i
AKLIMATISASI RUMPUT LAUT
Kappaphycus alvarezii
HASIL
KULTUR JARINGAN DENGAN KEPADATAN YANG
BERBEDA DALAM AKUARIUM DI RUMAH KACA
NIDYA MARISCA
TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii AKLIMATISASI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii HASIL KULTUR
JARINGAN DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA DALAM AKUARIUM DI RUMAH KACA
NIDYA MARISCA C14080035
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
iii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
AKLIMATISASI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii HASIL KULTUR
JARINGAN DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA DALAM AKUARIUM DI RUMAH KACA
adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
Nidya Marisca
iv ABSTRAK
NIDYA MARISCA. Aklimatisasi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan dengan Kepadatan yang Berbeda dalam Akuarium di Rumah Kaca. Dibimbing oleh IRZAL EFFENDI dan ERINA SULISTIANI.
Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan di Indonesia yang memiliki pangsa besar, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Keberhasilan budidaya rumput laut salah satunya dipengaruhi oleh pengunaan bibit rumput laut yang unggul. Ketersediaan bibit unggul dapat dibantu dengan teknik pengembangbiakan melalui kultur jaringan. Bibit hasil kultur jaringan terbiasa hidup dengan air laut steril di dalam botol, selain itu masih belum kuat jika harus dipelihara langsung di laut, dan masih memiliki ukuran yang kecil, sehingga perlu dilakukan aklimatisasi. Aklimatisasi merupakan suatu proses adaptasi terhadap lingkungan yang baru. Aklimatisasi suatu biota mencakup tahapan: 1) bagaimana mempertahankan biota tetap hidup, 2) bagaimana biota bisa tumbuh, dan 3) bagaimana biota bisa berkembangbiak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelangsungan hidup dan pertumbuhan,
serta mendapatkan kepadatan yang optimum rumput laut Kappaphycus alvarezii saat
aklimatisasi di akuarium. Rumput laut diletakkan di dasar akuarium kepadatan
biomassa awal yang berbeda, yaitu 95, 143, 191, dan 238 g/m3. Jumlah individu yang
digunakan 33-137 individu. Individu rumput laut memiliki ukuran dan jumlah talus yang bervariasi. Ukuran panjang bibit awal yang digunakan adalah 1,6-2,2 cm dan bobot 0,15-0,32 g. Rumput laut tersebut diaklimatisasi dalam akuarium kaca (90x30x35 cm, diisi air 81 L) dengan sistem resirkulasi dan pergantian air 50% selama 2 minggu sekali. Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, pertambahan biomassa dan bobot individu, pertambahan diameter pangkal dan tengah talus, pertambahan panjang dan panjang total talus, penyerapan total fosfat, ortofosfat, nitrat, nitrit, dan amoniak di perairan. Penyerapan nitrogen dan fosfor pada talus rumput laut dengan analisis proksimat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumput laut hasil kultur jaringan pada tingkat kepadatan yang berbeda mampu beraklimatisasi dan bertahan hidup dengan baik yaitu dengan tingkat kelangsungan hidup mencapai 100%. Laju pertumbuhan harian, laju pertumbuhan harian individu dan pertambahan diameter pangkal (y) rumput laut menurun seiring dengan meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) rumput laut mengikuti persamaan berturut-turut y = 4,600–0,2801x; y = 3,929– 0,1661x; dan y = 0,7883–0,1317x (P<0,2). Pertambahan biomassa (y) rumput laut
semakin meningkat hingga kepadatan biomassa awal (x) rumput laut 191 g/m3, dan
selanjutnya mengalami penurunan pada kepadatan biomassa awal (x) rumput laut 238
g/m3 mengikuti persamaan y = 23,73+54,99x–8,440x2 (P<0,2). Kepadatan yang
optimum pada penelitian ini adalah rumput laut dengan kepadatan 95 g/m3 jika
ditinjau dari jumlah kandungan nitrogen dan fosfor yang berada dalam rumput laut, sedangkan jika ditinjau dari efisiensi penggunaan wadah dan media air laut, maka
kepadatan rumput laut optimum yaitu pada kepadatan 143 dan 191 g/m3.
v ABSTRACT
NIDYA MARISCA. Acclimatization of Tissue Cultured Seaweed Kappaphycus alvarezii with Different Stocking Density in the Greenhouse Fisheries Aquarium. Supervized by IRZALEFFENDI and ERINA SULISTIANI.
Seaweed is one leading commodity of Indonesian, which has a large market, both domestically and exports. The successful cultivation of seaweed must be support by the use of supreme seeds seaweed. Availability of supreme seeds can be helped with breeding techniques through tissue culture. Seeds produce by tissue culture accustomed alive with sterile sea water in the bottle, beside that the seeds is not strong enough to live at sea directly, and still has a small size, so it needs to be done acclimatization. Acclimatization is the process of adaptation to the new environment. The stages of Acclimatization includes: 1) How to keep biota alive, 2) How can the biota growth, 3) How the biota can breeding.
This research aimed to examine the survival and growth, as well as getting the
optimum density Kappaphycus alvarezii during acclimatization in the aquarium. The
seaweed placed at the base of the aquarium with early biomass density of, 95, 143,
191, and 238 g/m3. The number of individuals were used are 33-137 individuals.
Seaweed has variation in individual size and number of the talus. The length of the seeds were used are 1.6-2.2 cm and weights 0.15-0.32 g. The seaweed were cultivation in the aquarium of 90x30x35 cm filted seawater 81 L with water recirculation systems and water exchange of 50% for 2 weeks once. The parameters were measured during the study i.e., survival rate, specific growth rate, biomass and individual weights, base and middle diameter growth of thallus, length growth and total length of the thallus, the total absorption of phosphate, nitrate, orthophosphate, nitrite, and ammonia in the water. The nitrogen and phosphorus absorption by seaweed thallus were analyzed by with proximate analysis.
Results of the study showed that from seaweed tissue culture at the level of different early density biomass are able to adaptation in the aquarium system and
survive well with rate reaches 100%. The specific growth rate, individual specific
growth rate and base diameter growth of seaweed (y) was decreases parallel with increasing initial biomass density (x) of seaweed followed consecutive equations y =
4.600–0.2801x; y = 3.929–0.1661x; dan y = 0.7883–0.1317x (P<0.2). The growth of
seaweed biomass (y) was increasing up to the initial density biomass (x) of seaweed
191 g/m3, and then decline in initial density biomass (x) of seaweed 238 g/m3 follows
the y = 23.73+54.99x–8.440x2
(P<0.2).
Based on the highest level of nitrogen and phosphorus contens in seaweed, the
optimum density is 95 g/m3, while based on the space efficiency and sea water
medium, the optimum density is 143 and 191 g/m3.
iv
LEMBARPENGESAHAN
Judul : Aklimatisasi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Hasil
Kultur Jaringan dengan Kepadatan yang Berbeda dalam
Akuarium di Rumah Kaca
Nama Mahasiswa : Nidya Marisca
Nomor Pokok : C14080035
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya
Departemen : Budidaya Perairan
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Irzal Effendi, M.Si Ir. Erina Sulistiani, M.Si
NIP.19640330 198903 1 003 NIP. 19680308 200701 2 002
Diketahui,
Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr. Sukenda
NIP. 19671013 199302 1 001
v KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul
“Aklimatisasi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan dengan Kepadatan yang Berbeda dalam Akuarium di Rumah Kaca” dapat diselesaikan
dengan baik.
Penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Ir. Irzal Effendi, M.Si dan Ir. Erina Sulistiani, M.Si yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan selama penyusunan skripsi penelitian ini, Dosen
Penguji Tamu Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., dan Komisi Pendidikan
Ir. Dadang Shafruddin, MS., serta Dr. Sukenda selaku Pembimbing
Akademik.
2. SEAMEO BIOTROP yang menyediakan fasilitas penelitian serta
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan kegiatan
penelitian. Staff dan karyawan Laboratorium Kultur Jaringan Services
Laboratory SEAMEO BIOTROP (Pak Syamsul, S.Si, Pak Dede, Teh Rina,
Pak Iwan, dan Pak Iyus) serta Laboratorium Air dan Udara (Mbak Gita, Pak
Uus, Pak Dika).
3. Melati, Widayati, Aminah, Erriza, Riska, Fatima, Adithia, Randi, Joseph,
dan teman-teman BDP 45 lainnya, serta kakak kelas Fristy R. dan Hedra A.
yang telah memberikan dukungan, semangat, dan bantuan persiapan wadah,
sampling, pengukuran kualitas air, pergantian air, dan pengolahan data, serta
kebersamaannya dalam penyusunan skripsi ini.
Skripsi ini dipersembahkan untuk kedua orang tua Siti Maryani dan Naih
yang selalu memberikan doa, dukungan moral maupun material. Adik-adik
Natasha Dara Marsheila, Satria Ikrar Aulia, Anisa Gadis Ramadhani, dan Nasywa
Munnyka Sandra yang telah mendukung dan membantu dalam skripsi penelitian
ini.
Semoga skripsi penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Februari 2013
vi RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada 12 Juni 1990, dan merupakan anak
pertama dari lima bersaudara pasangan Naih dan Siti Maryani. Penulis
menyelesaikan pendidikan di TK Sejahtera pada 1996 dan melanjutkan ke tingkat
sekolah dasar di SD Negeri Kebon Pedes 1 Bogor. Tahun 2002 penulis
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 5 Bogor, dan pada 2005 di SMA Negeri 2
Bogor. Tahun 2008 Penulis diterima sebagai mahasiswi di Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan mengikuti masa
Tingkat Persiapan Bersama (TPB), dan pada 2009 masuk di Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi dan kepanitiaan di kampus
selama masa perkuliahan. Beberapa kepanitian yang pernah diikuti Penulis adalah
Fieldtrip Oseanografi Umum dan Biologi Laut sebagai Anggota Divisi Medis,
Pekan Olah Raga Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (PORIKAN) IPB sebagai
Anggota Divisi Konsumsi, Buka Bersama FPIK IPB (Pari Hitam) sebagai anggota
Divisi Publikasi dan Dekorasi. Organisasi yang pernah diikuti oleh Penulis yaitu
HIMAKUA (Himpunan Mahasiswa Akuakultur) dan Penulis menjadi Sekretaris
Divisi ORKES (Olah Raga dan Kesenian) dari 2011-2012.
Selama mengikuti perkuliahan, Penulis pernah melakukan praktik magang
pembenihan dan pembesaran ikan kerapu tikus Cromileptes altivelis di CV. Laut
Biru Persada, Tanjung Putus, Lampung pada 2010. Penulis juga melakukan
praktik kerja lapangan pembesaran udang vaname Litopenaeus vannamei pada
2011 di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB),
Karawang, Jawa Barat.
Prestasi yang pernah dicapai oleh Penulis yaitu lolos pendanaan DIKTI pada
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) untuk kategori PKM-P Tahun 2010 dan
PKM AI Tahun 2011. Penulis juga memperoleh Beasiswa Bantuan Mahasiswa
vii
2.3 Persiapan Ruangan, Wadah, dan Air ... 5
2.4 Pemeliharaan Rumput Laut ... 6
2.5 Pengamatan ... 7
2.5.1 Tingkat Kelangsungan Hidup ... 8
2.5.2 Pertambahan Bobot, Biomassa, dan Laju Pertumbuhan Harian .... 8
2.5.3 Pertambahan Panjang dan Pertambahan Panjang Total Talus... 9
2.5.4 Pertambahan Diameter Talus ... 9
2.5.5 Penyerapan Nitrogen ... 10
2.5.6 Penyerapan Fosfor ... 10
2.6 Analisis Data ... 11
III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12
3.1 Hasil ... 12
3.1.1 Morfologi dan Kelangsungan Hidup ... 12
3.1.2 Laju Pertumbuhan Harian dan Pertambahan Biomassa ... 12
3.1.3 Laju Pertumbuhan Harian Individu dan Pertambahan Bobot ... 14
3.1.4 Pertambahan Panjang dan Pertambahan Panjang Total Talus .... 16
3.1.5 Pertambahan Diameter Pangkal dan Diameter Tengah Talus .... 18
3.1.6 Penyerapan Nitrogen ... 20
3.1.7 Penyerapan Fosfor ... 21
3.1.8 Suhu, Salinitas, Intensitas Cahaya, pH, dan DO ... 22
x DAFTAR TABEL
Halaman
1. Penyerapan nitrat, nitrit, dan amoniak oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ... 20
xi DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan ... 5
2. Individu rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan ... 6
3. Rumput laut Kappaphycus alvarezii awal dan akhir pemeliharaan pada setiap perlakuan kepadatan biomassa awal (A) 95 g/m3, (B) 143 g/m3, (C) 191 g/m3, (D) 238 g/m3 ... 12
4. Laju pertumbuhan harian rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ... 13
5. Biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ... 13
6. Pertambahan biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ... 14
7. Laju pertumbuhan harian individu rumput laut Kappaphycus alvarezii
pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ... 15
8. Bobot individu rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ... 15
9. Pertambahan bobot individu rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ... 16
10. Panjang talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ... 17
11. Pertambahan panjang talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ... 17
xii 13. Pertambahan panjang total talus rumput laut Kappaphycus alvarezii
pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ... 18
14. Pertambahan diameter pangkal talus rumput laut Kappaphycus alvarezii
pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ... 19
15. Pertambahan diameter tengah talus rumput laut Kappaphycus alvarezii
pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ... 20
16. Penyerapan nitrogen oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ... 21
17. Penyerapan fosfor oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ... 22
18. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB) ... 23
19. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB) ... 23
20. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB) ... 24
21. Suhu rumah kaca pada pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi, siang, dan malam hari ... 24
22. Salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB) ... 25
23. Salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB) ... 25
xiii 25. Intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut
Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB) ... 26
26. Intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut
Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB) ... 27
27. Intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut
Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB) ... 28
28. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB) ... 28
29. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB) ... 29
30. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB) ... 30
xiv DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Jumlah individu dan bobot individu rumput laut Kappaphycus alvarezii
yang digunakan selama pemeliharaan ... 43
2. Fasilitas percobaan : (A) rumah kaca, (B) susunan akuarium, (C) sistem
resirkulasi dan komponennya….……….……….……….44
3. Biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan selama 7 minggu pemeliharaan ... 45
4. Panjang talus rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ... 46
5. Panjang total talus rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ... 47
6. Kadar total fosfat, ortofosfat, nitrat, nitrit, dan amoniak media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 ... 48
7. Laju pertumbuhan harian rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan selama 7 minggu pemeliharaan ... 49
8. Pengukuran panjang, panjang total, diameter pangkal, dan diameter tengah rumput laut Kappaphycus alvarezii ... 50
9. Standar pengukuran nitrogen pada rumput laut Kappaphycus alvarezii
(Kjeldhal Method) (Aoac, 1980) ... 51
10. Prosedur pengukuran fosfor pada rumput laut Kappaphycus alvarezii
(Wet Ashing) L.L.Reitz, W. H. Smith, and M. P. Plumlee, Animal Science Department, Purdue University, West Lafayette,Ind ... 52
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumput laut adalah tanaman yang termasuk dalam suatu kelompok yang
dikenal dengan alga dan kelompok tanaman ini tidak dapat dibagi menjadi batang,
akar, dan daun (Duddington dalam Kurniawan, 2006). Tumbuhan ini memiliki
bentuk yang hampir sama secara keseluruhan, bentuk-bentuk yang mirip itu
dikenal dengan istilah talus (Aslan, 1991). Rumput laut termasuk ke dalam
Kingdom: Plantae, Kelas: Rhodophyceae, Ordo: Gigartinales, Famili: Solireacea,
Genus: Eucheuma, Spesies: Eucheuma cottonii atau Kappaphycus alvarezii (Doty,
1985). K. alvarezii memiliki talus silindris, licin, cartilogeneus, dan memiliki
percabangan ke berbagai arah (Atmadja et al, 1996). Rumput laut merupakan
salah satu komoditas unggulan perikanan di Indonesia. Sesuai dengan kebijakan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menargetkan Indonesia
menjadi produsen produk perikanan terbesar di dunia tahun 2015, rumput laut
merupakan komoditas yang paling diharapkan untuk memenuhi target tersebut.
