• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Potensi Pasar Ekspor Baru Bagi Produk-Produk Pertanian Indonesia ke Negara Kurang Berkembang

Komoditas Teh

Teh merupakan komoditas pertanian penting karena Indonesia merupakan negara produsen teh pada urutan kelima di dunia setelah India, China, Sri Lanka, dan Kenya. Secara lengkap Hicks (2009) menyebutkan bahwa negara-negara produsen utama teh di dunia adalah: di Afrika: Burundi, Kenya, Malawi, Rwanda, Tanzania, Uganda, dan Zimbabwe; di Amerika Selatan: Argentina dan Brazil; di Timur Tengah: Iran dan Turki; dan di Asia: Bangladesh, China, India, Indonesia, Sri Lanka, dan Vietnam.

Menurut data International Tea Committee (ITC) pada tahun 2002, total produksi teh Indonesia mencapai 172.790 ton atau 5,7% dari total produksi teh dunia yang mencapai 3.062.632 ton. Sebesar 65% dari total komoditas teh Indonesia ditujukan untuk pasar ekspor yang 94% masih diekspor dalam bentuk daun kering. Dari hasil ekspornya tersebut, secara nasional industri teh menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 1,2 triliun (0,3% dari total PDB nonmigas) dan menyumbang devisa bersih sekitar 110 juta dollar AS per tahun.

Sekitar 40% dari total lahan tanaman teh nasional sudah tua karena berasal dari peninggalan zaman Belanda. Oleh karena itu menurut Sutarna (2000), untuk peremajaan tanaman teh selanjutnya hendaknya dilakukan dengan perencanaan yang cermat, hati-hati dan memperhatikan inovasi baru yang dapat diterapkan agar dapat menghasilkan peremajaan yang benar-benar optimal dan bermanfaat bagi semua stake holders. Meskipun dengan kondisi perkebunan yang sudah tua, namun produksi teh nasional dalam wujud daun kering menunjukkan peningkatan rata-rata 1,2% per tahun dalam kurun waktu antara tahun 1980-2014.

Meskipun ekspor teh Indonesia pernah mengalami penurunan rata-rata 2,1% dalam kurun waktu antara tahun 1993-2002 (Pusdatin 2015). Hal ini menurut Suprihatini (2005) disebabkan karena: (1) komposisi produk teh yang diekspor Indonesia kurang mengikuti kebutuhan pasar, (2) negara-negara tujuan ekspor teh Indonesia kurang ditujukan ke negara-negara pengimpor teh yang memiliki pertumbuhan impor teh tinggi, dan (3) daya saing teh Indonesia di pasar teh dunia yang masih lemah. Oleh karena itu salah satunya diperlukan upaya untuk meningkatkan komposisi produk teh melalui peningkatan ekspor teh Indonesia dalam bentuk produk-produk hilir.

Lebih lanjut Suprihatini (2015) menyebutkan bahwa kemampuan penguasaan teknologi pengolahan industri teh Indonesia masih berada pada tingkat kemampuan yang rendah khususnya dalam kemampuan inovatif. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi pengolahan di industri teh Indonesia, program peningkatan kemampuan inovatif perlu dijadikan sebagai salah satu program aksi dari Asosiasi Teh Indonesia dan pemerintah.

Melalui Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation), komoditas teh Indonesia masih memiliki daya saing yang lemah. Hal ini dapat dilihat dari

hasil nilai EPD terhadap 36 (tiga puluh enam) negara yang memiliki PDB per kapita di bawah US$ 3.500. Hasilnya terdapat tiga negara yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia, yaitu: Cambodia, Kenya, dan Pakistan yang masing-masing pada kondisi Falling Stars, Retreat, dan Lost Opportunity.

