• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.2 Pembahasan

Bakteri A. hydrophila yang digunakan diuji menggunakan pewarnaan Gram dan dilanjutkan dengan karakterisasi sifat biokimia dan fisiologi bakteri. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa bakteri yang digunakan merupakan bakteri A. hydrophila. Hasil pengamatan koloni bakteri pada cawan petri adalah koloni tersebut memiliki warna krem, elevasi cembung dan memiliki tepian halus (Gambar 2 dan 3). Bentuk sel batang pendek dan berwarna merah muda (gram negatif). Hasil uji yang positif terdapat pada uji O/F, motilitas, oksidase, dan katalase (Lampiran 1). Hasil yang sama juga terdapat pada Plumb (1994)dalam Kurniawan (2010).

Bakteri uji yang telah dipastikan A. hydrophila kemudian digunakan untuk uji tantang. Uji ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian bahan fitofarmaka tersebut terhadap penyembuhan infeksi bakteri pada ikan lele, yang ditandai dengan nafsu makan, pertumbuhan, kelangsungan hidup, penyembuhan luka, dan morfologi organ dalam. Secara umum, gejala klinis yang timbul setelah penginfeksian bakteri A. hydrophila adalah timbulnya hiperemia pada sirip dan sungut, kemudian timbul radang pada tempat penyuntikan, hemoragi yang disertai dengan nekrosis, dan diakhiri dengan tukak. Kelainan klinis hiperemia dan peradangan merupakan reaksi pertahanan tubuh ikan dengan cara memobilisasi sel darah putih ke tempat terjadinya infeksi (Austin & Austin, 1986).

Uji in vivo menunjukkan bahwa setiap perlakuan, termasuk kontrol negatif, mengalami penurunan respons makan setelah penyuntikan. Hal ini dikarenakan stres yang dialami oleh ikan setelah penyuntikan. Respons makan pada ikan kontrol negatif baru muncul kembali 2 hari berikutnya. Namun terdapat perbedaan respons makan yang nyata antara ikan kontrol negatif dengan perlakuan lainnya (Gambar 4 dan Tabel 3). Kenyataan ini menandakan bahwa

penyuntikan bakteri Aeromonas hydrophila mempengaruhi nafsu makan pada ikan lele. Menurut Kabata (1985) ikan yang terserang bakteriA. hydrophila akan kehilangan nafsu makannya, karena adanya racun hasil produksi ekstraseluler yang mengganggu kerja tubuh ikan tersebut.

Lebih lanjut, Cipriano (2001) dalam Hidayat (2006) menjelaskan bahwa ikan yang terserang A. hydrophila, memiliki nafsu makan yang menurun karena bakteri ini memproduksi enterotoksin yang menyerang sistem pencernaan ikan. Toksin ini menyebabkan pembuluh kapiler di submukosa perut mengalami hemoragi karena kerusakan sel endotel dan sel darah merah. Bahkan, infeksi yang berkelanjutan akan menyebabkan sel-sel hati dan tubuli ginjal mengalami degenerasi.

Berdasarkan Tabel 3, rata-rata respons makan pada ikan perlakuan A dan B tidak berbeda nyata dengan respons makan kontrol negatif (p<0,05). Pada perlakuan kontrol positif, perlakuan C dan D, terdapat perbedaan rataan respons makan yang nyata dengan perlakuan kontrol negatif. Respons makan yang tidak berbeda nyata antara perlakuan A dan B dengan kontrol negatif menandakan bahwa pakan dengan dosis fitofarmaka 0,2% dan 2,2% dapat meningkatkan nafsu makan ikan yang sakit. Menurut Suprapto (2006), flavonoid dalam meniran akan bekerja pada sel-sel tubuh yang menjadi bagian dari sistem imun. Meningkatnya sistem imun tersebut akan meningkatkan aktivitas limfosit dalam memfagosit bakteri, sehingga terjadi peningkatan nafsu makan.

