• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

Penelitian ini menunjukkan kisaran tingkatan Cu antara 0,01-0,06 ppm selama 28 hari paparan belum bersifat toksik bagi G. edulis, walaupun di atas

0,01 ppm Cu sudah bersifat toksik (Lobban dan Harrison, 1997) G. edulis masih

mampu meregulasi Cu dalam tubuhnya sehingga belum bersifat toksik

kemungkinan disebabkan G. edulis masih membutuhkan Cu untuk proses

pertumbuhannya walaupun laju pertumbuhan rata-rata cenderung melambat pada hari ke-14 hingga hari ke-28 tetapi proses pertumbuhan tetap berlangsung. Sedangkan pada konsentrasi 0,5 ppm pertumbuhan cenderung konstan dan lambat selama 14 hari pengamatan dan menunjukkan laju pertumbuhan negatif memasuki hari ke-21 hingga akhir pengamatan. Walaupun konsentrasi Cu cukup tinggi penyerapan tetap berlangsung untuk proses pertumbuhan dan sisanya diakumulasi pada dinding sel dan lapisan mucilage serta disimpan pada vakuola.

Proses tersebut merupakan mekanisme pertahanan G. edulis terhadap

konsentrasi Cu yang sudah berlebih dalam tubuhnya (Bertrand dan Poirier, 2005; Andrade et al., 2004).

Turunnya laju pertumbuhan G. edulis kemungkinan berhubungan dengan

penggunaan energi untuk mekanisme pertahanan, proses adaptasi, dan

perbaikan akibat kerusakan yang disebabkan logam berat. Pertumbuhan yang

optimal, secara fisiologis hanya dapat terjadi apabila terdapat kelebihan energi, setelah energi melalui pakan yang dikonsumsi dikurangi dengan kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas. Adanya perubahan kondisi lingkungan terutama kelarutan logam berat yang tinggi akan berpengaruh pada besaran energi yang dikonsumsi dapat lebih besar atau lebih kecil daripada energi yang

dibelanjakan terutama untuk keperluan pertumbuhan. Menurut Collen et al.

(2003), makroalga yang terpapar logam berat terlebih Cu (Cu bersifat redoks

dalam tubuh organisme) akan menginduksi produksi reactive oxygen species

(ROS) seperti superoxide radicals (O2•¯ ), hydrogen peroxide (H2O2), singlet

molecular oxygen (1O2 (1Δg)), dan hydroxyl radicals (OH). Komponen ROS tersebut akan menginduksi kerusakan oksidatif pada lapisan lemak, protein, dan asam nukleat disertai menganggu fungsi kerja sel.

Reactive oxygen species (ROS) dalam konsentrasi kecil merupakan hal yang normal pada organisme fotosintetik, namun dalam kondisi stress produksi ROS akan meningkat sehingga akan menjadi permasalahan dalam tubuh. Strategi untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh ROS, makroalga

memproduksi enzim dan antioksidan enzim seperti SOD (superoxide dismutase),

katalase, APX (ascorbate peroxidase), glutathione, flavonoids, tocopherols, dan

karotenoids (Bouzon et al., 2011). Pengaktifan enzim dan antioksidan ini

membutuhkan energi yang besar sehingga energi yang ada digunakan untuk memproduksi antioksidan tersebut agar kerusakan sel tidak terjadi dan sisa energi yang ada tidak dapat mencukupi dalam kegiatan proses pertumbuhan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini menyatakan tembaga secara langsung mempengaruhi dan menghambat laju pertumbuhan.

Beberapa kerusakan lain yang disebabkan oleh tembaga adalah pada proses metabolisme, enzim memegang peranan yang sangat penting sebagai zat mempercepat dan memperlancar proses ini. Dalam menjalankan tugasnya, enzim-enzim membutuhkan logam atau gabungan dari keduanya sebagai atau yang disebut kofaktor dan aktivator (Palar, 2008). Plastosianin merupakan kovaktor enzim dengan tembaga di dalamnya yang berfungsi dalam proses fotosintesis. Namun demikian enzim-enzim yang memiliki ion-ion logam sebagai pusat aktifnya cenderung untuk bersifat labil. Hal ini disebabkan ion-ion logam yang terdapat dalam suatu gugus enzim seringkali dapat digantikan oleh logam- logam lain yang ikut masuk ke dalam tubuh (Connell, 2005; Yruela, 2005).

