• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Polres Resort Ogan Komering Ilir

Kepolisian Resort Ogan Komering Ilir (OKI) terletak di Jalan Letnan Muchtar Saleh No. 120, Kota Kayuagung. Kantor Polres OKI berada di wilayah administratif Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Polres OKI diresmikan pada tanggal 18 Desember 1981 dan saat ini telah membawahi beberapa sektor yaitu Polisi sektor Kayuagung, Pedamaran, Mesuji, Tanjung Lubuk, Tulung Selapan, Pampangan, SP. Padang, Lempuing, Air Sugihan, Cengal dan Jejawi. Polsek tersebut tersebar di seluruh wilayah kecamatan Kabupaten OKI dan dibantu oleh beberapa sub sektor di bawahnya.

Jumlah personel Polres Ogan Komering Ilir berdasrkan Laporan Bulanan Kekuatan Personel pada bulan September 2014 sebanyak 618 personel. Personel-personel tersebut tersebar dari berbagai pangkat yaitu AKBP, KOMPOL, AKP, IPTU, IPDA, AIPTU, AIPDA, BRIPKA, BRIGADIR, BRIPTU dan BRIPDA. Personel terbanyak berasal dari pangkat BRIGADIR dengan jumlah personel sebanyak 272 dan personel paling sedikit berasal dari pangkat AKBP yaitu sebanyak satu personel. Tabel 3 berikut menyajikan sebaran personel Kabupaten OKI berdasarkan pangkat sebagai anggota Polri.

Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan pangkat

Pangkat n AKBP 1 KOMPOL 4 AKP 14 IPTU 8 IPDA 34 AIPTU 79 AIPDA 16 BRIPKA 130 BRIGADIR 272 BRIPTU 91 BRIPDA 30 Total 618

Sumber : Laporan Kekuatan Personel Polres OKI Bulan September 2014

Pimpinan Polres OKI terdiri atas Kapolres dan Wakapolres dengan pangkat AKBP dan KOMPOL. Divisi-divisi yang terdapat di Polres OKI yaitu Bagian Operasional, Sumda, Perencanaan, Sikeu, Sie Propam, Sie Was, SPKT, Sat Intelkam, Sat Reskrim, Sat Narkoba, Sat Binmas, Sat Sabhara, Sat Lantas, Sat Polair, Sat Tahti dan Sitipol. Dalam pelaksanaan kegiatannya, Polres OKI juga dibantu oleh tenaga kontrak sebanyak tiga belas orang dan Pegawai Negeri Sipil sebanyak sepuluh orang. Pendidikan personel tersebar dari mulai SMA hingga sarjana.

Karakteristik Subjek

Karakteristik subjek dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan terakhir, pangkat pekerjaan, divisi, status perkawinan, ukuran keluarga, pengetahuan gizi, pendapatan, lingkar perut dan status gizi. Tabel di bawah ini menyajikan beberapa data terkait karakteristik subjek yang diteliti.

Tabel 4 Sebaran subjek berdasarkan usia, pendidikan terakhir, status perkawinan dan ukuran keluarga

Karakteristik subjek n % Usia a. ≤45 42 84 b. >45 8 16 Total 50 100 Pendidikan terakhir a. SMA/sederajat 31 62 b. PT/sederajat 19 38 Total 50 100 Status Perkawinan a. Belum kawin 14 28 b. Sudah kawin 36 72 Total 50 100 Ukuran keluarga a. Kecil (≤4) 41 82 b. Sedang (5-6) 9 18 c. Besar (≥7) 0 0 Total 50 0 Usia

Usia merupakan faktor yang tidak dapat diubah terhadap kejadian obesitas. Rata-rata usia subjek 32.6 ± 10.2 tahun dengan rentang 18-58 tahun. Subjek dengan usia termuda merupakan anggota polisi yang baru saja menyelesaikan sekolah kepolisian sedangkan subjek dengan usia tertua merupkan anggota polisi yang akan

memasuki masa purna tugas. Sebagian besar subjek (84%) berusia ≤45 tahun

selebihnya subjek berusia >45 tahun (Tabel 4). Berdasarkan uji Kolmogorov-smirnov, diperoleh nilai signifikansi p=0.354 atau p>0.05 yang menunjukkan bahwa data tersebar normal.

