• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada Pasien Dengan Pneumonia Komunitas Terhadap Skor CURB-65

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada Pasien Dengan Pneumonia Komunitas Terhadap Skor CURB-65"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN SAAT AWAL

MASUK PADA PASIEN DENGAN PNEUMONIA

KOMUNITAS TERHADAP SKOR CURB-65

TESIS

OLEH

ALFRED TRIMULFA SITUMORANG

NIM: 077101006

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012

(2)

HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN SAAT

AWAL MASUK PADA PASIEN DENGAN

PNEUMONIA KOMUNITAS TERHADAP SKOR

CURB-65

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Penyakit Dalam dalam Program Studi Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALFRED TRIMULFA SITUMORANG NOMOR INDUK : 077101006

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

iii

Judul Tesis : HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN SAAT

AWAL MASUK PADA PASIEN DENGAN

PNEUMONIA KOMUNITAS TERHADAP SKOR

CURB-65

Nama Mahasiswa : Alfred Trimulfa Situmorang

Nomor Pokok : 077101006

Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam

Menyetujui

Pembimbing Tesis I Pembimbing Tesis II

( dr.Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP) ( dr.E. N. Keliat, Sp.PD-KP)

Disyahkan Oleh:

Ketua Program Studi Kepala Departemen

(dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH) (dr. Salli Rosefi Nasution, SpPD-KGH)

Tanggal Lulus : 14 Maret 2012

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis

nyatakan dengan benar

Nama : Alfred T. Situmorang

Nomor Induk : 07710100620111

(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Alfred T. Situmorang

Nomor Induk : 07710100620111

Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul :

Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada

Pasien Dengan Pneumonia Komunitas Terhadap Skor

CURB-65

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Pada tanggal : Yang menyatakan

( ALFRED TRIMULFA SITUMORANG )

(6)

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu saya mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga saya dapat

menyelesaikan tesis ini dengan judul: “ Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada Pasien Dengan Pneumonia Komunitas Terhadap Skor

CURB-65 “ yang merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter

ahli di bidang ilmu penyakit dalam pada fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H ADAM MALIK MEDAN yang telah memberikan kemudahan dan dorongan buat penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

2. Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH dan Sekretaris Program Ilmu Penyakit Dalam Dr Zainal Safri, SpPD,SpJP yang dengan sungguh-sungguh telah membantu dan membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa. 3. Prof. dr. T. Bahri Anwar, Sp.JP(K) sebagai dekan FK USU saat saya

diterima sebagai peserta pendidikan spesialis penyakit dalam. Demikian juga kepada (Alm) dr. H. OK. Alfien, Sp.PD-KEMD yang bersedia memberi rekomendasi dan motivasi untuk terus berjuang agar saya bisa mengikuti pendidikan ini. Semoga semua jasa dan budi baik ini dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.

4. Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam saat penulis diterima sebagai peserta pendidikan spesialis, Prof. Dr. Lukman H. Zain, SpPD-KGEH. Terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis. 5. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

(7)

bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya karya tulis ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat dan karunia kepada beliau beserta keluarga.

6. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUD Dr Pirngadi / RSUP H Adam Malik medan : Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH., Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis, SpPD-KHOM., Prof. Dr. Habibah Hanum, SpPD-KPsi., Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD-KKV., Prof. Dr. Azhar Tanjung, SpPD-KP-KAI-SpMK., Prof. Dr. OK Moehad Sjah, SpPD-KR., Prof. Dr. Lukman H. Zain, SpPD-KGEH., Prof. Dr. M. Yusuf Nasution, SpPD-KGH., Prof. Dr. Azmi S Kar, SpPD-KHOM., Prof. Dr. Gontar A Siregar, KGEH., Prof. Dr. Haris Hasan, SpPD-SpJP(K)., Dr. Nur Aisyah, SpPD-KEMD., Dr. A Adin St Bagindo, KKV., Dr. Lutfi Latief, KKV., Dr. Syafii Piliang, SpPD-KEMD (Alm)., Dr. T. Bachtiar Panjaitan, SpPD., Dr. Rustam Effendi YS, SpPD-KGEH., Dr. Abiran Nababan, SpPD-KGEH., Dr. Betthin Marpaung, SpPD-KGEH., Dr. Sri M Sutadi, SpPD-KGEH., Dr. Mabel Sihombing, SpPD-KGEH., Dr. Salli R. Nasution, SpPD-KGH., DR. Dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH., Dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP., Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, KGH., Dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD., DR. Dr Umar Zein, SpPD-KPTI-DTM&H-MHA., Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI., Dr. Refli Hasan, SpPD-SpJP., Dr. EN. Keliat, SpPD-KP., DR. Dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR., Dr. Leonardo Dairy, SpPD-KGEH., Dr. Pirma Siburian, SpPD-KGer., Dr. Mardianto, SpPD-KEMD., Dr. Santi Safril, SpPD-KEMD., Dr Zuhrial, SpPD., yang merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.

