RINA RODIANA
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Wonogiri. Dibimbing oleh R. R. DYAH PERWITASARI dan ACHMAD FARAJALLAH. Felis domesticus merupakan hasil domestikasi dari Felis silvestris (kucing liar Eropa) yang biasa dimanfaatkan manusia sebagai hewan peliharaan dan pengendali tikus. Penelitian ini bertujuan mengestimasi keragaman kucing di tiga kecamatan di kabupaten Wonogiri berdasarkan karakter morfologi yang diekspresikan oleh 11 lokus, yaitu A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, m~M, o~O, s~S, Ta~T~tb, dan w~W. Perhitungan frekuensi alel dilakukan menggunakan metode square root dan maximum likelihood. Nilai heterozigositas (h) dan heterozigositas rataan (Ĥ) digunakan untuk mengetahui keragaman alel. Nilai FST digunakan untuk mengetahui keragaman genetik antara ketiga kecamatan; Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri. Berdasarkan 11 lokus yang diamati, alel baru yang ditemukan yaitu b, cs, d, I, l, tb, W. Sebagian besar alel tipe liar memiliki frekuensi yang lebih tinggi daripada alel mutan, kecuali lokus m~M. Nilai h untuk lokus A~a= 0.491, lokus B~b= 0.294, lokus C~cs= 0.167, lokus D~d= 0.227, lokus i~I= 0.021, lokus L~l= 0.238, lokus m~M= 0.501, lokus o~O= 0.470, lokus s~S= 0.499, lokus Ta~T~tb= 0.311, dan lokus w~W= 0.002. Lokus m~M memiliki keragaman alel (h) tertinggi. Nilai Ĥ untuk 11 lokus yaitu sebesar 0.261, sedangkan nilai Ĥ untuk sembilan lokus yaitu sebesar 0.268. Perbedaan nilai Ĥ tersebut mungkin disebabkan pengaruh penyebaran alel yang dipengaruhi oleh keadaan geografik. Nilai FST untuk lokus A~a, B~b, C~cs, i~I, L~l, Ta~T~tb, dan m~M lebih kecil dari 0.05 yang mengindikasikan perbedaan keragaman genetik yang rendah. Nilai FST untuk lokus D~d, o~O, s~S, dan w~W menunjukkan nilai negatif yang berarti tidak adanya perbedaan keragaman genetik.
Kata kunci: Felis domesticus, keragaman, kucing, morfogenetik, Wonogiri
ABSTRACT
RINA RODIANA. Morphogenetic traits of cats (Felis domesticus) in three Wonogiri districts. Supervised by R. R. DYAH PERWITASARI and ACHMAD FARAJALLAH.
Felis domesticus was originated from domestication of Felis silvestris (European wild cat). Usually, cats were utilized as pets and mice controller by humans. This study aimed to estimate cat diversity in three districts in Wonogiri based on morphological characters expressed by 11 loci: A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, m~M, o~O, s~S, Ta~T~tb, and w~W. Estimation of allele frequencies were performed using square root and maximum likelihood methods. Heterozygosity (h) and average heterozygosity (Ĥ) were applied to determine alleles diversity. FST was used to estimate genetic diversity among three districts; Wonogiri, Ngadirojo, and Selogiri. Among 11 observed loci, new alleles that found were b, cs, d, I, l, tb, W. Mostly wild type allele revealed higher frequency than mutan type allele, except m~M locus. Heterozygosity (h) on each loci were A~a= 0.491, B~b= 0.294, C~cs= 0.167, D~d= 0.227, i~I= 0.021, L~l= 0.238, m~M= 0.501, o~O= 0.470, s~S= 0.499, Ta~T~tb= 0.311, and w~W= 0.002. The highest allele diversity (h) was revealed in m~M locus. Average heterozygosity (Ĥ) over 11 loci and 9 loci were 0.261 and 0.268, respectively. The difference of average heterozygosity (Ĥ) was due to allele distribution and influenced by geography. FST of A~a, B~b, C~cs, i~I, L~l, Ta~T~tb, and m~M loci were smaller than 0.05 meaning that low genetic diversity detected upon loci. The negative FST in D~d, o~O, s~S, and w~W loci indicated that there were no difference on genetic diversity.
RINA RODIANA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM
: G34080063
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. R. R. Dyah Perwitasari, M.Sc.
Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.
NIP. 19660403 199003 2 001
NIP. 19650427 199002 1 002
Diketahui
Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si.
NIP. 19641002 198903 1 002
skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 ini adalah Morfogenetik Kucing (Felis domesticus) di Tiga Kecamatan di Kabupaten Wonogiri.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. R. R. Dyah Perwitasari, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si. selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bantuan dalam penelitian sampai dengan pembuatan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ibu dan bapak, serta seluruh keluarga atas segala bantuan, doa, dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Harits Adli Tegar Nevada, serta teman-teman Biologi atas dukungan dan bantuan yang selalu diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
dan ibu Sriyanti. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara.
Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Wonogiri dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
PENDAHULUAN... 1
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 2
Bahan dan Alat ... 2
Metode ... 3
HASIL Frekuensi Alel (q) dan Heterozigositas (h) ... 4
Lokus A~a ... 4
Lokus B~b~bl ... 4
Lokus C~cb~cs~ca~c ... 4
Lokus D~d ... 4
Lokus i~I ... 5
Lokus L~l ... 5
Lokus o~O ... 5
Lokus s~S ... 5
Lokus Ta~T~tb ... 5
Lokus w~W ... 6
Lokus m~M ... 6
Heterozigositas Rataan (Ĥ) ... 6
Diferensiasi genetik (FST) ... 6
PEMBAHASAN Frekuensi alel pada 11 lokus ... 7
Nilai Heterozigositas (h) dan Heterozigositas Rataan (Ĥ) ... 8
Diferensiasi genetik (FST) ... 8
SIMPULAN ... 8
DAFTAR PUSTAKA ... 9
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Gen-gen utama kucing domestik (Wright & Walters 1980) ... 2
2 Frekuensi alel dan heterozigositas setiap lokus pada populasi kucing di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri ... 4
3 Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri ... 6
4 Keragaman genetik (FST) antara populasi (Wonogiri, Ngadirojo, Selogiri) ... 6
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Kucing dengan ekspresi lokus A~a. (a) Brown mackerel tabby (A-B-C-D-iiT-). (b) Solid Black (aaB-C-D-ii) ... 42 Chocolate mackerel tabby and white (A-bbC-D-iiS-) ... 4
3 Seal point (aaB-cscsD-) ... 4
4 Lilac tabby point (A-bbcscsddll)... 5
5 Silver mackerel tabby (A-B-C-D-I-) ... 5
6 Solid black (aaB-C-D-ll) ... 5
7 Kucing dengan ekspresi lokus o~O. (a) Red mackerel tabby (C-D-iiOT-). (b) Tortoiseshell (A- B-C-D-iiOoss). (c) Brown abyssinian tabby (A-B-C-D-iiooTa). ... 5
8 Black and white (aaB-C-D-iiS-). ... 5
9
Kucing dengan ekspresi lokusTa~T~tb. (a) Red abyssinian tabby and white (C-D-iiOS-Ta-). (b) Brown mackerel tabby and white (A-B-C-D-iiS-T-). (c) Calico Classic Tabby (A-B-C-D-iiOoS-tbtb) ... 6
10 Solid white (W-L-mm) ... 6
11 Kucing dengan ekspresi lokus m~M. (a) Brown abyssinian tabby and white (A-B-C-D-iiS-Mm). (b) Tortoiseshell and white (calico) (A-B-C-D-iiOoS-mm) ... 6
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Genotipe pola tabby pada kucing domestik (Wright & Walters 1980). ... 112 Genotipe warna solid pada kucing domestik (Wright & Walters 1980). ... 12
3 Lokasi pengambilan gambar di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri (Kecamatan Wonogiri, Ngadirojo, Selogiri; ditandai garis merah) dengan luas total 22638.90 Ha. ... 12
4 Jumlah fenotipe, frekuensi alel (q), dan heterozigositas (h) dari 11 lokus pada kucing di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri. ... 13
PENDAHULUAN
Karakter morfologi merupakan salah satu cara untuk melihat genotipe atau disebut juga morfogenetik. Morfogenetik pada kucing dapat memberikan informasi mengenai keragaman kucing dalam suatu populasi. Selain itu juga memberikan informasi mengenai muncul atau hilangnya alel tertentu, sehingga dapat mengetahui perubahan keragaman kucing pada suatu populasi. Bahkan melalui morfogenetik pada kucing ini, dapat dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikatornya yaitu kemunculan alel-alel mutan, karena pemelihara dan breeder kucing dengan karakter mutan umumnya didukung oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang cukup baik.
Kucing telah mengalami domestikasi sekitar 3000 sampai 4000 tahun yang lalu pada zaman Mesir kuno. Kucing yang telah mengalami domestikasi dikenal dengan nama ilmiah Felis domesticus. Felis domesticus
merupakan hasil domestikasi dari Felis
silvestris (kucing liar Eropa) (Feldhamer 1999). Felis domesticus termasuk ke dalam kelas Mammalia, ordo Carnivora, famili Felidae (Wilson 1992). Kucing biasa
dimanfaatkan manusia sebagai hewan
peliharaan dan pengendali tikus (Vella et al.