Pada enzim-enzim tertentu yang terdapat pada makroalga merah memiliki gugus fungsi sulfhidril (-SH) sebagai pusat aktifnya. Enzim yang memiliki gugus sulfhidril merupakan kelompok enzim yang mudah terhalang daya kerjanya. Keadaan itu disebabkan gugus sulfhidril yang dikandungnya dengan mudah dapat berikatan dengan ion-ion logam berat yang masuk ke dalam tubuh. Akibat dari ikatan yang terbentuk, daya kerja yang dimiliki enzim menjadi sangat

berkurang atau sama sekali tidak dapat bekerja (Yruela, 2005; Perales-Vela et

al., 2007)

Keadaan ini secara keseluruhan akan merusak sistem metabolisme tubuh.

Hal ini dibenarkan oleh Collen et al. (2003); Yruela (2005); Connell (2005); dan

Perales-Vela et al. (2007), bahwa mekanisme keracunan oleh logam tembaga

(Cu) pada tingkat sellular dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu (1) memblokir atau menghalangi kerja gugus fungsi biomolekul yang essensial untuk proses- proses biologi, seperti protein dan enzim; (2) menggantikan ion-ion logam essensial lain yang terdapat dalam molekul terkait; (3) mengadakan modifikasi atau perubahan bentuk dari gugus-gugus aktif yang dimiliki oleh biomolekul; (4) melemahkan proses transportasi antar sel; dan (5) meningkatkan proses oksidasi

pada tingkat sellular. Perales-Vela et al. (2007) menyatakan stress oksidatif akan merusak struktur protein, asam amino, asam nukleat, dan membran (lapisan) lemak.

Klorofil-a dapat dijadikan parameter toksisitas logam berat karena sensitifitasnya dan perananya sebagai faktor kunci kehidupan makroalga (Ayeni

et al., 2010). Perales-Vela et al. (2007) menyatakan klorofil merupakan salah satu alat yang berperan penting dalam proses pertumbuhan, semakin tinggi konsentrasi klorofil semakin berjalan baik proses pertumbuhan tersebut namun dalam penelitian ini turunnya bobot segar dan laju pertumbuhan tidak berhubungan langsung terhadap nilai konsentrasi klorofil-a itu sendiri. Berdasarkan analisa ragam (ANOVA), tingkat konsentrasi Cu antara 0,01-0,5 ppm tidak mempengaruhi klorofil-a secara nyata namun waktu paparan menunjukkan dampak negatif pada konsentrasi klorofil-a. Menurut Gambar 11 di atas penurunan konsentrasi klorofil-a sudah berlangsung pada hari ke-7 hingga akhir pengamatan namun antara konsentrasi 0,01-0,06 ppm Cu penurunan

klorofil-a cenderung sama dan lambat sehingga dapat dikatakan G. edulis masih

mampu meregulasi Cu dalam tubuhnya sehingga tidak berdampak langsung terhadap klorofil-a sedangkan pada konsentrasi 0,5 ppm Cu, konsentrasi klorofil- a tampak menurun drastis pada hari ke-21 hingga akhir pengamatan.

Kemungkinan hal ini terjadi karena G. edulis sudah tidak mampu meregulasi Cu

dalam tubuhnya sehingga Cu bersifat toksik terhadap klorofil-a. Kerusakan ini

dapat dibuktikan dari struktur talus G. edulis pada Gambar 12D dan 14F.

Pemutihan talus (Gambar 12D) dan terakumulasinya Cu dalam sel kortek (Gambar 14F) merupakan tanda klorofil-a mengalami penurunan drastis dalam kloroplas.

Telah dijelaskan di atas, beberapa faktor utama yang mempengaruhi biosintesa klorofil dalam tilakoid kloroplas sehingga logam Cu tidak secara langsung bersifat toksik pada klorofil-a. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan

beberapa fenomena tersebut seperti Cu 0 μgL-1–500 μgL-1 tidak memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap jumlah konsentrasi klorofil-a Gracilaria

longissima selama 7 hari (Brown dan Newman, 2003), selama 4 jam dengan konsentrasi Cu 0,2 ppm Cu+2 klorofil-a Gracilaria tenuistipitata tidak mengalami

perubahan dibandingkan kontrol (Collen et al., 2003), Xia et al. (2004) juga

membuktikan bahwa pada perlakuan Cu 0 μM–10 μM selama 96 jam tidak

lemaneiformis, hal serupa terjadi pada mikroalga Pavlova viridis yakni tidak

terjadi perubahan konsentrasi klorofil-a akibat terpapar 0,05–0,5 mgl- Cu+2

selama 16 hari (Li et al., 2006), dan diatom laut Odontella mobiliensis tidak mengalami perubahan konsentrasi klorofil-a dibandingkan kontrol pada selang

konsentrasi Cu 52 -213 μg L-1 selama 72 jam (Manimaran et al., 2011).

