• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Dari seluruh isolat yang didapat hasilnya menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak bakteri gram negatif dibandingkan dengan gram positif, berurutan 32/40(80%) banding 8/40(20%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya dimana terdapat lebih banyak gram positif(75,4%) dibandingkan dengan gram negatif (68,9%) pada toilet perempuan (Sabra, S. M. M., 2013). Meskipun penelitan ini dilakukan pada toilet laki-laki dan perempuan, namun dari data hasil penelitan ini juga menunjukkan dominansi bakteri gram negatif pada toilet wanita, yaitu sebanyak 14/18 (77%). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa bakteri gram negatif yang lebih dominan bisa hidup di luar tubuh manusia seperti di lingkungan toilet atau sebaliknya. Hal ini terjadi karena bakteri gram negatif memiliki kemampuan bertahan hidup yang baik terhadap lingkungan.

Berdasarkan hasil identifikasi, bakteri paling banyak ditemukan adalah K. pneumonia (35%). Hal ini kemungkinan terjadi karena K. pneumoniae merupakan bakteri oportunistik dan juga sekaligus sebagai flora menetap dalam saluran cerna (Bagley, ST., 1985). Selain itu bakteri ini juga ditemukan diberbagai tempat di luar tubuh manusia seperti di permukaan benda yang berair, tanah, sayuran, dan lokasi industri (Bagley, ST., 1985). Dari hasil penelitian juga didapatkan adanya bakteri

Pseudomonas spp. yang hanya terdapat di WC perempuan. Hal ini tidak diketahui mengapa hanya terdapat di lokasi tersebut, namun bakteri ini memang biasanya terdapat di area yang berair, tanah, dan lingkungan sama seperti K. pneumoniae dan kebanyakan bakteri lainnya. Selain itu Pseudomonas spp. juga bisa ditemukan di makanan (Franzetti, L. and Scarpellini, M., 2007). Dari penelitian sebelumnya dikatakan bahwa terdapat hanya sedikit jumlah S. aureus dan Pseudomonas spp. di dudukan toilet (Sabra, S. M. M., 2013), dan memang sesuai dengan hasil yang didapatkan dari penelitian ini bahwa hanya terdapat masing-masing 1 isolat dari 12 isolat atau hanya 8,3%. Hal ini didukung berdasarkan teori yang menyatakan bahwa terdapat hanya sedikit S. aureus di saluran cerna dan hanya sekitar 1-4% bakteri

fakultatif aerob yang salah satunya adalah pseudomonas yang terdapat kolon manusia (Brooks, et al., 2010).

Di dalam tubuh manusia terdapat berbagai macam mikroba normal yang membantu manusia dalam menjaga kualitas tubuhnya. Bakteri flora normal tubuh manusia bermacam-macam ada yang gram positif dan ada yang gram negatif. Contohnya di kulit ada golongan staphylococcus, streptococcus yang bisa pindah dari kulit manusia ke permukaan gagang pintu, wastafel, dll yang digunakan. Di saluran cerna terdapat beberapa bakteri salah satunya kelompok enterobacteriaceae seperti

E.coli, Klebsiella, Proteus, dan terdapat juga Pseudomonas dalam jumlah yg sedikit. Beberapa bakteri enterobacteriaceae ini juga terdapat dalam jumlah yang sedikit di saluran pernafasan dan genitalia (Brooks, et al., 2010). Semua hal di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa terjadinya kontak antara tubuh manusia dengan benda disekitarnya ataupun ketika seseorang membuang ekskreta tubuh seperti air seni yang berasal dari saluran genitalia, tinja dari seluran cerna, dan mukus dapat memindahkan sebagian bakteri yang ada di tubuh orang tersebut kemanapun khususnya ke permukaan gagang pintu, wastafel, toilet dll yang banyak digunakan orang untuk membuang ekskreta tubuh seperti air seni, tinja, saliva, dll.

Berdasarkan hasil,5 strain bakteri gram negatif yang diujikanrata-rata sensitif terhadap 74,3% dari seluruh antibiotik. Namun pada penelitian ini ada antibiotik yang resisten terhadap semua bakteri yang diujikan, yaitu meropenem. CDC dalam laporannya pada bulan Juni tahun 2014 dikatakan bahwa terdapat bakteri yang disebut ESBL. Contohnya adalah golonganenterobacteriaceae, misalnya Klebsiella spp. dan E. coli yang merupakan flora normal saluran cerna manusia bisa menjadi resisten terhadap karabapanem. Hal ini tentunya dapat mendukung hasil yang didapat dari penelitian ini yang mendapatkan hasil bahwa meropenem yang merupakan salah satu antibiotik golongan karbapanem mengalami resisten terhadap kelima strain batang gram negatif yang diujikan.