7. Dr. Armon Rahimi, KPTI., Dr. R Tunggul Ch Sukendar, SpPD-KGH (Alm)., Dr. Daud Ginting, SpPD., Dr. Tambar Kembaren, SpPD., Dr. Saut Marpaung, SpPD., Dr. Dasril Effendi, SpPD-KGEH., Dr. Ilhamd, SpPD., Dr. Calvin Damanik, SpPD., Dr. Rahmat Isnanta, SpPD.,

(8)

Dr. Jerahim Tarigan, SpPD., Dr. Endang, SpPD., Dr. T. Abraham, SpPD., Dr. Soegiarto Gani, SpPD., Dr. Savita Handayani, SpPD., Dr. Fransiskus Ginting, SpPD., Dr. Deske Muhadi, SpPD., Dr. Syafrizal Nst, SpPD., Dr. Ida Nensi Gultom, SpPD., Dr. Imelda Rey, SpPD., Dr. Anita Rosari, SpPD., Dr. Wika Hanida, SpPD., Dr. Radar R Ginting, SpPD., Dr. Ameliana Purba, SpPD., dan Dr. Taufik Sungkar, SpPD., sebagai dokter kepala ruangan / senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

8. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini..

9. Kepada teman-teman seangkatan yang memberikan dorongan semangat: Dr. Halomoan Budisusanto, Dr. Fahmi, Dr. Trio A. L. Putra, Dr. Johannes Purba, Dr. Terang Meliala, Dr. Melati Nasution, Dr. Sumi Ramadhani. Juga para sejawat dan PPDS interna lainnya yang tidak dapat saya sebut satu persatu, paramedik dan Syarifuddin Abdullah, Kak Leli, Erjan, Deni, Fitri, Wanti, Yanti, Tika (lab HOM) dan Sari atas kerjasama yang baik selama ini.

10. Para co-asisten dan petugas kesehatan di SMF / Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr. Pirngadi Medan / RS Haji Medan / RS Tembakau Deli, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

11. Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.

(9)

kebahagian kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi. Demikian juga mertua saya dr. Lindung Sofyan Lumbantoruan, Sp.B dan Ny. Jusnalis br.

Ritonga yang telah mendukung, membimbing, menyemangati dan menasihati

agar kuat dalam menjalani pendidikan, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya. Semoga Allah memberikan kesehatan dan kebahagiaan kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.

Kepada istriku tercinta drg. Merry Christie Ellora br. Lumbantoruan

dan kedua putriku tercinta Glory Felicia Joice br. Situmorang dan Gracia

Minerva br.Situmorang, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan

dan dukungan yang telah diberikan selama ini. Semoga apa yang kita capai dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan diberkati Tuhan.

Kepada abangku dan kakak dr. Mulfanov B.A. Situmorang dan

Cahaya Evelina br. Sibarani, Amd yang telah banyak membantu memberi

semangat dan dorongan selama pendidikan, terima kasihku yang tak terhingga untuk segalanya.

Kepada kakakku dan iparku dr. Mulda Febrida Situmorang, Sp.OG

dan Pdt. Hotman Napitupulu, terimakasih atas semua bantuan, dana dan doa

yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini. Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Esa yang maha pengasih, maha pemurah dan maha penyayang.