Fenomena ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan merupakan respon fisiologis yang paling sensitif dibandingkan terhadap sintesa klorofil-a (Perales-

Vela et al., 2007). Walaupun perlakuan konsentrasi Cu yang diberikan tidak

berpengaruh signifikan terhadap konsentrasi klorofil-a, namun cenderung tampak terjadi penurunan dengan semakin tingginya konsentrasi Cu dan lamanya waktu pemaparan. Ini menunjukkan bahwa waktu paparan dapat menjadi faktor potensial pemicu daya toksik Cu dalam tubuh makroalga tersebut. Hal ini sesuai

dengan hipotesis Hood et al. (1989) dalam Lobban dan Harrison (1997) bahwa

waktu dapat menimbulkan rangkaian respon fisiologis yang berbeda-beda bagi suatu organisme akibat terpapar polutan.

Alasan mengenai perbedaan respon ini menurut Xiong dan Wang (2004) adalah berhubungan dengan daya toleransi atau proses detoksifikasi tumbuhan

terhadap logam berat tersebut sedangkan menurut Perales-Vela et al. (2007)

bergantung pada dosis atau konsentrasi Cu yang memasuki sel makroalga dan berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa toksisitas Cu lebih dahulu menyerang enzim yang mendukung proses pertumbuhan sehingga dapat dikatakan pada konsentrasi 0,04–0,5 ppm, Cu lebih dahulu merusak stabilitas kerja enzim pertumbuhan daripada enzim yang berfungsi dalam sintesa klorofil dan pada hari ke-21 dengan tingkat konsentrasi 0,5 ppm Cu kerusakan mulai terjadi pada struktur klorofil-a.

Tembaga (Cu), meskipun bagian dari logam essensial dan berperan sebagai mikronutrien bagi tumbuhan, adalah logam dengan tingkat toksisitas kedua setelah merkuri (Hg) (Lobban dan Harrison, 1997). Beberapa toksisitas yang disebabkan Cu terhadap struktur klorofil-a, diantaranya adalah Cu dapat

menghambat pembentukan pigmen fotosintetik dan memperlambat

penggabungan klorofil ke membran fotosintetik yaitu tilakoid yang berada di

kloroplas (Manimaran et al., 2011), mengakibatkan pembesaran kompleks

antena (light-harvesting antenna) dalam fotosistem (Bertrand dan Poirier, 2005)

sehingga mengakibatkan fotoinhibisi dan berkurangnya konsentrasi klorofil

δ-aminolevulinic acid dan protochlorophyllide (Perales-Vela et al., 2007;

Manimaran et al., 2011), ALA-dehydratase (enzim yang membantu membentuk

struktur porphyrin klorofil-a) (Fernandes dan Henriques, 1991), dan merangsang produksi ROS yaitu peroxidation yang merusak sintesa pigmen dan membran

lemak (Fernandes dan Henriques, 1991; Perales-Vela et al., 2007; Li et al.,

2010). Pada konsentrasi tinggi Cu terikat pada membran kloroplas dan protein sel sehingga mengakibatkan rusaknya struktur molekul klorofil dikarenakan posisi atom Mg yang berada di tengah cincin molekul tergantikan oleh logam Cu dan peran klorofil sebagai perangkat penangkap cahaya akan terhambat dan

akhirnya proses fotosintesis akan terganggu (Kupper et al., 1996; Bertrand dan

Poirier, 2005).