1999).
Morfogenetik pada kucing dapat
digunakan untuk menduga frekuensi alel yang mengendalikan ekspresi variasi karakter morfologi dalam suatu populasi kucing
(Nozawa et al. 2004c). Lokus kucing
domestik yang memiliki hubungan dominan-resesif antar alel antara lain: A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, m~M, o~O, s~S, Ta~T~tb, w~W. Lokus-lokus tersebut terdiri atas tipe liar dan mutan. Tipe liar merupakan karakter yang diekspresikan sesuai dengan bentuk awalnya terdiri atas alel A, B, C, D, i, L, m, s, T, w. Sedangkan alel mutan merupakan alel yang telah mengalami mutasi, terdiri atas a, b, bl, cb, cs, ca, c, d, I, l, O, M, S, Ta, tb, W (Wright & Walters 1980). Variasi alel pada lokus tersebut menyebabkan variasi pada warna, pola warna, panjang rambut, dan panjang ekor. Variasi warna rambut pada mamalia berdasarkan modifikasi genetik dari
dua pigmen dasar yaitu eumelanin dan
phaeomelanin. Eumelanin memproduksi
warna hitam atau cokelat, sedangkan
phaeomelanin memproduksi warna merah,
oranye, atau kuning (Vella et al. 1999).
Panjang rambut dikendalikan oleh gen panjang rambut (lokus L~l). Rambut pendek yang diekspresikan oleh gen L, memiliki panjang rata-rata sekitar 4.5 cm (Wright & Walters 1980). Rambut panjang diekspresikan oleh gen l dan bersifat resesif. Karakter tersebut merupakan hasil mutasi gen yang bertanggung jawab dalam periode siklus pertumbuhan rambut (Vella et al. 1999). Panjang ekor dikendalikan oleh gen Manx
(lokus m~M) (Wright & Walters 1980). Keberadaan gen Manx ini akan bersifat letal ketika dalam keadaan homozigot dominan (MM) (Wright & Walters 1980).
Gen agouti (lokus A~a) menghasilkan warna hitam pada ujung rambut dan warna kuning pada dasar rambut. Gen non-agouti (aa) menyebabkan hilangnya warna kuning pada dasar rambut, sehingga pola tabby tidak muncul (Wright & Walters 1980). Gen tabby
yang terdiri atas Abyssinian (Ta), mackerel
(T), dan blotched (tb) merupakan variasi pola warna rambut kucing (Vella et al. 1999). Pola
tabby tersebut hanya muncul ketika kucing memiliki gen agouti (Wright & Walters 1980). Gen S (lokus s~S) menyebabkan adanya daerah putih dan bersifat dominan (Wright &
Walters 1980). Gen B (lokus B~b~bl)
merupakan gen penyandi warna hitam dan bersifat dominan dibandingkan alel b (warna cokelat) dan alel bl (cokelat terang). Gen C menghasilkan pigmentasi penuh dan mutasi gen tersebut menghasilkan warna burmese
(cb), siamese (cs), blue eyed albino (ca), dan albino atau tidak berpigmen (c). Gen D (lokus D~d) mengekspresikan pigmentasi pekat dan bila dalam keadaan homozigot resesif (dd) mengekspresikan pigmentasi pudar (Vella et al. 1999). Pigmentasi pekat terdiri atas warna hitam, cokelat, cinnamon, dan red. Sedangkan pigmentasi pudar terdiri atas warna blue, lilac,
fawn, dan cream (Burn 1999). Gen I (lokus i~I) menekan perkembangan pigmen pada rambut kucing.
Gen warna oranye (lokus o~O) terpaut kromosom X, dan akan menghasilkan karakter
(OO) akan mengubah semua pigmen hitam menjadi oranye (Wright & Walters 1980).
Gen W (lokus w~W) yang bersifat dominan menghasilkan warna putih pada rambut kucing dengan tiga variasi warna iris mata, yaitu biru, bukan biru, dan odd eyed. Gen W menutupi ekspresi dari semua gen warna, atau disebut epistasis (Wright & Walters 1980).
Mutasi dan imigrasi merupakan penyebab variasi dan perubahan frekuensi alel pada suatu populasi (Griffiths et al. 1999). Kemunculan siamese (cs) yang merupakan alel mutan di Indonesia dimungkinkan karena aliran gen dari kucing nonlokal (kucing untuk kontes) di daerah tertentu (Nozawa et al.
1983). Nozawa et al. (1983)menemukan alel C dan cs pada lokus C~cb~cs~ca~c di Bogor dengan nilai heterozigositas (h) sebesar 0.151. Hasil penelitian Noor (2007) di Bogor melaporkan terjadinya peningkatan nilai
heterozigositas (h) yang disebabkan
penemuan alel baru yaitu cb untuk warna
burmese pada lokus C~cb~cs~ca~c. Nilai heterozigositas untuk lokus C~cb~cs~ca~c di Bogor meningkat dari 0.151 pada tahun 1983, menjadi 0.164 pada tahun 2007.
Penelitian ini bertujuan mengestimasi keragaman kucing (Felis domesticus) di tiga
kecamatan di Kabupaten Wonogiri
berdasarkan karakter morfologi seperti warna, pola warna, panjang rambut, dan panjang ekor. Tiga Kecamatan di Kabupaten Wonogiri memiliki topografi bervariasi yang didominasi dengan topografi daerah yang tidak rata, selain itu Kabupaten Wonogiri merupakan jalur lintas daerah. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri, karena ingin diamati pengaruhnya terhadap keragaman kucing.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 22 Januari sampai dengan tanggal 26 April 2012. Pengambilan gambar kucing dilakukan di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri yaitu kecamatan Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri. Luas total wilayah ketiga kecamatan tersebut ialah 22638.90 Ha, dengan jumlah penduduk 229196 jiwa.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan untuk analisis morfogenetik adalah gambar kucing (Felis
domesticus) yang diambil dengan
menggunakan kamera digital BenQ tipe DC
E1250, sedangkan untuk analisis data
mengggunakan komputer.
Tabel 1 Gen-gen utama kucing domestik (Wright & Walters 1980)
Tipe Liar Mutan
Simbol Nama Karakter Simbol Nama Karakter A Agouti Pola agouti a Non-agouti Tidak berpola
B Black Hitam b Brown Cokelat muda
bl Light brown Cinnamon atau cokelat terang
C Full-colour Pigmentasi penuh cb Burmese Cokelat sepia gelap cs Siamese Cokelat sepia terang; pola
point; iris biru ca Blue-eyes Putih; iris biru
c Albino Putih
D Dense Pigmentasi pekat d Dilute Pigmentasi pudar i Normal
pigmentation
Pigmentasi normal I Inhibitor* Menutupi pigmen lain; warna perak
L Normal hair Rambut pendek l Long hair Rambut panjang o Normal colour Pigmentasi normal
selain orange
O Orange Oranye atau kuning (terpaut seks)
s Normal colour Tanpa daerah putih S Piebald* Dengan daerah putih T Mackerel Pola tabby garis Ta Abyssinian Pola tabby Abyssinian
tb Blotched Pola tabby klasik w Normal colour Ekspresi penuh dari
gen lain
W Dominant white* Warna putih yang menutupi warna lain; iris biru m Normal tail Ekor panjang M Manx* Ekor pendek atau tidak ada;
Metode
Pengambilan gambar kucing dengan cara
road sampling yaitu berjalan pada setiap lokasi yang telah ditentukan (Ratti & Garton 1996). Waktu pengambilan gambar dilakukan antara pukul 07.30-11.00 dan pukul 15.00-17.30 WIB. Pengambilan gambar hanya dilakukan sekali pada setiap ruas jalan untuk menghindari pengulangan. Gambar yang telah
diperoleh dicatat berdasarkan karakter
morfologi meliputi warna, pola warna, panjang rambut, dan panjang ekor. Sebelas lokus diamati berdasarkan karakter morfologi yaitu: A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, o~O, m~M, s~S, Ta~T~tb, w~W. Data dikonversi ke dalam notasi alel yang mengacu pada Wright dan Walters (1980) (Tabel 1 & Lampiran 1). Perhitungan frekuensi alel dilakukan menggunakan metode square root
dan maximum likelihood mengikuti Nozawa et
al. (2004c).
Frekuensi alel untuk gen autosom dihitung dengan metode square root (lokus A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, s~S, Ta~T~tb, w~W). Jumlah individu yang menunjukkan karakter dominan adalah D, sedangkan karakter resesif adalah R, sehingga diperoleh:
Jumlah individu total (n) = D + R
Frekuensi alel resesif (qx): √
Frekuensi alel dominan (px): 1-qx
Standar eror (SE) untuk perhitungan frekuensi alel ditentukan dengan cara:
√ ⁄
Lokus o~O yang terpaut kromosom X, akan menunjukkan tiga macam fenotipe yaitu oranye (a1), tortoiseshell (a2), dan bukan
oranye (a3) dengan jumlah a1+a2+a3=n.