Hal ini disebabkan rumput laut dapat dibudidayakan secara masal dan meluas dan
dapat dilakukan oleh segenap masyarakat. Rumput laut dapat dimanfaatkan untuk
bahan baku industri, komestik, kesehatan dan obat-obatan. Pemerintah
memproyeksikan pada tahun 2013 produksi rumput laut mampu mencapai 7 juta
ton (berat basah) dan mencapai 10 juta ton (berat basah) pada 2014. Pada 2011,
produksi rumput laut secara keseluruhan mencapai 4.305.027 ton (KKP, 2012).
Jumlah ini melebihi produksi tahun sebelumnya yaitu 3.082.113 ton (Cocon,
2011). Nilai tersebut menjadi salah satu indikator bahwa menuju target 10 juta ton
(berat basah) pada 2014 sangat optimis untuk dicapai.
Pada 2010 kebutuhan rumput laut Eucheuma cottonii atau Kappaphycus
alvarezii dunia mencapai 274.100 ton (berat kering), dan Indonesia mempunyai
peluang memberikan kontribusi ekspor sebesar 80.000 ton (berat basah) atau
sekitar 29,19% (BPPT dan ISS dalam Cocon, 2011). Peningkatan produksi
rumput laut nasional diiringi pula oleh peningkatan volume dan nilai ekspor
rumput laut Indonesia ke berbagai negara tujuan utama seperti Cina, Filipina,
2 dalam kurun waktu 2005 sampai dengan 2010 secara umum mengalami kenaikan.
Pada 2010 volume ekspor rumput laut Indonesia (rumput laut kering, karaginan
dan agar) mencapai 126.177,5 ton meningkat sebesar 34% dari tahun sebelumnya
yang mencapai angka 94.003 ton (Statistik Ekspor-Impor Produk Perikanan dalam
Cocon, 2011).
Keberhasilan budidaya rumput laut tidak lepas dari beberapa faktor seperti
lingkungan, kualitas bibit, metode yang digunakan, ketersediaan nutrisi, dan
kepadatan atau bobot awal dalam pemeliharaan. Penggunaan bibit rumput laut
yang unggul diharapkan bisa mendapatkan hasil panen yang baik dan produksi
yang tinggi. Ketersediaan bibit sering menjadi kendala pada musim-musim
tertentu, seperti musim hujan. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, dapat
dibantu dengan teknik pengembangbiakan melalui kultur jaringan. Kultur jaringan
merupakan suatu metoda dalam mengisolasi bagian dari tanaman (pada rumput
laut adalah talus) serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik dalam
wadah tertutup, sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan
bergenerasi menjadi tanaman lengkap kembali seperti induknya (Gunawan, 1987).
Pada kultur jaringan, eksplan dapat beregenerasi menjadi embrio somatik
setelah ditanam pada media tumbuh (agar). Embrio somatik dapat terbentuk
melalui dua cara, yaitu secara langsung maupun tidak langsung melewati fase
kalus (Gaj, 2001). Embriogenesis somatik yaitu proses terbentuknya embrio
somatik, embrio yang terbentuk bukan dari zigot tetapi dari sel biasa tubuh
tanaman (Gunawan, 1987). Embriogenesis somatik merupakan suatu proses
dimana sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk
tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui
fusi gamet (Hamama et al, 2001). Keunggulan teknik kultur jaringan adalah
perbanyakan secara berkesinambungan dan berkualitas tinggi, mempunyai sifat
yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar
dengan waktu yang singkat, memudahkan dalam transportasi ke suatu tempat,
kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, serta bibit dapat tumbuh dengan cepat
(Anonim, 2010). Dengan menggunakan botol kaca bibit didistribusikan ke seluruh
3 Bibit rumput laut hasil kultur jaringan berasal dari talus berukuran 2-3 cm
yang dikultur dalam botol kaca selama 2 bulan. Media yang digunakan terdiri dari
agar, air laut steril dan Provasoli Enriched Seawater (PES) steril. Pemeliharaan
dilakukan hingga menghasilkan kalus atau sel yang belum terorganisir menjadi
jaringan yang kemudian berkembang menjadi talus atau individu baru. Individu
rumput laut hasil kultur jaringan tersebut masih berukuran kecil dan sangat
bervariasi jumlah percabangannya. Panjang rata-rata talus berkisar 1,6–2,2 cm dan
bobot 0,15-0,32 g. Bibit-bibit tersebut tidak bisa langsung dipelihara di lapangan
atau di laut, melainkan terlebih dahulu diadaptasikan melalui proses aklimatisasi
di akuarium (skala laboratorium di indoor) dan bak (skala besar di outdoor), lalu
kemudian dipelihara di laut, atau dapat langsung dibudidayakan di laut setelah
diaklimatisasi di akuarium. Rumput laut hasil kultur jaringan terbiasa hidup
dengan air laut steril di dalam botol, sehingga perlu aklimatisasi untuk dipelihara
di laut. Selain itu rumput laut tersebut masih belum kuat atau masih rentan dan
masih memiliki ukuran yang terlalu kecil untuk dipelihara langsung di laut. Untuk
itu perlu mengaklimatisasikan atau membiasakan bibit hidup di media air laut
yang tidak steril di akuarium selama kurang lebih 7 minggu.
Kondisi lingkungan yang digunakan dalam proses aklimatisasi tersebut
dibuat terkendali dan sesuai dengan kebutuhan rumput laut, antara lain dalam
akuarium di rumah kaca. Rumah kaca merupakan bangunan dengan struktur yang
tertutup oleh bahan transparan yang tembus cahaya sehingga lingkungan di
dalamnya dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman (Murniwaty, 2008).