Pengamatan secara makro maupun mikroskopik menunjukkan bahwa Cu menimbulkan dampak terhadap struktur morfologi maupun struktur sel makroalga. Dampak tersebut berawal ketika Cu melakukan penetrasi pada membran sel dan menganggu fungsi permeabilitasnya sehingga terjadi penumpukan ion-ion logam Cu di dalam membran dan akkhirnya menyebar ke sel-sel lainnya (Pellegrini et al., 1991). Proses akumulasi yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan semakin tinggi daya toksik logam Cu terhadap sel

tersebut. Masukan logam berat tembaga (Cu) pada talus Gracilaria edulis pada

penelitian ini menunjukkan kerusakan yang beragam di tiap tingkatan konsentrasinya. Namun dapat disimpulkan kerusakan dari hasil penelitian ini bukan hanya dipengaruhi tingkatan konsentrasi Cu namun juga dipengaruhi oleh waktu pemaparan dan spesies makroalga tersebut. Semakin lama waktu

paparan kerusakan pada talus Gracilaria edulis akan semakin berat tingkat

kerusakannya.

Beberapa hal yang terjadi pada struktur sel makroalga akibat tingkatan konsentrasi Cu adalah munculnya lapisan alga filamen yang melekat pada dinding sel hingga terbentuknya spora endofit diantara ruang sel kortek dan sel sub kortek. Endofit awalnya, ada di luar tubuh makroalga yang kemudian masuk jika terjadi luka pada makroalga dan menetap di dalamnya. Endofit berkembang biak di dalam makroalga tanpa menyebabkan penyakit bagi tubuh inangnya. Namun jika populasi endofit sudah menutupi lapisan terluar dinding sel akan mempengaruhi tingkat intensitas cahaya yang masuk kedalam makroalga sehingga dapat menganggu proses fotosintesis tumbuhan inangnya serta keberadaan spora endofit antar ruang sel menyebabkan berubahnya susunan

sel makroalga. Belum ada penelitian khusus tentang cara metabolisme bakteri endofit dan kemampuan bakteri endofit menetap selamanya di dalam tubuh inangnya dan masih belum ada penelitian yang membuktikan apakah endofit memiliki spesifikasi tertentu, misalnya apakah satu endofit selalu muncul pada

jenis makroalga yang sama di tempat yang berbeda (Bouzon et al., 2011).

Dinding sel dan lapisan mucilage yang menebal dan dipenuhi noda-noda hitam hingga masuk ke dalam sitoplasma sel kortek merupakan akibat dari proses penyerapan dan kemampuan akumulasi makroalga terhadap logam berat

Cu. Bahan organik dominan yang terkandung pada dinding sel Gracilaria adalah

agar dan agar merupakan bagian dari polisakarida (Bouzon et al., 2011).

Menurut Bouzon et al. (2011) agar adalah bahan organik yang memiliki kapasitas

maksimal dalam mengikat logam berat dan mengakumulasikannya dalam dinding sel dan ruang intersel dengan mekanisme pertukaran ion. Hal ini tampak jelas pada warna sel terluar yaitu munculnya noda-noda hitam disekitar dinding sel

dan lapisan mucilage. Akumulasi terjadi pada sel kortikal disebabkan sitoplasma

memiliki kandungan bahan organik polisakarida dan selulosa yang fungsinya sama dengan bahan organik agar yaitu memiliki kemampuan mengikat logam

berat Cu (Lobban dan Harison, 1997; Bouzon et al., 2011).

Senyawa organik yang terdapat dalam makroalga dapat berfungsi sebagai ligan organik bagi tembaga. Lemak, polisakarida, dan protein merupakan senyawa organik yang berfungsi sebagai pengikat tembaga. Hal ini memungkinkan terjadinya ikatan komplek antara tembaga dengan ligan organik tersebut, sehingga tembaga menjadi lebih stabil dan terakumulasi dalam talus makroalga, tetapi kemampuan setiap ligan organik dalam berikatan dengan logam berat adalah berbeda satu dan lainnya. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan gugus fungsional pengikat logam berat pada masing-masing komponen penyusun tubuh organisme (Neff, 2002).

Penebalan dinding sel akibat akumulasi logam berat Cu (noda hitam) oleh senyawa polisakarida merupakan salah satu mekanisme pertahanan makroalga agar logam berat Cu tidak dapat masuk ke dalam sel kortek yang nantinya akan berdampak negatif terhadap sistem kerja sel (Bertrand dan Poirier, 2005). Selain bahan organik yang terkandung pada dinding sel, penebalan disebabkan karena aktivitas badan golgi meningkat sehingga memproduksi vesikel-vesikel dalam jumlah banyak membentuk lapisan mikrofibrillar yang kemudian merubah formasi

lapisan sel terluar pada talus makroalga dan biasanya disebut sel fotosintetik karena mengandung pigmen-pigmen fotosintetik sedangkan sel medula adalah lapisan sel terdalam pada talus makroalga dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan tidak mengandung pigmen sel (Sze, 1993). Oleh karena itu, jika sel kortek rusak, kehidupan talus akan terancam karena akan mempengaruhi kinerja proses fotosintesis yang berlangsung di dalam sel tersebut.