Medan, Pebruari 2012 Penulis

(10)

Abstrak

Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada Pasien

Dengan Pneumonia Komunitas Terhadap Skor CURB-65 ”

Alfred T. Situmorang, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang

Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan rencana tatalaksana selanjutnya. Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai biomarker untuk sepsis dan infeksi. PCT dapat berperan dalam diagnosis, memutuskan pemberian antibiotik dan prognosis penderita PK. Masih menjadi perdebatan apakah PCT memiliki hubungan dengan skor prognosis.

Tujuan :

Untuk mengetahui hubungan kadar procalcitonin terhadap skor CURB-65 pada saat awal pasien dengan pneumonia komunitas datang ke rumah sakit.

Bahan dan Cara :

Penelitian observasional dengan metode pengukuran cross sectional. Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), PCT, laboratorium darah, kultur sputum dan darah. Selanjutnya skor CURB-65 dihubungkan dengan PCT dan parameter lainnya.

Hasil :

Sebanyak 56 subjek penelitian dimana subjek yang tergolong dalam skor 65 berat sebanyak 8 orang, terdiri atas 1 orang (1,8%) subjek dengan skor CURB-65 tergolong berat memiliki PCT dibawah 0,1 ng/ml dan sisanya 7 orang (12,5%)

memiliki kadar PCT ≥ 0,5 ng/ml. Proporsi terbanyak didapatkan CURB-65 ringan berjumlah 32 orang (57,1%) dengan kadar PCT terbanyak berada di rentang 0,25-0,49 sebanyak 13 orang (23,2%). Setelah dilakukan uji korelasi spearman diperoleh hubungan signifikans antara derajat skor CURB-65 dengan peningkatan kadar PCT (p= 0,02)

Kesimpulan :

Procalcitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memiliki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor CURB-65 sehingga PCT dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien PK sejak awal masuk rumah sakit.

(11)

xi

Abstract

The Correlation Between Procalcitonin Levels and Prognosis Scoring CURB-65 in Community Acquired Pneumonia at Early Admission in Hospital

Alfred T. Situmorang, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Pulmonology and Allergy-Immunology Division

Internal Medicine Department

Faculty of Medicine University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital Medan

Background

The assessment of level severity in patient with community acquired pneumonia (CAP) is very important to determine the next management of disease. Procalcitonin (PCT) is known as one of biomarker sepsis and infection. The application of PCT is known to be used in diagnosis, to help clinician to decide antibiotic treatment and to make prognosis. It is still controversy whether the PCT at early admission is related in clinical scoring system or prognostic score.

Objective :

To determine the correlation between PCT and CURB-65 score in CAP patients at the early admission in hospital.

Materials and Methods :

This was an cross-sectional study. We had examined CAP subject with CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), PCT, other laboratory assessment and sputum and blood culture at the early admission at emergency room (ER). We had correlate the PCT levels with CURB-65 to determined prognostic utility of PCT.

Result:

Total of CAP subject was 56, consist of 8 subject with severe CURB-65 level. From those 8 patients, one subject with PCT levels below 0,1 ng/ml and 7 subjects

(12,5%) with PCT ≥ 0,5 ng/ml. The biggest proportion was in low severity of

CURB-65, about 32 subjects (57,1%) with PCT levels in 13 subjects (23,2%) was between 0,25-0,49. We had found correlation between CURB-65 with PCT using spearman correlation (p= 0,02)

Conclusion :

Procalcitonin is a biomarker of bacteria infection that has correlation with clinical scoring system CURB-65. PCT can be use to determine the prognosis in CAP at early admission.

Key Word : community acquired pneumonia, CURB-65 score, procalcitonin,

prognosis.

