• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.2 Pembahasan

Gambar 30. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB).

Grafik di bawah ini (Gambar 31) menunjukkan bahwa pH media pemeliharaan rumput laut selama pemeliharaan mengalami fluktuasi setiap minggunya. Pada media pemeliharaan rumput laut perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 terlihat pada minggu ke-4 dan ke-5 menunjukkan nilai pH yang lebih rendah daripada pH media perlakuan lainnya, namun setelah itu pada minggu ke-6 mulai naik dan hampir sama nilainya dengan perlakuan yang lain. Nilai kisaran pH selama pemeliharaan yaitu antara 8,11-8,38.

Gambar 31. pH media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3.

3.2 Pembahasan

Aklimatisasi merupakan suatu proses adaptasi terhadap lingkungan yang baru. Aklimatisasi suatu biota mencakup tahapan: 1) bagaimana mempertahankan biota tetap hidup, 2) bagaimana biota bisa tumbuh, dan 3) bagaimana biota bisa

6 6.5 7 7.5 8 1 7 13 19 25 31 DO ( m g /l) Hari

ke-Sore

95 143 191 238 Kepadatan biomassa awal (g/m3) 8.1 8.15 8.2 8.25 8.3 8.35 8.4 1 2 3 4 5 6 pH Minggu ke-95 143 191 238 Kepadatan biomassa awal (g/m3)

31 berkembangbiak. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa rumput laut pada semua perlakuan kepadatan mampu menyesuaikan diri dengan baik atau mampu beraklimatisasi dengan baik. Nilai tingkat kelangsungan hidup pada semua perlakuan kepadatan mencapai 100%.

Kepadatan biomassa awal yang berbeda (95, 143, 191, dan 238 g/m3) yang diadaptasikan dalam akuarium memiliki jumlah individu dan bobot individu yang bervariasi dan setiap minggunya mengalami pertumbuhan yang bervariasi pula (Lampiran 1). Pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu proses perubahan ukuran (panjang, berat, atau volume) pada periode waktu tertentu (level individu), sedangkan pada level populasi pertumbuhan merupakan perubahan jumlah individu atau biomassa pada periode waktu tertentu (Tang dan Affandi, 2002). Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti lingkungan (unsur hara, suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, substrat, kecepatan arus, kedalaman, kecerahan, dan cahaya), dan faktor internal seperti jenis, ukuran, galur dan umur. Pada hasil terlihat bahwa jumlah biomassa dan bobot individu perlakuan kepadatan biomassa awal rendah dengan jumlah individu yang sedikit akan mendekati jumlah biomassa dan bobot individu dari perlakuan kepadatan biomassa awal tinggi dengan jumlah individu yang lebih banyak. Adapula hasil yang menunjukkan bahwa kepadatan yang tinggi dengan jumlah individu lebih sedikit memiliki biomassa dan bobot individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan rendah dengan jumlah individu yang tinggi. Pertumbuhan yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh jumlah individu dan jumlah cabang atau talus rumput laut yang bervariasi setiap individunya. Setiap individu dan setiap cabang atau talus rumput laut memiliki potensi untuk melakukan pertumbuhan, sehingga bobot individu dan biomassa rumput laut dalam suatu wadah pemeliharaan dapat berbeda. Selain dipengaruhi oleh kepadatan biomassa awal, pertumbuhan dipengaruhi pula oleh jumlah dan banyaknya cabang atau talus rumput laut dalam suatu wadah budidaya.

