• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN Frekuensi alel pada 11 lokus

Secara keseluruhan frekuensi alel dari lokus yang diamati yaitu lokus A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, o~O, s~S, Ta~T~tb, w~W masih didominasi oleh tipe liarnya, kecuali lokus m~M. Pada lokus tersebut frekuensi alel mutan lebih tinggi yaitu 0.502, sedangkan frekuensi tipe liarnya yaitu 0.498. Berdasarkan hasil penelitian Noor (2007) menunjukkan bahwa frekuensi alel M (ekor pendek) lebih tinggi yaitu 0.602 dan frekuensi alel m (ekor panjang) lebih rendah yaitu 0.398. Nozawa et al. (1983) menyatakan bahwa karakter ekor pendek merupakan ciri khusus kucing di Asia. Populasi kucing di Thailand, Indo-China, Malay Peninsula dan Indonesia memiliki frekuensi lebih dari 0.500 untuk karakter ekor pendek (Nozawa et al. 2004c).

Frekuensi alel A (agouti) pada lokus A~a di ketiga kecamatan lebih tinggi dibandingkan frekuensi alel a (non-agouti). Data ini didukung dengan hasil penelitian Nozawa et al. (1983) yang menyatakan bahwa kucing di Indonesia memiliki frekuensi alel a yang lebih rendah dan frekuensi alel A yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi kucing di Euro-American dan Jepang.

Frekuensi alel b pada lokus B~b~bl lebih rendah dibandingkan frekuensi alel B. Alel b merupakan alel baru yang ditemukan pada populasi kucing di ketiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri, sedangkan alel bl tidak ditemukan. Nozawa et al. (1983) tidak menemukan alel tersebut di Jawa Tengah.

Alel cs pada lokus C~cb~cs~ca~c hanya ditemukan di kecamatan Wonogiri dan Selogiri, dengan frekuensi sebesar 0.092. Alel cs sama sekali tidak ditemukan di Jawa Tengah (Nozawa et al. 1983). Apabila dibandingkan dengan penelitian Lesmana (2008) di Jakarta Timur, Noor (2007) di Bogor, dan Aditya (2006) di Bogor Tengah, memiliki frekuensi alel cs sebesar 0.012, 0.025, dan 0.037 tergolong lebih rendah dari frekuensi alel cs di kecamatan di Kabupaten Wonogiri. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh adanya aliran gen dari hasil perkawinan kucing lokal dengan kucing nonlokal yang berasal dari Eropa dan Amerika (Nozawa 2004b). Selain itu keberadaan alel cs di

kecamatan Selogiri disebabkan adanya breeder yang sengaja memelihara kucing dengan alel tersebut untuk dikembangbiakkan, sehingga terjadi penyebaran alel cs. Berdasarkan hasil penelitian Nozawa et al. (2004a), alel cs yang merupakan alel mutan, muncul di Myanmar diduga berasal dari hasil imigrasi kucing dari Thailand.

Frekuensi alel d yang mengekspresikan warna pudar pada lokus D~d, dan alel I yang mengekspresikan warna perak pada lokus i~I di ketiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri lebih rendah dibandingkan dengan frekuensi tipe liarnya. Menurut Nozawa et al. (1983) alel d dan alel I jarang ditemukan di Indonesia. Alel l pada lokus L~l, merupakan alel mutan bersifat resesif dan memiliki frekuensi lebih rendah yaitu 0.138, dibandingkan dengan alel L (Tabel 2). Alel l merupakan alel baru yang ditemukan pada populasi kucing di ketiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri. Berdasarkan hasil penelitian Nozawa et al. (1983) di Jawa Tengah, alel tersebut tidak ditemukan.

Frekuensi alel O pada lokus o~O pada kromosom X di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri yaitu 0.376 (Tabel 2). Frekuensi alel O tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Nozawa et al. (1983) di Jawa Tengah yang memiliki frekuensi sebesar 0.306. Penelitian Noor (2007) di Bogor menunjukkan frekuensi alel O lebih tinggi dibandingkan 24 tahun yang lalu yaitu dari 0.236 menjadi 0.351. Nozawa et al. (1983) menyatakan bahwa tingginya frekuensi alel O disebabkan alel tersebut merupakan ciri khusus kucing Asia Timur.

Alel s pada lokus s~S merupakan tipe liar yang bersifat resesif, memiliki frekuensi lebih tinggi yaitu 0.524, dibandingkan dengan alel S. Hasil yang serupa juga diperoleh Noor (2007), tipe liar s memiliki frekuensi lebih tinggi yaitu 0.544, dibandingkan alel mutannya (S).

