• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seleksi Kapang Endofit Sarang Semut

Pengujian antagonis isolat kapang endofit dari tumbuhan pesisir sarang semut terhadap mikroba uji secara langsung merupakan seleksi awal untuk memilih isolat yang memiliki potensi menghambat pertumbuhan mikroba. Isolat kapang endofit sarang semut aktif baik terhadap bakteri Gram-positif (B. subtilis) maupun bakteri Gram-negatif (E. coli) (Gambar 4). Hasil analisis ragam (univariate) menunjukkan bahwa perbedaan jenis bakteri tidak berpengaruh terhadap diameter zona hambat. Pengaruh terhadap diameter zona hambat hanya terlihat pada perbedaan isolat kapang endofit sarang semut yang digunakan (p<0,05) (Lampiran 1).

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa aktivitas antimikroba isolat kapang RS1A memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan isolat kapang endofit sarang semut lainnya (p<0,05) (Lampiran 2). Isolat RS1A juga memiliki nilai penghambatan mikroba tertinggi dengan nilai rata-rata diameter zona hambat 4,7 mm terhadap kedua jenis bakteri uji, sehingga isolat RS1A ini dipilih sebagai isolat yang digunakan pada uji selanjutnya.

Keterangan: Huruf a, b, c, dan d adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap isolat kapang berbeda yang menunjukkan beda nyata (p<0,05).

Gambar 4 Diameter zona hambat isolat kapang endofit tumbuhan sarang semut terhadap bakteri E. coli ( ) dan B. subtilis ( )

Perbedaan isolat kapang dapat memberikan potensi antimikroba yang berbeda. Hal ini diduga karena 7 isolat kapang endofit tumbuhan pesisir sarang semut ini terdiri dari beberapa jenis kapang berbeda, sehingga dapat memiliki aktivitas antimikroba yang berbeda pula. Pengamatan makroskopis dan mikroskopis pada 7 isolat kapang endofit sarang semut oleh Sahara (2013) menduga bahwa kapang endofit dari tumbuhan sarang semut ini terdiri dari Penicillium sp., Aspergillus sp., dan beberapa isolat yang belum teridentifikasi.

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 1A 1B 2A 2B 3 6A 6B Dia mete r zona ha mbat ( mm ) Isolat kapang (RS) a bc cd cd bc d b

11

Perbedaan potensi antimikroba pada tiap isolat terkait dengan komposisi kapang endofit dan kandungan kimia dari tanaman inang yang memiliki keanekaragaman tinggi. Jenis tertentu bisa menghasilkan senyawa yang mirip dengan inangnya, tetapi ada pula yang menghasilkan senyawa bioaktif yang berbeda. Jenis kapang yang berbeda ini memungkinkan terjadinya perbedaan komponen aktif yang terdapat pada kapang tersebut (Huang et al. 2008). Menurut Li et al. (2005) dan Jeffrey et al. (2008) terdapat paling tidak satu isolat aktif yang diperoleh dari tiap spesies tumbuhan inang, tetapi persentase isolat aktif tersebut berbeda pada tiap spesies. Hasil penelitian Pelaez et al. (1998) juga menyebutkan isolasi 9 spesies tumbuhan dari habitat yang sama menghasilkan 152 spesies endofit dengan keanekaragaman yang tinggi. Hasil uji menunjukkan sebanyak 93 aktivitas antimikroba terdeteksi, yang terdiri dari 61 uji terhadap bakteri dan 32 uji terhadap jamur.