Rumput laut yang dibudidayakan di rumah kaca memiliki beberapa keunggulan
yaitu salah satunya dapat dijadikan sebagai bibit dasar untuk budidaya skala besar
selanjutnya di lapangan. Untuk proses aklimatisasi di akuarium diperlukan
informasi dasar. Sejauh ini masih belum diketahui kepadatan biomassa awal bibit
rumput laut yang baik (optimum) dalam aklimatsisasi tersebut terkait dengan
carrying capacity wadah pemeliharaan. Carrying capacity atau daya dukung
lingkungan merupakan kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan
mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang (Anonim,
2012). Untuk itu perlu dipastikan kepadatan yang optimum dalam wadah
4 Pertumbuhan yang baik akan dicapai jika rumput laut mendapatkan nutrisi
yang cukup dari lingkungannya. Nutrisi yang baik untuk pertumbuhan rumput laut
adalah nitrogen dan fosfor. Nitrogen yang berada di perairan umumnya dalam
bentuk nitrat, nitrit, ammonium dan amoniak, sedangkan fosfor yang berada di
perairan dalam berbagai bentuk senyawa fosfat, diantaranya total fosfat dan
ortofosfat. Umumnya unsur fosfor diserap dalam bentuk ortofosfat, sedangkan
nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit dan ammonium (Dawes dalam
Kurniawan, 2006). Ketika jumlah nutrisi yang terdapat di lingkungan sedikit atau
terbatas, maka sedikit pula nutrisi yang diserap oleh rumput laut. Hal ini akan
menyebabkan rendahnya pertumbuhan rumput laut atau bahkan menghambat dan
menurunkan pertumbuhan. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh
Bujang (2012) (belum dipublikasi) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian
rumput laut hasil kultur jaringan yang diaklimatisasikan pada akuarium di rumah
kaca dengan biomassa awal 95 g/m3 atau 10 g/105 l air laut dengan sistem
resirkulasi tanpa pergantian air adalah sebesar 2,73% per hari. Nilai tersebut
diduga karena kurang atau sedikitnya nutrisi di dalam air dan perlu adanya
penambahan nutrisi kedalamnya yaitu dengan melakukan pergantian air.
1.2 Tujuan dan Manfaat
Menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan rumput laut
(Kappaphycus alvarezii) hasil kultur jaringan pada kepadatan biomassa awal yang
berbeda (95, 143, 191, dan 238 g/m3) dalam akuarium dengan sistem resirkulasi.
Mendapatkan kepadatan biomassa awal optimum untuk aklimatisasi bibit rumput
laut di akuarium dengan sistem resirkulasi dan pergantian air 50% dalam waktu
5
II. BAHAN DAN METODE
2.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai Juli-September 2012, di SEAMEO
BIOTROP yang terletak di KM 6 Bogor, Jl Raya Tajur, Bogor Jawa Barat.
Penelitian berlangsung dalam rumah kaca Laboratorium Kultur Jaringan.
2.2 Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak lengkap (RAL).
Rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan dipelihara selama 7
minggu atau 49 hari dengan kepadatan biomassa awal yang berbeda dalam
akuarium dengan sistem resirkulasi, yakni 95, 143, 191, dan 238 g/m3 atau 10, 15,
20, dan 25 g/105 L. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Jumlah rata-rata
individu bibit rumput laut yang digunakan berkisar 33-137 individu (rumpun)
(Lampiran 1). Rumput laut yang digunakan berukuran panjang 1,6–2,2 cm dan
bobot 0,15-0,32 g diletakkan di dasar akuarium.
Gambar 1. Rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan.
2.3 Persiapan Ruangan, Wadah dan Air
Rumah kaca terdiri atas beberapa komponen seperti dinding, lantai semen,
serta atap bertingkat dilapisi oleh kanopi. Atap terbuat dari bahan transparan
sehingga bisa ditembus oleh sinar matahari.
Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan rumput laut adalah akuarium
kaca sebanyak 12 unit dengan ukuran 90x30x35 cm, sedangkan wadah yang
digunakan sebagai filter berupa akuarium kaca berukuran 80x45x50 cm sebanyak
6 Saluran inlet pada akuarium berupa pipa PVC ½ inci yang dibuat sejajar
dan diletakkan di tengah tiap akuarium dengan diberi lubang berdiameter 0,5-0,8
cm sebanyak 2 unit, sedangkan saluran outlet berupa pipa PVC ½ inci yang
dilengkapi dengan keran untuk tiap akuariumnya. Setiap sistem resirkulasi terdiri
dari 3 unit akuarium budidaya dan 1 unit akuarium filter, serta dilengkapi dengan
1 unit talang air. Sistem resirkulasi filtrasi ini digunakan untuk mengurangi
kotoran dan menjernihkan air agar cahaya mudah diterima oleh rumput laut, untuk
pasokan oksigen, serta untuk mengurangi pertumbuhan lumut yang berlebihan
yang dapat mengganggu rumput laut untuk hidup. Setiap akuarium diberi aerasi
untuk menambah gerakan air yang dapat membantu rumput laut dalam menyerap
nutrien secara difusi dan menyuplai oksigen di perairan.
Media pada pemeliharaan adalah air laut, yang diisi ke dalam akuarium
sebanyak 81 liter dan ke dalam tiap wadah filter sebanyak 72 liter, sehingga total
air yang digunakan untuk pemeliharaan rumput laut pada setiap sistem resirkulasi
(3 akuarium budidaya dan 1 akuarium filter) (Lampiran 2) sebanyak 315 liter. Air
dari wadah filter dipompa ke akuarium dan disalurkan melalui pipa inlet dengan
debit air 0,26 liter/detik. Air yang keluar dari saluran outlet kemudian dialirkan
melalui talang air dan selang ke wadah filter, yang dimulai dengan filter fisik
berupa kapas, karang, dan filter kimia berupa arang aktif, kemudian kapas lagi,
lalu filter biologi berupa bioball.
2.4 Pemeliharaan Rumput Laut
Rumput laut Kappaphycus alvarezi hasil kultur jaringan yang memiliki
karakteristik tidak terdapat bercak, tidak terkelupas, talus elastis dan memiliki
jumlah cabang yang bervariasi, serta memiliki pangkal yang lebih kecil dari
cabangnya, ujungnya berbentuk lurus.
7 Rumput laut dipelihara dalam akuarium kaca dengan kepadatan biomassa
awal berbeda yaitu 95, 143, 191, dan 238 g/m3. Jumlah rumpun yang digunakan
berkisar 33-137 individu. Rumput laut disebar atau dasar untuk memudahkan
rumput laut dalam bergerak dan menyerap nutrisi dari air laut. Sistem yang
digunakan yaitu sistem resirkulasi dan pergantian air sebanyak 50% yang
dilakukan satu kali dalam dua minggu. Sampling bobot individu, biomassa,
panjang dan panjang total talus individu dilakukan setiap minggu. Pengukuran
diameter pangkal, diameter tengah talus, dan jumlah individu dilakukan pada awal
dan akhir pemeliharaan.
Salinitas air laut yang digunakan diupayakan pada kisaran 33-35 ppt. Jika
salinitas mengalami kenaikan, dilakukan penambahan akuades sehingga kembali
ke nilai semula. Suhu air pada media pemeliharaan diharapkan berada pada
kisaran 24-30 0C. Nilai pH pada media pemeliharaan diupayakan selalu dalam
kisaran 7,3-8,8. Rumput laut membutuhkan oksigen untuk melakukan respirasi.
Oksigen terlarut yang baik untuk rumput laut adalah >5 mg/l. Nilai tersebut dapat
diperoleh dari difusi udara, pergantian air, hasil fotosintesis, dan aerasi.