Pertumbuhan pada penelitian ini terlihat berdasarkan hasil laju pertumbuhan harian, pertambahan biomassa, hasil pertambahan bobot individu, laju pertumbuhan harian individu, pertambahan panjang dan panjang total talus, serta pertambahan diameter pangkal dan diameter tengah talus. Hasil yang

32 didapatkan menunjukkan laju pertumbuhan harian (y) rumput laut memiliki kecenderungan menurun seiring dengan meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) rumput laut mengikuti persamaan y = 4,600–0,2801x (P<0,2) (Gambar 4). Pada pertambahan biomassa, kurva yang terbentuk merupakan kurva kuadratik yang menunjukkan terjadi peningkatan dan penurunan pertambahan biomassa (y) rumput laut seiring meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) rumput laut mengikuti persamaan y = 23,73+54,99x–8,440x2 (P<0,2) (Gambar 6). Terlihat bahwa terjadi peningkatan biomassa dari kepadatan biomassa awal 95 g/m3 sampai pada kepadatan biomassa awal 191 g/m3, dan terjadi penurunan pada kepadatan biomassa awal 238 g/m3. Laju pertumbuhan harian individu (y) rumput laut memiliki kecenderungan semakin menurun seiring dengan meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) rumput laut mengikuti persamaan y = 3,929–

0,1661x (P<0,2) (Gambar 7). Pertambahan diameter pangkal (y) rumput laut memiliki kecenderungan semakin menurun seiring dengan meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) rumput laut mengikuti persamaan y = 0,7883–

0,1317x (P<0,2) (Gambar 14). Nilai laju pertumbuhan harian (Gambar 4) yang diperoleh pada penelitian ini termasuk nilai yang baik, karena diketahui menurut Doty (1973) dalam Purba (1991) bahwa laju pertumbuhan harian rumput laut hasil budidaya berkisar antara 1-5% per hari, dan dengan laju pertumbuhan 2-3% per hari dalam waktu 35 hari. Nilai ini sudah menguntungkan karena tanaman menjadi dua kali lipat dari bobot awal tanam.

Semua rumput laut pada masing-masing perlakuan kepadatan biomassa awal menunjukkan pertumbuhan yang positif setiap minggunya selama pemeliharaan, disebabkan karena selama pemeliharaan rumput laut mampu menyerap nutrisi dengan baik dari perairan atau media pemeliharaan. Kandungan nutrisi yang terbatas di perairan dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan rumput laut. Nutrisi atau nutrien yang dibutuhkan oleh rumput laut ada yang bersifat makro nutrien dan ada yang bersifat mikro nutrien. Nutrien yang bersifat makro diantaranya yaitu nitrogen, fosfor, kalsium, sulfat, magnesium, potassium, dan karbon, sedangkan mikro nutrien yang dibutuhkan berupa Cu, Fe, Si, Mn, Mo, Zn, Na, dan Cl. Nutrien yang paling penting dan sangat dibutuhkan oleh rumput laut adalah nitrogen dan fosfor, yaitu untuk pertumbuhan, reproduksi dan

33 untuk pembentukan cadangan makanan berupa kandungan zat-zat organik seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Nitrogen adalah salah satu unsur utama penyusun sel organisme yaitu dalam proses pembentukkan protoplasma, sedangkan fosfor merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama berfungsi dalam transformasi energi metabolik yang perannya tak dapat digantikan oleh unsur lain (Khul dalam Patadjai (1993)). Sulfat dibutuhkan untuk sintesis protein berupa ikatan sulfat dan produksi polisakarida sulfat (karaginan). Potasium sebagai aktivator enzim, magnesium untuk sintesis klorofil, kalsium untuk pembentukan membran sel dan dinding sel, dan karbon untuk pembentukan karbohidrat (karaginan) (Mamang, 2008).

