, financing to deposit ratio, equivalent rate DPK. Saat terjadi guncangan pada non performing financing, pembiayaan sektor industri pengolahan mulanya akan merespon positif pada bulan kedua namun pada bulan-bulan selanjutnya guncangan pada non performing financing akan direspon negatif hingga mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke 8 dengan kisaran nilai sebesar 0.46%. Guncangan pada financing to deposit ratio

direspon positif hingga mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke 7 dengan kisaran nilai sebesar 0.20%. Guncangan pada equivalent rate dana pihak ketiga direspon pada awalnya akan direspon negatif hingga bulan ke 5. Pada bulan-bulan berikutnya guncangan pada equivalent rate dana pihak ketiga akan direspon positif

dan mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke 7 dengan kisaran nilai sebesar 0.01%.

Gambar 9 Efek guncangan ERP dan SBK terhadap pembiayaan

Respon pembiayaan sektor industri pengolahan terhadap guncangan pada

equivalent rate pembiayaan dan suku bunga kredit dapat dilihat pada Gambar 9. Guncangan pada equivalent rate pembiayaan belum direspon oleh pembiayaan sektor industri pengolahan pada bulan pertama. Pada bulan kedua pembiayaan sektor industri pengolahan baru merespon negatif guncangan pada equivalent rate

pembiayaan hingga mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke 7 dengan k sebesar 0.27%. Guncangan pada suku bunga kredit akan direspon positif oleh pembiayaan sektor industri pengolahan dan mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke 8 dengan kisaran nilai sebesar 0.22%.

Hasil Forecasting Error Variance Decomposition

Forecasting error variance decomposition digunakan untuk mengidentifikasi faktor yang memiliki kontribusi terbesar dalam menjelaskan keragaman pembiayaan sektor industri pengolahan. Menurut Juanda dan Junaidi (2012) analisis FEVD digunakan untuk menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel dalam sistem VAR karena adanya shock.

Pada Gambar 10 dapat dilihat hasil FEVD menunjukkan bahwa pada bulan pertama, guncangan pada pembiayaan sektor industri pengolahan masih 100% disebabkan oleh pembiayaan itu sendiri. Pada bulan berikutnya keragaman fluktuasi pembiayaan sektor industri pengolahan mulai disebabkan oleh variabel-variabel lain. Di bulan kedua keragaman pada pembiayaan sektor industri pengolahan masih dominan dipengaruhi oleh pembiayaan itu sendiri yaitu sebesar 81.96%, sementara sisanya dipengaruhi oleh indeks produksi industri sebesar 8.12%, inflasi sebesar 3.07%, equivalent rate DPK sebesar 2.12%, suku bunga kredit sebesar 2.11%, financing to deposit ratio sebesar 1.34%, dan sisanya dana pihak ketiga, equivalent rate pembiayaan serta non performing financing masing-masing sebesar 0.68%, 0.34%, dan 0.27%. Dalam jangka panjang, variabel yang paling dominan dalam menjelaskan flukstuasi pembiayaan sektor industri pengolahan adalah pembiayaan itu sendiri sebesar 53.8%, diikuti oleh inflasi sbesar 19.76%, indeks produksi industri sebesar 11.74%, dana pihak ketiga sebesar 6.82%,

non performing financing sebesar 3.96%, equivalent rate pembiayaan sebesar 1.46%, suku bunga kredit sebesar 1.31% , FDR sebesar 0.88%, dan equivalent rate

Gambar 10 Variance Decomposition dari pembiayaan sektor industri pengolahan

Analisis FEVD menunjukkan bahwa selain variabel pembiayaan itu sendiri, variabel lain yang memiliki pengaruh dominan terhadap keragaman fluktuasi pembiayaan sektor industri pengolahan adalah inflasi, indeks produksi industri, dan jumlah dana pihak ketiga.

Dokumen terkait