• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kasus HIV pada ibu hamil dan luarran bayi dari tahun 2008 – 2013 dengan mengobservasi rekam medis pasien di RSUP H. Adam Malik, Medan.

Di dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah ibu hamil yang menderita HIV, yang mengalami kehamilan di RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2008 -2013.

Dari data yang disajikan pada tabel 5.2. dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan yang signifikan kejadian HIV pada ibu hamil dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 terjadi kasus HIV dengan kehamilan sebanyak 4,2% dan meningkat menjadi 29,2% pada tahun 2013. Dari referensi lain yaitu penelitian Johnson (2009), yang diukur dengan survei tahunan nasional klinik antenatal di Afrika Selatan, prevalensi HIV pada ibu hamil juga mengalami peningkatan dari 24,5% pada tahun 2000 menjadi 30,2% pada tahun 2005. Namun terdapat perbedaan yang besar dalam prevalensi HIV di antara provinsi di Afrika selatan, ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan urbanisasi, migrasi, status sosial-ekonomi dan akses ke layanan pencegahan dan pengobatan HIV. Menurut Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2012), keberhasilan penemuan penderita ini salah satunya disebabkan bertambahnya jumlah layanan VCT (Voluntary Counselling and Testing) di Sumatera Utara.

Pada tabel 5.3. diperoleh data penderita HIV dengan kehamilan yang terbanyak adalah penderita pada kelompok umur 20-39 tahun yaitu sebanyak 69 orang (95,8%) dan yang paling rendah adalah penderita pada kelompok umur <20 tahun yaitu sebanyak 1 orang (1,4%) sedangkan kelompok usia ≥40 tahun itu sebanyak 2 orang (2,8%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Anastasya (2008) yang menemukan bahwa penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan selama tahun 2006 – 2007 dengan jenis kelamin perempuan terdapat 88,4% kasus pada kelompok usia 20-39 tahun. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Simanjuntak (2010) mengenai analisis faktor risiko penularan HIV/AIDS di kota Medan, hal tersebut terjadi karena usia remaja dan

usia produktif sangat berisiko terhadap penularan HIV/AIDS dan banyaknya kasus juga dikarenakan usia tersebut identik dengan semangat bergelora, terjadi peningkatan libido, selain itu risiko itu disebabkan oleh faktor lingkungan remaja. Dan distribusi umur penderita HIV/AIDS pada tahun 2007 di Indonesia memperlihatkan tingginya persentase jumlah usia muda dimana penderita tertinggi juga dari golongan umur 20-29 tahun.

Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Menurut Poundstone, et all (2004) tingkat pendidikan memiliki pengaruh pada difusi dan perbedaan penyebaran HIV di populasi. Dari tabel 5.3. diperoleh data bahwa penderita HIV dengan kehamilan yang tertinggi adalah penderita dengan tingkat pendidikan SLTA yaitu sebanyak 60 orang (83,3%) dan yang paling rendah adalah penderita dengan tingkat pendidikan SD yaitu sebanyak 1 orang (1,4%). Dalam penelitian Anastasya (2008) di klinik VCT RSUP H. Adam Malik Medan juga menemukan bahwa penderita HIV/AIDS yang terbanyak adalah tingkat pendidikan SLTA yaitu sebesar 83,6%. Dan dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa HIV juga terdapat di tingkat perguruan tinggi yaitu sebesar 15,3%. Penelitian yang dilakukan oleh Wan Ramli (2011) mengenai perilaku mahasiswa tentang HIV/AIDS menyatakan bahwa pengetahuan tidak berkadar langsung dengan sikap dan tindakan. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor agama, nilai-nilai murni, norma- norma penerapan yang diterapkan oleh orang tua sejak kecil, budaya, lingkungan atau ‘Pear Pressure’ dan faktor sosioekonomi dari individu itu sendiri.

Dari tabel 5.3. diperoleh data bahwa penderita HIV dengan kehamilan yang tertinggi adalah penderita dengan pekerjaan ibu rumah tangga (IRT) yaitu sebanyak 58 orang (80,6%) dan selebihnya dengan pekerjaan yang beraneka ragam yaitu diantaranya karyawati sebanyak 2 orang (2,8%), petani sebanyak 4 orang (5,6%), PNS sebanyak 1 orang (1,4%) dan serabutan sebanyak 7 orang (9,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2012) dimana diperoleh kejadian kasus HIV pada kehamilan paling banyak terdapat

pada ibu hamil dengan pekerjaan ibu rumah tangga yaitu sebesar 94,1%. Namun hal ini disebabkan oleh besarnya faktor risikostatus infeksi suami. Karena, dengan tingginya faktor risiko yang berasal dari suami memberi penjelasan bahwa walaupun pekerjaan ibu hamil tersebut tidak berkaitan dengan perilaku berisiko, ibu hamil tersebut memiliki risiko yang besar untuk terinfeksi HIV yang didapat dari suami mereka (Darmasaya, 2013).

Berdasarkan tabel 5.3. dapat dilihat bahwa proporsi penderita HIV pada kehamilan berdasarkan status pernikahan tertinggi adalah dengan status menikah yaitu sebanyak 69 orang (95,8%). Hal ini sesuai dengan penelitian Siregar (2012) yang memperoleh data bahwa penderita HIV dengan kehamilan dengan status penikahan tertinggi adalah status menikah yaitu sebesar 85,3 %. Dikarenakan, status penikahan berhubungan dengan umur menikah yaitu kelompok umur dengan seksual aktif (Keehon, 2011).