Frekuensi alel dapat ditentukan dengan metode maximum likelihood dengan asumsi perbandingan jantan-betina adalah 1:1, yaitu dengan cara:
Perhitungan standar eror (SE) ditentukan dengan cara:
SE= √ ( )( - ) - ⁄
Ekspresi karakter ekor pendek diduga bersifat poligen, frekuensi alel ekor pendek (qM) dan ekor normal (qm) dalam suatu
populasi dihitung dengan cara:
qM= ⁄
qm= 1-qM
(D= jumlah individu dengan ekor pendek).
Standar eror (SE) ditentukan dengan cara:
SE= √( )⁄
Nilai heterozigositas (h) dan nilai
heterozigositas rataan (Ĥ) yang diperlukan untuk mengetahui keragaman suatu alel dalam suatu populasi dihitung dengan cara:
hi=2n(1-Σxi2)/2n-1 Ĥ Σhi/nh
(hi=nilai heterozigositas lokus i, xi=frekuensi
alel dari lokus i, nh=jumlah lokus yang
diperoleh). Standar eror (SE) untuk kedua nilai tersebut dapat ditentukan berdasarkan Nei (1987) dengan cara:
SEhi= {
[( - )∑xi-[∑xi] ∑xi-(∑xi) ]
( -) }
Diferensiasi genetik (FST) antara populasi
dihitung dengan menggunakan perangkat lunak Arlequin versi 3.5.
HASIL
Tabel 2 Frekuensi alel dan heterozigositas setiap lokus pada populasi kucing di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri
Lokus Alel Frekuensi alel
(q)
*(-) ekor panjang; (+) ekor pendek.
Frekuensi Alel (q) dan Heterozigositas (h) Lokus A~a
Secara keseluruhan tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri memiliki frekuensi alel yang relatif sama untuk lokus ini. Alel A yang mengekspresikan pola agouti memiliki frekuensi sebesar 0.569, sedangkan alel a sebesar 0.431 (Tabel 2). Nilai heterozigositas untuk lokus A~a cukup tinggi yaitu 0.491
Frekuensi alel B yang mengekspresikan warna hitam di tiga kecamatan di Kabupaten wonogiri sangat tinggi yaitu 0.821, dibandingkan dengan frekuensi alel b (Tabel 2). Alel b hanya ditemukan di kecamatan Wonogiri dan Selogiri, dengan frekuensi sebesar 0.169 dan 0.197 (Lampiran 4). Nilai heterozigositas (h) untuk lokus ini yaitu 0.294.
Gambar 2 Chocolate mackerel tabby and white (A-bbC-D-iiS-).
Lokus C~cb~cs~ca~c
Alel C yang mengekspresikan pigmentasi penuh memiliki frekuensi alel yang sangat tinggi yaitu 0.908. Alel cs yang mengekspresikan warna siamese, merupakan satu-satunya alel mutan yang ditemukan pada lokus ini. Alel cs tersebut memiliki frekuensi yang sangat rendah dibandingkan alel C yaitu 0.092. Heterozigositas untuk lokus ini sebesar 0.167 (Tabel 2).
Gambar 3 Seal point (aaB-cscsD-).
Lokus D~d
Secara keseluruhan frekuensi alel D sebesar 0.870. Alel d yang mengekspresikan warna pudar memiliki frekuensi yang rendah yaitu 0.130. Nilai heterozigositas untuk lokus ini yaitu 0.227 (Tabel 2).
Gambar 4 Lilac tabby point (A-bbcscsddll).
Lokus i~I
Alel I yang mengekspresikan warna perak sangat jarang ditemukan di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri, bahkan di kecamatan Ngadirojo sama sekali tidak ditemukan alel I (Lampiran 4). Frekuensi alel I secara keseluruhan yaitu 0.011. Alel i yang mengekspresikan warna selain perak (pigmentasi normal) sangat banyak ditemukan dengan frekuensi sebesar 0.989 dengan nilai heterozigositas sebesar 0.021 (Tabel 2).
Gambar 5 Silver mackerel tabby (A-B-C-D-I-).
Lokus L~l
Alel L yang mengekspresikan rambut pendek memiliki frekuensi sebesar 0.862. Alel l yang mengekspresikan rambut panjang jarang ditemukan di ketiga kecamatan. Frekuensi alel l secara keseluruhan sebesar 0.138. Nilai heterozigositas lokus ini yaitu 0.238 (Tabel 2).
Gambar 6 Solid black (aaB-C-D-ll).
Lokus o~O
Alel O yang mengekspresikan warna oranye di kecamatan Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri relatif sama, yaitu berturut-turut 0.385, 0.358, dan 0.375 (Lampiran 4). Secara keseluruhan, ketiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri memiliki frekuensi alel O lebih rendah yaitu 0.376 dibandingkan frekuensi alel o. Nilai heterozigositas untuk lokus ini yaitu 0.470 (Tabel 2).
Gambar 7 Kucing dengan ekspresi lokus o~O.
(a) Red mackerel tabby (C-D-iiOT-).
(b) Tortoiseshell (A-B-C-D-iiOoss).
(c) Brown abyssinian tabby
(A-B-C-D-iiooTa).
Lokus s~S
Alel S yang mengekspresikan spot putih (white spoting) memiliki frekuensi sebesar 0.476. Alel s memiliki freuensi sebesar 0.524. Nilai heterozigositas untuk lokus ini cukup tinggi yaitu 0.499 (Tabel 2).
Gambar 8 Black and white (aaB-C-D-iiS-).
Lokus Ta~T~tb
Alel Ta, T, dan tb mengekspresikan pola tabby abyssinian, tabby mackerel, dan tabby blotched. Kecamatan Ngadirojo memiliki frekuensi tertinggi yaitu 0.946 untuk alel T. Sedangkan kecamatan Selogiri memiliki frekuensi alel tertinggi yaitu 0.091 untuk alel Ta (Lampiran 4). Alel tb sangat jarang ditemukan, bahkan di kecamatan Ngadirojo alel tersebut sama sekali tidak ditemukan. Secara keseluruhan alel Ta, alel T, dan alel tb memiliki frekuensi berturut-turut yaitu 0.072, 0.820, dan 0.108, dengan nilai heterozigositas 0.311 (Tabel 2).
(a) (b)
Gambar 9 Kucing dengan ekspresi lokusTa~T~tb.
(a) Red abyssinian tabby and white
(C-D-iiOS-Ta-). (b) Brown mackerel tabby
and white (A-B-C-D-iiS-T-). (c)
Calico Classic Tabby
(A-B-C-D-iiOoS-tbtb).
Lokus w~W
Alel W mengekspresikan warna putih pada rambut kucing. Alel ini hanya ditemukan di kecamatan Selogiri, dengan frekuensi yang sangat rendah yaitu 0.001 (Tabel 2). Frekuensi alel w di ketiga kecamatan sangat tinggi yaitu 0.999. Nilai heterozigositas untuk lokus ini sangat rendah yaitu 0.002 (Tabel 2).
Gambar 10 Solid white (W-L-mm).
Lokus m~M
Alel M mengekspresikan karakter ekor pendek sedangkan alel m mengekspresikan karakter ekor panjang. Frekuensi alel M secara keseluruhan yaitu 0.502, sedangkan alel m memiliki frekuensi sebesar 0.498. Nilai heterozigositas untuk lokus ini yaitu 0.501 (Tabel 2).
Gambar 11 Kucing dengan ekspresi lokus m~M.
(a) Brown abyssinian tabby and white
(A-B-C-D-iiS-Mm). (b) Tortoiseshell
and white (calico)
(A-B-C-D-iiOoS-mm).
Heterozigosit s R t Ĥ
Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) digunakan untuk melihat keragaman kucing di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri. Nilai Ĥ secara keseluruhan di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri untuk 11 lokus yaitu 0.261. Sedangkan nilai Ĥ untuk 9 lokus sebagai pembanding terhadap populasi di Indonesia dan Asia yaitu 0.268 dan 0.295 (Tabel 3).
Tabel 3 Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) di
tiga kecamatan di Kabupaten
Wonogiri pembanding terhadap populasi di Indonesia berdasarkan Nozawa et al. (1983)
**
tanpa lokus B~b dan i~I sebagai pembanding terhadap populasi di Asia berdasarkan Kawamoto et al. (2002).
Diferensiasi genetik (FST)
Hasil perhitungan diferensiasi genetik antara populasi (Wonogiri, Ngadirojo, Selogiri) (FST) setiap lokus ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Diferensiasi genetik (FST) antara
populasi (Wonogiri, Ngadirojo,
nilai FST sebesar 0.030, 0.012, 0.014, 0.023, 0.035. Lokus D~d, o~O, s~S, dan w~W memiliki nilai FST negatif yaitu -0.004, -0.007, -0.005, dan -0.005.