Dari hasil penelitian didapati ada dua bakteri yaitu K. pneumonia dan

Pseudomonas spp. yaitu resisten terhadap sefuroksim dan seftriakson. Hal ini diduga bahwa kedua bakteri tersebut merupakan bakeri penghasil ESBL yang harus diwaspadai karena dengan hasil yang demikian berarti semakin sedikit pilihan antibiotik yang dapat digunakan dalam terapi penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi kedua organisme tersebut.Bakteri enterobacteriaceae memang telah banyak yang mempunyai enzim beta laktamase. ESBL (Extended Spectrum Beta Laktamse) adalah enzim yang menyebabkan terjadinya resistensi terhadap oksiimino- sefalosporin seperti seftazidim dan seftriakson dll. ESBL terbentuk akibat terjadinya beberapa kali mutasi pada enzim yang pertama kali disbut dengan SHV-1 ini. ESBL berbeda dengan beta laktamse klasik –enzim beta laktamase pada bakteri pertama kali- yaitu enzim ini dapat secara fleksibel mengubah active site-nya agar lebih mudah untuk menangkap substrat berupa beta laktam pada antibiotik, sedangkan beta laktamase pertama memiliki active site yang kaku dan hanya bebarapa angstrom ukurannya. Dengan begitu bakteri ini akan lebih rentan terjadi resistensi akibat tidak efektifnya antibiotik beta laktam yang dipakai (Rao, S., 2012).

Sama dengan uji sensitivitas pada bakteri gram negatif, bakteri gram positif juga dilakukan terhadapsatu strain, yaitu satu strain S. aureus dan satu strain S. epidermidis.S. epidermidis memiliki tingkat resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan S. aureus. Dalam penelitian ini S. epiermidis hanya sensitif terhadap 7 antibiotik dari 14 antibiotik yang digunakan atau 50%. Dalam satu penelitian menunjukkan hasil yang mirip yaitu S. epidermidis mengalami resisten terhadap antibiotik yang digunakan yaitu ampisilin, eritromisin, klindamisin, dan kloramfenikol (Michelim L et al, 2005). Dalam penelitian tersebut juga disebutkan bahwa resistensi khusus terjadi pada antibiotik golongan makrolida yaitu eritromisin

dan klindamisin karena berhubungan dengan fenotip macrolid-

lincosamidstreptograminB (Von Eiff et all, 2000 dalam Michelim L et al, 2005). Sementara itu Staphylococcus aureus dari hasil penelitian menunjukkan sensitivitas

yang lebih baik dibandingkan dengan Staphylococcus epidermidis, yaitu 11 dari 14 antibiotik yang digunakan atau sekitar 78,6%. Bakteri ini mengalami resisten terhadap antibiotik ampisilin, dan amoksisilin-asam klavulanat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zafar Ahmed dkk. Dalam studi itu mereka mendapatkan hasil 90% isolat S. aureus mengalami resisten terhadap ampisilin dan amoksisilin.

Hasil penelitian mendapatkan strainS. epidermidisyang diujikanresisten terhadap antibiotik oksasilin, ampisilin, eritromisin, dan klindamisin. Berdasarkan penelitian sebelumnya bakteri Methicillin Resistant Coagulase Negative Staphylococcus (MRCoNS) menunjukkan hasil yang resisten juga terhadap ke empat antibiotik tersebut (Srikanth, et al., 2013). Walaupun hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut menunjukkan persentase yang kurang dari 50% namun hasil ini dapat diduga bahwa terdapat S. epidermidisyang kemungkinan merupakan golongan

Methicillin Resistant Coagulase Negative Staphylococcus (MRCoNS) karena salah satu spesies dari MRCoNS ini adalah S. epidermidis (Srikanth, et al., 2013). Sama halnya seperti bakteri MRSA yang menjadi permasalahan bagi dunia kesehatan saat ini, MRCoNS juga menjadi masalah karena resistensi banyak jenis obat yang membuat tenaga kesehatan sulit untuk memberikan terapi yang terbaik bagi pasien.

Dari beberapa penelitian hanya menampilkan hasil penyebab resistensi bakteri yang terdapat di klinis seperti di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya. Namun untuk identifikasi penyebab pola resistensi bakteri yang terdapat di tempat-tempat umum yang bukan termasuk pelayanan kesehatan masih sangat sedikit atau bahkan mungkin tidak pernah dilakukan penelitian seperti ini. Oleh karena itu bagi peneliti sedikit sulit untuk membandingkan penyebab terjadinya resistensi pada bakteri yang ada di tempat umum seperti di toilet umum dengan temuan bakteri dari tempat pelayanan kesehatan atau rumah sakit. Walaupun begitu dalam penelitian terhadap bakteri K. pneumoniae mengatakan bahwa faktor gen yang menyebabkan cepatnya bakteri tersebut berkembang menjadi resistensi (Cao, X. et al., 2014). Selain

itu penggunaan antibiotik dalam dalam jangka waktu yang lama atau terputus-putus juga bisa menyebabkan adaptasi oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur untuk memodifikasi struktur selnya sehingga tahan terhadap bahan aktif antibiotik.

Dokumen terkait