Pertumbuhan Isolat Kapang RS1A

Pertumbuhan isolat kapang ditentukan berdasarkan biomassa kering miselia. Menurut Carlile et al. (2001) pertumbuhan kapang terdiri dari empat fase, yaitu fase lag (adaptasi), fase log (pertumbuhan), fase stasioner dan fase kematian. Isolat RS1A yang dikultivasi dengan shaker menunjukkan fase adaptasi hingga hari ke-6, pada fase ini terjadi penyesuaian kapang dengan lingkungan sehingga belum terjadi penambahan jumlah sel yang besar. Fase pertumbuhan berlangsung hingga hari ke-18. Pertumbuhan kapang pada fase ini meningkat, penambahan jumlah sel terjadi dengan cepat. Hari ke-18 hingga hari ke-30 kultivasi, kapang RS1A berada pada fase stationer yang ditandai dengan pertumbuhan kapang yang lambat. Isolat kapang RS1A yang dikultur pada kondisi statis mengalami fase adaptasi hingga hari ke-9, mengalami fase pertumbuhan hingga hari ke-12 dan hingga hari ke-30 kapang RS1A yang dikultur secara statis masih berada pada fase stasioner. Hari ke-30 kultivasi pada kedua jenis kultur belum menunjukkan penurunan biomassa kapang yang menandakan mulai terjadinya fase kematian. Pertumbuhan isolat kapang RS1A yang dikultur dengan shaker dan statis masing-masing tertinggi pada hari ke-24 dan hari ke-27 dengan bobot kering miselia masing-masing 0,6985 g/100 mL dan 0,7180 g/100 mL. Kurva pertumbuhan isolat kapang RS1A dapat dilihat pada Gambar 5.

Hasil penelitian menunjukkan secara umum pertumbuhan kapang dengan menggunakan shaker lebih cepat dibandingkan secara statis, misalnya pada hari ke-9 kapang dengan kultur shaker sudah berada pada fase pertumbuhan dengan biomassa kering 0,4007 g/100 mL, sedangkan pada hari yang sama kapang dengan perlakuan statis memiliki biomassa kering yang lebih kecil, yaitu 0,2133 g/100 mL. Gandjar et al. (2006) menyebutkan penggunaan shaker pada kultivasi kapang endofit bertujuan untuk menciptakan kondisi aerasi aktif yang dapat dilakukan dengan cara mengocok substrat atau media tumbuh. Menurut Choiron et al. (2013) pertumbuhan kapang dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen. Kapang Epicoccum nigrum yang ditumbuhkan pada kondisi tanpa aerasi memiliki biomassa kering yang lebih rendah dibandingkan kultur dengan aerasi dan oksigenasi. Pengaruh oksigen terhadap biomassa yang terbentuk ditunjukkan oleh peningkatan jumlah berat kering biomassa, jadi semakin tinggi ketersediaan oksigen maka semakin tinggi biomassa yang terbentuk.

12

Gambar 5 Kurva pertumbuhan isolat kapang RS1A selama 30 hari ( kultur shaker, kultur statis)

Kondisi aerasi juga membantu penyebaran nutrien dalam media. Kultur dalam kondisi statis menyebabkan nutrien dalam media cenderung terperangkap dibagian bawah kapang. Hal ini yang diduga dapat menyebabkan terbatasnya nutrisi yang dapat diserap oleh kapang. Hasil penelitian menunjukkan miselia dan media kultur pada kultivasi dengan shaker dan secara statis memiliki perbedaan (Lampiran 3). Isolat kapang RS1A yang dikultur menggunakan shaker memiliki bentuk miselia yang mengambang dan bercampur dengan media. Kultur berwarna merah muda kemudian dapat berubah menjadi warna merah seiring lamanya waktu kultur. Isolat RS1A yang dikultivasi dalam kondisi statis memiliki pertumbuhan miselium di permukaan media. Kultur berwarna merah dan miselia berada pada permukaan media membentuk lapisan yang semakin hari semakin menebal disertai dengan produksi eksudat diatasnya.

Shahriarinour et al. (2011) menyebutkan miselium pada kultur statis tumbuh dan membentuk lapisan diatas media yang secara signifikan mempengaruhi waktu dan area kontak antara sel kapang dan substrat media. Hal tersebut yang memungkinkan terjadinya penurunan pertumbuhan pada kultur statis dibandingkan dengan kultur dengan shaker. Menurut Gandjar et. al. (2006), pada media dengan kultur yang digoyang (shaker) akan terlihat kapas-kapas kecil melayang dalam media. Bentuk seperti kapas tersebut adalah spora atau konidia tunggal yang sudah tumbuh menjadi miselium.