PEMBAHASAN
Frekuensi alel pada 11 lokus
Secara keseluruhan frekuensi alel dari lokus yang diamati yaitu lokus A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, o~O, s~S, Ta~T~tb, w~W masih didominasi oleh tipe liarnya, kecuali lokus m~M. Pada lokus tersebut frekuensi alel mutan lebih tinggi yaitu 0.502, sedangkan frekuensi tipe liarnya yaitu 0.498. Berdasarkan hasil penelitian Noor (2007) menunjukkan bahwa frekuensi alel M (ekor pendek) lebih tinggi yaitu 0.602 dan frekuensi alel m (ekor panjang) lebih rendah yaitu 0.398. Nozawa et al. (1983) menyatakan bahwa karakter ekor pendek merupakan ciri khusus kucing di Asia. Populasi kucing di Thailand, Indo-China, Malay Peninsula dan Indonesia memiliki frekuensi lebih dari 0.500 untuk karakter ekor pendek (Nozawa et al. 2004c).
Frekuensi alel A (agouti) pada lokus A~a di ketiga kecamatan lebih tinggi dibandingkan frekuensi alel a (non-agouti). Data ini didukung dengan hasil penelitian Nozawa et al. (1983) yang menyatakan bahwa kucing di Indonesia memiliki frekuensi alel a yang lebih rendah dan frekuensi alel A yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi kucing di Euro-American dan Jepang.
Frekuensi alel b pada lokus B~b~bl lebih menemukan alel tersebut di Jawa Tengah.
Alel cs pada lokus C~cb~cs~ca~c hanya ditemukan di kecamatan Wonogiri dan Selogiri, dengan frekuensi sebesar 0.092. Alel cs sama sekali tidak ditemukan di Jawa Tengah (Nozawa et al. 1983). Apabila dibandingkan dengan penelitian Lesmana (2008) di Jakarta Timur, Noor (2007) di Bogor, dan Aditya (2006) di Bogor Tengah, memiliki frekuensi alel cs sebesar 0.012, 0.025, dan 0.037 tergolong lebih rendah dari frekuensi alel cs di kecamatan di Kabupaten Wonogiri. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh adanya aliran gen dari hasil perkawinan kucing lokal dengan kucing nonlokal yang berasal dari Eropa dan Amerika (Nozawa 2004b). Selain itu keberadaan alel cs di
kecamatan Selogiri disebabkan adanya breeder yang sengaja memelihara kucing dengan alel tersebut untuk dikembangbiakkan, sehingga terjadi penyebaran alel cs. Berdasarkan hasil penelitian Nozawa et al. (2004a), alel cs yang merupakan alel mutan, muncul di Myanmar diduga berasal dari hasil imigrasi kucing dari Thailand.
Frekuensi alel d yang mengekspresikan warna pudar pada lokus D~d, dan alel I yang mengekspresikan warna perak pada lokus i~I di ketiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri lebih rendah dibandingkan dengan frekuensi tipe liarnya. Menurut Nozawa et al. (1983) Kabupaten Wonogiri. Berdasarkan hasil penelitian Nozawa et al. (1983) di Jawa Tengah, alel tersebut tidak ditemukan.
Frekuensi alel O pada lokus o~O pada kromosom X di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri yaitu 0.376 (Tabel 2). Frekuensi alel O tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Nozawa et al. (1983) di Jawa Tengah yang memiliki frekuensi sebesar 0.306. Penelitian Noor (2007) di Bogor menunjukkan frekuensi alel O lebih tinggi dibandingkan 24 tahun yang lalu yaitu dari 0.236 menjadi 0.351. Nozawa et al. (1983) menyatakan bahwa tingginya frekuensi alel O disebabkan alel tersebut merupakan ciri khusus kucing Asia Timur.
Alel s pada lokus s~S merupakan tipe liar yang bersifat resesif, memiliki frekuensi lebih tinggi yaitu 0.524, dibandingkan dengan alel S. Hasil yang serupa juga diperoleh Noor (2007), tipe liar s memiliki frekuensi lebih tinggi yaitu 0.544, dibandingkan alel mutannya (S).
Jakarta menunjukkan bahwa frekuensi alel Ta lebih tinggi yaitu 0.163, sedangkan frekuensi alel Ta di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri lebih rendah yaitu 0.072 (Tabel 2). Distribusi global frekuensi tiga alel pada lokus Ta~T~tb digunakan untuk menduga sejarah migrasi dari kucing (Nozawa et al. 2004c). Menurut Nozawa et al. (1983) alel tb yang bersifat resesif jarang ditemukan di Indonesia sama seperti di Jepang, sangat berkebalikan dengan kucing di Euro-American.
Alel W pada lokus w~W sangat jarang ditemukan, bahkan frekuensinya hanya sebesar 0.001 (Tabel 2). Nozawa et al. (2000) menyatakan bahwa alel W merupakan alel mutan yang kemungkinan berasal dari aliran gen dari beberapa perkawinan antara kucing lokal dengan nonlokal.
Kemunculan alel-alel baru yang merupakan alel mutan di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri dikarenakan Kabupaten Wonogiri merupakan jalur lintas daerah sehingga memungkinkan terjadinya migrasi kucing nonlokal yang dibawa dan dijadikan hewan peliharaan. Apabila dibandingkan dengan penelitian Nozawa et al. (1983) di Jawa Tengah, maka saat ini kucing dengan karakter mutan lebih banyak ditemukan. Pemelihara dan breeder kucing dengan karakter mutan umumnya didukung oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang cukup baik. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dijadikan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Wonogiri yang lebih baik dibandingkan 29 tahun yang lalu.
Nilai Heterozigositas (h) dan Heterozigositas R t Ĥ
Nilai heterozigositas (h) digunakan untuk memberikan informasi mengenai keragaman dari setiap lokus pada suatu populasi kucing. Nilai h pada masing-masing lokus sangat bervariasi, pada lokus A~a, o~O, s~S, Ta~T~tb, dan m~M memiliki nilai h yang relatif tinggi, secara berturut-turut yaitu 0.491, 0.470, 0.499, 0.311, 0.501. Sedangkan lokus lainnya seperti lokus B~b, C~cs, D~d, i~I, L~l, dan w~W memiliki nilai h yang cukup rendah, yaitu 0.294, 0.167, 0.227, 0.021, 0.238, dan 0.002 (Tabel 2).
Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) digunakan untuk memberikan informasi mengenai keragaman dari keseluruhan lokus pada suatu populasi kucing di wilayah tertentu, yaitu kecamatan Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri. Jika dibandingkan antara ketiga kecamatan, nilai Ĥ dari 11 lokus di kecamatan Selogiri
lebih tinggi yaitu 0.279 (Tabel 3), dibandingkan kecamatan lainnya. Nilai Ĥ dari 9 lokus di ketiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri tanpa lokus B~b dan L~l yaitu 0.268. Nilai Ĥ di Provinsi Jawa Tengah dan Indonesia yaitu sebesar 0.286 dan 0.276 (Nozawa et al. 1983). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa nilai Ĥ di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Indonesia. Nilai Ĥ dari 9 lokus di ketiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri tanpa lokus B~b dan i~I yaitu 0.295 (Tabel 3). Nilai Ĥ dari 9 lokus di Asia sebesar 0.257 (Kawamoto et al. 2002). Berdasarkan penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa nilai Ĥ di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri lebih tinggi dibandingkan nilai Ĥ di Asia. Perbedaan nilai Ĥ tersebut dapat disebabkan pengaruh penyebaran alel yang mungkin dipengaruhi oleh keadaan geografik. Menurut Nei (1987) perbedaan nilai Ĥ ditentukan oleh mutasi, seleksi, dan hanyutan genetik. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa tinggi rendahnya nilai Ĥ dipengaruhi frekuensi alel mutan, pengaruh para breeder dalam menyeleksi alel-alel tertentu, serta aliran gen antar wilayah.
Diferensiasi genetik (FST)
Nilai FST digunakan untuk melihat perbedaan genetik antara populasi di Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri untuk setiap lokus. Lokus A~a, B~b, C~ cs, i~I, L~l, Ta~T~tb, dan m~M memiliki nilai FST lebih kecil dari 0.05 yang berarti mengindikasikan perbedaan genetik yang rendah. Nilai FST untuk lokus D~d, o~O, s~S, dan w~W menunjukkan nilai negatif yang berarti tidak adanya perbedaan genetik (Tabel 4). Hasil tersebut menunjukkan terjadinya aliran gen yang diduga berasal dari perkawinan acak kucing antara populasi di Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri. Adanya migrasi antara populasi ini akan menyebabkan terjadinya pencampuran genetik akibat aliran gen (Randi & Ragni 1991). Migrasi dalam jangka panjang akan menyebabkan perbedaan genetik antara populasi menjadi tidak terlalu tinggi (Damayanti 2007).
SIMPULAN
keragaman alel (h) tertinggi. Berdasarkan 11 lokus yang diamati, 7 lokus diantaranya ditemukan alel baru untuk tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri yaitu b, cs, d, I, l, tb, W. Tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri memiliki heterozigositas rataan (Ĥ) sebesar 0.261. Nilai FST pada setiap lokus kurang dari 0.05 menunjukkan terjadinya aliran gen melalui kawin acak.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya N. 2006. Keragaman kucing (Felis domesticus) di Kecamatan Bogor Tengah berdasarkan karakter morfologi [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Burn D. 1999. An Instant Guide to Cats.