Kondisi perdagangan antara Indonesia dengan Cambodia berada pada kondisi Falling Stars karena persentase nilai ekspor komoditas teh yang kecil dibandingkan dengan impor negara Cambodia dari dunia. Hubungan perdagangan antara Indonesia dengan Kenya berada pada kondisi Retreat yang berarti komoditas teh tidak diminati di negara Kenya sehingga tidak melakukan ekspor baik dari Indonesia maupun dari dunia, meskipun ke depan kondisi ini masih berpeluang untuk berubah. Hal ini disebabkan karena Kenya termasuk dalam lima besar pengekspor teh di dunia. Sementara itu, hubungan perdagangan antara Indonesia dengan Pakistan pada kondisi Lost Opportunity yang berarti bahwa masih ada peluang bagi Indonesia dalam meningkatkan perdagangan komoditas teh dengan Pakistan di masa depan dengan catatan bahwa Indonesia mampu meningkatkan daya tawarnya di pasar internasional (Tabel 6).

Tabel 6 Hasil nilai EPD komoditas teh Indonesia periode 2005-2014

Negara Indonesia termasuk dalam lima besar pengekspor teh terbesar ke negara Cambodia setelah Thailand, Vietnam, Singapore dan Other Asia, nes. Hal ini dapat dilihat bahwa Indonesia memiliki peluang yang besar dalam meningkatkan volume perdagangannya karena memiliki proporsi ekspor yang baik. Oleh karena itu diperlukan suatu inovasi produk di daerah hilir.

Sumber: UN Comtrade (2016)

Gambar 10 Lima besar negara pengekspor komoditas teh ke Cambodia tahun 2005-2014

Berdasarkan Gambar 10, Thailand dan Singapura merupakan negara yang bukan termasuk dalam penghasil komoditas teh dunia. Namun kenyataannya, kedua negara tersebut mampu menjadi lima besar eksportir teh ke negara

0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 U S$

Indonesia Other Asia, nes Singapore Thailand Vietnam Negara

importir

EPD

Posisi pasar

Sumbu X Sumbu Y

Cambodia 240.7575492 -172.253379 Falling Stars

Kenya -49.99106252 -36.345858 Retreat

Cambodia. Setelah dianalisis, kedua negara ini melakukan impor komoditas teh dari beberapa negara penghasil teh dunia, seperti China, Indonesia, India, Sri Lanka, dan Jepang. Kekuatan perdagangan Thailand dan Singapura terletak pada penguasaan teknologi untuk berinovasi. Hal ini menunjukkan bahwa negara Thailand dan Singapura mampu melakukan ekspor komoditas teh setelah terlebih dahulu mengimpor dari negara-negara penghasil teh dunia.

Kenya (termasuk dalam anggota negara persemakmuran Inggris) sebagai negara yang termasuk lima besar penghasil teh di dunia memiliki hubungan perdagangan teh dengan Indonesia. Lima besar negara-negara pengekspor komoditas teh ke Kenya semuanya merupakan negara-negara yang termasuk dalam persemakmuran Inggris, yaitu: Uganda, Rwanda, Tanzania, Malawi, dan India. Hal ini menunjukkan bahwa untuk komoditas teh di Kenya, terdapat hubungan perdagangan yang kuat diantara sesama negara persemakmuran Inggris. Melihat kondisi seperti ini, Indonesia sebagai negara yang bukan termasuk dalam persemakmuran Inggris akan sulit dalam menembus pasar komoditas teh di Kenya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan di masa depan bagi Indonesia untuk memiliki peluang ekspor bahkan menjadi lima besar pengekspor komoditas teh ke negara Kenya. Berikut pada Gambar 11 merupakan kondisi lima besar negara pengekspor komoditas teh plus Indonesia ke Kenya.

Sumber: UN Comtrade (2016)

Gambar 11 Lima besar negara pengekspor komoditas teh ke Kenya tahun 2005- 2014

Berdasarkan Gambar 11 diketahui bahwa kelima besar negara-negara pesaing Indonesia merupakan negara-negara penghasil komoditas teh utama di dunia. Kelima negara pengekspor teh tersebut mempunyai jarak yang lebih dekat dengan Kenya. Karena jaraknya yang dekat, kemudian berimplikasi terhadap murahnya biaya transportasi sehingga produk komoditas teh kelima negara tersebut lebih banyak diimpor oleh negara Kenya. Namun demikian, Indonesia masih dapat menaikkan perannya dengan cara memperkuat kerjasama dalam konteks Kerjasama Selatan-Selatan. Selain itu juga Indonesia harus mampu membuat inovasi-inovasi baru.