Adaptasi makroalga terhadap lingkungannya merupakan rekayasa secara khusus sifat-sifat karakteristik anatomi dan fisiologi untuk memberikan peluang keberhasilan dalam menyesuaikan kehidupan di habitat tertentu. Salah satu mekanisme makroalga dalam mentoleransi toksisitas logam berat adalah membentuk vakuola-vakuola dan menyimpan logam tersebut di dalamnya

sehingga tidak akan mencapai sitoplasma sel (Andrade et al., 2004). Andrade et

al. (2004) menemukan pada konsentrasi 250 dan 500 μg Cu/L terdapat vakuola-

vakuola di dalam sel E. flexuosa (makroalga hijau) yang dipenuhi noda-noda

hitam menandakan terjadi akumulasi dan pengendapan Cu didalamnya. Hal serupa terjadi pada media perlakuan 0,5 ppm Cu memasuki hari ke-14 terbentuk vakuola yang cukup besar di dalam sel kortek (Gambar 13D). Seiring waktu kultivasi dan konsentrasi Cu yang makin meningkat di dalam tubuh makroalga akibat kemampuan akumulasinya menyebabkan mekanisme pertahanan makroalga semakin berkurang hingga logam berat dapat masuk dan terakumulasi dalam sitoplasma dan menganggu sistem kerja sel, merusak elastisitas dan integritas dinding sel hingga mengalami kehancuran (Gambar 14E).

Efek toksik yang ditimbulkan terjadi dalam beberapa tahapan, tergantung besarnya konsentrasi Cu. Menurut Sorentino (1979) dalam Lobban dan Harrison (1997) tahap pertama Cu akan mempengaruhi permeabilitas plasmalemma,

menyebabkan hilangnya ion K+ dari sel dan merubah ukuran volume sel.

Selanjutnya Cu+2 akan menuju ke dalam sitoplasma dan kemudian kloroplas.

Tahapan ini Cu menghalangi proses fotosintesis dengan melepaskan

penggabungan elektron transport ke NADP+. Dengan semakin meningkatnya

konsentrasi ion, Cu akan langsung menuju kloroplas dan sel-sel protein lainnya menyebabkan degradasi klorofil dan pigmen lainnya. Pada konsentrasi yang lebih tinggi lagi, Cu akan menimbulkan kerusakan permanen pada lamella kloroplas, mencegah fotosintesis dan hingga menyebabkan kematian.

Efek Cu secara mikroskopis di atas tampak nyata pada formasi talus G. edulis. Dapat dikatakan bahwa efek mikroskopis yang terjadi pada Gambar 10A-

10C berdampak pada penurunan struktur formasi talus G. edulis (Gambar 8B

dan Gambar BC) sedangkan efek mikroskopis pada Gambar 10D dan 10E ditandai dengan putus dan hancurnya percabangan antar talus disertai pemutihan pada ujung-ujungnya.

Penelitian ini mengindikasikan bahwa tembaga menunjukkan dampak

positif dan negatif terhadap kehidupan G. edulis. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Xia et al. (2004);Perales-Vela et al. (2007) bahwa dalam konsentrasi

kecil Cu berperan sebagai mikronutrien bagi makroalga sehingga terjadi penyerapan secara aktif dari lingkungan luar, namun akan menjadi toksik bila konsentrasi semakin tinggi karena Cu yang terserap akan melebihi kebutuhan metabolisme. Toksisitas Cu terhadap makroalga tergantung beberapa faktor.

Menurut Connel (2005); Eklund dan Kautsky (2003); Perales-Vela et al. (2007)

kondisi lingkungan atau media kultivasi, jenis makroalga, dan habitat mempengaruhi proses toksisitas Cu terhadap makroalga tersebut, Namun penelitian ini menambahkan bahwa waktu paparan merupakan faktor penting

dalam mekanisme toksisitas tersebut. Menurut Mamboya et al. (1999); Eklund

dan Kautsky (2003) waktu paparan dapat meningkatkan proses toksisitas Cu terhadap makroalga.

Dokumen terkait