(12)

DAFTAR ISI

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 15

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.3.1 Aplikasi kadar PCT dalam interpretasi kuman pada pasien

infeksi saluran nafas bagian bawah ... 9 Tabel 2.5.1 Pneumonia Severity Index (PSI) ... 12 Tabel 5.1.1 Data karakteristik dasar subjek dengan pneumonia komunitas 24 Tabel 5.1.2 Hubungan procalcitonin terhadap skor CURB-65 ... 25 Tabel 5.1.3 Rerata kadar PCT pada penderita PK yang sepsis dan non-sepsis 26 Tabel 5.1.4 Korelasi antara nadi, laju pernafasan, ureum dan lekosit

dengan Procalcitonin ... 27 Tabel 5.1.5 Hubungan PCT dengan jumlah lekosit ... 27 Tabel 5.1.6 Rerata kadar PCT pada subjek dengan kultur darah positif

dan Kultur darah negatif ... 28

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.2.1 Struktur Procalcitonin ... 5

Gambar 2.3.1 Manfaat Procalcitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah ... 9

Gambar 2.5.1 Skor CURB - 65 ... 13

Gambar 5.1.1 Korelasi antara PCT dengan skor CURB-65 ... 25

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

ATS : American Thoracic Society AUC : Area Under Curve

BACTEC : Best Patient Care Drug Neutralization Capabilities BM : Berat Molekul

BTS : British Thoracic Society CALC-I : Calcitonin-I

CCP-I : Calcitonin peptide-I CRP : C- Reactive Protein

CURB-65 : Confusion, Ureum, Respiratory rate, Blood pressure Age 65.

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Dkk : Dan kawan-kawan

DM : Diabetes Mellitus

ECLIA : Electrochemiluminesence Immunoassay IDSA : Infectious Disease Society of America

IFN-ϒ : Interferon Gamma ILMA : Immunoluminometric assay

LBP : Lipopolysaccaride Binding Protein Mg : Miligram

mmHg : Millimeter air raksa

mRNA : Messenger Ribo Nucleic Acid n : Jumlah subjek penelitian

p : Tingkat kemaknaan

(16)

PF 1,2 : Prothrombin Fragment 1,2 PK : Pneumonia Komunitas PSI : Pneumonia Severity Index

PT : Protrombin Time

ROC : Receiving Operating Curve

RT-PCR : Multiple Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction

RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

SD : Standar Deviasi

SE : Standar Error

SIRS : Systemic Inflamatory Response Syndrome SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga

SMART : Sensitivity and specificity, Measureable, Affordable, Responsive and reproducible, timely fashion

TDD : Tekanan Darah diastolik TDS : Tekanan Darah sistolik

TREM-1 : Trigerring Receptor Expressed on Myeloid-1 TNF-α : Tumour Necrosis factor alpha

Zα : Deviat baku normal untuk α

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1. Lembar Penjelasan Kepada Subjek ... 39

LAMPIRAN 2. Lembar Persetujuan Subjek Penelitian ... 40

LAMPIRAN 3. Lembar Kerja Profil Peserta Penelitian ... 41

LAMPIRAN 4. Lembar Persetujuan Komite Etik Penelitian ... 42

LAMPIRAN 5. Master Tabel Hasil Penelitian ... 43

LAMPIRAN 6. Uji Statistik ... 46

LAMPIRAN 7. Daftar Riwayat Hidup ... 56

(18)

Abstrak

Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada Pasien

Dengan Pneumonia Komunitas Terhadap Skor CURB-65 ”

Alfred T. Situmorang, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang

Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan rencana tatalaksana selanjutnya. Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai biomarker untuk sepsis dan infeksi. PCT dapat berperan dalam diagnosis, memutuskan pemberian antibiotik dan prognosis penderita PK. Masih menjadi perdebatan apakah PCT memiliki hubungan dengan skor prognosis.

Tujuan :

Untuk mengetahui hubungan kadar procalcitonin terhadap skor CURB-65 pada saat awal pasien dengan pneumonia komunitas datang ke rumah sakit.

Bahan dan Cara :

Penelitian observasional dengan metode pengukuran cross sectional. Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), PCT, laboratorium darah, kultur sputum dan darah. Selanjutnya skor CURB-65 dihubungkan dengan PCT dan parameter lainnya.