Indonesia juga memiliki kerjasama perdagangan dengan Pakistan (termasuk dalam anggota negara persemakmuran Inggris) dalam komoditas teh. Di negara Pakistan, Indonesia termasuk dalam tiga besar negara pengekspor teh setelah

0 50000000 100000000 150000000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 US$

Vietnam dan India, yang kemudian disusul oleh China dan Sri Lanka. Berikut Gambar 12 adalah grafik lima besar negara pengekspor komoditas teh ke Pakistan.

Sumber: UN Comtrade (2016)

Gambar 12 Lima besar negara pengekspor komoditas teh ke Pakistan tahun 2005- 2014

Berdasarkan Gambar 12, Indonesia berhasil menembus tiga besar pasar komoditas teh di Pakistan. Hal ini merupakan sebuah pertanda bahwa komoditas teh Indonesia mampu bersaing meskipun diantaranya harus juga bersaing dengan India dan Sri Lanka yang memiliki hubungan dengan Pakistan sebagai negara yang sama-sama menjadi anggota persemakmuran Inggris. Melalui konteks Kerjasama Selatan-Selatan, Indonesia memiliki peluang yang besar dalam menaikkan nilai ekspor ke negara Pakistan. Oleh karena itu, Indonesia perlu untuk terus mejalin hubungan persahabatan melalui berbagai program yang saling menguntungkan diantara kedua negara. Selain itu, Indonesia juga perlu untuk terus melakukan inovasi produk di wilayah hilir.

Peran keberadaan komoditas teh di Indonesia dipandang penting karena menurut data dari Kementerian Pertanian, pada tahun 1999 diperkirakan komoditas ini dapat menyerap sekitar 300.000 pekerja dan menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa. Namun hal ini membutuhkan sebuah usaha mengingat ekspor Indonesia yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Berbagai permasalah yang ada dari mulai wilayah hulu sampai wilayah hilir perlu untuk diatasi dengan meningkatkan unsur teknologi dan penambahan investasi.

Berdasarkan pemaparan di atas maka komoditas teh Indonesia memiliki peluang dalam konteks Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation). Negara Cambodia, Kenya, dan Pakistan dapat menjadi permulaan pasar sehingga teh Indonesia bisa lebih dikenal di pasar internasional. Ditambah dengan data dari Pusdatin (2015) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2016 hingga 2019 komoditas teh Indonesia akan mengalami peningkatan surplus masing-masing sebesar 163.240 ton, 163.844 ton, 164.441 ton, dan 165.030 ton. Meskipun demikian, dengan adanya surplus tersebut berasal dari produktivitas tanaman teh yang meningkat, bukan dari penambahan jumlah perkebunan teh. Surplus tersebut kemudian akan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Adanya surplus tersebut menurut Suprihatini (2004) perlu diimbangi dengan pengembangan industri perkebunan ke arah hilir, seperti misalnya dalam bidang: (1) extract tea, (2) packing and bulk tea, (3) ready to drink with tea aroma.

0 20000000 40000000 60000000 80000000 100000000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 U S$

Komoditas Kelapa Sawit

Komoditas kelapa sawit (palm oil) merupakan komoditas unggulan Indonesia di pasar internasional. Menurut data FAO (2012), Indonesia menduduki peringkat pertama luas tanaman kelapa sawit di dunia dengan luas sekitar 6,5 juta hektar dengan rata-rata kontribusi sekitar 35,69% dari total luas tanaman kelapa sawit di dunia. Komoditas ini memiliki peran yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, karena selain berperan sebagai penghasil devisa negara, juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja.