London: Malcolm Saunders Publishing Ltd.
Damayanti CS. 2007. Analisa keragaman genetik dan struktur populasi babi hutan Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara dan Tenggara Pulau Sulawesi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Feldhamer GA, Drickamer LC, Vessey SH,
Merritt JF. 1999. Mammalogy:
Adaptation, Diversity, and Ecology. New York: McGraw-Hill Companies.
Griffiths AJF, Miller JH, Suzuki DT, Lewontin RC, Gelbart WM. 1999. An Introduction to Genetic Analysis. Ed ke-7. New York: W.H Freman and Company.
Kawamoto Y, Nozawa K, Wangchuk T, Sherub. 2002. Coat-color variations of the cats in Bhutan. Rep Soc Res Native Livestock 20:55-64.
Lesmana T. 2008. Morfogenetik kucing (Felis domesticus) di Jakarta Timur [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Nei M. 1987. Moleculer Evolutionary Genetics. New York: Columbia University Press.
Noor M A. 2007. Morfogenetik kucing (Felis domesticus) di Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Nozawa et al. 2004a. Coat-color and other morphogenetic polymorphisms in the cats of Myanmar. Rep Soc Res Native morphogenetic polymorphism. Rep Soc Res Native Livestock 21:341-362. Nozawa K, Kawamoto Y, Kondo K, polymorphisms in coat color and other morphological traits of the Japanes feral cats – Report of the 3rd compilation of data. Rep Soc Res Native Livestock 18:225-268.
Nozawa K, Masangkay JS, Namikawa T, Kawamoto Y. 2004c. Morphogenetic traits and gene frequencies of the feral cats in the philipphines. Rep Soc Res Native Livestock 21:245-256.
Randi E, Ragni B. 1991. Genetic variability and biochemical systematics of domestic and wild cat populations (Felis silvestris: Felidae). J Mammal 72:79-88.
Ratti JT, Garton EO. 1996. Research and experimental design. Di dalam: Bookhout TA, editor. Research and Management Techniques for Wildlife and Habitats. Bethesda: The Wildlife Society, Inc. hlm 1–23.
Vella CM, Shelton LM, McGonagle JJ, Stanglein TW. 1999. Robinson’s Genetics for Cat Breeders and Veterinarians. Ed ke-4. London: Reed Educational and Professional Publishing Ltd.
Wilson EO. 1992. The Diversity of Life. New York: Harvard University Press. Wright M, Walters S. 1980. The Book of The
Lampiran 1 Genotipe pola tabby pada kucing domestik (Wright & Walters 1980)
Genotipe dari pola tabby Abyssinian
A-B-C-D-iiTa- 1 Usual (ruddy) Abyssinian A-B-C-ddiiTa- 2 Blue Abyssinian
A-bbC-D-iiTa- 3 Chocolate (chestnut) Abyssinian A-bbC-ddiiTa- 4 Lilac Abyssinian
A-blblC-D-iiTa- 5 Non Sex-linked “red” Abyssinian A-blblC-ddiiTa- 6 Non Sex-linked “cream” Abyssinian C-D-iiO(O)Ta- 7 Sex-linked “red” Abyssinian C-ddiiO(O)Ta- 8 Sex-linked “cream” Abyssinian A-B-C-D-I-Ta- 9 Silver usual (ruddy) Abyssinian
Genotipe dari pola tabby Mackerel/Classic
A-B-C-D-iiT-/tbtb 1 Brown (black: ebony) tabby A-B-C-ddiiT-/tbtb 2 Blue tabby
A-bbC-D-iiT-/tbtb 3 Chocolate (chestnut) tabby A-blblC-D-iiT-/tbtb 4 Cinnamon tabby
A-bbC-ddiiT-/tbtb 5 Lilac tabby C-D-iiO(O)T-/tbtb 6 Red tabby C-ddiiO(O)T-/tbtb 7 Cream tabby A-B-C-D-I-T-/tbtb 8 Silver tabby C-D-I-O(O)T-/tbtb 9 Cameo tabby
Lampiran 2 Genotipe warna solid pada kucing domestik (Wright & Walters 1980)
aaB-C-D- 1 Black aaB-C-dd 2 Blue
aabbC-D- 3 Chocolate (chesnut brown) aablblC-D- 4 Cinnamon
aabbC-dd 5 Lilac aablblC-dd 6 Light lilac C-D-O(O) 7 Red C-ddO(O) 8 Cream
aaB-cbcbD- 9 Brown Burmese aaB-cbcbdd 10 Blue Burmese aabbcbcbD- 11 Chocolate Burmese aabbcbcbdd 12 Lilac Burmese cbcbD-O(O) 13 Red Burmese cbcbddO(O) 14 Cream Burmese W-;caca;cc 15 White
Lampiran 4 Jumlah fenotipe, frekuensi alel (q), dan heterozigositas (h) dari 11 lokus pada kucing di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri
Lokus Keterangan Wonogiri Ngadirojo Selogiri
A~a A_ 78 27 176
aa 27 5 32
n 105 32 208
qA 0.493±0.042 0.605±0.081 0.608±0.032
qa 0.507±0.042 0.395±0.081 0.392±0.032
h 0.502±0.004 0.486±0.028 0.032±0.010
B~b B_ 102 32 199
bb 3 0 8
n 105 32 207
qB 0.831±0.048 1 0.803±0.034
qa 0.169±0.048 - 0.197±0.034
h 0.282±0.034 0 0.317±0.024
C~cs C_ 148 43 278
cs_ 1 0 3
n 149 43 281
qC 0.918±0.041 1 0.897±0.030
qcs 0.082±0.041 - 0.103±0.030
h 0.075±0.027 0 0.093±0.020
D~d D_ 146 42 277
dd 3 1 4
n 149 43 281
qD 0.858±0.041 0.848±0.075 0.881±0.030
qd 0.142±0.041 0.152±0.075 0.119±0.030
h 0.244±0.029 0.262±0.054 0.211±0.021
i~I ii 142 43 278
I_ 7 0 3
n 149 43 281
qi 0.976±0.009 1 0.995±0.003
qI 0.024±0.009 - 0.005±0.003
h 0.047±0.017 0 0.011±0.006
L~l L_ 147 41 277
ll 2 2 5
n 149 43 282
qL 0.884±0.041 0.784±0.074 0.867±0.030
ql 0.116±0.041 0.216±0.074 0.133±0.030
Lanjutan Lampiran 4
Lokus Keterangan Wonogiri Ngadirojo Selogiri
o~O oo 77 23 144
Oo 28 9 63
OO 44 11 74
n 149 43 281
qo 0.615±0.034 0.642±0.063 0.625±0.025
qO 0.385±0.034 0.358±0.063 0.375±0.025
h 0.475±0.013 0.465±0.030 0.469±0.010
s~S ss 44 9 77
S_ 105 34 205
n 149 43 282
qs 0.543±0.034 0.457±0.068 0.523±0.025
qS 0.457±0.034 0.543±0.068 0.477±0.025
h 0.498±0.006 0.502±0.012 0.500±0.002
Ta~T~tb Ta_ 10 4 45
T_ 119 34 210
tbtb 1 0 4
n 130 38 259
qTa 0.039±0.012 0.054±0.026 0.091±0.013
qT 0.873±0.046 0.946±0.026 0.785±0.034
qtb 0.088±0.044 - 0.124±0.031
h 0.149±0.033 0.104±0.046 0.252±0.024
w~W ww 149 43 281
W_ 0 0 1
n 149 43 282
qw 1 1 0.998±0.002
qW - - 0.002±0.002
h 0 0 0.004±0.004
m~M - 62 30 144
+ 87 13 138
n 149 43 282
q- 0.416±0.040 0.698±0.070 0.511±0.030
q+ 0.584±0.040 0.302±0.070 0.489±0.030
Lampiran 5 Frekuensi alel (q) dan heterozigositas (h) setiap lokus pada populasi kucing di wilayah Bogor (Noor 2007)
Lokus Alel Frekuens Alel
(q)
Heterozigositas (h)
A~a A 0.456±0.048 0.494±0.010
n=1082 a 0.544±0.048
B~b B 0.537±0.050 0.567±0.019
n=1082 b 0.337±0.084
bl 0.126±0.037
C~cb~csca~c C 0.905±0.049 0.164±0.024
n=1425 cb 0.016±0.018
cs 0.025±0.003
ca 0.012±0.014
c 0.040±0.013
D~d D 0.791±0.048 0.327±0.032
n=1415 d 0.209±0.048
i~I i 0.984±0.008 0.031±0.015
n=1415 I 0.016±0.008
L~l L 0.904±0.048 0.155±0.018
n=1425 l 0.096±0.048
o~O o 0.649±0.040 0.455±0.019
n=1425 O 0.351±0.040
s~S s 0.544±0.041 0.492±0.009
n=1415 S 0.456±0.041
Ta~T~tb Ta 0.164±0.030 0.523±0.033
T 0.633±0.074
tb 0.203±0.050
w~W w 0.996±0.003 0.008±0.005
n=1425 W 0.004±0.003
m~M* - 0.398±0.047 0.463±0.017
n=1425 + 0.602±0.047
*
Wonogiri. Dibimbing oleh R. R. DYAH PERWITASARI dan ACHMAD FARAJALLAH. Felis domesticus merupakan hasil domestikasi dari Felis silvestris (kucing liar Eropa) yang biasa dimanfaatkan manusia sebagai hewan peliharaan dan pengendali tikus. Penelitian ini bertujuan mengestimasi keragaman kucing di tiga kecamatan di kabupaten Wonogiri berdasarkan karakter morfologi yang diekspresikan oleh 11 lokus, yaitu A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, m~M, o~O, s~S, Ta~T~tb, dan w~W. Perhitungan frekuensi alel dilakukan menggunakan metode square root dan maximum likelihood. Nilai heterozigositas (h) dan heterozigositas rataan (Ĥ) digunakan untuk mengetahui keragaman alel. Nilai FST digunakan untuk mengetahui keragaman genetik antara ketiga kecamatan; Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri. Berdasarkan 11 lokus yang diamati, alel baru yang ditemukan yaitu b, cs, d, I, l, tb, W. Sebagian besar alel tipe liar memiliki frekuensi yang lebih tinggi daripada alel mutan, kecuali lokus m~M. Nilai h untuk lokus A~a= 0.491, lokus B~b= 0.294, lokus C~cs= 0.167, lokus D~d= 0.227, lokus i~I= 0.021, lokus L~l= 0.238, lokus m~M= 0.501, lokus o~O= 0.470, lokus s~S= 0.499, lokus Ta~T~tb= 0.311, dan lokus w~W= 0.002. Lokus m~M memiliki keragaman alel (h) tertinggi. Nilai Ĥ untuk 11 lokus yaitu sebesar 0.261, sedangkan nilai Ĥ untuk sembilan lokus yaitu sebesar 0.268. Perbedaan nilai Ĥ tersebut mungkin disebabkan pengaruh penyebaran alel yang dipengaruhi oleh keadaan geografik. Nilai FST untuk lokus A~a, B~b, C~cs, i~I, L~l, Ta~T~tb, dan m~M lebih kecil dari 0.05 yang mengindikasikan perbedaan keragaman genetik yang rendah. Nilai FST untuk lokus D~d, o~O, s~S, dan w~W menunjukkan nilai negatif yang berarti tidak adanya perbedaan keragaman genetik.