Nitrogen yang berada di perairan umumnya dalam bentuk nitrat, nitrit, ammonium dan amoniak, sedangkan fosfor yang berada di perairan terdapat dalam berbagai bentuk senyawa fosfat, diantaranya total fosfat dan ortofosfat. Nitrat dimanfaatkan oleh algae untuk metabolisme dengan bantuan enzim nitrat reduktase yang dihasilkannya, sedangkan amoniak biasanya dapat digunakan langsung untuk sintesis asam-asam amino. Kandungan fosfor dalam sel algae mempengaruhi laju serapan fosfat, yaitu berkurang sejalan dengan meningkatnya kandungan fosfat dalam sel. Beberapa algae mampu menyerap fosfat melebihi kebutuhannya dan mampu menyerap fosfat pada konsentrasi yang sangat rendah serta mempunyai enzim alkaline fosfatase yang dapat mengubah total fosfat menjadi ortofosfat yang siap pakai. Hal inilah yang merupakan salah satu sebab cepat habisnya kandungan ortofosfat di perairan (Patadjai, 1993). Berdasarkan tabel 1 dan 2, nutrisi yang paling banyak diserap adalah nitrat dan total fosfat. Penyerapan nutrisi pada perlakuan kepadatan awal 95 g/m3 menunjukkan nilai terbesar (Gambar 16 dan 17), meskipun pada tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa kadar amoniak, total fosfat dan ortofosfat lebih banyak diserap oleh rumput laut pada kepadatan 191 g/m3. Diduga terdapat nitrogen dan fosfor dalam bentuk lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh rumput laut, sehingga menyebabkan pertumbuhan pada perlakuan kepadatan 95 dan 143 g/m3 mengalami pertumbuhan yang baik. Setelah dilakukan analisis proksimat, terlihat bahwa rumput laut dengan kepadatan 95 g/m3 merupakan rumput laut yang paling banyak mengandung nitrogen dan fosfor dalam tubuhnya yang dapat dimanfaatkan untuk

34 melakukan pertumbuhan. Semakin banyak rumput laut menyerap nitrogen dan fosfor, maka semakin banyak jumlah nitrogen dan fosfor yang terdapat didalam rumput laut, dan ini menunjukkan bahwa semakin baik kualitasnya. Selain jumlah nitrogen dan fosfor yang tersedia di perairan, jumlah individu dalam akuarium (Lampiran 1) juga dapat menentukan banyaknya nitrogen dan fosfor yang diserap. Semakin banyak individu dan semakin banyak cabang atau talus rumput laut disuatu wadah pemeliharaan, maka semakin besar tingkat kompetisi dalam melakukan penyerapan terhadap nutrien di perairan.

Melihat hasil yang berbeda nyata pada pertambahan diameter pangkal perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 dengan kepadatan lainnya dan berdasarkan kandungan nitrogen serta fosfor yang paling banyak, maka rumput laut dengan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 merupakankepadatan terbaik yang dapat digunakan dalam aklimatisasi di akuarium. Saat diaklimatisasi ke wadah selanjutnya atau saat dipelihara di laut (pasca aklimatisasi di akuarium) rumput laut 95 g/m3 dapat bertahan dengan baik selama pemeliharaan dibandingkan dengan rumput laut dengan kepadatan biomassa awal yang lainnya. Hal ini disebabkan karena kandungan nitrogen dan fosfor yang lebih banyak tersebut, bukan berdasarkan hasil pertambahan biomassa yang lebih banyak. Jika ditinjau dari efisiensi penggunaan wadah dan penggunaan air laut dalam pemeliharaan terutama untuk skala yang lebih besar, maka kepadatan rumput laut yang dapat digunakan adalah kepadatan biomassa awal 143 dan 191 g/m3.

Nutrien atau unsur hara masuk kedalam tubuh rumput laut dengan cara difusi melalui seluruh bagian permukaan tubuh rumput laut. Proses difusi dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama oleh adanya gerakan air atau arus diperairan. Semakin banyak difusi yang dilakukan, maka akan semakin mempercepat proses metabolisme, sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan rumput laut tersebut. Umumnya rumput laut mengalami peningkatan pertumbuhan setiap minggunya jika dilihat dari biomassanya, namun laju pertumbuhannya akan terus menurun. Menurut Damar et al. (1992), pada 7 hari pertama pemeliharaan merupakan waktu tanaman untuk beraklimatisasi. Selama aklimatisasi inilah rumput laut menyerap nutrisi yang ada di sekitarnya. Setelah masa aklimatisasi terlewati, maka tanaman segera menggunakan energi untuk pertumbuhannya,