Produksi minyak sawit (CPO) nasional terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 1980 produksi CPO Indonesia hanya sebesar 721,17 ribu ton, sedangkan tahun 2013 menjadi 27,74 juta ton atau tumbuh rata-rata sebesar 11,95% per tahun. Sementara itu, perkembangan produktivitas kelapa sawit di Indonesia selama tahun 1995-2013 menunjukkan pola yang berfluktuasi. Selama periode tersebut rata-rata pertumbuhan produktivitas kelapa sawit Indonesia mengalami sedikit peningkatan sebesar 0,57% per tahun, dimana penurunan produktivitas umumnya terjadi pada saat krisis moneter hingga masa pemulihan krisis. Produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 2013 sebesar 3,85 ton/ha dan terendah tahun 2014 sebesar 2,83 ton/ha (Pusdatin 2014).

Ekspor-impor kelapa sawit Indonesia dilakukan dalam wujud minyak sawit, minyak sawit lainnya, minyak inti sawit dan minyak inti lainnya. Menurut Hiyashi (2007) menyebutkan bahwa pada tahun 2004 Indonesia menghasilkan 12 juta ton crude palm oil (CPO). Dari produksi tersebut, sekitar 60% CPO diekspor, 30% untuk keperluan rumah tangga domestik, 70% digunakan untuk oleochemical, 2% digunakan untuk sabun, dan 1,6% digunakan untuk mentega.

Perkembangan volume ekspor kelapa sawit pada tahun 1980-2013 cenderung terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 23,52% per tahun. Pada tahun 1980 volume ekspor kelapa sawit Indonesia hanya sebesar 502,90 ribu ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 254,74 juta, sedangkan pada tahun 2013 volume ekspor meningkat menjadi 25,79 juta ton senilai US$ 17,67 miliar (Pusdatin 2014).

Menurut Hidayat (2006) menyebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi yang besar. Hal ini dapat terlihat dari luas wilayah tanam dan produksi yang dihasilkan. Walaupun demikian, pengembangan perkebunan kelapa sawit masih dihadapkan pada berbagai permasalahan, seperti luas kepemilikan, status hak tanah, produktivitas kebun, rendemen dan mutu produk, pabrik pengolahan pemasaran hasil, dan konflik perusahaan dengan masyarakat. Berbagai permasalahan tersebut tentunya perlu segera diatasi oleh pemerintah dengan dorongan yang kuat dari pihak petani atau stake holders terkait.

Melalui konteks Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation) Indonesia memiliki hubungan dagang dengan beberapa negara. Dari penelitian terhadap 36 (tiga puluh enam) negara yang memiliki GDP kurang dari US$ 3.500, dalam kurun waktu antara tahun 2005-2014, maka dapat dilihat bahwa ada 13 (tiga belas) negara yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia, yaitu: Bangladesh, Togo, Sierra Leone, Guinea, Benin, Mozambique, Tanzania, Nigeria, Yemen, Cameroon, Senegal, Pakistan, dan Ghana.

Kondisi perdagangan palm oil terhadap ke-13 negara tersebut, kecuali Bangladesh, berada pada kondisi Rising Stars, yang artinya bahwa komoditas

palm oil di ke-12 negara berada pada posisi pasar ideal dalam memperoleh pangsa pasar ekspor tertinggi. Sementara itu, di Bangladesh, posisi palm oil berada pada kondisi Falling Stars yang artinya bahwa persentase nilai ekspor palm oil yang kecil dibandingkan total ekspor seluruh komoditi Indonesia terhadap negara Bangladesh. Berikut hasilnya dapat dilihat di Tabel 7.