Kata kunci: Felis domesticus, keragaman, kucing, morfogenetik, Wonogiri
ABSTRACT
RINA RODIANA. Morphogenetic traits of cats (Felis domesticus) in three Wonogiri districts. Supervised by R. R. DYAH PERWITASARI and ACHMAD FARAJALLAH.
Felis domesticus was originated from domestication of Felis silvestris (European wild cat). Usually, cats were utilized as pets and mice controller by humans. This study aimed to estimate cat diversity in three districts in Wonogiri based on morphological characters expressed by 11 loci: A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, m~M, o~O, s~S, Ta~T~tb, and w~W. Estimation of allele frequencies were performed using square root and maximum likelihood methods. Heterozygosity (h) and average heterozygosity (Ĥ) were applied to determine alleles diversity. FST was used to estimate genetic diversity among three districts; Wonogiri, Ngadirojo, and Selogiri. Among 11 observed loci, new alleles that found were b, cs, d, I, l, tb, W. Mostly wild type allele revealed higher frequency than mutan type allele, except m~M locus. Heterozygosity (h) on each loci were A~a= 0.491, B~b= 0.294, C~cs= 0.167, D~d= 0.227, i~I= 0.021, L~l= 0.238, m~M= 0.501, o~O= 0.470, s~S= 0.499, Ta~T~tb= 0.311, and w~W= 0.002. The highest allele diversity (h) was revealed in m~M locus. Average heterozygosity (Ĥ) over 11 loci and 9 loci were 0.261 and 0.268, respectively. The difference of average heterozygosity (Ĥ) was due to allele distribution and influenced by geography. FST of A~a, B~b, C~cs, i~I, L~l, Ta~T~tb, and m~M loci were smaller than 0.05 meaning that low genetic diversity detected upon loci. The negative FST in D~d, o~O, s~S, and w~W loci indicated that there were no difference on genetic diversity.
PENDAHULUAN
Karakter morfologi merupakan salah satu cara untuk melihat genotipe atau disebut juga morfogenetik. Morfogenetik pada kucing dapat memberikan informasi mengenai keragaman kucing dalam suatu populasi. Selain itu juga memberikan informasi mengenai muncul atau hilangnya alel tertentu, sehingga dapat mengetahui perubahan keragaman kucing pada suatu populasi. Bahkan melalui morfogenetik pada kucing ini, dapat dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikatornya yaitu kemunculan alel-alel mutan, karena pemelihara dan breeder kucing dengan karakter mutan umumnya didukung oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang cukup baik.
Kucing telah mengalami domestikasi sekitar 3000 sampai 4000 tahun yang lalu pada zaman Mesir kuno. Kucing yang telah mengalami domestikasi dikenal dengan nama ilmiah Felis domesticus. Felis domesticus
merupakan hasil domestikasi dari Felis
silvestris (kucing liar Eropa) (Feldhamer 1999). Felis domesticus termasuk ke dalam kelas Mammalia, ordo Carnivora, famili Felidae (Wilson 1992). Kucing biasa
dimanfaatkan manusia sebagai hewan
peliharaan dan pengendali tikus (Vella et al.
1999).
Morfogenetik pada kucing dapat
digunakan untuk menduga frekuensi alel yang mengendalikan ekspresi variasi karakter morfologi dalam suatu populasi kucing
(Nozawa et al. 2004c). Lokus kucing
domestik yang memiliki hubungan dominan-resesif antar alel antara lain: A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, m~M, o~O, s~S, Ta~T~tb, w~W. Lokus-lokus tersebut terdiri atas tipe liar dan mutan. Tipe liar merupakan karakter yang diekspresikan sesuai dengan bentuk awalnya terdiri atas alel A, B, C, D, i, L, m, s, T, w. Sedangkan alel mutan merupakan alel yang telah mengalami mutasi, terdiri atas a, b, bl, cb, cs, ca, c, d, I, l, O, M, S, Ta, tb, W (Wright & Walters 1980). Variasi alel pada lokus tersebut menyebabkan variasi pada warna, pola warna, panjang rambut, dan panjang ekor. Variasi warna rambut pada mamalia berdasarkan modifikasi genetik dari
dua pigmen dasar yaitu eumelanin dan
phaeomelanin. Eumelanin memproduksi
warna hitam atau cokelat, sedangkan
phaeomelanin memproduksi warna merah,
oranye, atau kuning (Vella et al. 1999).
Panjang rambut dikendalikan oleh gen panjang rambut (lokus L~l). Rambut pendek yang diekspresikan oleh gen L, memiliki panjang rata-rata sekitar 4.5 cm (Wright & Walters 1980). Rambut panjang diekspresikan oleh gen l dan bersifat resesif. Karakter tersebut merupakan hasil mutasi gen yang bertanggung jawab dalam periode siklus pertumbuhan rambut (Vella et al. 1999). Panjang ekor dikendalikan oleh gen Manx
(lokus m~M) (Wright & Walters 1980). Keberadaan gen Manx ini akan bersifat letal ketika dalam keadaan homozigot dominan (MM) (Wright & Walters 1980).
Gen agouti (lokus A~a) menghasilkan warna hitam pada ujung rambut dan warna kuning pada dasar rambut. Gen non-agouti (aa) menyebabkan hilangnya warna kuning pada dasar rambut, sehingga pola tabby tidak muncul (Wright & Walters 1980). Gen tabby
yang terdiri atas Abyssinian (Ta), mackerel
(T), dan blotched (tb) merupakan variasi pola warna rambut kucing (Vella et al. 1999). Pola
tabby tersebut hanya muncul ketika kucing memiliki gen agouti (Wright & Walters 1980). Gen S (lokus s~S) menyebabkan adanya daerah putih dan bersifat dominan (Wright &
Walters 1980). Gen B (lokus B~b~bl)
merupakan gen penyandi warna hitam dan bersifat dominan dibandingkan alel b (warna cokelat) dan alel bl (cokelat terang). Gen C menghasilkan pigmentasi penuh dan mutasi gen tersebut menghasilkan warna burmese
(cb), siamese (cs), blue eyed albino (ca), dan albino atau tidak berpigmen (c). Gen D (lokus D~d) mengekspresikan pigmentasi pekat dan bila dalam keadaan homozigot resesif (dd) mengekspresikan pigmentasi pudar (Vella et al. 1999). Pigmentasi pekat terdiri atas warna hitam, cokelat, cinnamon, dan red. Sedangkan pigmentasi pudar terdiri atas warna blue, lilac,
fawn, dan cream (Burn 1999). Gen I (lokus i~I) menekan perkembangan pigmen pada rambut kucing.
Gen warna oranye (lokus o~O) terpaut kromosom X, dan akan menghasilkan karakter
(OO) akan mengubah semua pigmen hitam menjadi oranye (Wright & Walters 1980).
