BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2. Pembahasan
Overweight dan obesitas menjadi pusat perhatian masalah kesehatan (World Obesity Federation, 2012). Kondisi ini meningkatkan risiko menderita penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan kanker. Selain berdampak pada
diri sendiri dan keluarga, overweight dan obesitas juga berdampak pada komunitas
terutama pembiayaan kesehatan akibat komplikasi obesitas (Benegas, et al.,
2011).
Overweight dan obesitas merupakan masalah yang kompleks dan multidimensi karena melibatkan faktor genetik, lingkungan, dan sosial. Adanya
kenyang dan lapar (Vendrell, et all., 2004). Perubahan gaya hidup seperti pola konsumsi makanan mengakibatkan tingginya prevalensi obesitas. Kemudian pengaruh lingkungan juga berkaitan dengan pola makan dan kebiasaan aktivitas fisik
5.2.1. Konsumsi Fast Food
Pada penelitian ini, penilaian hubungan konsumsi fast food dengan
obesitas berdasarkan frekuensi konsumsi per minggu dan banyaknya porsi (kuantitas) konsumsi dalam sekali konsumsi. Hanya berdasarkan kuantitas
konsumsi yang memiliki hubungan yang signifikan (p-value: < 0,05) sedangkan
untuk frekuensi konsumsi per minggu tidak ada hubungan (p-value: > 0,05).
Dengan kata lain bahwa pengaruh fast food terhadap overweight dan obesitas
lebih berdasarkan kuantitas daripada frekuensi (Procter, 2007). Namun perlu digaris bawahi bahwa hubungan kuantitas pada penelitian ini memiliki sifat protektif (OR: < 1) pada populasi siswa SMA Yayasan Pendidikan Harapan 1. Hal
ini berarti bahwa semakin banyak mengonsumsi fast food semakin kecil risiko
mengalami overweight dan obesitas.
Hasil tersebut menimbulkan kerancuan bahwa semakin banyak konsumsi seharusnya semakin banyak masukan energi dan juga seharusnya semakin tinggi
risiko overweight dan obesitas. Hal ini mungkin dipengaruhi persepsi responden
terhadap dirinya sendiri. Dari penelitian didapat bahwa ada kemungkinan 7,8 kali
orang obesitas merasa dirinya gemuk (p-value: < 0,001; CI 95% CI 95%: 3,92-
15,57). Pada kelompok obesitas 56% merasa dirinya gemuk serta hanya 14% pada kelompok non-obesitas merasa dirinya gemuk. Kemudian dari kelompok
yang merasa dirinya gemuk hanya 8% yang mengonsumsi fast food lebih dari
satu porsi per kali konsumsi. Jadi remaja yang merasa dirinya kegemukan menimbulkan rasa peduli dengan bentuk tubuh (Bargoita, 2013)
Penelitian Rensnick tahun 1986 menunjukan remaja saat itu kurang peduli dengan pola makan sehat. Kemudian pada tahun 1999, Neumark-Stainzer menunjukan terjadi pola perubahan persepsi remaja dalam pemilihan makanan.
menemukan lebih dari sepertiga remaja di Yunani berusaha mengurangi berat badan dengan diet rendah lemak.
Meskipun demikian, Flier (2010) menyatakan bahwa banyak orang dengan obesitas meyakini dirinya telah mengonsumsi makanan dengan jumlah yang sedikit. Berdasarkan hukum termodinamika bahwa untuk kenaikan berat badan seseorang harus makan lebih banyak daripada orang normal. Namun ada sebagian orang yang mempunyai predisposisi untuk obesitas akan menjadi obesitas tanpa harus adanya peningkatkan konsumsi energi.
5.2.2. Konsumsi Serat
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara frekuensi mengonsumsi
serat dengan kejadian overweight dan obesitas pada siswa SMA Yayasan
Pendidikan Harapan 1 Medan (p-value: > 0,05). Hasil yang berbeda ditemukan
Hanley, et al (2000). Setiap peningatan 0,77g/MJ asupan serat mengurangi risiko
obesitas 0,69 kali. Secara keseluruhan, lebih dari 50% responden kurang dari 3 kali per minggu. Ini menunjukan rendahnya konsumsi serat baik kelompok kasus dan kontrol. Hal ini didukung oleh penelitian Vitolo, Campagnolo, dan Gama (2007) di Brazil menunjukan 69% remaja perempuan dan 49% remaja laki-laki kekurangan serat.
Rendahnya konsumsi serat pada remaja disebabkan oleh konsumsi
makanan tinggi energi yang berasal dari lemak terutama yang terdapat dalam fast
food (Vitolo, Campagnolo, dan Gama 2007). Kemudian ditambah banyaknya
jumlah tempat makan yang menjual makanan dengan nilai gizi yang buruk seperti
restoran fast food. Akibatnya remaja terpapar makanan yang tidak sehat, terutama
kekurangan serat dalam makanannya (Benegas, et al., 2011). Selain itu, Bargiota
(2013) juga menemukan bahwa remaja sangat jarang memilih makanan berserat seperti salad.