Kondisi media dengan jumlah nutrisi terbatas menyebabkan laju pembiakan

menjadi berkurang dan beberapa sel mengalami kematian (Srikandace et al. 2007). Media PDB yang digunakan pada penelitian ini

mengandung sumber nutrisi yang berasal dari kentang dan dekstrosa. Kusumaningtyas et al. (2010) menyatakan sumber karbon merupakan komponen terpenting dalam media pertumbuhan, karena sel-sel mikroba sebagian besar terdiri dari unsur-unsur karbon dan nitrogen. Nursid et al. (2010) juga menyebutkan bahwa karbon, hidrogen, dan oksigen merupakan penyusun utama metabolit sekunder yang juga sering mengandung nitrogen. Media kultivasi cair

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 B iom assa ke ring (g /100 mL )

13

yang digunakan diharapkan dapat menyediakan nutrisi dan bahan dasar bagi kapang untuk mensintesis senyawa metabolit sekunder.

Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi kultur kapang endofit. Metabolit sekunder yang dihasilkan kapang endofit berkolerasi dengan faktor lingkungan (Samuel et al. 2011). Salah satu hal yang mempengaruhi pertumbuhan kapang adalah nilai pH. Nilai pH substrat sangat penting dalam pertumbuhan kapang, karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat pada pH tertentu (Gandjar et al. 2006).

Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui perubahan suasana pH media pada kultur dengan shaker dan statis selama proses kultivasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 30 hari kultivasi, kapang yang dikultur dengan shaker dan secara statis memiliki nilai pH yang berkisar antara 4,5-5 (Gambar 6). Hasil pengukuran pH pada isolat kapang RS1A ini hampir sama dengan isolat RS3 yang berasal dari inang yang sama. Isolat kapang kapang RS3 yang dikultivasi selama 27 hari memiliki nilai pH berkisar antara 4-5 (Sahara 2013).

Perubahan pH pada media kultivasi disebabkan oleh adanya aktivitas metabolisme isolat kapang. Perubahan pH menunjukkan terjadinya pertumbuhan kapang dan menghasilkan suatu senyawa yang bersifat asam atau basa. Fungi biasanya lebih menyukai pH di bawah 7 (Gandjar et al. 2006). Nilai pH yang dihasilkan pada penelitian ini masih berkisar pada pH optimum kapang dalam memproduksi zat aktif. Rajasekar et al. (2012) menyebutkan produksi agen antimikroba sangat dipengaruhi kondisi pH media, yaitu pH antara 5-9.

Gambar 6 Nilai pH isolat kapang RS1A selama 30 hari ( kultur shaker, kultur statis)

Ekstrak Kapang RS1A

Ekstrak merupakan faktor penting karena menunjukkan banyaknya senyawa organik yang larut dalam pelarut (Parhusip 2006). Ekstraksi senyawa bioaktif isolat RS1A dilakukan terhadap media kultur (broth) karena diharapkan selama

0 1 2 3 4 5 6 7 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 pH

14

kultivasi hasil metabolisme kapang banyak yang dilepaskan ke media cair, termasuk metabolit sekunder yang dihasilkan. Hasil ekstraksi menunjukkan ekstrak media isolat RS1A yang dikultur dengan shaker dan statis masing-masing tertinggi pada hari ke-18 dan hari ke-21 dengan rendemen ekstrak masing-masing 0,0237% dan 0,0381% (Gambar 7). Rendemen ekstrak tertinggi pada kapang RS1A diperoleh ketika memasuki fase stasioner (akhir fase log) untuk kultur dengan shaker dan pada fase stasioner untuk kultur secara statis.

Hubungan antara pertumbuhan dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk dalam metabolisme sel. Pola kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk terdiri dari tiga macam, yaitu pertama growth-associated product dimana sintesis produk selama pertumbuhan sel biasanya merupakan produk langsung dari jalur katabolisme misalnya fermentasi anaerobik glukosa menjadi etanol atau berupa produk antara misalnya asam amino. Kedua, non growth-associated product yaitu sintesis produk setelah pertumbuhan dan produk yang terbentuk setelah pertumbuhan sel dinamakan metabolit sekunder, serta yang ketiga mixed-growth-associated product (Wang et al. 1979). Ekstrak tertinggi pada hari ke-21 dengan kultur statis diduga merupakan produk non growth-associated karena berada pada fase stasioner yaitu ketika pertumbuhan kapang sudah menurun.