Hasil :

Sebanyak 56 subjek penelitian dimana subjek yang tergolong dalam skor 65 berat sebanyak 8 orang, terdiri atas 1 orang (1,8%) subjek dengan skor CURB-65 tergolong berat memiliki PCT dibawah 0,1 ng/ml dan sisanya 7 orang (12,5%)

memiliki kadar PCT ≥ 0,5 ng/ml. Proporsi terbanyak didapatkan CURB-65 ringan berjumlah 32 orang (57,1%) dengan kadar PCT terbanyak berada di rentang 0,25-0,49 sebanyak 13 orang (23,2%). Setelah dilakukan uji korelasi spearman diperoleh hubungan signifikans antara derajat skor CURB-65 dengan peningkatan kadar PCT (p= 0,02)

Kesimpulan :

Procalcitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memiliki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor CURB-65 sehingga PCT dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien PK sejak awal masuk rumah sakit.

(19)

xi

Abstract

The Correlation Between Procalcitonin Levels and Prognosis Scoring CURB-65 in Community Acquired Pneumonia at Early Admission in Hospital

Alfred T. Situmorang, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Pulmonology and Allergy-Immunology Division

Internal Medicine Department

Faculty of Medicine University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital Medan

Background

The assessment of level severity in patient with community acquired pneumonia (CAP) is very important to determine the next management of disease. Procalcitonin (PCT) is known as one of biomarker sepsis and infection. The application of PCT is known to be used in diagnosis, to help clinician to decide antibiotic treatment and to make prognosis. It is still controversy whether the PCT at early admission is related in clinical scoring system or prognostic score.

Objective :

To determine the correlation between PCT and CURB-65 score in CAP patients at the early admission in hospital.

Materials and Methods :

This was an cross-sectional study. We had examined CAP subject with CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), PCT, other laboratory assessment and sputum and blood culture at the early admission at emergency room (ER). We had correlate the PCT levels with CURB-65 to determined prognostic utility of PCT.

Result:

Total of CAP subject was 56, consist of 8 subject with severe CURB-65 level. From those 8 patients, one subject with PCT levels below 0,1 ng/ml and 7 subjects

(12,5%) with PCT ≥ 0,5 ng/ml. The biggest proportion was in low severity of

CURB-65, about 32 subjects (57,1%) with PCT levels in 13 subjects (23,2%) was between 0,25-0,49. We had found correlation between CURB-65 with PCT using spearman correlation (p= 0,02)

Conclusion :

Procalcitonin is a biomarker of bacteria infection that has correlation with clinical scoring system CURB-65. PCT can be use to determine the prognosis in CAP at early admission.

Key Word : community acquired pneumonia, CURB-65 score, procalcitonin,

prognosis.

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pneumonia memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di seluruh dunia. Di Indonesia, berdasarkan data studi mortalitas dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 mencatat kematian akibat pneumonia dan infeksi saluran nafas sebanyak 34/100.000 penduduk (pada pria) dan 28/100.000 penduduk (pada wanita).(1) Hardiyanto,dkk melaporkan dari 235 pasien yang dirawat di R.S. Hasan Sadikin Bandung, sebanyak 75,3% menderita pneumonia komunitas (PK).(2) Di negara maju seperti Amerika Serikat, PK menyebabkan angka rawatan 1,3 juta orang per tahun(3,4,5) dan tercatat sebagai penyebab terbesar sepsis berat dan kematian terbanyak akibat infeksi.(4,5) Tingginya angka kejadian dan dampak mortalitas diikuti oleh tingginya biaya kesehatan terutama pada penderita PK berat.(4,5)

Pada penderita PK, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan tatalaksana selanjutnya.(5-9) Hal inilah yang mendorong lahirnya skor prognostik seperti CURB-65 (Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years) dengan segala modifikasinya, maupun PSI (pneumonia severity index) dan penelitian akan petanda inflamasi dan infeksi seperti CRP (C-Reactive Protein), procalcitonin, TNF-alpha (tumour necrosis factor alpha), dll.(5,6)

(21)

Christ-Crain dkk, nilai PCT ( dengan cut-off≥ 0,25 ng/ml) dipakai sebagai pertimbangan untuk memutuskan pemberian antibiotik dibandingkan dengan pertimbangan klinis standar. Hasil yang didapat yaitu berkurangnya 50% penggunaan antibiotik pada pasien dengan infeksi saluran nafas bagian bawah. Hal ini ditegaskan kembali oleh peneliti yang sama pada studi lainnya dimana kurangnya hari rawatan dari 12 hari menjadi 5 hari dengan durasi penggunaan antibiotik berkurang hingga 65% tanpa mengubah dampak klinis penderita PK.(13,14)