Pada Tabel 3, respons makan pada perlakuan C, D, dan kontrol positif berbeda nyata dengan repons makan pada ikan kontrol negatif (p<0,05). Rendahnya respons makan rata-rata pada ikan perlakuan C dan D diduga disebabkan oleh terlalu tingginya jumlah bawang putih yang terdapat pada pakan ikan. Menurut Lucas (1987) konsumsi serbuk bawang putih yang berlebihan dapat menimbulkan rasa mual. Hal ini disebabkan oleh aktivitas bahan aktif berupa dalam bawang putih yang dapat mengiritasi mukosa mulut dan saluran pencernaan manusia. Sementara pada ikan kontrol positif, rendahnya respons makan disebabkan oleh infeksi di hati, ginjal dan usus setelah 2 hari pasca di suntik dan makin parah hingga hari ke-7 (Angka, 2005).

24 Besarnya respons makan akan mempengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari perubahan diameter luka yang baru terjadi setelah ikan tersebut merespons pakan yang diberikan (Gambar 12-16 dan Lampiran 7). Perubahan diameter luka ikan yang paling rendah dialami oleh ikan perlakuan kontrol positif dan yang paling tinggi adalah perlakuan B. Hal ini menandakan bahwa perlakuan pengobatan memberikan pengaruh pada proses penyembuhan luka pada ikan tersebut.

Penyembuhan luka pada perlakuan B, terjadi karena pada perlakuan B diberikan pakan yang telah dicampur dengan ekstrak meniran dengan dosis 0,8% dan bawang putih dengan dosis 1,4% . Kandungan yang terdapat dalam bawang putih adalah allicin yaitu salah satu zat aktif yang dapat membunuh bakteri. allicin dapat digunakan untuk membunuh bakteri Gram positif maupun Gram negatif karena mempunyai gugus amino benzoat (Palungkun & Budiardi, 2001). Lebih jauh, menurut Cavalito dalam Watanabe (2001), allicin juga dapat bergabung dengan protein dan mengubah strukturnya agar protein tersebut mudah dicerna. Kemampuan allicin untuk bergabung dengan protein akan mendukung daya antibiotiknya, karena allicin menyerang protein mikroba dan akhirnya membunuh mikroba tersebut.

Selain bawang putih, meniran juga dapat mencegah berbagai macam infeksi virus dan bakteri, serta mendorong sistem kekebalan tubuh. Menurut Mela (2007) dalam penelitiannya, meniran memiliki aktivitas imunomodulator yang berperan membuat sistem imun tubuh (imunostimulator) atau menekan reaksi sistem imun yang berlebihan (imunosurpresan). Dengan demikian kekebalan atau daya tahan tubuh ikan selalu dalam keadaan optimal.

Besarnya respons makan juga bisa berdampak kepada SR ikan. Pada ikan yang memiliki respons makan yang rendah, maka bahan obat yang masuk ke dalam tubuh ikan juga rendah. Pada kondisi ini pengobatan melalui pakan tidak bisa mencegah perkembangan bakteri A. hydrophila dalam tubuh ikan tersebut. Lebih lanjut, perkembangan bakteri tersebut dapat membunuh lebih dari 50% populasi ikan dalam waktu 4-7 hari setelah penginfeksian bila tidak mendapatkan pengobatan apapun.

Tingkat kelangsungan hidup ikan selama perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan kontrol negatif tidak mengalami kematian sampai akhir perlakuan sehingga memiliki tingkat kelangsungan hidup rata-rata 100,00%. Tingkat kelangsungan hidup terkecil terdapat pada perlakuan kontrol negatif dan perlakuan D, sebesar 33,33%. Perlakuan B memiliki tingkat kelangsungan hidup yang paling besar diantara perlakuan lainnya, yaitu 46,67%. Walaupun memiliki nilai yang berbeda, pengujian statistik tidak menunjukkan perbedaan tingkat kelangsungan hidup yang signifikan antara setiap perlakuan uji tantang (Gambar 7).