Tabel 7 Hasil nilai EPD komoditas kelapa sawit Indonesia periode 2005-2014

Negara importir EPD Posisi pasar

Sumbu X Sumbu Y

Bangladesh 39.02518375 -4.86576626 Falling Stars

Togo 1280.698319 107.9512262 Rising Stars

Sierra Leone 1079.944645 190.8287584 Rising Stars Guinea 7247.134238 175.5799092 Rising Stars

Benin 528.0797968 281.0093016 Rising Stars

Mozambique 155.7626328 102.6209408 Rising Stars Tanzania 49.68139895 8.93697345 Rising Stars Nigeria 23840.04657 2056.99766 Rising Stars

Yemen 164.1760753 31.87688552 Rising Stars

Cameroon 602.833886 140.2809409 Rising Stars Senegal 260.6470145 193.4864375 Rising Stars Pakistan 154.1763648 75.91641429 Rising Stars

Ghana 221.7542367 20.47332988 Rising Stars

Hasil EPD pada Tabel 7 sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Andelisa (2011) yang menyebutkan bahwa produk CCO (Crude Coconut oil) memiliki keunggulan kompetitif dengan posisi Rising Stars di dunia dan mayoritas negara-negara tujuan ekspor. Saingan utama ekspor Palm Oil Indonesia terhadap negara Bangladesh adalah negara Malaysia yang merupakan negara pada peringkat dua di dunia setelah Indonesia dalam luas tanaman kelapa sawit dengan kontribusi luas sekitar 25,75% (Gambar 13).

Sumber: UN Comtrade (2016)

Gambar 13 Negara pengekspor komoditas kelapa sawit ke negara Bangladesh tahun 2005-2014 0 200000000 400000000 600000000 800000000 1000000000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 U S$ Indonesia Malaysia

Fakta pada Gambar 13 diperkuat oleh Rifin (2009) dalam penelitiannya mengenai export competitiveness produk kelapa sawit Indonesia dengan Malaysia terhadap negara-negara di regional Asia, Afrika, dan Eropa. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa ekspor kelapa sawit Indonesia meningkat secara signifikan antara periode 1999-2001 dan 2005-2007. Terjadinya kondisis Falling Stars produk kelapa sawit Indonesia di negara Bangladesh disebabkan oleh faktor hubungan sebagai negara persemakmuran Inggris antara Bangladesh dan Malaysia sehingga terjalin kerjasama yang baik.

Hal yang menarik dalam Kerjasama Selatan-Selatan ini adalah bahwa komoditas Palm Oil Indonesia memiliki posisi Rising Stars pada beberapa negara yang termasuk dalam sepuluh besar negara-negara yang memiliki luas tanaman kelapa sawit di dunia, seperti Nigeria (memiliki kontribusi luas 19,98%), Ghana (memiliki kontribusi luas 2,19%), dan Guinea (memiliki kontribusi luas 1,93%). Adanya kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah peluang dan parameter bagi Indonesia untuk dapat memperluas pasar internasionalnya ke berbagai negara. Hal ini didukung juga oleh data dari Pusdatin (2014) yang menyebutkan bahwa antara tahun 2014-2019 diperkirakan akan terjadi surplus minyak sawit, yaitu pada tahun 2014 sebesar 26,11 juta ton dan pada tahun 2019 sebesar 32,75 juta ton.

Adanya kondisi hubungan dagang dengan negara-negara tujuan ekspor tidak hanya dilatarbelakangi oleh kekuatan daya tarik kebutuhan terhadap Palm Oil. Namun juga dipengaruhi oleh kondisi lain, seperti kondisi ekspor CPO Indonesia ke negara Pakistan terjadi karena adanya hubungan timbal balik (reciprocal) dengan jeruk kino Pakistan dalam Prefential Trade Agreement (PTA) yang mulai berlaku pada tanggal 1 September 2013 (Ermawati 2013).

Meskipun Indonesia merupakan peringkat pertama dalam produksi minyak kelapa sawit di dunia, namun dilihat dari produktivitasnya masih rendah. Menurut Pusdatin (2014) antara tahun 2008-2012 Indonesia hanya menempati urutan kedelapan dengan produktivitas rata-rata sekitar 16,87 ton/ha setelah Guatemala (26,23 ton/ha), Nicaragua (21,78 ton/ha), Malaysia (21,77 ton/ha), Colombia (20,69 ton/ha), Cameroon (19,03 ton/ha), Thailand (17,12 ton/ha), dan Costa Rica (17,01 ton/ha). Masih rendahnya produktivitas kelapa sawit merupakan sebuah tantangan bagi Indonesia untuk lebih meningkatkan research and development sehingga dapat meningkatkan produksinya dalam memenuhi pasar internasional. Dalam hal ini Indonesia dapat bekerjasama dengan FAO sebagai lembaga internasional yang memiliki tujuan dalam meningkatkan produksi, proses, pemasaran dan penyaluran produk pertanian.