35 yaitu membentuk tunas-tunas muda yang tumbuh dengan cepat serta memperbesar diameter talusnya. Semakin padat rumput laut yang dipelihara maka semakin rendah pertumbuhannya. Barraca (1989) dalam Damar et al. (1992) mengemukakan bahwa perbedaan bobot bibit awal yang dipakai akan memberikan perbedaan pertumbuhan pada alga laut yang dibudidayakan. Penambahan berat (bobot) basah pada talus terjadi akibat adanya pertumbuhan dari talus tersebut. Setiap perlakuan memiliki jumlah individu yang berbeda-beda (Lampiran 1) dimana setiap individu rumput laut memiliki bobot, panjang, dan jumlah talus yang berbeda-beda pula. Semakin hari biomassa tanaman semakin besar nilainya dan densitas semakin padat karena tumbuhnya tunas-tunas baru dan cabang yang membesar. Ruang gerak pun semakin sempit, sehingga terjadi persaingan diantara tanaman untuk memperebutkan zat makanan (nutrien) dan cahaya matahari, pernyataan ini didukung pula oleh Yanti (2007). Faktor persaingan dalam memperoleh unsur hara memang merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kecepatan laju pertumbuhan. Semakin besar ukuran tanaman, maka semakin besar pula persaingan dalam memperoleh unsur hara, dan tentu hal itu akan menyebabkan pertumbuhan menjadi terganggu (Damar et al, 1992).

Pertumbuhan dapat meningkat jika media dan lingkungan sekitar pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan atau kisaran yang dapat ditoleransi. Hal ini didukung oleh pernyataan Damar et al. (1992) yang menyatakan bahwa semakin sesuai kondisi lingkungan perairan ditempat budidaya, akan semakin baik pertumbuhannya dan hasil yang diperoleh. Kualitas air yang telah diukur selama pemeliharaan ini menunjukkan nilai yang masih pada kisaran baik. Suhu media pada pagi hari selama penelitian ini berkisar antara 24-290C (Gambar 18), pada siang hari berkisar antara 26-30,90C (Gambar 19), dan pada sore hari berkisar antara 27-310C (Gambar 20). Berbeda dengan suhu rumah kaca yang memiliki kisaran suhu lebih tinggi yaitu pada pagi hari berkisar antara 22,5-30,50C (Gambar 21), pada siang hari berada pada kisaran 29,5-340C (Gambar 21), dan pada sore hari berada pada kisaran 24,5-350C (Gambar 21). Secara umum suhu air ini masih cukup baik dan dapat ditolerir oleh rumput laut. Ambas (2006) menyatakan bahwa suhu perairan sangat penting dalam proses fotosintesis rumput laut. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut E. cottonii adalah berkisar 25-300C. Akan

36 tetapi, Eucheuma sp mempunyai toleransi terhadap suhu antara 24-360C. Suhu erat kaitannya dengan intensitas cahaya matahari, karena semakin tinggi intensitas cahaya matahari yang masuk, maka semakin tinggi suhu air diperairan. Hal ini juga didukung oleh kedalaman dan volume air pada saat pemeliharaan atau saat terpapar cahaya matahari.

Cahaya matahari memiliki peran penting dalam fotosintesis, dimana cahaya digunakan untuk membantu rumput laut dalam proses perombakan bahan anorganik menjadi organik. Semakin tinggi intensitas cahaya yang diterima, maka semakin cepat rumput laut melakukan fotosintesis dan semakin cepat rumput laut tumbuh, sebaliknya ketika tumbuhan tidak mendapatkan cahaya matahari yang cukup maka akan mengurangi bahkan menghambat proses pertumbuhan. Menurut Boney dalam Kadi A (2005), kebutuhan intensitas cahaya matahari marga