Menurut Triwinarto et al. (2012), semakin tua usia maka prevalensi obesitas sentral semakin meningkat. Laki-laki dengan usia di atas 45 tahun mengalami peningkatan prevalensi obesitas kemudian turun pada kelompok usia 55-74 dan meningkat kembali setelah umur 74 tahun. Terjadi penurunan massa otot dan perubahan hormon yang memicu penumpukan lemak di perut. Hasil serupa juga didapatkan oleh Young & Sevenhusyen (1989) yang melakukan penelitian di bagian utara Kanada dan India bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan penumpukkan lemak adalah usia. Usia juga menjadi perhatian pada penelitian yang dilakukan oleh Baumgartner et al. (1990) bahwa prevalensi kelebihan lemak di bagian perut semakin meningkat dengan semakin meningkatnya usia pada laki-laki

namun tidak pada perempuan. Selaras dengan Riskesdas (2013) bahwa prevalensi obesitas semakin meningkat dengan semakin bertambahnya usia. Meningkatnya prevalensi obesitas sentral pada usia tua menurut Kantachuvessiri et al. (2005) diduga karena lambatnya metabolisme, kurangnya aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan yang lebih sering. Selain itu, orang tua biasanya tidak begitu memperhatikan ukuran tubuhnya.

Pendidikan Terakhir

Tingkat pendidikan subjek dibedakan menjadi dua kelompok yaitu sekolah menengah atas (SMA)/sederajat dan perguruan tinggi (PT)/sederajat (Dahlianti et al. 2005). Pemilihan kategori ini didasarkan pada syarat minimal untuk menjadi anggota polisi yaitu lulusan SMA/sederajat. Sebanyak 62% pendidikan terakhir subjek merupakan lulusan SMA/sederajat, selebihnya merupakan lulusan perguruan tinggi (Tabel 4). Subjek dengan pendidikan akhir SMA merupakan anggota polisi lulusan Sekolah Polisi Negara (SPN) sedangkan subjek dengan pendidikan akhir PT/sederajat merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) atau yang melanjutkan pendidikan umum ke perguruan tinggi. Berdasrkan uji Kolmogorov-smirnov, didapatkan nilai signifikansi p=0.001 atau p<0.05 yang menunjukkan bahwa data pendidikan terakhir tersebar tidak normal.

Pendidikan formal dan non-formal akan berpengaruh pada sikap dan perilaku masyarakat terhadap gizi dan kesehatan. Pengaruhnya dapat dalam hal konsumsi maupun produksi (Rifai dan Gulat 2003). Kesalahan dalam memilih pangan untuk pemenuhan kebutuhan gizi menjadi manifestasi dari rendahnya pengetahuan terkait kesehatan dan manfaat makanan bergizi (Uliyah dan Hidayat 2008). Selain itu pendidikan juga akan menentukan status sosial ekonomi, status ekonomi yang rendah dapat meningkatkan depresi dan berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Namun penelitian terakhir yang dilakukan oleh Sugianti (2009) terkait risiko obesitas di beberapa daerah di Indonesia, bahwa salah satu faktor risiko obesitas sentral adalah tingginya pendidikan. Tingkat obesitas tertinggi justru berada pada responden dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi.

Status Perkawinan

Sebagian besar subjek (72%) berstatus sudah kawin sedangkan selebihnya belum kawin (Tabel 4). Rata-rata usia subjek yang sudah kawin yaitu 38 ± 9.2 tahun dengan subjek termuda dan sudah kawin yaitu 26 tahun. Rata-rata usia subjek yang belum kawin yaitu 22 ± 3.9 tahun. Berdasarkan uji Kolmogorov-smirnov, didapatkan nilai signifikansi p=0.001 atau p<0.05 yang menunjukkan bahwa data status perkawinan tersebar tidak normal.

Penelitian yang dilakukan oleh Sugianti (2009) menunjukan bahwa orang-orang yang mengalami obesitas sentral cenderung telah melakukan perkawinan baik berpasangan atau sudah cerai. Hasil tersebut selaras dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Young dan Sevenhusyen (1989) bahwa status perkawinan memiliki hubungan yang signifikan terhadap peningkatan massa lemak tubuh. Istiqamah et al. (2013) juga mendapatkan bahwa sebagian besar responden yang sudah menikah mengalami obesitas sentral.