5.2.3. Aktivitas Fisik
Pada penelitian ini didapatkan tidak ada hubungan antara aktivitas fisik
Harapan 1 Medan (p-value: > 0,05). Primacakti, Sjarif, dan Advani (2014) juga menemukan tidak ada hubungan total pengeluran energi harian pada remaja
obesitas dan non-obesitas di Jakarta Barat. Allison, et al (2007) juga menunjukan
bahwa baik remaja obesitas dan non-obesitas sama-sama memiliki aktivitas fisik yang rendah.
Beberapa tahun terakhir, terjadi kecenderungan kebiasaan aktivitas sedentari akibat perkembangan teknologi sehingga banyak remaja yang
menghabiskan waktu hanya bermain gadget (screen time). Oleh karena itu WHO,
AHA, dan CDC menyarankan pembatasan waktu screen time < 2 jam per hari.
Pada penelitian ini didapatkan hanya 20% responden yang memiliki screen time <
2 jam per hari dan tidak ada perbedaan signifikan antara responden yang obesitas
dan responden yang obesitas berdasarkan screen time (p-value: > 0,05). Ini berarti
responden yang obesitas dan yang tidak mempunyai kecendrungan screening time
yang sama.
National Health Service (NHS) menyarankan agar anak-anak dan remaja usia 5-18 tahun melakukan aktivitas fisik yang menggunakan kekuatan minimal
tiga kali seminggu seperti jogging. Kemudian anak-anak dan remaja dianjurkan
untuk mengurangi waktu duduk seperti menonton, dan bermain komputer. Selain itu intevensi di sekolah dalam mengubah kegiatan fisik sangat berpengarah dalam mengubah pola aktivitas fisik remaja karena lebih dari sepertiga waktu bangun
remaja dihabiskan di sekolah (Kriemler, et al., 2013).
5.2.4. Uang Saku
Pada penelitian ini didapatkan tidak ada hubungan antara uang saku
dengan kejadian overweight dan obesitas pada siswa SMA Yayasan Pendidikan
Harapan 1 Medan. Hal ini didukung dengan hanya 25% dari seluruh responden
yang membelanjakan lebih dari 50% uang sakunya untuk membeli fast food dan
hanya 21% responden yang membelanjakan lebih dari 50% uang sakunya untuk membeli makanan berserat. Dengan kata lain bahwa besarnya uang saku tidak mempengaruhi pola membeli makanan.
Hasil yang serupa juga diperoleh Muwakhidah dan Dian (2008) pada remaja di SMU Batik I Surakarta menunjukkan bahwa besarnya uang saku tidak menunjukan hubungan secara signifikan dan Sya’diah (2010), pada siswa SMA Negeri 1 Kudus yang menyimpulkan tidak terbukti bermakna bahwa faktor uang saku mempunyai risiko terhadap kejadian obesitas. Selain itu, meskipun terdapat perbedaan uang saku pada remaja tidak mempengaruhi aktivitas fisik baik yang rendah maupun memiliki uang saku yang tinggi (HSCIC, 2015).
5.2.5. Pengaruh Kelompok
Pada penelitian ini didapat bahwa tidak ada hubungan antara pengaruh
kelompok secara keseluruhan dengan kejadian overweight dan obesitas pada siswa
SMA Yayasan Pendidikan Harapan 1 Medan (p-value: > 0,05). Berdasarkan
kebiasaan mengukuti teman mengonsumsi fast food tidak ada perbedaan
responden yang mengalami obesitas dengan yang tidak (p-value: > 0,05). Namun
hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan Aggarwai (2008) yang mana ditemukan adanya hubungan signifikan antara teman sebagai referensi dalam memilih makanan dengan kejadian obesitas di Ludhiana, India. Para Remaja di
sana cenderung memilih restoran fast food sepulang sekolah bersama teman-
temannya. Bargiota (2013) menemukan bahwa hanya 22% remaja Yunani jika pergi makan bersama kelompok sebaya memilih tempat makan tradisional.
Bebagai pendapat tentang bagaimana kelompok mempengaruhi kejadian obesitas tergantung dengan karakteristik kelompoknya. Terdapat kecenderungan pada responden dengan karakteristik remaja, pengaruh kelompok bersifat penolakan. Hal ini dibuktikan bahwa pengalaman buruk berkaitan dengan berat
badan pada kelompok yang mengalami obesitas sebesar 41% dengan p-value: <
0,001. Sehingga terlihat perbedaan porsi mengonsumsi fast food pada kelompok
yang obesitas dengan yang non-obesitas (p-value: < 0,05). Namun sebaliknya
pada anak-anak yang mana jika anak-anak yang mengalami obesitas tetap mengonsumsi makanan tanpa terpengaruhi teman bahkan cenderung meningkat apabila bersama temannya yang juga memiliki berat badan yang lebih (Salvy dan Bowker, 2014).