Gambar 7 Rendemen ekstrak media isolat kapang RS1A ( shaker, statis) Pertumbuhan kapang melambat ketika memasuki fase stasioner dan pembentukan metabolit sekunder meningkat yang biasanya berkaitan dengan pertahanan terhadap kondisi terbatas (Gandjar et al. 2006). Sintesis metabolit sekunder dimulai pada saat mulai habisnya beberapa komponen utama nutrien pada media pertumbuhan. Keterbatasan sumber utama nutrien tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan zat-zat hasil proses katabolisme yang merupakan metabolit sekunder (Srikandace et al. 2007).

Rendemen yang diperoleh dari hasil proses ekstraksi juga ditentukan oleh jenis pelarut yang digunakan. Pelarut yang digunakan pada penelitin ini adalah etil asetat. Etil asetat digunakan karena memiliki polaritas sedang (semipolar) sehingga mampu melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat non polar sampai

0.000 0.005 0.010 0.015 0.020 0.025 0.030 0.035 0.040 3 6 9 12 15 18 21 R ende m en e k st rak ( % b/ v )

15

polar. Menurut Nursid et al. (2010) etil asetat juga tidak bercampur dengan media kultur sehingga mudah dipisahkan dengan media. Penelitian terhadap ekstrak media kultur dan miselia pada beberapa jenis pelarut untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen manusia dan ikan menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat dari media kultur menghasilkan penghambatan yang lebih baik dibandingkan pada ekstrak miselia (Samuel et al. 2011; Tarman et al. 2011).

Aktivitas Antimikroba Kapang RS1A

Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak media isolat RS1A dilakukan terhadap bakteri Gram-negatif E. coli dan bakteri Gram-positif B. subtilis selama 21 hari. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui waktu kultur optimum yang mampu menghasilkan senyawa antimikroba terbaik. Ekstrak media isolat kapang RS1A memiliki aktivitas antimikroba yang ditunjukkan dengan adanya zona hambat terhadap masing-masing mikroba uji (Gambar 8 dan Gambar 9).

Keterangan: Huruf a, b, c, dan d adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap perbedaan interaksi antara kondisi kultivasi dan konsentrasi ekstrak yang menunjukkan beda nyata (p<0,05).

Gambar 8 Aktivitas antimikroba ekstrak isolat kapang RS1A terhadap bakteri E. coli (kultur dengan shaker, konsentrasi ekstrak 1 mg, 2 mg), (kultur statis, konsentrasi ekstrak 1 mg, 2 mg)

Uji aktivitas antimikroba ekstrak isolat kapang RS1A terhadap bakteri E.coli menunjukkan adanya peningkatan diameter zona hambat selama 21 hari kultivasi. Hasil analisis univariate pada hari ke-6, 9, dan 12 menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak berpengaruh terhadap diameter zona hambat, sedangkan terhadap kondisi kultivasi tidak berpengaruh (p<0,05). Kondisi kultivasi dan konsentrasi ekstrak berpengaruh terhadap diameter zona hambat pada uji hari ke-15, 18, dan 21 (p<0,05) (Lampiran 4). Hasil uji lanjut Duncan pada kultivasi hari ke-21 menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap pengaruh interaksi antara kondisi kultivasi dan konsentrasi ekstrak (p<0,05) (Lampiran 5). Hasil uji antimikroba ekstrak isolat RS1A terhadap E. coli pada hari ke-21 dengan kultur

b b a a c d a a a a b c b c a a b b a a a a a a 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 3 6 9 12 15 18 21 Dia mete r zona ha mbat ( mm )

16

statis memiliki zona hambat lebih tinggi dibandingkan kultur shaker. Konsentrasi ekstrak juga berpengaruh terhadap diameter zona hambat dimana konsentrasi ekstrak 2 mg memiliki penghambatan yang signifikan lebih tinggi dibandingkan konsentrasi ekstrak 1 mg.