Ukuran Keluarga

Ukuran keluraga subjek dibedakan menjadi tiga kategori yaitu kecil (≤4),

sedang (5-6) dan besar (≥7). Sebagian besar subjek memiliki ukuran keluarga kecil yaitu sebesar 82% dan selebihnya memiliki ukuran keluarga sedang (Tabel 4). Kisaran ukuran keluarga subjek antara kecil hingga sedang. Tidak terdapat subjek yang memiliki ukuran keluarga dengan kategori besar (≥7). Data ukuran keluarga tersebar tidak normal berdasrkan uji Kolmogorov-smirnov dengan nilai signifikansi p=0.001 atau p<0.05.

Penelitian yang dilakukan oleh Sugianti (2009) menemukan bahwa ukuran keluarga merupakan salah satu faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta dan Gorontalo. Prevalensi tertinggi berada pada keluarga dengan ukuran keluarga 1-2 orang. Besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi pangan yang akan diterima oleh masing-masing individu. Terlalu banyaknya individu dalam sebuah keluarga selain dapat mengurangi distribusi pangan dapat juga mengurangi kenyamanan dalam hidup berkeluarga (Adiningrum 2008). Namun penelitian yang dilakukan oleh Kantachuvessiri et al. (2005) menemukan bahwa besar keluarga tidak berhubungan dengan obesitas sentral di Thailand.

Divisi Kerja

Pelaksanaan tugas kepolisian dilakukan melalui pembagian divisi-divisi yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tabel 5 berikut menyajikan secara lengkap sebaran subjek berdasarkan divisi kerja.

Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan divisi kerja

Divisi n % Reskrim 2 4 Sumda 12 24 Sabhara 9 18 Sium 1 2 Perencanaan 2 4 Polsek Pedamaran 1 2 Polsek Lempuing 1 2 Polsek Kayuagung 1 2 Si Was 1 2 Sikeu 1 2 Propam 5 10 ADC 2 4 Intelkam 2 4 Tahti 1 2 Binmas 5 10 Oprasional 3 6 Si Was 1 2 Total 50 100

Subjek penelitian berasal dari tujuh belas divisi. Divisi dengan jumlah subjek terbanyak yaitu divisi Sumda sebanyak 24%. Divisi Sumda atau sumber daya manusia memiliki peranan penting dalam hal pendataan SDM, administrasi personel, pembinaan karier dan peningkatan personel Polri termasuk juga mutasi anggota. Subjek penelitian juga berasal dari unsur pelaksana tugas kewilayahan yang berasal dari Polsek Pedamaran, Polsek Kayuagung dan Polsek Lempuing.

Pangkat

Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkatan seseorang pegawai negeri sipil (PNS) berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dandigunakan sebagai dasar penggajian (PP No 12 tahun 2002). Pangkat pegawai negeri bermacam-macam tergantung pada profesi kerja masing-masing. Untuk kepolisian, pangkat paling bawah adalah Barada sedangkan paling tinggi yaitu Jenderal. Sebagian besar subjek penelitian memiliki pangkat Brigpol, Bripda dan Bripka, masing-masing sebanyak 26%, 22% dan 22%. Berdasarkan uji Kolmogorov-smirnov didapatkan nilai signifikansi p= 0.016 atau p<0.05 yang menunjukkan bahwa data pangkat tersebar tidak normal. Tabel 6 berikut menyajikan sebaran subjek berdasarkan pangkat.

Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan pangkat

Pangkat n % Bripda 11 22 Briptu 6 12 Brigpol 13 26 Bripka 11 22 Aiptu 4 8 Ipda 2 4 AKP 2 4 Kompol 1 2 Total 50 100 Pendapatan

Pendapatan merupakan salah satu faktor penentu konsumsi pangan keluarga. Pendapatan tersebut diukur dari pendapatan kepala keluarga dan pendapatan anggota keluarga lainnya baik dari pekerjaan pokok maupun dari pekerjaan sampingan. Tingkat pendapatan akan menggambarkan jumlah uang yang tersedia dalam suatu keluarga sehingga daya beli keluarga dapat menjadi indikator tingkat daya beli. Uang yang tersedia tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari baik untuk pangan maupun non pangan sehingga membentuk pola pengeluaran pangan dan non pangan keluarga (Rifai dan Gulat 2003).