2.5 Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah biomassa rumput
laut (Lampiran 3), bobot individu rumput laut, panjang talus (Lampiran 4) dan
panjang total talus (Lampiran 5) yang dilakukan setiap minggu. Pengamatan
diameter pangkal dan diameter tengah talus diamati saat awal dan akhir
pemeliharaan. Pengamatan suhu, salinitas, intensitas cahaya, dan oksigen terlarut
dilakukan langsung pada media pemeliharaan setiap harinya. Pengukuran pH
media pemeliharaan dilakukan setiap minggu. Pengukuran kadar total fosfat,
ortofosfat, nitrat, nitrit, dan amoniak dalam wadah pemeliharaan dilakukan pada
awal pemeliharaan, sebelum dan setelah ganti air, serta pada akhir pemeliharaan
(Lampiran 6) di Laboratorium Air dan Udara SEAMEO BIOTROP. Hal ini
dilakukan untuk melihat jumlah nutrisi yang berada diperairan, serta nutrisi mana
yang lebih banyak diserap oleh rumput laut beserta jumlahnya. Analisis proksimat
dilakukan pada akhir pemeliharaan untuk melihat jumlah N dan P yang terserap
8 Laboratorium Nutrisi Pakan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi Teknologi
Peternakan, Fakultas Perternakan, Institut Pertanian Bogor. Berikut diuraikan
lebih lanjut.
2.5.1 Tingkat Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) merupakan
perbandingan antara jumlah total individu rumput laut yang hidup pada akhir
percobaan (Ni) dengan jumlah total individu rumput laut yang ditebar pada awal
percobaan (No). Setiap individu rumput laut memiliki berbagai ukuran dan jumlah
talus atau percabangan.
SR = Ni
No × 100 %
Keterangan :
SR = Survival rate (tingkat kelangsungan hidup) (%)
Ni = Total individu rumput laut yang hidup pada akhir percobaan (individu)
No = Total individu rumput laut yang hidup pada awal percobaan (individu)
2.5.2 Pertambahan Bobot, Biomassa dan Laju Pertumbuhan Harian
Pertambahan bobot atau biomassa didapatkan dari hasil selisih antara
bobot atau biomassa akhir dengan bobot atau biomassa awal pemeliharaan. Data
bobot rumput laut diperoleh dengan mengambil sampel individu yang telah
ditandai pada masing-masing perlakuan untuk kemudian ditiriskan hingga tidak
ada air yang menetes dan menimbangya serta mencatat hasilnya. Data biomassa
rumput laut diperoleh dengan mengambil semua rumput laut yang ada pada
akuarium, kemudian ditiriskan hingga tidak ada air yang menetes. Rumput laut
tersebut kemudian ditimbang dengan timbangan digital (merk ACIS) dan dicatat
nilai biomassanya. Penimbangan dilakukan di tempat teduh yang terlindungi dari
sinar matahari langsung, untuk menjaga agar rumput laut tidak kekeringan dan
mengalami kerusakan. Laju pertumbuhan harian (α) (Lampiran 7) dapat dihitung
dari nilai bobot atau biomassa yang diperoleh selama waktu tertentu
9
α = (( ln Wt – ln Wo )/t) x 100%
Keterangan :
Wt = bobot atau biomassa basah rumput laut pada waktu t (gram)
Wo = bobot atau biomassa basah sebelumya atau awal (gram)
t = waktu pengamatan (hari)
2.5.3 Pertambahan Panjang Talus dan Pertambahan Panjang Total Talus Pertumbuhan rumput laut dapat diukur pula dari nilai pertambahan
panjang talus dan pertambahan panjang total talus. Data panjang dan panjang total
talus diperoleh dengan mengambil individu yang telah ditandai dan mengukurnya
menggunakan penggaris setiap minggu. Panjang talus diukur mulai dari pangkal
cabang pertama hingga ujung cabang talus, sedangkan panjang total talus diukur
mulai dari pangkal utama talus hingga ujung cabang talus (Lampiran 8).
Pertambahan panjang talus atau panjang total talus dapat diukur dengan
menghitung selisih panjang atau panjang total pada waktu t dengan panjang atau
panjang total awal. Pernyataan ini dirumuskan sebagai berikut :
∆L = Lt– Lo Keterangan:
∆L = Pertambahan panjang talus atau panjang total talus (cm) Lt = Panjang atau panjang total pada waktu t (cm)
Lo = Panjang atau panjang total awal (cm)
2.5.4 Pertambahan Diameter Talus
Pertumbuhan rumput laut dapat diukur pula dari nilai pertambahan
diameter talus rumput laut. Pengukuran diameter talus ini dilakukan pada dua
bagian yaitu bagian pangkal talus atau terbawah percabangan dan pada bagian
bagian terbesar talus (Lampiran 8). Pertambahan diameter talus didapatkan dari
selisih diameter akhir dengan diameter awal. Data diameter pangkal dan diameter
tengah (terbesar) diperoleh dengan cara mengukur menggunakan jangka sorong
pada awal dan akhir pemeliharaan. Berikut merupakan rumus pertambahan
10 ∆D = Dt – Do
Keterangan:
∆D = Pertambahan diameter pangkal atau tengah (terbesar) talus (mm) Dt = Diameter pangkal atau tengah (terbesar) talus pada waktu t (mm)
Do = Diameter pangkal atau tengah (terbesar) talus awal (mm)
2.5.5 Penyerapan Nitrogen
Nitrogen yang berada di perairan umumnya dalam bentuk nitrat, nitrit dan
amoniak. Penyerapan nitrogen oleh rumput laut dapat dilihat dari hasil
pengukuran kualitas air dan analisis proksimat. Jumlah nitrogen (nitrat, nitrit, dan
amoniak) yang diserap diperoleh dari selisih kadar nitrogen (nitrat, nitrit, dan
amoniak) setelah pergantian air ([N]t) dengan sebelum pergantian air ([N]o) dibagi
biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii (W). Tanda mutlak (| |)
menunjukkan bahwa nilai yang diserap selalu positif. Dalam hal ini diasumsikan
tidak ada organisme lain yang terdapat dalam wadah budidaya, kecuali
Kappaphycus alvarezii. Berikut merupakan rumus untuk menghitung nitrogen
(nitrat, nitrit, dan amoniak) yang diserap berdasarkan pengukuran kualitas air
(Sinaga, 2010):
N yang diserap (mg/g) = | [N]t - [N]0 | x 1 kg
W (g)
Penyerapan nitrogen oleh talus rumput laut berdasarkan hasil analisis
proksimat (analisis kandungan nitrogen) dengan metode Kjeldahl (Lampiran 9)
yaitu dengan perhitungan sebagai berikut : sejumlah rumput laut melalui analisis
proksimat akan diketahui jumlah N yang terkandung didalamnya. Setelah itu
dilakukan perhitungan (Zhou et. al 2006) :
N uptake (µmol/g/hari) = LPH (%/hari) x N tissue (g/100g)
100
2.5.6 Penyerapan Fosfor
Fosfor yang berada di perairan sering melimpah dalam berbagai bentuk
11 rumput laut dapat dilihat dari hasil pengukuran kualitas air dan analisis proksimat.
Jumlah fosfor (total fosfat dan ortofosfat) yang diserap diperoleh dari selisih kadar
fosfor (total fosfat dan ortofosfat) setelah pergantian air ([P]t) dengan sebelum
pergantian air ([P]o) dibagi biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii (W).