Sargassum lebih tinggi dari pada marga algae merah yaitu berkisar 6500 - 7500 lux. Pada penelitian ini, intensitas cahaya matahari pada pagi hari selama pemeliharaan yaitu berkisar antara 2713-21933 lux (Gambar 25), pada siang hari berkisar antara 4410-37400 lux (Gambar 26), sedangkan pada sore hari berkisar antara 117-14913 lux (Gambar 27). Menurut Doty (1971) jika intensitas cahaya yang diterima terlalu tinggi dapat menyebabkan kandungan protein terdegradasi sehingga mengakibatkan pudarnya warna algae merah. Meskipun nilai kisaran intensitas cahaya pada saat penelitian ini cukup tinggi atau >7500 lux, namun masih dapat ditolerasi oleh rumput laut dan digunakan untuk pertumbuhan serta tidak menyebabkan rusaknya talus rumput laut. Jika terjadi kerusakan pada talus rumput laut, maka akan mengurangi kemampuan talus dalam menyerap nutrien ke dalam tubuhnya. Penyerapan nutrien ini didukung oleh gerakan air pada media pemeliharaan yang dibantu oleh aerasi. Selain itu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut (DO) juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pertumbuhan rumput laut.

Salinitas media air laut pada pagi hari selama pemeliharaan berkisar antara 33-37 ppt (Gambar 22), pada siang hari berkisar antara 33-36 ppt (Gambar 23), dan pada sore hari berkisar antara 33-36 ppt (Gambar 24). Salinitas ini terbukti masih baik untuk perkembangan Kappaphycus alvarezii, seperti halnya yang dinyatakan oleh Ambas (2006) bahwa pada rumput laut dapat tumbuh dengan baik

37 pada perairan bersalinitas 30-37 ppt dan menurut Purba (1991) yang menyatakan bahwa salinitas 34,5-38 ppt juga cocok untuk pemeliharaan budidaya rumput laut. pH media air laut selama pemeliharaan berkisar antara 8,11-8,38. Kisaran ini masih dalam kondisi yang baik untuk rumput laut, karena menurut Purba (1991) rumput laut dapat hidup dan tumbuh baik pada kisaran pH 7,3-8,8 (Gambar 31). Menurut Soeseno (1985) dalam Rahman (2004)bahwa perairan yang bersifat basa dapat lebih cepat mendorong proses pembongkaran bahan organik menjadi garam mineral seperti amoniak, nitrat dan fosfat yang akan digunakan oleh tumbuhan air sebagai makanan. Sementara itu, rumput laut juga memerlukan oksigen untuk melakukan respirasi yang didapatkan dari perairan. Oksigen dalam perairan dapat berasal dari difusi udara akibat pengadukan oleh angin, aerasi, hasil fotosintesis tumbuhan air seperti rumput laut, dan suplai air baru atau pergantian air yang airnya cenderung berkadar oksigen lebih besar. Baku mutu oksigen terlarut untuk rumput laut adalah lebih dari 5 mg/l (Sulistijo dan Atmadja, 2008), hal ini berarti jika oksigen terlarut dalam perairan mencapai 5 mg/l maka metabolisme rumput laut dapat berjalan dengan optimal. Oksigen terlarut pagi hari selama pemeliharaan berkisar antara 6,58-8,07 mg/l (Gambar 28), pada siang hari berkisar antara 6,27-7,8 mg/l (Gambar 29), dan pada sore hari berkisar antara 6,07-7,32 mg/l (Gambar 30). Nilai ini menunjukkan bahwa rumput laut berada dalam lingkungan dengan kandungan oksigen terlarut yang melimpah atau tinggi, karena selama pemeliharaan digunakan sistem resirkulasi dan digunakan aerasi, serta dilakukan pula pergantian air dalam dua minggu sekali yang memungkinkan terjadinya difusi udara dan penambahan oksigen dengan baik.

38

Dokumen terkait