BAB 5 HASIL DAN KESIMPULAN
5.2. Pembahasan
Gizi merupakan salah satu unsur penting yang harus dipenuhi oleh tubuh.Gizi ini memiliki peranan penting bagi pertumbuhan a nak dan perkembangan otak anak.Pertumbuhan seorang anak dapat diamati dari penilaian status gizi.Pemeriksaan antropometri gizi merupakan suatu parameter kuantitatif yang lazim digunakan sebagai indikator status g izi (Harinda, 2012).
Salah satu program dari Millenium Development Goals adalah mengurangi tingkat kematian balita . Angka kematian balita menggambarkan peluang untuk meninggal pada faseantara kelahiran dan sebelum umur 5 tahun. Ber dasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 dipero leh bahwa angka kematian balita (AKABA) di Sumatera Utara sebesar 67/1000 kelahiran hidup. Sedangkan angka rata-rata nasional pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Prov insi Sumatera Utara, 2008).
Untuk mencapai tujuan tersebut, kita harus tahu bagaimana status gizi balita tersebut berdasarkan kurva WHO 2006 .Data antropometri yang diukur dalam penelitian ini meliputi berat badan dan tinggi badan. Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan akan diplotkan dalam standar z -skor WHO tahun 2006 sesuai dengan usia dan jenis kelamin.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status gizi, salah satu diantaranya adalah tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan dalam kualitas dan kuantitas makanan. Pendapatan yang meningkat akan berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan keadaan gizi. Sedangkan pendapatan yang rendah akan me ngakibatkan lemahnya daya beli . Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan faktor lain yang dapat mempengaruhi status gizi. Pendapatan juga merupankan faktor penting
dalam penyebab timbulnya masalah gizi. Pendapatan keluarga sangat mempengaruhi terhadap konsumsi makan sehari -hari.Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa keluarga yang berpenghasilan rendah dapat mengkonsumsi makanan yang mempunyai nilai gizi baik (Suhardjo, 2003:62).
Berdasarkan hasil penelitian Chandran (2009) yang dilakukan di India, gizi buruk merupakan akibat dan konsekuensi atas tingkat pendapatan orang tua yang merupakan penentu utama status gizi anak pra -sekolah. Studi ini juga menemukan bahwa tingkat pendapatan memiliki korelasi yang kuat terhadap status gizi.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga balita memiliki pendapatan rendah, yaitu berada <Rp 500.000,00 setiap bulannya.Hal ini disebabkan karena keluarga hanya mengandal kan pada pendapatan ayah saja.Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan peneliti di lapangan diketahui bahwa sebagian besar ayah dari keluarga balita bekerja sebagai wiraswasta, beberapa diantaranya sebagai tuk ang becak, tukang parkir, penjual makanan ringan, sehingga memiliki pen ghasilan yang tidak tetap.
Pada penelitian ini status gizi bal ita dilakukan dengan pengukuran antropometri. Pengukuran ini dilakukan di rumah salah satu kader posyandu Kelurahan Aur. Dari hasil penelitian didapati bahwa sebagian besar status gizi berdasarkan indikator TB/U berada pada kategori sangatkurus yaitu berjumlah 1 orang (1.70%) , kurus 3 orang (5.0%) , normal 54 orang (90.0%), dan gemuk 2 orang (3.3%).
Hampir sebagian besar pendapatan orang tua responden berada <Rp500.000,00. Akan tetapi, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi berdasarkan indikator BB/TB balita (90.0%) berada pada kategori normal.Hal ini menunjukkan bahwa dengan tingkat pendapatan yang rendah tidak menutup kemungkinan status gizi anak dapat berada pada kategori normal. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor -faktor lain, misalnya tingkat pendidikan orang tua responden. Rata-rata tingkat pendidikan orang tua responden adalah SMU (Sekolah Menengah Umum), dengan persentase ayah (71.7%) dan ibu (73.3%).
Kondisi pendidikan merupakan salah satu indikator yang sering ditelaah dalammengukur tingkat pembangunan manusia sua tu negara.Melalui
pengetahuan, pendidikan berkontribusi terhadap perubahan pril aku kesehatan. Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merup akan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam mempeng aruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat ( Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2008).
Selain itu, masalah gizi khususnya anak pendek, menghambat perke mbangan anak dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Studi menunjukkan bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang menurun, dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Intervensi untuk menurunkan anak pendek harus dimulai secara tepat sebelum kelahiran, dengan pelayan an prenatal dan gizi ibu, dan berlanjut hingga usia 2 tahun (Unicef, 2012).
Untuk mengatasi masalah gizi, khususnya anak pendek, diperlukan aksi lintas sektoral.Asupan makanan yang tidak memadai dan penyakit merupakan penyebab langsung masalah gizi ibu dan anak karena praktek pemberian makan bay i dan anak yang tidak tepat dan penyakit serta infeksi yang berulang terjadi, perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk (Unicef,2012).
Komisi WHO mengemukakan hasil penelitian mereka bahwa adanya hubungan sinergis antara gizi buruk dan penyakit infeksi (Moehji, 2003). Penelitian yang telah dilakukan Cleveland Clinic Amerika Serikat menunjukkan bahwa pada anak normal usia 1-5 tahun rata-rata mengalami infeksi 7 -8 kali pertahun (Judarwanto, 2005). Menurut penelitian Djunaidi dan Gaudelus dkk tingkat derajat penyakit merupakan predik tor yang signifikan untuk terj adinya kehilangan berat badan >2% (H erry et al 2010 ).
Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan pengasuh anak, penggunaan air yang tidak bersih, lingkungan yang tidak sehat, keterbatasan akses ke pangan dan pendapatan yang rendah (Unicef, 2012).
Masalah kekurangan gizi pada a nak pra-sekolah perlu ditangani secara komprehensif, melalui langkah -langkah preventif, promotif, dan kuratif. Masyarakat perlu dilakukan penyuluhan tentang sanitasi lingkungan, kebersihan, cara pemberian ASI yang tepat serta pola hidup lainnya dalam rangk a
meningkatkan status gizi yang baik melalui pelayanan kesehatan, pendidikan, dan perekonomian (Chandran, 2009).
Merujuk pada laporan Riskesdas 2007 di Sumatera Utara, menunjukkanbahwa balita dengan gizi buruk dan kurang masih merupakan masalahkesehatan masyarakat di Provinsi Sumatera Utara.Lebih lanjut diketahui pulabahwa Provinsi Sumatera Utara bukan hanya berhadapan dengan balita giziburuk dan kurang, tetapi juga balita kurus dan balita pendek (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2008).
Anak pendek lebih banyak berpengaruh terhadap anak miskin.Daerah pedesaan memiliki proporsi yang lebih be sar untuk anak pendek (40% ) dibandingkan dengan daerah perkotaan (33%). Prevalensi anak pendek yang tinggal di rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang tidak berpendidikan adalah 1,7 kali lebih tinggi daripada prevalensi di antara anak -anak yang tinggal di rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berpendidikan tinggi (Unicef,2012).