Tanda mutlak (| |) menunjukkan bahwa nilai yang diserap selalu positif. Dalam hal
ini diasumsikan tidak ada organisme lain yang terdapat dalam wadah budidaya,
kecuali Kappaphycus alvarezii. Berikut merupakan rumus untuk menghitung
fosfor (total fosfat dan ortofosfat) yang diserap berdasarkan pengukuran kualitas
air (Sinaga, 2010):
P yang diserap (mg/g) = | [P]t - [P]0 | x 1 kg
W (g)
Penyerapan fosfor oleh talus rumput laut berdasarkan hasil analisis
proksimat (analisis kandungan fosfor) (Lampiran 10) dengan menggunakan
spektrofotometer yaitu dengan perhitungan sebagai berikut : sejumlah rumput laut
melalui analisis proksimat akan diketahui jumlah P yang terkandung didalamnya.
Setelah itu dilakukan perhitungan (Zhou et. al 2006) :
P uptake (µmol/g/hari) = LPH (%/hari) x P tissue (g/100g)
100
2.6 Analisis Data
Parameter yang diuji secara statistik adalah tingkat kelangsungan hidup
rumput laut, laju pertumbuhan harian rumput laut, pertambahan biomassa rumput
laut, pertambahan bobot individu rumput laut, pertambahan diameter pangkal dan
pertambahan diameter tengah (terbesar) talus, pertambahan panjang dan
pertambahan panjang total talus rumput laut, serta penyerapan nitrogen dan fosfor.
Data penyerapan nitrogen dan fosfor dianalisis secara deskriptif. Data yang
diperoleh diolah pada Microsoft Excel 2007 dan dianalisis dengan menggunakan
ragam ANOVA pada selang kepercayaan 80% dan program SPSS 17.0 serta
12 III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Morfologi dan Kelangsungan Hidup
Pada akhir percobaan, warna rumput laut terlihat lebih muda (hijau muda)
dibandingkan dengan saat awal penanaman yang tampak hijau tua. Talus rumput
laut terlihat lebih panjang dan lebih berisi pada akhir pemeliharaan. Bentuk
percabangan rumput laut yang terlihat yaitu dichotomus atau bercabang dua terus
menerus.
(A) (B)
(C) (D)
Gambar 3. Rumput laut Kappaphycus alvarezii awal dan akhir pemeliharaan pada setiap perlakuan kepadatan biomassa awal (A) 95 g/m3, (B) 143 g/m3, (C) 191 g/m3, (D) 238 g/m3
Rumput laut yang dipelihara pada tingkat kepadatan biomasa awal yang
berbeda menunjukkan mampu bertahan hidup dengan baik. Nilai tingkat
kelangsungan hidup semua rumput laut mencapai 100%.
3.1.2 Laju Pertumbuhan Harian dan Pertambahan Biomassa
Grafik di bawah ini (Gambar 4) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
harian (y) rumput laut semakin menurun dengan meningkatnya kepadatan
biomassa awal (x) mengikuti persamaan y = 4,600 – 0,2801x (P<0,2) (Lampiran
11). Berdasarkan garis linier yang terbentuk terlihat bahwa titik tertinggi atau
13 itu menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan dengan titik terendah atau
minimum pada perlakuan kepadatan biomassa awal 238 g/m3.
Gambar 4. Laju pertumbuhan harian rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
Grafik di bawah ini (Gambar 5) menunjukkan bahwa biomassa rumput
laut pada setiap perlakuan semakin bertambah setiap minggunya. Pada perlakuan
kepadatan biomassa awal terendah yaitu 95 g/m3 terlihat bahwa jumlah biomassa
minggu pertama sampai minggu keempat mampu mendekati jumlah biomassa
pada kepadatan 143 dan 191 g/m3 dan memiliki jumlah yang lebih sedikit jika
dibandingan dengan kepadatan 238 g/m3. Pada minggu kelima hingga minggu
ketujuh jumlah biomassa pada perlakuan 95 g/m3 terlihat cukup jauh dengan
jumlah biomassa pada perlakuan kepadatan yang lainnya.
Gambar 5. Biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
14 Grafik di bawah ini (Gambar 6) menunjukkan bahwa pertambahan
biomassa (y) rumput laut meningkat seiring meningkatnya kepadatan biomassa
awal (x) mengikuti persamaan y = 23,73 + 54,99x – 8,440x2 (P<0,2) (Lampiran
11). Kurva garis kuadratik menunjukkan peningkatan pertambahan biomassa dari
perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 ke perlakuan kepadatan biomassa
awal 143 dan 191 g/m3, kemudian mengalami penurunan pada perlakuan
kepadatan biomassa awal 238 g/m3. Penurunan ini dapat dilihat pada gambar 5
bahwa pada perlakuan kepadatan 238 g/m3 memiliki bentuk yang lebih landai jika
dibandingkan dengan kepadatan 191 g/m3.
Gambar 6. Pertambahan biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
3.1.3 Laju Pertumbuhan Harian Individu dan Pertambahan Bobot Individu Grafik di bawah ini (Gambar 7) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
harian individu (y) rumput laut menurun seiring meningkatnya kepadatan
biomassa awal (x) mengikuti persamaan y = 3,929 – 0,1661x (P<0,2) (Lampiran
11). Berdasarkan garis linier yang terbentuk terlihat bahwa titik tertinggi atau
maksimum terdapat pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3, dan setelah
itu menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan dengan titik terendah atau
minimum pada perlakuan kepadatan biomassa awal 238 g/m3. 0
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
15 Gambar 7. Laju pertumbuhan harian individu rumput laut Kappaphycus alvarezii
pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
Grafik di bawah ini (Gambar 8) menunjukkan bahwa bobot individu
rumput laut pada setiap perlakuan semakin bertambah setiap minggunya seiring
dengan bentuk kurva garis yang semakin meningkat. Bentuk grafik garis tersebut
semakin landai setiap minggunya (minggu 1 sampai minggu 6) dan lebih
meningkat pada minggu ke 7. Hal ini menunjukkan bahwa individu rumput laut
mengalami peningkatan pertumbuhan mulai minggu pertama hingga minggu ke
tujuh, dan masih akan tumbuh hingga waktu tertentu sampai mengalami
penurunan.
Gambar 8. Bobot individu rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
16 Berdasarkan Gambar 8, rumput laut mengalami pertumbuhan yang hampir
sama pada semua perlakuan setiap minggunya. Standar deviasi pada setiap
perlakuan kepadatan pun bervariasi, terutama pada perlakuan 143 dan 238 g/m3
yang memiliki nilai standar deviasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kepadatan 95 dan 191 g/m3. Hal ini yang menyebabkan pertambahan bobot
individu (Gambar 9) yang diperoleh pada masing-masing perlakuan kepadatan
biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 memiliki nilai yang tidak berbeda
nyata (P>0,2) (Lampiran 11).
Gambar 9. Pertambahan bobot individu rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
3.1.4 Pertambahan Panjang dan Pertambahan Panjang Total Talus
Grafik di bawah ini (Gambar 10) menunjukkan bahwa pertumbuhan
panjang talus rumput laut pada setiap perlakuan mengalami peningkatan setiap
minggunya. Bentuk grafik garis yang terbentuk semakin landai setiap minggunya.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 7 minggu talus rumput laut masih
dapat melakukan pertumbuhan yang cukup baik yaitu dengan bertambahnya
panjang talus setiap minggunya.