Hasil analisis univariate uji aktivitas antimikroba ekstrak isolat kapang RS1A terhadap B. subtilis selama 21 hari menunjukkan secara umum kondisi kultivasi dan konsentrasi ekstrak tidak mempengaruhi peningkatan diameter zona hambat (p<0,05) (Lampiran 6). Hasil uji lanjut Duncan hanya menunjukkan adanya perbedaan interaksi kondisi kultivasi dan konsentrasi ekstrak pada hari ke-3 dan 6 (p<0,05) (Lampiran 7).

Keterangan: Huruf a, b, c, dan d adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap perbedaan interaksi antara kondisi kultivasi dan konsentrasi ekstrak yang menunjukkan beda nyata (p<0,05).

Gambar 9 Aktivitas antimikroba ekstrak isolat kapang RS1A terhadap bakteri B. subtilis (kultur dengan shaker, konsentrasi ekstrak 1 mg, 2 mg), (kultur statis, konsentrasi ekstrak 1 mg, 2 mg)

Pemilihan waktu kultivasi terbaik pada penelitian ini dilihat dari aktivitas antimikroba dan jumlah ekstrak yang dihasilkan. Hasil analisis statistik menunjukkan ekstrak RS1A yang dikultur statis selama 21 hari memiliki nilai penghambatan terhadap bakteri E.coli yang signifikan lebih tinggi dibandingkan kultur shaker (p<0,05). Rendemen ekstrak pada kultur statis hari ke-21 juga menunjukkan nilai tertinggi, sehingga perlakuan ini dipilih sebagai ekstrak yang digunakan untuk uji selanjutnya.

Waktu kultivasi mempengaruhi zona hambat yang dibentuk oleh ekstrak isolat RS1A. Hari ke-21 kultivasi kapang RS1A pada perlakuan kultur statis berada pada fase stationer. Hal ini menunjukkan senyawa antimikroba pada isolat RS1A terakumulasi pada fase ini. Augustine et al. (2005) menyebutkan produksi metabolit yang dikeluarkan ke lingkungan ini maksimum pada akhir fase log dan relatif konstan selama fase stasioner. Fase stasioner merupakan fase penting

karena banyak metabolit sekunder dapat dipanen pada fase ini (Gandjar et al. 2006). Srikandance et al. (2007) juga menyebutkan bahwa pada fase

c a a b a a a b a a a a a a d a a c a a a a a a a a a a 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 3 6 9 12 15 18 21 Dia mete r zona ha mbat ( mm )

17

ini jumlah sel tetap, laju pertumbuhan menurun dan beberapa sel mati karena nutrien dalam media berkurang. Metabolisme pada fase ini masih terus berlangsung dan produk metabolisme yang cenderung menumpuk. Sintesis metabolit sekunder dimulai pada saat mulai habisnya beberapa komponen utama nutrien pada media pertumbuhan. Sel-sel kapang pada fase ini diduga juga lebih tahan terhadap keadaan ekstrim.

Uji aktivitas antimikroba ekstrak media isolat RS1A dengan kultur statis hari ke-21 selanjutnya dilakukan tehadap jenis mikroba lain, yaitu B. subtilis, B. subtilis ATCC 19659, S. aureus ATCC 8739, E. coli, E. coli ATCC 8739, P. aeruginosa ATCC 15442, dan C. maltosa (Gambar 10). Hasil uji menunjukkan bahwa ekstrak isolat RS1A memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri B. subtilis, B. subtilis ATCC 19659, S. aureus ATCC 8739, E. coli, dan khamir C. maltosa.

Gambar 10 Aktivitas antimikroba ekstrak media isolat kapang RS1A ( konsentrasi ekstrak 0,5 mg, 1 mg, 2 mg,

kontrol positif kloramfenikol 300 µg)

Besar zona hambat pada setiap mikroba uji berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba, yaitu jenis, jumlah, umur dan latar belakang kehidupan bakteri; konsentrasi zat antibakteri; suhu dan waktu kontak; serta sifat fisiko-kimia substrat (pH, kadar air, tegangan permukaan, jenis dan jumlah zat terlarut, koloid dan senyawa lainnya) (Frazier dan Westhoff 1983).