Rata-rata pendapatan sebesar Rp 5 528 300 ± 2 821 755 dengan rentang Rp 2 500 000 – 16 300 000. Tidak terdapat responden dengan pendapatan di bawah angka dua juta. Sebagian besar responden (42%) memiliki pendapatan di atas lima juta per bulan (Tabel 7). Uang yang dikeluarkan responden untuk pangan rata-rata Rp 2 108 000 ± 1 167 562 dengan pengeluaran pangan terbesar yaitu Rp 6 000 000

dan terendah Rp 500 000. Melalui uji Kolmogorov-smirnov dimana nilai signifikansi p=0.131 atau p>0.05, diketahui bahwa data pendapatan tersebar normal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sugianti (2009), kebanyakan orang dengan obesitas sentral memiliki pendapatan pada kuantil 5 atau penduduk terkaya. Hal ini juga didukung oleh Mendez et al. (2004) yang menyebutkan bahwa pendapatan yang lebih tinggi mememiliki hubungan yang lebih kuat terhadap kejadian obesitas sentral pada laki-laki dewasa di Jamaika. Lebih lanjut penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa laki-laki dengan pendapatan tinggi memiliki lima hingga tujuh kali lebih besar terhadap kelebihan lemak dibandingkan dengan laki-laki dengan penghasilan rendah. Tabel 7 di bawah ini menyajikan data sebaran subjek berdasarkan pendapatan.

Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan pendapatan

Kelompok (Setkab 2013) n % 1-2 juta 0 0 2-3 juta 3 6 3-4 juta 16 32 4-5 juta 10 20 >5 juta 21 42 Total 50 100 Pengetahuan Gizi

Sebanyak sepuluh soal diberikan kepada subjek dimana soal tersebut berisi tentang pengetahuan gizi secara umum dan pengetahuan tentang obesitas sentral. Masing-masing soal bernilai sepuluh sehingga total nilai seratus. Skor pengetahuan gizi selanjutnya dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah (<60%) sedang (60-80%) dan tinggi (>80%). Rata-rata skor pengetahuan gizi subjek yaitu 51 ±14.6% dengan rentang 20-80%. Tidak ada subjek yang mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih dari 80%. Sebagian besar subjek (54%) memiliki pengetahuan gizi rendah dan selebihnya memiliki pengetahuan gizi sedang. Rendahnya pengetahuan gizi subjek dapat diakibatkan kurang terpaparnya subjek terhadap pendidikan gizi. Subjek masih menganggap bahwa susu merupakan hal yang wajib untuk dikonsumsi setiap hari. Selin itu, subjek juga belum memahami cara untuk menurunkan risiko terkena obesitas sentral dan belum mampu membedakan jenis pangan yang dibolehkan dan tidak bagi penderita obesitas sentral. Berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-smirnov, data pengetahuan gizi tersebar normal dengan nilai signifikansi p=0.052 atau p>0.05.

Hasil serupa juga didapatkan oleh Yani (2014) sebanyak 52% subjek dewasa di Makassar yang mengalami obesitas memiliki pengetahuan gizi rendah. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Deni dan Dwiriani (2009) terhadap anak yang mengalami obesitas di Kota Bogor, sebanyak 32.5% subjek memiliki pengetahaun gizi rendah dan hanya 17.5% yang memiliki pengetahuan gizi tinggi. Hasil tersebut juga didukung oleh penelitian Firdaus (2014) terhadap anggota polisi di Kota Bogor, hanya 5.7% subjek memiliki

pengetahuan gizi tinggi. Tabel 8 di bawah ini menyajikan data tentang sebaran subjek berdasarkan pengetahuan gizi.

Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan pengetahuan gizi

Pengetahuan Gizi n %

Rendah 27 54

Sedang 23 46

Tinggi 0 0

Total 50 100

Indeks Massa Tubuh

Pengukuran lemak tubuh secara akurat sulit dilakukan karena memerlukan teknologi canggih yang saat ini masih belum tersedia. Hal ini yang membuat pengukuran menggunakan IMT lebih banyak digunakan. IMT dihitung dengan membagi berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (m). Indeks tersebut memiliki hubungan dengan persentase lemak tubuh pada usia muda dan dewasa (Villareal et al. 2005). Obesitas umum merupakan kondisi kelebihan berat badan yang biasanya ditentukan menggunakan IMT.

Sebagian besar subjek memiliki status gizi lebih dimana sebanyak 30% mengalami overweight dan 26% mengalami obesitas. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Firdaus (2014) bahwa sebanyak 52.9% polisi di Kota Bogor mengalami gizi lebih. Berdasarkan Riskesdas (2013) prevalensi gizi lebih di Indonesia telah mencapai 26.3% meningkat dari hasil Riskesdas (2010) dimana prevalensi gizi lebih baru mencapai 21.3%. Berdasarkan uji Kolmogorov-smirnov, didaptkan nilai signifikansi p=0.546 atau p>0.05 yang menunjukkan data IMT tersebar normal. Tabel 9 di bawah ini menyajikan sebaran subjek berdasarkan kategori status gizi yang ditentukan mengggunakan indeks massa tubuh (IMT)

Tabel 9 Sebaran subjek berdasarakn kategori IMT

Status gizi n % Kurus 1 2 Normal 21 42 Overweight 15 30 Obesitas 13 26 Total 50 100

Obesitas merupakan kondisi yang tidak sehat dimana tubuh mengalami kelebihan lemak. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko berbagai macam penyakit dan kematian dini. Badan yang terlalu gemuk cenderung membuat tubuh sulit untuk bergerak sehingga dapat menurunkan produktifitas dan meningkatkan biaya untuk pemeliharaan kesehatan (Colditz 1992). Timbunan lemak yang berlebih berisiko tinggi terkena penyakit kardiovaskular dan sindroma metabolik (Abbasi et al. 2013). Benotti et al. (1992) menemukan bahwa obesitas dapat meningkatkan workload dan hipertrofi jantung sehingga memicu terjadinya hipertensi. Menurut Guallar-Castillón et al. (2007) seringnya mengonsumsi makanan yang digoreng dan rendahnya asupan serat menjadi salah satu penyebab terjadinya obesitas.

Lingkar Perut

WHO (2000) membagi obesitas menjadi dua jenis. Pembagian tersebut berdasarkan distribusi lemak, yakni obesitas umum (general obesity) dan obesitas sentral (central obesity). Obesitas sentral ditentukan berdasarkan besarnya penumpukan lemak di bagian abdominal (abdominal obesity). Apabila lingkar perut lebih dari 90 cm maka dapat dikategorikan ke dalam obesitas sentral. Sebagian besar lemak yang menumpuk di bagian perut merupakan jenis lemak visceral.

Lemak visceral merupakan komponen lemak tubuh penting sebagai faktor risiko sindrom metabolik. Jaringan lemak visceral memiliki sel per unit massa lebih banyak, aliran darah lebih tinggi, reseptor kortisol, testosteron dan ketakolamin lebih banyak dibandingkan dengan lemak subkutan. Tingginya lemak visceral memicu jaringan adiposa menghasilkan hormon dalam jumlah yang tidak normal. Hormon insulin akan dihasilkan lebih banyak karena terjadi resistensi insulin. Selain itu, akumulasi lemak visceral juga mengakibatkan tingginya level testosteron, kortisol, dan rendahnya hormon pertumbuhan (WHO 2000).

Pengukuran obesitas sentral telah distandarisasi oleh WHO pada tahun 1995. Menurut WHO (1995) subjek berdiri tegak dengan jarak antar kaki 25-30 cm. Berat badan terdistribusi secara merata. Bagian yang diukur merupakan titik pertengahan antara inferior rusuk terakhir dengan puncak ileum. Setelah posisi tersebut didapat, lingkarkan pita secara horizontal mengelilingi perut dan tidak menekan bagain jaringan tubuh. Pita yang digunakan tidak meregang dan memiliki ketelitian 0,1 cm.