17 Gambar 10. Panjang talus rumput lautlaut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
Berdasarkan Gambar 10, talus rumput laut mengalami pertumbuhan
panjang talus yang hampir sama pada semua perlakuan setiap minggunya,
sehingga pertambahan panjang talus individu rumput laut (Gambar 11) yang
diperoleh pada masing-masing perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191,
dan 238 g/m3 memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,2) (Lampiran 11).
Gambar 11. Pertambahan panjang talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
Grafik di bawah ini (Gambar 12) menunjukkan bahwa panjang total talus
rumput laut pada semua perlakuan mengalami peningkatan pertumbuhan setiap
minggunya. Pada kurva kepadatan biomassa awal 95 g/m3 memiliki panjang total
talus yang lebih rendah dari panjang total talus kepadatan 238 g/m3 pada minggu
ke-1 hingga ke-2, namun pada minggu ke-3 panjang total talus rumput laut mulai
0
18 mengalami pertambahan yang lebih banyak daripada panjang total talus pada
kepadatan biomassa awal 238 g/m3.
Gambar 12. Panjang total talus rumput lautKappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
Berdasarkan Gambar 12, rumput laut mengalami pertumbuhan panjang
total talus yang hampir sama pada semua perlakuan setiap minggunya, sehingga
pertambahan panjang individu (Gambar 13) yang diperoleh pada masing-masing
perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 memiliki nilai
yang tidak berbeda nyata (P>0,2) (Lampiran 11).
Gambar 13. Pertambahan panjang total talus rumput laut Kappaphycus alvarezii
pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
3.1.5 Pertambahan Diameter Pangkal Talus dan Pertambahan Diameter Tengah Talus
Grafik di bawah ini (Gambar 14) menunjukkan bahwa pertambahan
diameter pangkal (y) talus rumput laut semakin menurun dengan meningkatnya
0
19 kepadatan biomassa awal (x) mengikuti persamaan y = 0,7883 – 0,1317 x (P<0,2)
(Lampiran 11). Berdasarkan garis linier yang terbentuk terlihat bahwa titik
tertinggi atau maksimum terdapat pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95
g/m3, dan setelah itu menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan dengan
titik terendah atau minimum pada perlakuan kepadatan biomassa awal 238 g/m3.
Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kepadatan biomassa awal yang berbeda
memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan diameter pangkal
talus rumput laut.
Gambar 14. Pertambahan diameter pangkal talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
Grafik di bawah ini (Gambar 15) menunjukkan bahwa pertambahan
diameter tengah talus rumput laut pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95,
143, 191, dan 238 g/m3 tidak berbeda nyata (p>0,2) (Lampiran 11). Jumlah
pertambahan yang hampir sama dan nilai standar deviasi yang bervariasi pada
setiap perlakuan dapat menyebabkan nilai yang tidak berbeda nyata ini. Pada
perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 191, dan 238 g/m3 memiliki nilai standar
deviasi yang lebih kecil dibandingkan dengan standar deviasi pada perlakuan
kepadatan biomassa awal 143 g/m3. 0
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
20 Gambar 15. Pertambahan diameter tengah talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
3.1.6 Penyerapan Nitrogen
Nitrogen yang berada di perairan umumnya dalam bentuk nitrat, nitrit dan
amoniak. Tabel di bawah ini (Tabel 1) menunjukkan bahwa rumput laut lebih
banyak menyerap nitrat dibandingkan dengan nitrit dan amoniak. Jumlah nitrat
yang diserap oleh rumput laut dengan kepadatan 95 g/m3 menunjukkan nilai yang
paling tinggi yaitu sebesar 0,034684 mg/g, sedangkan pada kepadatan 143, 191,
dan 238 g/m3 berturut-turut menunjukkan nilai sebesar 0,028947; 0,020575; dan
0,011600 mg/g. Nitrit yang diserap oleh rumput laut tidak dapat dideteksi, karena
nilai kandungan nitrit yang terdapat di perairan <0,005 mg/l. Sementara itu,
amoniak yang diserap oleh rumput laut pada kepadatan 191 g/m3 menunjukkan
nilai tertinggi yaitu sebesar 0,000449 mg/g, sedangkan pada kepadatan 238 dan 95
g/m3 berturut-turut mampu menyerap sebesar 0,000029 dan 0,000024 mg/g,
sedangkan pada kepadatan 143 g/m3 rumput laut tidak melakukan penyerapan
terhadap kandungan amoniak karena menunjukkan nilai serapan sebesar 0,000000
mg/g.
Tabel 1. Penyerapan nitrat, nitrit, dan amoniak oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
Penyerapan (mg/g)
Kepadatan biomassa awal (g/m3)
95 143 191 238
Nitrat 0,034684 0,028947 0,020575 0,011600
Nitrit * * * *
21 Grafik di bawah ini (Gambar 16) menunjukkan bahwa rumput laut dengan
perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 melakukan penyerapan nitrogen
tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya yaitu sebesar 2,92
µmol/gx103/hari. Perlakuan biomassa awal 143, 191, dan 238 g/m3 secara
berturut-turut mampumelakukan penyerapan nitrogen sebesar 1,77, 1,40, dan 1,22
µmol/gx103/hari.
Gambar 16. Penyerapan nitrogen oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
3.1.7 Penyerapan Fosfor
Fosfor yang berada di perairan sering melimpah dalam berbagai bentuk
senyawa fosfat, diantaranya total fosfat dan ortofosfat. Tabel di bawah ini (Tabel
2) menunjukkan bahwa rumput laut lebih banyak menyerap fosfor dalam bentuk
total fosfat dibandingkan dengan ortofosfat. Rumput laut pada kepadatan 191
g/m3 melakukan penyerapan total fosfat tertinggi yaitu sebesar 0,048180 mg/g,
sedangkan pada kepadatan 95, 143, dan 238 g/m3 mampu menyerap total fosfat
berturut-turut sebesar 0,016801; 0,010091; dan 0,016721 mg/g. Sementara itu,
rumput laut yang mampu menyerap ortofosfat tertinggi yaitu pada kepadatan 191
g/m3 yaitu sebesar 0,011921 mg/g, sedangkan pada kepadatan 95, 143, dan 238
g/m3 berturut-turut mampu menyerap sebesar 0,009056; 0,007389; dan 0,003181
mg/g.
22 Tabel 2. Penyerapan total fosfat dan ortofosfat oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
Penyerapan (mg/g)
Kepadatan Biomasa Awal (g/m3)
95 143 191 238
Total Fosfat 0,016801 0,010091 0,048180 0,016721 Ortofosfat 0,009056 0,007389 0,011921 0,003181
Grafik di bawah ini (Gambar 17) menunjukkan bahwa rumput laut dengan
perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 melakukan penyerapan fosfat
tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya yaitu sebesar 0,11
µmol/gx103/hari. Sementara itu, pada perlakuan biomassa awal 143, 191, dan 238
g/m3 berturut-turut menunjukkan rumput laut menyerap nitrogen sebesar 0,06;
0,05; dan 0,01 µmol/gx103/hari.
Gambar 17. Penyerapan fosfor oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
3.1.8 Suhu, Salinitas, Intensitas Cahaya, Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO) dan pH
Grafik di bawah ini (Gambar 18) menunjukkan bahwa suhu media
pemeliharaan rumput laut pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB) memiliki nilai
yang hampir sama pada setiap perlakuan, meskipun suhu pada pagi hari (pukul
07.30-09.00 WIB) menunjukkan nilai yang berbeda setiap harinya. Kisaran suhu
pada pagi hari selama pemeliharaan yaitu 24-29 0C. 0
23 Gambar 18. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB).
Grafik di bawah ini (Gambar 19) menunjukkan bahwa suhu media
pemeliharaan rumput laut pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB) memiliki nilai
yang hampir sama pada setiap perlakuan, meskipun suhu pada siang hari (pukul
11.20-13.00 WIB) menunjukkan nilai yang berbeda setiap harinya. Kisaran suhu
pada siang hari selama pemeliharaan yaitu 26-30,9 0C.