Jenis bakteri uji merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba. Hasil uji menunjukkan adanya penghambatan terhadap ketiga jenis bakteri Gram-positif. Umumnya bakteri Gram-positif lebih peka terhadap senyawa antibakteri (Fardiaz 1989). Perbedaan ini didasarkan oleh adanya perbedan struktur dinding sel. Struktur dinding sel bakteri Gram-positif berlapis tunggal dengan kandungan lipid yang rendah (1-4%) sehingga memudahkan bahan bioaktif masuk ke dalam sel. Struktur dinding sel bakteri Gram-negatif lebih kompleks, terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan luar lipoprotein, lapisan tengah lipopolisakarida yang berperan sebagai penghalang masuknya bahan bioaktif antibakteri, dan lapisan dalam berupa peptidoglikan dengan kandungan

4.5 5 7 24 7.5 9 10 21 4 5 6.5 21 3 6 9 23 13 15 6.5 7 8 23 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 Dia mete r zona ha mbat ( mm )

18

lipid tinggi (11-12%) (Brooks et al. 2001). Bakteri Gram-positif memiliki dinding sel yang terdiri dari lapisan peptidoglikan sebanyak 90%, sedangkan bakteri Gram-negatif lapisan peptidoglikannya hanya 5-20%. Senyawa antibakteri dapat mencegah sintesis peptidoglikan pada sel yang sedang tumbuh, sehingga bakteri Gram-positif umumnya lebih peka dibandingkan Gram-negatif (Harapini et al. 1996).

Ekstrak kapang RS1A hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif dan E. coli. Aktivitas penghambatan tidak ditemukan pada bakteri Gram-negatif E. coli ATCC 8739 dan P. aeruginosa ATCC 15442. Bakteri E. coli dan E. coli ATCC 8739 merupakan bakteri yang berasal dari satu spesies. Keduanya adalah spesies yang sama, tetapi mereka bisa memiliki sifat yang berbeda dan tingkat sensitivitas yang berbeda pula. E. coli ATCC (American Type Culture Collection) 8739 adalah strain referensi yang biasa digunakan dalam uji aktivitas antimikroba yang diisolasi dari feses (www.atcc.org).

Aktivitas antimikroba juga terdeteksi pada khamir C. maltosa. Penghambatan ekstrak terhadap C. maltosa pada konsentrasi 2 mg lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 1 mg dan 0,5 mg. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak isolat RS1A tidak hanya memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri, tetapi juga memiliki aktivitas antifungi. Kapang endofit yang diisolasi dari

tumbuhan obat berpotensi sebagai penghasil senyawa antifungi. Mufida et al. (2013) menyebutkan kapang endofit yang diisolasi dari tumbuhan

obat (Mezzetia parviflora Becc.) memiliki aktivitas penghambatan terhadap fungi patogen Candida albicans, Malassezia furfur, Aspergillus Niger, dan Rhizopus sp.

Konsentrasi ekstrak juga merupakan faktor yang menentukan aktivitas antimikroba. Ekstrak isolat kapang RS1A dengan konsentrasi berbeda menghasilkan diameter zona hambat yang berbeda. Penggunaan 2 mg ekstrak isolat RS1A menunjukkan penghambatan yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan ekstrak 1 mg dan 0,5 mg pada uji terhadap bakteri B. subtilis, B. subtilis ATCC 19659, S. aureus ATCC 8739, E. coli, dan khamir C. maltosa. Pelczar dan Chan (2008) menyebutkan semakin tinggi konsentrasi suatu bahan antibakteri maka aktivitas antibakterinya semakin kuat pula. Hasil ini didukung oleh pernyataan Prawata dan Dewi (2008), bahwa efektivitas suatu zat antibakteri dipengaruhi oleh konsentrasi zat tersebut. Konsentrasi zat yang meningkat menyebabkan meningkatnya kandungan senyawa aktif yang berfungsi sebagai antibakteri sehingga kemampuannya dalam membunuh suatu bakteri juga semakin besar. Roslizawaty et al. (2013) telah melakukan pengujian aktivitas antibakteri ekstrak dan air rebusan sarang semut terhadap bakteri E. coli. Hasil uji menunjukkan bahwa ekstrak sarang semut memiliki zona hambat yang lebih luas dibandingkan dengan air rebusan sarang semut dan semakin tinggi konsentrasi ekstrak semakin luas zona hambat yang terbentuk.

