• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Penilaian derajat keparahan penyakit merupakan salah satu langkah awal dalam menentukan rencana manajemen setelah menegakkan diagnosis. Kunci manajemen PK yang aman dan efesien adalah kemampuan untuk memprediksi pasien yang akan membaik atau justru akan mengalami perburukan.(4) Untuk mencapai tujuan ini, telah banyak sistem skoring klinis yang diuji manfaatnya, antara lain seperti skor CURB-65 (AUC: 0,73-0,83) maupun CRB-65 (AUC:0,69-0,78) telah tervalidasi untuk memprediksi kematian dalam 30 hari dan cukup sederhana untuk diterapkan.(6) Hubungan antara biomarker terhadap derajat keparahan penyakit dalam beberapa studi masih kontroversi. Keadaan ini digambarkan oleh studi oleh Masia,dkk maupun Beovic,dkk yang bertolak belakang dalam menyatakan hubungan PCT dengan PSI.(15,18) Senada dengan studi Beovic, Nayak, dkk juga menyimpulkan tidak ada hubungan antara PCT dengan PSI.(38) Studi prospektif oleh Huang, dkk yang juga

meneliti hubungan PCT terhadap PSI dan skor CURB-65 mendapatkan bahwa meskipun penderita PK tergolong dalam grup PSI IV dan V (berat) tetapi memiliki kadar PCT< 0,1ng/ml maka tidak akan terjadi peningkatan mortalitas sesuai dengan derajat PSI. Hal yang sama juga berlaku pada subjek dengan skor CURB-65 ≥4. Kadar PCT normal adalah indikator bahwa risiko mortalitas rendah pada penderita PK meskipun skor klinis berada pada tingkat PK berat.(4,5) Pada studi ini dihubungkan PCT dengan skor CURB-65 saat awal pasien masuk rumah sakit. Didapatkan pertambahan proporsi subjek dengan PCT berat yang sejalan dengan memberatnya skor CURB-65. Meskipun subjek penelitian ini tidak mendapat subjek dengan skor CURB-65 ≥4, temuan ini menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara kadar PCT dengan derajat keparahan penyakit dimana semakin meningkat skor CURB-65 semakin tinggi kadar PCT. Selain itu, semakin buruk prognosis penderita PK maka semakin tinggi kadar PCT yang diperoleh dan keadaan ini sudah dapat diperkirakan sejak awal pasien masuk. Temuan ini merupakan penegasan dari studi Kruger,dkk yang mendapatkan hubungan antara PCT dengan skor CRB-65 saat pasien awal pasien PK masuk rumah sakit.(15)

Penelitian oleh Purba,dkk yang bertujuan mencari hubungan PCT terhadap sepsis dan derajatnya, menyimpulkan adanya perbedaan rerata PCT yang signifikan antara penderita sepsis dan non-sepsis (18,44 ± 27,60 Vs 1,33±1,50) dengan p=0,007.(39) Temuan pada studi ini juga membandingkan rerata kadar PCT antara subjek dengan critical ill (sepsis) dan non-sepsis. Terlihat bahwa nilai dasar PCT yang berbeda antara kedua kondisi ini yang artinya parameter klinis yang digunakan dalam mendiagnosis sepsis ada hubungannya dengan naik turunnya kadar PCT. Meskipun perbedaan kedua rerata ini tidak signifikan (p=0,067), beberapa parameter sepsis seperti lekosit (r=0,288), nadi (r=0,307) dan laju pernafasan (r=0,382) memiliki korelasi yang signifikan dengan kadar PCT. Kondisi ini memberi keyakinan bahwa kadar PCT akan meningkat sesuai dengan keparahan PK yang diwakili oleh kriteria SIRS dan meskipun

sederhana, parameter klinis dapat digunakan dalam menilai perbaikan dan perburukan PK.

Dengan alasan untuk mempermudah penilaian derajat keparahan PK di sarana pelayanan primer yang umumnya tidak memiliki fasilitas pemeriksaan laboratorium yang memadai, dilakukan penyederhanaan dengan menghilangkan variabel ureum pada skor CURB-65 menjadi skor CRB-65.(6) Ureum dikenal sebagai cerminan gangguan target organ akibat proses infeksi. Proses infeksi dapat mengganggu fungsi ginjal melalui gangguan aliran darah ke ginjal akibat dehidrasi (pre-renal) maupun gangguan akibat toksin dari kuman yang langsung merusak fungsi ginjal (renal).(40,41) Dalam keadaan dehidrasi terjadi penurunan volume intravaskular dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Tubulus ginjal yang permeabel terhadap ureum dan turunnya LFG akan membuat ureum lebih lama berada di dalam tubulus sehingga reabsorbsi ureum ke dalam darah semakin meningkat.(40) Dampak langsung infeksi terhadap ginjal (nefrotoksik) belum sepenuhnya dipahami. Induksi nitrit oxide, terlepasnya sitokin seperti tumour necrosis factor-alpha (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), IL-6, kemokines dan aktifasi netrofil oleh endotoksin dan peptida kemotaktik yang dihasilkan oleh dinding bakteri dikatakan berperan dalam mencetuskan gangguan ginjal akut.(41) Pada studi ini, kadar ureum juga berkorelasi dengan PCT (r = 0,342). Hal ini memberi petunjuk memberatnya proses infeksi bakteri oleh PK akan memberi dampak sistemik dan mengganggu faal organ, yang dalam hal ini adalah fungsi ginjal. Implikasi klinis dari temuan ini antara lain pentingnya ureum sebagai parameter untuk menilai beratnya infeksi akibat PK sehingga akan menambah validitas skor jika diikutsertakan dalam skor derajat keparahan PK. Dalam GuidelinesAmerican Thoracic Society (ATS) dikenal 9 kriteria (modified-ATS) untuk menentukan PK berat yang membutuhkan perawatan intensif dimana variabel gagal ginjal akut sebagai satu dari 4 kriteria mayor (selain kebutuhan ventilasi mekanik, pertambahan luas infiltrat >50% dalam 48 jam, kebutuhan akan vasopressor selama > 4 jam).(6)