Gen W (lokus w~W) yang bersifat dominan menghasilkan warna putih pada rambut kucing dengan tiga variasi warna iris mata, yaitu biru, bukan biru, dan odd eyed. Gen W menutupi ekspresi dari semua gen warna, atau disebut epistasis (Wright & Walters 1980).
Mutasi dan imigrasi merupakan penyebab variasi dan perubahan frekuensi alel pada suatu populasi (Griffiths et al. 1999). Kemunculan siamese (cs) yang merupakan alel mutan di Indonesia dimungkinkan karena aliran gen dari kucing nonlokal (kucing untuk kontes) di daerah tertentu (Nozawa et al.
1983). Nozawa et al. (1983)menemukan alel C dan cs pada lokus C~cb~cs~ca~c di Bogor dengan nilai heterozigositas (h) sebesar 0.151. Hasil penelitian Noor (2007) di Bogor melaporkan terjadinya peningkatan nilai
heterozigositas (h) yang disebabkan
penemuan alel baru yaitu cb untuk warna
burmese pada lokus C~cb~cs~ca~c. Nilai heterozigositas untuk lokus C~cb~cs~ca~c di Bogor meningkat dari 0.151 pada tahun 1983, menjadi 0.164 pada tahun 2007.
Penelitian ini bertujuan mengestimasi keragaman kucing (Felis domesticus) di tiga
kecamatan di Kabupaten Wonogiri
berdasarkan karakter morfologi seperti warna, pola warna, panjang rambut, dan panjang ekor. Tiga Kecamatan di Kabupaten Wonogiri memiliki topografi bervariasi yang didominasi dengan topografi daerah yang tidak rata, selain itu Kabupaten Wonogiri merupakan jalur lintas daerah. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri, karena ingin diamati pengaruhnya terhadap keragaman kucing.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 22 Januari sampai dengan tanggal 26 April 2012. Pengambilan gambar kucing dilakukan di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri yaitu kecamatan Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri. Luas total wilayah ketiga kecamatan tersebut ialah 22638.90 Ha, dengan jumlah penduduk 229196 jiwa.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan untuk analisis morfogenetik adalah gambar kucing (Felis
domesticus) yang diambil dengan
menggunakan kamera digital BenQ tipe DC
E1250, sedangkan untuk analisis data
mengggunakan komputer.
Tabel 1 Gen-gen utama kucing domestik (Wright & Walters 1980)
Tipe Liar Mutan
Simbol Nama Karakter Simbol Nama Karakter A Agouti Pola agouti a Non-agouti Tidak berpola
B Black Hitam b Brown Cokelat muda
bl Light brown Cinnamon atau cokelat terang
C Full-colour Pigmentasi penuh cb Burmese Cokelat sepia gelap cs Siamese Cokelat sepia terang; pola
point; iris biru ca Blue-eyes Putih; iris biru
c Albino Putih
D Dense Pigmentasi pekat d Dilute Pigmentasi pudar i Normal
pigmentation
Pigmentasi normal I Inhibitor* Menutupi pigmen lain; warna perak
L Normal hair Rambut pendek l Long hair Rambut panjang o Normal colour Pigmentasi normal
selain orange
O Orange Oranye atau kuning (terpaut seks)
s Normal colour Tanpa daerah putih S Piebald* Dengan daerah putih T Mackerel Pola tabby garis Ta Abyssinian Pola tabby Abyssinian
tb Blotched Pola tabby klasik w Normal colour Ekspresi penuh dari
gen lain
W Dominant white* Warna putih yang menutupi warna lain; iris biru m Normal tail Ekor panjang M Manx* Ekor pendek atau tidak ada;
Metode
Pengambilan gambar kucing dengan cara
road sampling yaitu berjalan pada setiap lokasi yang telah ditentukan (Ratti & Garton 1996). Waktu pengambilan gambar dilakukan antara pukul 07.30-11.00 dan pukul 15.00-17.30 WIB. Pengambilan gambar hanya dilakukan sekali pada setiap ruas jalan untuk menghindari pengulangan. Gambar yang telah
diperoleh dicatat berdasarkan karakter
morfologi meliputi warna, pola warna, panjang rambut, dan panjang ekor. Sebelas lokus diamati berdasarkan karakter morfologi yaitu: A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, o~O, m~M, s~S, Ta~T~tb, w~W. Data dikonversi ke dalam notasi alel yang mengacu pada Wright dan Walters (1980) (Tabel 1 & Lampiran 1). Perhitungan frekuensi alel dilakukan menggunakan metode square root
dan maximum likelihood mengikuti Nozawa et
al. (2004c).
Frekuensi alel untuk gen autosom dihitung dengan metode square root (lokus A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, s~S, Ta~T~tb, w~W). Jumlah individu yang menunjukkan karakter dominan adalah D, sedangkan karakter resesif adalah R, sehingga diperoleh:
Jumlah individu total (n) = D + R
Frekuensi alel resesif (qx): √
Frekuensi alel dominan (px): 1-qx
Standar eror (SE) untuk perhitungan frekuensi alel ditentukan dengan cara:
√ ⁄
Lokus o~O yang terpaut kromosom X, akan menunjukkan tiga macam fenotipe yaitu oranye (a1), tortoiseshell (a2), dan bukan
oranye (a3) dengan jumlah a1+a2+a3=n.
Frekuensi alel dapat ditentukan dengan metode maximum likelihood dengan asumsi perbandingan jantan-betina adalah 1:1, yaitu dengan cara:
Perhitungan standar eror (SE) ditentukan dengan cara:
SE= √ ( )( - ) - ⁄
Ekspresi karakter ekor pendek diduga bersifat poligen, frekuensi alel ekor pendek (qM) dan ekor normal (qm) dalam suatu
populasi dihitung dengan cara:
qM= ⁄
qm= 1-qM
(D= jumlah individu dengan ekor pendek).
Standar eror (SE) ditentukan dengan cara:
SE= √( )⁄
Nilai heterozigositas (h) dan nilai
heterozigositas rataan (Ĥ) yang diperlukan untuk mengetahui keragaman suatu alel dalam suatu populasi dihitung dengan cara:
hi=2n(1-Σxi2)/2n-1 Ĥ Σhi/nh
(hi=nilai heterozigositas lokus i, xi=frekuensi
alel dari lokus i, nh=jumlah lokus yang
diperoleh). Standar eror (SE) untuk kedua nilai tersebut dapat ditentukan berdasarkan Nei (1987) dengan cara:
SEhi= {
[( - )∑xi-[∑xi] ∑xi-(∑xi) ]
( -) }
Diferensiasi genetik (FST) antara populasi
dihitung dengan menggunakan perangkat lunak Arlequin versi 3.5.
HASIL
Tabel 2 Frekuensi alel dan heterozigositas setiap lokus pada populasi kucing di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri
Lokus Alel Frekuensi alel
(q)
*(-) ekor panjang; (+) ekor pendek.
Frekuensi Alel (q) dan Heterozigositas (h) Lokus A~a
Secara keseluruhan tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri memiliki frekuensi alel yang relatif sama untuk lokus ini. Alel A yang mengekspresikan pola agouti memiliki frekuensi sebesar 0.569, sedangkan alel a sebesar 0.431 (Tabel 2). Nilai heterozigositas untuk lokus A~a cukup tinggi yaitu 0.491
Frekuensi alel B yang mengekspresikan warna hitam di tiga kecamatan di Kabupaten wonogiri sangat tinggi yaitu 0.821, dibandingkan dengan frekuensi alel b (Tabel 2). Alel b hanya ditemukan di kecamatan Wonogiri dan Selogiri, dengan frekuensi sebesar 0.169 dan 0.197 (Lampiran 4). Nilai heterozigositas (h) untuk lokus ini yaitu 0.294.
Gambar 2 Chocolate mackerel tabby and white (A-bbC-D-iiS-).
Lokus C~cb~cs~ca~c
Alel C yang mengekspresikan pigmentasi penuh memiliki frekuensi alel yang sangat tinggi yaitu 0.908. Alel cs yang mengekspresikan warna siamese, merupakan satu-satunya alel mutan yang ditemukan pada lokus ini. Alel cs tersebut memiliki frekuensi yang sangat rendah dibandingkan alel C yaitu 0.092. Heterozigositas untuk lokus ini sebesar 0.167 (Tabel 2).
Gambar 3 Seal point (aaB-cscsD-).
Lokus D~d
Secara keseluruhan frekuensi alel D sebesar 0.870. Alel d yang mengekspresikan warna pudar memiliki frekuensi yang rendah yaitu 0.130. Nilai heterozigositas untuk lokus ini yaitu 0.227 (Tabel 2).
Gambar 4 Lilac tabby point (A-bbcscsddll).
Lokus i~I
Alel I yang mengekspresikan warna perak sangat jarang ditemukan di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri, bahkan di kecamatan Ngadirojo sama sekali tidak ditemukan alel I (Lampiran 4). Frekuensi alel I secara keseluruhan yaitu 0.011. Alel i yang mengekspresikan warna selain perak (pigmentasi normal) sangat banyak ditemukan dengan frekuensi sebesar 0.989 dengan nilai heterozigositas sebesar 0.021 (Tabel 2).