Meskipun secara angka komoditas kelapa sawit terlihat menjanjikan, namun menurut Hidayat (2006), melalui analisis keterkaitan dan efek penyebaran, sektor kelapa sawit mempunyai peran yang kecil dalam menstimulus pertumbuhan ekonomi. Namun melalui analisis pengganda sektor perkebunan menunjukkan besarnya peran perkebunan kelapa sawit dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga dan penyerapan tenaga kerja sehingga sektor ini dapat diproritaskan dalam investasi pembangunan ekonomi walaupun mempunyai elastisitas yang rendah.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syahza (2011) yang menyebutkan bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit di pedesaan menciptakan angka multiplier effect sebesar 3,03, terutama dalam lapangan pekerjaan dan peluang berusaha. Pada tahun 2003 pertumbuhan kesejahteraan petani mengalami

kemajuan sebesar 172 persen, dan pada rentang tahun 2006-2009 kesejahteraan petani meningkat sebesar 12 persen.

Komoditas Kelapa

Kelapa merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional terutama sebagai penghasil minyak nabati dalam memenuhi kebutuhan masyarakat disamping sebagai komoditas ekspor. Tanaman kelapa dikenal sebagai tanaman sosial karena lebih dari 95% diusahakan oleh petani (Pusdatin 2014).

Di Indonesia, perkebunan kelapa biasanya dikelola secara monokultur ataupun kebun campur. Menurut Pusdatin (2014), perkembangan luas areal kelapa di Indonesia selama tahun 1980-2013 cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 1980, luas areal kelapa di Indonesia sebesar 2.680.423 Ha, dan di tahun 2013 meningkat menjadi 3.653.574 Ha. Sehingga dapat dihitung bahwa secara umum rata-rata pertumbuhan luas areal kelapa pada kurun waktu 1980-2013 meningkat sebesar 0,96% per tahun meskipun antara tahun 2009-2013 luas areal kelapa di Indonesia mengalami rata-rata penurunan sebesar 0,68% per tahun.

Perkembangan produksi kelapa di Indonesia pada periode 1980-2013 cenderung naik dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,95% per tahun. Terjadi peningkatan total produksi kelapa di Indonesia dari 1.666.073 ton pada tahun 1980 menjadi 3.067.980 ton pada tahun 2013, dimana produksi kelapa tertinggi dicapai pada tahun 2009 sebesar 3.257.969 ton. Sementara itu perkembangan produktivitas kelapa di Indonesia selama kurun waktu 2002-2013 cenderung naik dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0,33% per tahun. Tahun 2002 produktivitas kelapa di Indonesia mencapai 1.097 kg/Ha kemudian pada tahun 2013 produktivitasnya naik menjadi 1.135 kg/Ha. Produktivitas kelapa tertinggi dicapai pada tahun 2009 sebesar 1.175 kg/Ha (Pusdatin 2014).

Berdasarkan data Food Agriculture Organization (FAO) tahun 2008-2012, Indonesia menempati urutan pertama di dunia sebagai produsen kelapa yang diikuti oleh negara Filipina, India, Brazil, dan Sri Lanka. Indonesia juga menempati urutan pertama sebagai negara eksportir kelapa di dunia dengan rata- rata kontribusi ekspor selama tahun 2007-2011 sebesar 141.341 ton. Volume ekspor dan impor kelapa di Indonesia dibagi menjadi volume ekspor impor bungkil kelapa dan minyak kelapa. Selama periode 1980-2013 perkembangan volume ekspor bungkil kelapa cenderung fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan 25,97% per tahun. Sedangkan perkembangan volume ekspor minyak kelapa di Indonesia selama periode 1980-2013 cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 92,78% per tahun.