Hasil yang hampir sama juga ditemukan pada penelitian sebelumnya yang menggunakan metode pengobatan campuran bubuk ini di dalam pakan dengan dosis 5 ppt meniran dan 20 ppt bawang putih (Sholikhah, 2009), yaitu tingkat kelangsungan hidup ikan sebesar 45,83%. Tingkat kelangsungan hidup ini lebih rendah dari tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh dari penelitian Ayuningtyas (2008) yaitu sebesar 60%. Pada penelitian tersebut, pengobatan ikan dilakukan dengan metode suntik dengan dosis 5 ppt meniran dan 20 ppt bawang putih.

Tingkat kelangsungan hidup tersebut menunjukkan bahwa pengobatan ikan yang menggunakan bahan campuran fitofarmaka meniran dan bawang putih yang diberikan melalui pakan tidak memberikan hasil yang signifikan. Sebab, pengobatan dengan cara ini memerlukan respons makan yang baik pada ikan. Padahal, kondisi ikan yang terserang A. hydrophila memiliki nafsu makan yang kurang baik. Gangguan tersebut akibat stress pada ikan lele, dan pada akhirnya akan berpengaruh pada SR ikan. Menurut Ghufran dan Kordi (2004), stres pada ikan akan meningkatkan kepekaan ikan tersebut terhadap penyakit.

Pertumbuhan ikan berbanding lurus respons makan pada ikan tersebut. Semakin semakin besar respons makan, maka pertumbuhannya akan semakin cepat. Berdasarkan Tabel 4, urutan perubahan bobot perhari dari yang paling besar adalah kontrol negatif, perlakuan B, perlakuan A, perlakuan C, kontrol positif, dan perlakuan D. Hal ini disebabkan oleh jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan yang memiliki respons makan yang besar akan lebih banyak daripada ikan yang memiliki respons makan yang lebih kecil.

26 Pemeriksaan organ dalam yang dilakukan pada akhir perlakuan menunjukkan bahwa ikan perlakuan kontrol negatif tidak mengalami kelainan pada organ hati, empedu, limpa dan ginjal. Sementara pada ikan perlakuan kontrol positif, terdapat beberapa perubahan pada warna organ dalam tersebut. Sementara pada perlakuan A, B, C, dan D, perbedaan warna hanya terlihat pada organ hati saja (Gambar 17).

Berdasarkan hasil pengamatan organ dalam, terjadi perubahan warna pada hati ikan perlakuan yang disuntik dengan bakteriA. hydrophila. Perubahan warna hati tersebut karena terjadi degenerasi pada sel-sel hati (Cipriano, 2001 dalam Hidayat, 2006). Perubahan warna pada organ dalam ikan perlakuan kontrol positif disebabkan oleh aktivitas bakteri. Perubahan warna pada limpa disebabkan oleh peningkatan jumlah pigmen hemosiderin pada limpa akibat aktivitas toksin bakteri dalam menghancurkan sel darah merah (Ventura et al., 1988 dalam Abdullah, 2008). Perubahan warna empedu disebabkan karena terhambatnya pembongkaran eritrosit menjadi hemin, Fe dan globin, sehingga menyebabkan produksi hemin menjadi zat asal warna empedu menjadi menurun (Hafsah, 1994). Perubahan warna pada organ ginjal disebabkan oleh racun berupa hemolisin dan protease yang merusak tubuli ginjal, sehingga warna ginjal menjadi lebih pucat.

Parameter kualitas air, merupakan faktor penting dalam budidaya. Kualitas air yang digunakan pada penelitian ini layak untuk kehidupan ikan lele, karena berada pada kisaran yang optimum. Suhu air pada pemeliharaan ikan mendekati kisaran 25-300C. Nilai pH air selama pemeliharaan berkisar 6,23-6,71, berada pada kisaran yang disarankan yaitu 6,5-8,5. Kandungan oksigen terlarut dalam air 5,31-6,4 ppm berada di atas kisaran minimum (5ppm), Total Amonia-Nitrogen (TAN) perlakuan berkisar 0,62-0,94 ppm masih di bawah ambang batas 1 ppm (Boyd,1982).

Dokumen terkait