Pada tabel 5.3. dari penelitian, diperoleh data faktor risiko penderita HIV dengan kehamilan tertinggi adalah karena hubungan heteroseksual yaitu sebanyak 69 orang (95,8%). Dari penelitian Anastasya (2010) juga ditemukan bahwa penderita HIV/AIDS berdasarkan faktor risiko penularan tertinggi adalah melalui heteroseksual yaitu sebesar 57,1%. Cara penularan ini merupakan cara yang paling dominan dari semua risiko penularan (Kemenkes RI, 2012). Dan berdasarkan laporan Kemenkes RI (2013) situasi epidemic HIV juga tercermin dari hasil Estimasi Populasi Rawan Tertular HIV tahun 2012, diperkirakan ada 13,8 juta orang rawan tertular HIV dengan jumlah terbesar pada sub-populasi pelanggan pekerja seks yang jumlahnya lebih dari 6 juta orang dan pasangannya sebanyak hamper 5 juta orang, yang sebagian besar diantaranya adalah ibu rumah tangga yang berisiko tertular HIV tanpa disadarinya.

Pada tabel 5.4. dapat dilihat bahwa ibu hamil yang menderita HIV yang melakukan konseling VCT yang meliputi konseling pre – test, test HIV dan konseling post – test adalah sebanyak 64 orang (88,9%) dan selebihnya tidak mengikuti ketiga konseling VCT. Berdasarkan penelitian Siregar (2012), pasien HIV dengan kehamilan melakukan konseling VCT, yang meliputi konseling pre –

test sebanyak 34 orang (100%), test HIV sebanyak 34 orang (100%) dan konseling post – test sebanyak 33 orang (97,1%). Menurut Wicaksana, et al. (2009) terdapat hubungan yang secara statistik signifikan Antara pengetahuan mitra penasun tentang HIV/AIDS dan perilaku pemeriksaan ke klinik VCT. Rakgoasi (2005) menyatakan bahwa wanita yang mendapat pelayanan antenatal yang mendapatkan informasi mengenai konseling VCT, proporsinya secara signifikan lebih tinggi pada wanita yang lebih muda dan kalangan wanita berusia diatas 40 tahun menolak untuk melakukan konseling VCT dan persentase ini lebih tinggi pada wanita dengan pendidikan menengah atau lebih dan tinggal diperkotaan dibandingkan dengan pendidikan dasar atau kurang dan mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan kelurahan, serta masih sedikitnya ketersediaan layanan yang menawarkan perempuan mengenai informasi HIV dan konseling atau tes HIV.

Pada tabel 5.5. dapat dilihat bahwa semua ibu hamil yang menderita HIV menerima ARV. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dalimunte (2012), ibu hamil penderita HIV yang menerima ARV profilkasis sebesar 82,4% sedangkan yang tidak menerima ARV profilaksis sebesar 17,6%. Menurut Setiawan (2009), tujuan pemberian ARV disamping untuk mengobati ibu juga untuk mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin. Jumlah virus dalam plasma ibu masih merupakan faktor predictor bebas yang paling kuat dalam terjadinya penularan perinatal. Karena itu semua wanita hamil yang terinfeksi HIV harus diberi pengobatan ARV untuk mengurangi jumlah muatan virus.

Pada tabel 5.6. dapat dilihat bahwa ibu hamil yang menderita HIV dengan indikasi (-) ARV sebanyak 7 orang (9,72%) dan selebihnya adalah ibu hamil yang menderita HIV dengan indikasi (+) ARV yaitu sebanyak 65 orang (90.28%). Pada tabel 5.7. dapat dilihat bahwa ibu hamil yang menderita HIV dengan tuberkulosis aktif sebanyak 1 orang (1.4%) dan ibu hamil yang menderita HIV datang pada masa persalinan dan belum mendapat terapi ARV sebanyak 1 orang (1,46%).

WHO mengusulkan agar semua perempuan hamil dengan CD4 di bawah 350 diberi ARV, tanpa memperhatikan tanda klinis. Obat yang diberikan akan

tergantung kepada waktu dalam masa kehamilan infeksi HIV didiagnosis. Bila kita mengetahui bahwa kita terinfeksi HIV sebelum kita hamil tetapi belum mulai ART, atau didiagnosis secara dini dalam masa kehamilan, diusulkan terapi ditunda sehingga akhir triwulan pertama dalam kehamilan, yaitu 12-14 minggu setelah terakhir kali tidak mengalami haid. Ada dua alasan utama untuk menunda ARV (Green, C.W., 2009).

Data yang diperoleh dari tabel 5.8. memperlihatkan bahwa ibu hamil yang menderita HIV melahirkan bayi dengan berat badan lahir normal sebanyak 60 bayi (83,3%) dan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) sebanyak 12 bayi (16,7%). Padatabel 5.9. dapat dilihat bahwa status HIV bayi berdasarkan pemeriksaan PCR yang dilakukan pada 32 bayi (44,4%) tidak terdeteksi (negative HIV) dan pada 40 bayi (55,6%) belum dilakukan pemeriksaan PCR, dikarenakan ibu belum membawa bayi untuk melakukan pemeriksaan. Menurut Kemenkes (2013), faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke bayi meliputi jumlah virus (viral load), kadar CD4, status gizi saat hamil, penyakit infeksi saat hamil dan masalah di payudara (jika menyusui). Dan untuk mengetahui status HIV bayi dilakukan pemeriksaan PCR setelah usia bayi mencapai 18 bulan dikarenakan masih adanya antibody yang diturunkan ibu ke bayi selama kehamilan.

Dokumen terkait