Ekstrak media isolat kapang RS1A dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif, Gram-negatif, dan khamir. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak RS1A memiliki aktivitas antimikroba dengan spektrum yang cukup luas. Kloramfenikol yang digunakan sebagai kontrol positif pada uji memiliki zona hambat lebih dari 10 mm pada konsentrasi 300 µg. Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri semua mikroba uji. Mekanisme kerja kloramfenikol melalui penghambatan

19

terhadap biosintesis protein pada siklus pemanjangan rantai asam amino, yaitu dengan menghambat pembentukan ikatan peptida (Susanti et. al 2009).

Senyawa Aktif Kapang RS1A

Uji kualitatif yang dilakukan untuk menentukan senyawa yang terdapat dalam ekstrak kasar media isolat kapang RS1A adalah uji alkaloid, flavonoid, fenol hidrokuinon, dan steroid/terpenoid. Hasil uji dan perbandingannya dengan penelitian-penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Ekstrak kasar media isolat RS1A mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, fenol hidrokuinon, dan steroid. Ekstrak isolat kapang RS3 yang berasal dari inang yang sama hanya mengandung flavonoid dan fenol (Sahara 2013). Penelitian lain menyebutkan ekstrak sarang semut Myrmecodia pendans mengandung flavonoid (Bustanussalam 2010), dan sarang semut Hydnophytum formicarum mengandung flavonoid dan fenol (Rahayu 2013). Menurut Tan dan Zou (2001), mikroba endofit dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang karakternya mirip atau sama dengan inangnya. Hal ini disebabkan adanya pertukaran genetik yang terjadi antara inang dan mikroba endofit secara evolusioner. Mikroba endofit mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder diantaranya alkaloid, terpen, steroid, flavonoid, kuinon, dan fenol. Senyawa-senyawa ini sebagian besar mempunyai potensi yang besar sebagai senyawa bioaktif.

Tabel 1 Hasil uji senyawa ekstrak kasar media isolat kapang RS1A Senyawa Ekstrak kapang RS1A Ekstrak kapang RS3 (Sahara 2013) Ekstrak sarang semut (Rahayu 2013) Ekstrak sarang semut (Bustanussalam 2010) Alkaloid - - - a. Dragendorff + b. Meyer + c. Wagner + Flavonoid + + + + Fenol Hidrokuinon + + + - Terpenoid - - - - Steroid + - - - ( + ) Terdeteksi ( - ) Tidak terdeteksi

Alkaloid adalah golongan terbesar dari senyawa hasil metabolisme sekunder. Alkaloid diketahui memiliki aktivitas antimikroba dan sifat antiparasit (Pfoze et al. 2011). Golongan alkaloid dikenal karena toksisitasnya, namun tidak semua senyawa alkaloid bersifat toksik. Beberapa diantaranya telah digunakan sebagai obat analgesik, antiplasmodik, dan memiliki efek bakterisidal (Ogbuagu 2008). Mekanisme kerja alkaloid sebagai antibakteri diprediksi melalui penghambatan sintesis dinding sel yang akan menyebabkan lisis pada sel sehingga sel akan mati (Lamothe et al. 2009).

Senyawa fenol merupakan salah satu senyawa yang dapat menghambat metabolisme sel. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar. Beberapa

20

jenis flavonoid dapat berfungsi sebagai zat antibiotik yang efektif menghambat pertumbuhan Aspergillus niger, B. subtilis, Candida albicans, E. coli, Micrococcus luteus, P. aeruginosa, Saccharomyces cerevisiae, S. aureus dan Staphylococcus epidermidis (Vijayasanthi et al. 2012). Mekanisme penghambatan flavonoid terhadap pertumbuhan bakteri diduga karena kemampuan senyawa tersebut membentuk komplek dengan protein ekstraseluler, mengaktivasi enzim, dan merusak membran sel. Pada umumnya senyawa flavonoid dapat menghambat

Dokumen terkait