Meskipun Indonesia memiliki luas perkebunan kelapa terbesar di dunia, namun produk olahan masih terbatas baik jumlah maupun jenisnya. Menurut Tambajong (2010), hal ini disebabkan karena terjadinya keterbatasan infrastruktur yang mengakibatkan struktur industri masih bersifat parsial dan individual sehingga optimalisasi dan efisiensi pemanfaatan seluruh potensi kelapa masih rendah. Menurut Sianipar (2009) hal ini terjadi karena petani kelapa pada umumnya menjual produknya dalam bentuk produk primer (kelapa segar dan kopra). Keadaan ini berimplikasi terhadap kesejahteraan petani kelapa yang

menurut penelitian Damayanti (2008), di Kabupaten Donggala, menyebutkan bahwa produsen kopra termasuk dalam kategori “very poor”.

Berdasarkan penelitian terhadap 36 negara berkembang yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$ 3.500, maka terdapat tiga negara yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia. Ketiga negara tersebut diantaranya adalah Bangladesh, Tanzania, dan Pakistan. Setelah dilakukan perhitungan dengan EPD maka kondisi hubungan dagang komoditas kelapa antara Indonesia dengan ketiga negara tersebut berada pada kondisi Rising Stars yang artinya bahwa komoditas kelapadi ketiga negara berada pada posisi pasar ideal untuk memperoleh pangsa pasar ekspor tertinggi. Berikut pada Tabel 8 adalah hasil nilai EPD komoditas Kelapa periode 2005-2014.

Tabel 8 Hasil nilai EPD komoditas kelapa Indonesia periode 2005-2014

Negara importir EPD Posisi pasar

Sumbu X Sumbu Y

Bangladesh 216.4842943 69.67974003 Rising Stars Tanzania 1525.914343 556.213023 Rising Stars Pakistan 68.45984137 40.47708544 Rising Stars

Berdasarkan hasil nilai EPD pada Tabel 8, Indonesia memiliki peluang dalam memperluas pasar dengan beberapa negara lainnya yang berada di sekitar kawasan di ketiga negara tersebut. Namun demikian, hal penting yang harus diperhatikan adalah mengenai hasil proyeksi Pusdatin yang menyebutkan bahwa produksi kelapa di Indonesia selama periode 2014-2019 diproyeksikan turun sebesar 0,37% per tahun. Seperti halnya pada produksi, luas areal kelapa selama periode 2014-2019 juga diproyeksikan turun sebesar 0,59% per tahun.

Hasil proyeksi Pusdatin tersebut sangat penting untuk disikapi karena menyangkut sekitar 20 juta jiwa keluarga tani atau buruh tani yang terlibat dalam produksi kelapa di Indonesia. Saat ini, luas perkebunan kelapa berada pada posisi nomor dua terluas setelah sawit, dan pengelolaan usaha tani belum menjadi sumber pendapatan utama. Hal ini terjadi karena sistem usaha yang diterapkan para petani masih bersifat tradisional. Padahal, jika usaha tani kelapa dikelola secara profesional maka akan memberikan kontribusi yang besar untuk negara (Kementerian Pertanian 2006). Oleh karena itu, diperlukan sebuah upaya intensif yang mendukung peningkatan produksi maupun luas areal kelapa agar pada tahun-tahun mendatang produksi kelapa semakin meningkat sehingga Indonesia tetap menjadi negara produsen dan negara eksportir kelapa di dunia.

Menyikapi hal tersebut, Indonesia dapat bekerjasama dengan FAO dalam meningkatkan produksi, proses, dan pemasaran komoditas Kelapa. Hal ini sejalan dengan Chapman (2005) yang menyebutkan bahwa FAO melalui FAO-RAP (Food and Agriculture Organization Regional Office for Asia and the Pacific) telah berperan dalam research and development (R&D) dalam meningkatkan nilai tambah komoditas kelapa. Selain itu, ada komunitas Asian and Pacific Coconut Community’s (APCC) yang berperan dalam mengatasi dan penanggulangan

Dokumen terkait