Berdasarkan studi sebelumnya, selain produksi PCT tidak terganggu oleh pemberian kortikosteroid, produksinya juga tidak dipengaruhi jumlah lekosit.(27) Fakta ini membuat PCT secara tegas dapat membedakan keadaan inflamasi atau infeksi bakteri.(6,19,27) Pada studi ini, didapatkan proporsi subjek dengan PCT≥0,25ng/ml lebih banyak dijumpai pada keadaan lekositosis. Selain itu, jika digunakan pedoman pemberian antibiotik berdasarkan studi Christ-Crain,dkk, tidak semua subjek (6 orang; 10,7%) dengan lekositosis membutuhkan antibiotik. Studi Christ- Crain dkk sendiri menunda pemberian antibiotik pada 15% pasien PK berdasarkan PCT di bawah 0,25 ng/ml.(13) Sebaliknya, ada 5 orang dengan lekosit di bawah 10.000 dengan PCT di atas cut off pemberian antibiotika. Keterlambatan memulai antibiotika pada pasien PK akan meningkatkan mortalitas. Temuan ini menegaskan bahwa penggunaan PCT dalam manajemen klinik, selain dapat sebagai alat prognostik juga dapat meyakinkan klinisi untuk memutuskan pemberian antibiotika meskipun tidak didukung keadaan lekositosis ataupun sebaliknya. Jika hal ini diterapkan, maka keterlambatan pemberian antibiotika dapat dicegah dan pemberian antibiotik yang tidak tepat dapat dihindari.(5,10,13,25,27,28) Studi sebelumnya menunjukkan manfaat PCT dalam mengurangi jumlah hari dan banyaknya antibiotik pada pasien PK tanpa merubah dampak klinis pada pasien.(13,14,27)

Dikenal beberapa kondisi yang membuat nilai PCT positif palsu, seperti infeksi jamur yang invasif, plasmodium, tumor paru sel kecil,dll.(11) Oleh karena itu studi ini juga menelusuri kultur sputum dan kultur darah untuk mendapatkan kuman penyebab. Hanya 8% dari subjek berhasil didapatkan kultur sputum. Hal ini disebabkan pasien yang pulang sebelum kultur dahak dilakukan dan sulitnya mendapatkan spesimen dahak. Pada pemeriksaan kultur darah kami mendapatkan hasil kultur positif hanya pada 10,7 %. Dalam kepustakaan, sebanyak 70 % pasien PK yang diagnosisnya tegak dari pemeriksaan radiologik tidak didapatkan kuman penyebab.10 Kadar rerata PCT memang didapat lebih tinggi pada subjek dengan kultur positif namun tidak berbeda secara signifikan (p=0,137).

Keadaan ini disebabkan oleh kecilnya sampel kultur yang berhasil didapatkan. Akan tetapi temuan ini menegaskan respon kenaikan PCT terhadap bakteremia. Adanya bakteri patogen di dalam darah (bloodstream infection/BSI) erat kaitannya terhadap tingginya mortalitas pasien sepsis. Keadaan ini dapat terlambatnya pemberian antibiotik yang seharusnya sudah dapat dimulai saat awal pasien masuk. Umumnya antibiotik diberikan pada pasien dengan gejala infeksi yang nyata (demam dan lekositosis), yang sensitifitas dan spesifisitasnya rendah dan jika menunggu hasil kultur, akan semakin menunda pemberian antibiotik.(13) Disinilah manfaat klinis PCT dapat digunakan. Studi Riedel,dkk menyimpulkan cut off PCT< 0,1 ng/ml maka bakteremia sudah dapat disingkirkan (negative predictive value: 96,3%) sedangkan jika PCT> 1 ng/ml ada kultur darah akan dijumpai bakteri (positive predictive value: 17%).(42)

Studi ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain: Pertama, populasi penelitian yang tak satupun berasal dari pasien rawat jalan dimana semuanya adalah subjek yang masuk dari instalasi gawat darurat (IGD). Sehingga studi ini tidak mencerminkan PK yang berobat jalan. Kedua, tidak satupun subjek studi ini berada pada skor CURB-65> 3 sehingga studi ini tidak dapat menjawab apakah kadar PCT masih ada hubungannya dengan subjek yang memiliki skor di atas tiga. Ketiga, metode cross sectional membatasi studi ini untuk mengikuti perjalanan klinis penderita PK dan menentukan dampak klinisnya sehingga mortalitas tidak dapat dihubungkan dengan skor CURB-65 maupun PCT dan studi ini juga tidak dapat memastikan bahwa perburukan dari subjek memang murni disebabkan PK, bukan oleh komorbid pasien yang saat di IGD tidak memberi gejala klinis yang nyata sehingga luput dari diagnosis. Akhirnya studi ini tidak mendapatkan nilai cut-off PCT yang dapat digunakan untuk derajat mortalitas penderita PK.

Dokumen terkait