Frekuensi alel T pada lokus Ta~T~tb lebih tinggi dibandingkan alel lainnya pada lokus tersebut. Alel T merupakan tipe liar, sedangkan Ta dan tb merupakan alel mutan. Nozawa et al. (1983) menyatakan bahwa sepanjang pulau dari Sumatra ke Sumbawa, frekuensi alel Ta semakin menurun. Hasil penelitian di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri ini memperkuat pernyataan dari Nozawa tersebut. Hasil penelitian Lesmana (2008) di Jakarta dan hasil penelitian di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri, menunjukkan frekuensi alel Ta semakin menurun. Hasil penelitian Lesmana (2008) di

Jakarta menunjukkan bahwa frekuensi alel Ta lebih tinggi yaitu 0.163, sedangkan frekuensi alel Ta di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri lebih rendah yaitu 0.072 (Tabel 2). Distribusi global frekuensi tiga alel pada lokus Ta~T~tb digunakan untuk menduga sejarah migrasi dari kucing (Nozawa et al. 2004c). Menurut Nozawa et al. (1983) alel tb yang bersifat resesif jarang ditemukan di Indonesia sama seperti di Jepang, sangat berkebalikan dengan kucing di Euro-American.

Alel W pada lokus w~W sangat jarang ditemukan, bahkan frekuensinya hanya sebesar 0.001 (Tabel 2). Nozawa et al. (2000) menyatakan bahwa alel W merupakan alel mutan yang kemungkinan berasal dari aliran gen dari beberapa perkawinan antara kucing lokal dengan nonlokal.

Kemunculan alel-alel baru yang merupakan alel mutan di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri dikarenakan Kabupaten Wonogiri merupakan jalur lintas daerah sehingga memungkinkan terjadinya migrasi kucing nonlokal yang dibawa dan dijadikan hewan peliharaan. Apabila dibandingkan dengan penelitian Nozawa et al. (1983) di Jawa Tengah, maka saat ini kucing dengan karakter mutan lebih banyak ditemukan. Pemelihara dan breeder kucing dengan karakter mutan umumnya didukung oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang cukup baik. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dijadikan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Wonogiri yang lebih baik dibandingkan 29 tahun yang lalu.

Nilai Heterozigositas (h) dan Heterozigositas R t Ĥ

Nilai heterozigositas (h) digunakan untuk memberikan informasi mengenai keragaman dari setiap lokus pada suatu populasi kucing. Nilai h pada masing-masing lokus sangat bervariasi, pada lokus A~a, o~O, s~S, Ta~T~tb, dan m~M memiliki nilai h yang relatif tinggi, secara berturut-turut yaitu 0.491, 0.470, 0.499, 0.311, 0.501. Sedangkan lokus lainnya seperti lokus B~b, C~cs, D~d, i~I, L~l, dan w~W memiliki nilai h yang cukup rendah, yaitu 0.294, 0.167, 0.227, 0.021, 0.238, dan 0.002 (Tabel 2).

Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) digunakan untuk memberikan informasi mengenai keragaman dari keseluruhan lokus pada suatu populasi kucing di wilayah tertentu, yaitu kecamatan Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri. Jika dibandingkan antara ketiga kecamatan, nilai Ĥ dari 11 lokus di kecamatan Selogiri

lebih tinggi yaitu 0.279 (Tabel 3), dibandingkan kecamatan lainnya. Nilai Ĥ dari 9 lokus di ketiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri tanpa lokus B~b dan L~l yaitu 0.268. Nilai Ĥ di Provinsi Jawa Tengah dan Indonesia yaitu sebesar 0.286 dan 0.276 (Nozawa et al. 1983). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa nilai Ĥ di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Indonesia. Nilai Ĥ dari 9 lokus di ketiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri tanpa lokus B~b dan i~I yaitu 0.295 (Tabel 3). Nilai Ĥ dari 9 lokus di Asia sebesar 0.257 (Kawamoto et al. 2002). Berdasarkan penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa nilai Ĥ di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri lebih tinggi dibandingkan nilai Ĥ di Asia. Perbedaan nilai Ĥ tersebut dapat disebabkan pengaruh penyebaran alel yang mungkin dipengaruhi oleh keadaan geografik. Menurut Nei (1987) perbedaan nilai Ĥ ditentukan oleh mutasi, seleksi, dan hanyutan genetik. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa tinggi rendahnya nilai Ĥ dipengaruhi frekuensi alel mutan, pengaruh para breeder dalam menyeleksi alel-alel tertentu, serta aliran gen antar wilayah. Diferensiasi genetik (FST)

Nilai FST digunakan untuk melihat perbedaan genetik antara populasi di Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri untuk setiap lokus. Lokus A~a, B~b, C~ cs, i~I, L~l, Ta~T~tb, dan m~M memiliki nilai FST lebih kecil dari 0.05 yang berarti mengindikasikan perbedaan genetik yang rendah. Nilai FST untuk lokus D~d, o~O, s~S, dan w~W menunjukkan nilai negatif yang berarti tidak adanya perbedaan genetik (Tabel 4). Hasil tersebut menunjukkan terjadinya aliran gen yang diduga berasal dari perkawinan acak kucing antara populasi di Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri. Adanya migrasi antara populasi ini akan menyebabkan terjadinya pencampuran genetik akibat aliran gen (Randi & Ragni 1991). Migrasi dalam jangka panjang akan menyebabkan perbedaan genetik antara populasi menjadi tidak terlalu tinggi (Damayanti 2007).

SIMPULAN

Secara keseluruhan frekuensi alel pada populasi kucing di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri masih didominasi oleh tipe liarnya, kecuali tipe mutan pada lokus m~M. Selain itu lokus m~M juga memiliki

Dokumen terkait