Gambar 19. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB).
Grafik di bawah ini (Gambar 20) menunjukkan bahwa suhu media
pemeliharaan rumput laut pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB) memiliki nilai
yang hampir sama pada setiap perlakuan, meskipun suhu pada sore hari (pukul
15.00-18.00 WIB) menunjukkan nilai yang berbeda setiap harinya. Kisaran suhu
24 Gambar 20. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB).
Grafik di bawah ini (Gambar 21) menunjukkan bahwa suhu di rumah kaca
tempat media pemeliharaan rumput laut menunjukkan nilai yang berbeda-beda
setiap harinya. Kisaran suhu rumah kaca pada pagi, siang dan sore hari yaitu
berturut-turut 22,5-30,50C, 29,5-340C, 24,5-35dan 0C.
Gambar 21. Suhu rumah kaca pada pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi, siang, dan sore hari.
Grafik di bawah (Gambar 22) menunjukkan bahwa salinitas media
pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada pagi hari menunjukkan
nilai yang bervariasi. Selama pemeliharaan, terjadi beberapa kali penurunan
salinitas dan kenaikan salinitas. Ketika terjadi kenaikan pada nilai salinitas diatas
35, dilakukan penurunan salinitas hingga mencapai nilai 35 dengan menggunakan
25 Gambar 22. Salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii
pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB).
Grafik di bawah (Gambar 23) menunjukkan bahwa salinitas media
pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada siang hari menunjukkan
nilai yang bervariasi. Selama pemeliharaan, terjadi beberapa kali penurunan
salinitas dan kenaikan salinitas. Ketika terjadi kenaikan pada nilai salinitas diatas
35, dilakukan penurunan salinitas hingga mencapai nilai 35 dengan menggunakan
air akuades. Kisaran salinitas pada siang hari selama pemeliharaan yaitu 33-36
ppt.
Gambar 23. Salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii
pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB).
Grafik di bawah (Gambar 24) menunjukkan bahwa salinitas media
pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada sore hari menunjukkan
nilai yang bervariasi. Selama pemeliharaan, terjadi beberapa kali penurunan
26 35, dilakukan penurunan salinitas hingga mencapai nilai 35 dengan menggunakan
air akuades. Kisaran salinitas pada sore hari selama pemeliharaan yaitu 33-36 ppt.
Gambar 24. Salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii
pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB).
Grafik di bawah (Gambar 25) menunjukkan bahwa intensitas cahaya
matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada
pagi hari menunjukkan nilai yang hampir sama pada setiap perlakuan, namun
berfluktuatif setiap harinya. Hal ini didukung oleh cuaca pada hari tersebut dan
keadaan matahari pada pagi hari. Pada saat cuaca mendung, berawan dan hujan,
maka intensitas cahaya yang datang akan rendah, sedangkan pada saat terik
intensitas cahaya yang datang akan tinggi. Pada pagi hari, matahari baru terbit dan
belum berada tepat diatas, sehingga kisaran intensitas cahaya pada pagi hari
selama pemeliharaan yaitu 2713-21933 lux.
27 Grafik di bawah (Gambar 26) menunjukkan bahwa intensitas cahaya
matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada
siang hari menunjukkan nilai yang hampir sama pada setiap perlakuan, namun
berfluktuatif setiap harinya. Hal ini didukung oleh cuaca pada hari tersebut dan
keadaan matahari pada siang hari. Pada saat cuaca mendung, berawan dan hujan,
maka intensitas cahaya yang datang akan rendah, sedangkan pada saat terik
intensitas cahaya yang datang akan tinggi. Pada siang hari matahari tepat berada
diatas, sehingga kisaran intensitas cahaya pada siang hari selama pemeliharaan
yaitu 4410-37400 lux.
Gambar 26. Intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB).
Grafik di bawah (Gambar 27) menunjukkan bahwa intensitas cahaya
matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada
sore hari menunjukkan nilai yang hampir sama pada setiap perlakuan, namun
berfluktuatif setiap harinya. Hal ini didukung oleh cuaca pada hari tersebut. Pada
saat cuaca mendung, berawan dan hujan, maka intensitas cahaya yang datang akan
rendah, sedangkan pada saat terik intensitas cahaya yang datang akan tinggi. Pada
sore hari matahari mulai turun kembali dan akan mulai terbenam, sehingga
28 Gambar 27. Intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB).
Grafik di bawah ini (Gambar 28) menunjukkan bahwa DO media
pemeliharaan rumput laut pada pagi hari selama pemeliharaan menunjukkan nilai
yang hampir sama setiap perlakuannya, namun berfluktuatif setiap harinya. Hal
ini dipengaruhi oleh suhu pada perairan. Ketika suhu diperairan meningkat, maka
kelarutan oksigen akan berkurang, begitu pula sebaliknya. DO media
pemeliharaan rumput laut pada pagi hari selama pemeliharaan memiliki kisaran
yaitu 6,58-8,07 mg/l.
Gambar 28. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB).
29 Grafik di bawah ini (Gambar 29) menunjukkan bahwa DO media
pemeliharaan rumput laut pada siang hari selama pemeliharaan menunjukkan nilai
yang hampir sama setiap perlakuannya, namun berfluktuatif setiap harinya. Hal
ini dipengaruhi oleh suhu pada perairan. Ketika suhu diperairan meningkat, maka
kelarutan oksigen akan berkurang, begitu pula sebaliknya. DO media
pemeliharaan rumput laut pada siang hari selama pemeliharaan memiliki kisaran
yaitu 6,27-7,8 mg/l.
Gambar 29. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB).
Grafik di bawah ini (Gambar 30) menunjukkan bahwa DO media
pemeliharaan rumput laut pada sore hari selama pemeliharaan menunjukkan nilai
yang hampir sama setiap perlakuannya, namun berfluktuatif setiap harinya. Hal
ini dipengaruhi oleh suhu pada perairan. Ketika suhu diperairan meningkat, maka
kelarutan oksigen akan berkurang, begitu pula sebaliknya. DO media
pemeliharaan rumput laut pada sore hari selama pemeliharaan memiliki kisaran
30 Gambar 30. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB).
Grafik di bawah ini (Gambar 31) menunjukkan bahwa pH media
pemeliharaan rumput laut selama pemeliharaan mengalami fluktuasi setiap
minggunya. Pada media pemeliharaan rumput laut perlakuan kepadatan biomassa
awal 95 g/m3 terlihat pada minggu ke-4 dan ke-5 menunjukkan nilai pH yang
lebih rendah daripada pH media perlakuan lainnya, namun setelah itu pada
minggu ke-6 mulai naik dan hampir sama nilainya dengan perlakuan yang lain.
Nilai kisaran pH selama pemeliharaan yaitu antara 8,11-8,38.
Gambar 31. pH media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3.
3.2 Pembahasan
Aklimatisasi merupakan suatu proses adaptasi terhadap lingkungan yang
baru. Aklimatisasi suatu biota mencakup tahapan: 1) bagaimana mempertahankan