Gambar 5 Silver mackerel tabby (A-B-C-D-I-).
Lokus L~l
Alel L yang mengekspresikan rambut pendek memiliki frekuensi sebesar 0.862. Alel l yang mengekspresikan rambut panjang jarang ditemukan di ketiga kecamatan. Frekuensi alel l secara keseluruhan sebesar 0.138. Nilai heterozigositas lokus ini yaitu 0.238 (Tabel 2).
Gambar 6 Solid black (aaB-C-D-ll).
Lokus o~O
Alel O yang mengekspresikan warna oranye di kecamatan Wonogiri, Ngadirojo, dan Selogiri relatif sama, yaitu berturut-turut 0.385, 0.358, dan 0.375 (Lampiran 4). Secara keseluruhan, ketiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri memiliki frekuensi alel O lebih rendah yaitu 0.376 dibandingkan frekuensi alel o. Nilai heterozigositas untuk lokus ini yaitu 0.470 (Tabel 2).
Gambar 7 Kucing dengan ekspresi lokus o~O.
(a) Red mackerel tabby (C-D-iiOT-).
(b) Tortoiseshell (A-B-C-D-iiOoss).
(c) Brown abyssinian tabby
(A-B-C-D-iiooTa).
Lokus s~S
Alel S yang mengekspresikan spot putih (white spoting) memiliki frekuensi sebesar 0.476. Alel s memiliki freuensi sebesar 0.524. Nilai heterozigositas untuk lokus ini cukup tinggi yaitu 0.499 (Tabel 2).
Gambar 8 Black and white (aaB-C-D-iiS-).
Lokus Ta~T~tb
Alel Ta, T, dan tb mengekspresikan pola tabby abyssinian, tabby mackerel, dan tabby blotched. Kecamatan Ngadirojo memiliki frekuensi tertinggi yaitu 0.946 untuk alel T. Sedangkan kecamatan Selogiri memiliki frekuensi alel tertinggi yaitu 0.091 untuk alel Ta (Lampiran 4). Alel tb sangat jarang ditemukan, bahkan di kecamatan Ngadirojo alel tersebut sama sekali tidak ditemukan. Secara keseluruhan alel Ta, alel T, dan alel tb memiliki frekuensi berturut-turut yaitu 0.072, 0.820, dan 0.108, dengan nilai heterozigositas 0.311 (Tabel 2).
(a) (b)
Gambar 9 Kucing dengan ekspresi lokusTa~T~tb.
(a) Red abyssinian tabby and white
(C-D-iiOS-Ta-). (b) Brown mackerel tabby
and white (A-B-C-D-iiS-T-). (c)
Calico Classic Tabby
(A-B-C-D-iiOoS-tbtb).
Lokus w~W
Alel W mengekspresikan warna putih pada rambut kucing. Alel ini hanya ditemukan di kecamatan Selogiri, dengan frekuensi yang sangat rendah yaitu 0.001 (Tabel 2). Frekuensi alel w di ketiga kecamatan sangat tinggi yaitu 0.999. Nilai heterozigositas untuk lokus ini sangat rendah yaitu 0.002 (Tabel 2).
Gambar 10 Solid white (W-L-mm).
Lokus m~M
Alel M mengekspresikan karakter ekor pendek sedangkan alel m mengekspresikan karakter ekor panjang. Frekuensi alel M secara keseluruhan yaitu 0.502, sedangkan alel m memiliki frekuensi sebesar 0.498. Nilai heterozigositas untuk lokus ini yaitu 0.501 (Tabel 2).
Gambar 11 Kucing dengan ekspresi lokus m~M.
(a) Brown abyssinian tabby and white
(A-B-C-D-iiS-Mm). (b) Tortoiseshell
and white (calico)
(A-B-C-D-iiOoS-mm).
Heterozigosit s R t Ĥ
Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) digunakan untuk melihat keragaman kucing di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri. Nilai Ĥ secara keseluruhan di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri untuk 11 lokus yaitu 0.261. Sedangkan nilai Ĥ untuk 9 lokus sebagai pembanding terhadap populasi di Indonesia dan Asia yaitu 0.268 dan 0.295 (Tabel 3).
Tabel 3 Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) di
tiga kecamatan di Kabupaten
Wonogiri pembanding terhadap populasi di Indonesia berdasarkan Nozawa et al. (1983)
**
tanpa lokus B~b dan i~I sebagai pembanding terhadap populasi di Asia berdasarkan Kawamoto et al. (2002).
Diferensiasi genetik (FST)
Hasil perhitungan diferensiasi genetik antara populasi (Wonogiri, Ngadirojo, Selogiri) (FST) setiap lokus ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Diferensiasi genetik (FST) antara
populasi (Wonogiri, Ngadirojo,
nilai FST sebesar 0.030, 0.012, 0.014, 0.023, 0.035. Lokus D~d, o~O, s~S, dan w~W memiliki nilai FST negatif yaitu -0.004, -0.007, -0.005, dan -0.005.
PEMBAHASAN
Frekuensi alel pada 11 lokus
Secara keseluruhan frekuensi alel dari lokus yang diamati yaitu lokus A~a, B~b~bl, C~cb~cs~ca~c, D~d, i~I, L~l, o~O, s~S, Ta~T~tb, w~W masih didominasi oleh tipe liarnya, kecuali lokus m~M. Pada lokus tersebut frekuensi alel mutan lebih tinggi yaitu 0.502, sedangkan frekuensi tipe liarnya yaitu 0.498. Berdasarkan hasil penelitian Noor (2007) menunjukkan bahwa frekuensi alel M (ekor pendek) lebih tinggi yaitu 0.602 dan frekuensi alel m (ekor panjang) lebih rendah yaitu 0.398. Nozawa et al. (1983) menyatakan bahwa karakter ekor pendek merupakan ciri khusus kucing di Asia. Populasi kucing di Thailand, Indo-China, Malay Peninsula dan Indonesia memiliki frekuensi lebih dari 0.500 untuk karakter ekor pendek (Nozawa et al. 2004c).
Frekuensi alel A (agouti) pada lokus A~a di ketiga kecamatan lebih tinggi dibandingkan frekuensi alel a (non-agouti). Data ini didukung dengan hasil penelitian Nozawa et al. (1983) yang menyatakan bahwa kucing di Indonesia memiliki frekuensi alel a yang lebih rendah dan frekuensi alel A yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi kucing di Euro-American dan Jepang.
Frekuensi alel b pada lokus B~b~bl lebih menemukan alel tersebut di Jawa Tengah.
Alel cs pada lokus C~cb~cs~ca~c hanya ditemukan di kecamatan Wonogiri dan Selogiri, dengan frekuensi sebesar 0.092. Alel cs sama sekali tidak ditemukan di Jawa Tengah (Nozawa et al. 1983). Apabila dibandingkan dengan penelitian Lesmana (2008) di Jakarta Timur, Noor (2007) di Bogor, dan Aditya (2006) di Bogor Tengah, memiliki frekuensi alel cs sebesar 0.012, 0.025, dan 0.037 tergolong lebih rendah dari frekuensi alel cs di kecamatan di Kabupaten Wonogiri. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh adanya aliran gen dari hasil perkawinan kucing lokal dengan kucing nonlokal yang berasal dari Eropa dan Amerika (Nozawa 2004b). Selain itu keberadaan alel cs di
kecamatan Selogiri disebabkan adanya breeder yang sengaja memelihara kucing dengan alel tersebut untuk dikembangbiakkan, sehingga terjadi penyebaran alel cs. Berdasarkan hasil penelitian Nozawa et al. (2004a), alel cs yang merupakan alel mutan, muncul di Myanmar diduga berasal dari hasil imigrasi kucing dari Thailand.
Frekuensi alel d yang mengekspresikan warna pudar pada lokus D~d, dan alel I yang mengekspresikan warna perak pada lokus i~I di ketiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri lebih rendah dibandingkan dengan frekuensi tipe liarnya. Menurut Nozawa et al. (1983) Kabupaten Wonogiri. Berdasarkan hasil penelitian Nozawa et al. (1983) di Jawa Tengah, alel tersebut tidak ditemukan.
Frekuensi alel O pada lokus o~O pada kromosom X di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri yaitu 0.376 (Tabel 2). Frekuensi alel O tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Nozawa et al. (1983) di Jawa Tengah yang memiliki frekuensi sebesar 0.306. Penelitian Noor (2007) di Bogor menunjukkan frekuensi alel O lebih tinggi dibandingkan 24 tahun yang lalu yaitu dari 0.236 menjadi 0.351. Nozawa et al. (1983) menyatakan bahwa tingginya frekuensi alel O disebabkan alel tersebut merupakan ciri khusus kucing Asia Timur.
Alel s pada lokus s~S merupakan tipe liar yang bersifat resesif, memiliki frekuensi lebih tinggi yaitu 0.524, dibandingkan dengan alel S. Hasil yang serupa juga diperoleh Noor (2007), tipe liar s memiliki frekuensi lebih tinggi yaitu 0.544, dibandingkan alel mutannya (S).