Rata-rata lingkar perut subjek yaitu 90,76 ± 11,29 cm dengan rentang 68-114 cm. Sebanyak 48% subjek mengalami obesitas sentral. Angka tersebut sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah subjek yang memiliki lingkar perut normal sebesar 52% (Tabel 10). Data lingkar perut tersebar normal berdasarkan uji Kolmogorov-smirnov (p=0.818 atau p>0.05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi obesitas sentral di Kepolisian Resort OKI tergolong tinggi. Berdasarkan Riskesdas (2013) penderita obesitas sentral di Indonesia terus meningkat. Saat ini sebanyak 26.6% orang dewasa di Indonesia mengalami obesitas sentral. Tingginya prevalensi obesitas sentral juga didapatkan oleh Istiqamah et al. (2013) yang melakukan penelitian di Makassar bahwa jumlah penderita obesitas sentral pada usia 31-40 tahun mencapai 36.9%.

Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan tingkat obesitas sentral

Lingkar perut n %

Obesitas sentral (LP>90 cm) 24 48

Normal (LP≤90 cm) 26 52

Total 50 100

Risiko penyakit degeneratif tidak hanya berkaitan dengan besarnya jumlah lemak tubuh melainkan juga distribusinya dalam tubuh. Orang dengan obesitas sentral mengalami penumpukan lemak berlebih di bagian perut. Obesitas sentral merupakan faktor riskio terjadinya berbagai macam sindrom metabolik. Sindrom metabolik yang dimaksud terdiri atas diabetes tipe 2, intoleransi glukosa, hipertensi

dan dislipidemia. Gangguan tersebut dipicu oleh tingginya kadar lemak visceral yang menumpuk di bagian abdomen tubuh (WHO 2000).

Hubungan obesitas sentral dengan kardiometabolik belum diketahui secara pasti. Menurut Klein et al. (2007) ada dua hipotesis yang dapat ditegakkan. Pertama, rendahnya kemampuan jaringan lemak subkutan dalam menyimpan kelebihan energi mengakibatkan terjadinya disfungsi organ. Kedua, terjadinya lipolisis jaringan adiposa yang melepaskan asam lemak bebas. Tingginya asam lemak bebas dalam darah dapat menginduksi terjainya resitensi insulin. Semakin tinggi laju lipolisis akibat substrat jaringan lemak yang tinggi, risiko resistensi insulin semakin besar. Ketiga, predisposisi gen yang secara bebas menyebabkan terjadinya penyakit kardiometabolik. Orang dengan BMI normal ada kemungkinan mengalami obesitas sentral. Hal ini telah ditemukan oleh McKeigue (1991), bahwa obesitas sentral orang Asia Selatan sangat tinggi namun secara BMI tergolong rendah.

Kebiasaan Merokok

Rata-rata usia awal merokok subjek yaitu17.6 ± 4.6 tahun dengan rentang 10-30 tahun. Sebanyak 76% subjek pernah merokok sedangkan selebihnya tidak pernah merokok. Dari sebanyak 76% yang pernah merokok hanya 71% di antaranya yang berlanjut menjadi kebiasaan. Rata-rata usia merokok menjadi kebiasaan yaitu 18.6 tahun. Secara keseluruhan, sebagaian besar subjek (51%) yang memiliki kebiasaan merokok hanya menghisap kurang dari 10 batang per hari Sebanyak 24% subjek saat ini telah memilih berhenti untuk merokok (Tabel 11). Sebagian besar alasan berhenti merokok yaitu kesehatan dan ekonomi. Data kebiasaan merokok tersebar tidak normal berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-smirnov (p=0.001 atau p<0.05).

Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok

Riwayat merokok n % Pernah merokok 38 76 Tidak pernah 12 24 Total 50 100 Kebiasaan merokok 27 71 Tidak 11 29 Total 38 100

Jumlah yang dihisap

<10 batang 14 52

11-20 batang 9 33

>21 batang 4 15

Total 27 100

Menurut Chiolero et al. (2008) merokok dapat meningkatkan resisten insulin dan berhubungan dengan akumulasi lemak pusat. Xu et al. (2007) menyatakan bahwa merokok berhubungan negatif dengan peningkatan berat badan (IMT) tetapi positif berhubungan dengan lingkar perut pada laki-laki. Merokok dalam jangka waktu lama berpengaruh pada obesitas sentral daripada obesitas

umum. Erem et al. (2004) menemukan hubungan negatif merokok dengan obesitas sentral. Mantan perokok berhubungan positif dengan obesitas sentral (Erem et al. 2004; Janghorbani et al. 2007). Kebiasaan merokok menurunkan 0,68 cm lingkar perut, sedangkan mantan perokok berhubungan dengan peningkatan 1,98 cm lingkar perut (Koh-Banerjee et al. 2003). Mekanisme biologi antara merokok dengan pola distribusi lemak tidak jelas. Meskipun perokok memiliki nilai rata-rata IMT yang lebih rendah daripada bukan perokok, perokok memiliki profil distribusi lemak yang mencerminkan konsekuensi metabolik merokok dengan lebih tingginya lemak pusat (Canoy et al. 2005).

Pola Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan atau food habbit merupakan cara seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan yg dikonsumsinya yg dipengaruhi oleh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial. Penganekaragaman konsumsi pangan meliputi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi akan ikut menentukan kualitas sumber daya manusia melalui status gizi (Barasi 2003).

Kebiasaaan Makan

Frekuensi makan subjek dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu 1-2 kali dan 2-3 kali. Kebiasaan makan yang diteliti juga meliputi kebiasaan makanan manis, makanan jeroan/lemak dan fast food. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 58% subjek makan lengkap 2-3 kali per hari sedangkan sisanya hanya 1-2 kali per hari. Subjek yang biasa mengonsumsi makanan 1-2 kali per hari biasanya tidak sarapan. Hal ini dikarenankan subjek harus sudah mengikuti apel pagi pada pukul 07.00 WIB sehingga waktu untuk sarapan menjadi terbatas. Sebagian besar subjek (64%) memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan manis. Makanan yang biasa dikonsumsi yaitu gula (6 kali/minggu), teh manis (3 kali/minggu) dan susu kental manis (3 kali/minggu). Sebanyak 46% subjek memiliki kebiasaan makan jeroan/berlemak, sedikit lebih rendah dari yang tidak yaitu sebanyak 54%. Makanan berlemak yang sering dikonsumsi yaitu jenis gorengan dengan rata-rata konsumsi 2 kali/minggu. Makanan berlemak lain yang juga sering dikonsumsi yaitu mentega, kerang-kerangan, soto ayam, bakso dan santan.

Uji Mann-Whitney dilakukan untuk melihat perbedaan antara pola konsumsi subjek obes sentral dan tidak (Lampiran 2). Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada kebiasaan konsumsi makan makanan manis, makanan jeroan, dan konsumsi fast food dengan nilai signifikansi masing-masing p=0.381 p= 0.252 dan p= 0.134. Namun subjek dengan obesitas sentral cenderung memiliki frekuensi makan lengkap 1-2 kali lebih tinggi daripada subjek normal. Sebagian besar subjek penelitian yang makan lengkap 1-2 kali per hari tidak sarapan. Menurut Huang et al. (2010) orang yang melakukan breakfast skipping memiliki risiko 1.23 kali lebih tinggi terkena obesitas. Prevalensi obesitas akan semakin meningkat dengan menurunnya frekuensi sarapan (p < 0.001). Breakfast skipping membuat persepsi kesehatan, vitalitas, fungsi sosial, emosi, dan kesehatan

mental yang lebih rendah. Tabel 12 berikut menyajikan data tentang sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan.

Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan Obesitas Sentral Normal Total

p-value

Kebiasaan makan n % n % n %

Frekuesi makan lengkap 0.249

1-2 kali 11 46 10 38 21 42

2-3 kali 13 54 16 62 29 58

Total 24 100 26 100 50 100

Kebiasaan makan makanan manis 0.381

Ya 15 63 17 65 32 64

Tidak 9 37 9 35 18 36

Total 24 100 26 100 50 100

Kebiasaan makanan jeroan/berlemak 0.252

Dokumen terkait