Sebagai alat prognostik, studi oleh Huang dkk, mendapatkan kadar PCT< 0,1 ng/ml dapat memprediksi risiko kematian akibat PK yang rendah. Pada studi Jean dkk, PCT dihubungkan dengan skor derajat keparahan pneumonia. Pada penderita pneumonia dengan nilai PSI yang rendah (PSI, kelas I-II), PCT ternyata dapat memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada pneumonia bakteri dibanding non-bakteri. Pada penderita dengan PSI tinggi (PSI kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding diagnostik.(4,5,9) Kruger dkk, dalam suatu studi yang melibatkan 1671 pasien PK melaporkan bahwa kadar PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang sama dengan skor CRB-65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Meskipun pada studi ini didapatkan bahwa kadar PCT ≤ 0,228 ng/ml memiliki risiko kematian yang rendah akibat PK dan adanya hubungan antara kenaikan kadar PCT dengan skor CRB-65(15), akan tetapi studi ini tidak dilaporkan bagaimana hubungan antara PCT dengan kuman penyebab dan tidak dapat menjelaskan bagaimana peran ureum jika disertakan dalam menentukan derajat keparahan PK. Temuan ini amat penting untuk mengenali derajat keparahan dan karakteristik PK pada saat awal masuk sehingga dapat direncanakan tatalaksana dini yang lebih baik terutama memberi keyakinan kepada klinisi untuk memulai antibiotika empirik. Selain itu, terdapat 2 (dua) studi terdahulu yang bertentangan sehingga peran procalcitonin sebagai prediktor prognostik menjadi tidak jelas. Masia dkk mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat keparahan PSI dan hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan komplikasi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Beovic, dkk yang menegaskan tidak ada

(22)

hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI.(4) Oleh sebab itu, peneliti berminat melakukan suatu penelitian yang mencari hubungan antara kadar PCT terhadap skor prognostik, dalam hal ini CURB-65 pada awal pasien PK datang ke rumah sakit. Selain itu, hingga saat ini penelitian sejenis belum pernah dilakukan di Medan.

1.2. Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan kadar procalcitonin terhadap skor CURB-65 pada saat awal pasien dengan pneumonia komunitas datang ke rumah sakit ?

1.3. Hipotesa

Semakin tinggi kadar procalcitonin pada saat awal penderita pneumonia komunitas datang ke rumah sakit semakin berat skor CURB-65.

1.4. Tujuan Penelitian

Diketahuinya hubungan kadar procalcitonin terhadap skor CURB-65 pada saat awal pasien dengan pneumonia komunitas datang ke rumah sakit.

1.5. Manfaat Penelitian

 Dapat membantu klinisi dalam mengidentifikasi hubungan derajat keparahan pneumonia dengan petanda inflamasi sehingga dapat menentukan tatalaksana pasien pneumonia komunitas sejak dini.

 Membantu meyakinkan klinisi dalam mengambil keputusan untuk pemberian antibiotika sejak awal.

(23)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomarker pada Pneumonia

Pneumonia merupakan kumpulan gejala (demam, nyeri pleuritik, sesak nafas) dan tanda ( infiltrat paru) yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat mempengaruhi penderitanya secara sistemik.(7) Sebagai penyakit infeksi yang terjadi di parenkim paru, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi pelepasan sitokin pro inflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi.(16)

Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali pneumonia tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan diagnosis yang akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi.(9) Dalam suatu analisis receiving operating characteristic (ROC) yang bertujuan untuk menilai akurasi diagnostik dalam membedakan PK yang dikonfirmasi melalui radiologik dengan kondisi medik lainnya. Didapatkan kelemahan gambaran klinik (seperti: demam, batuk, produksi sputum, temuan auskultasi yang abnormal) dalam mendiagnosis PK dengan area under curve (AUC) sebesar 0,79. Temuan ini dapat dibandingkan dengan jumlah total lekosit (AUC: 0,69), C-Reactive Protein/CRP (AUC: 0,76) dan PCT (AUC: 0,88).(5,12,14) Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa biomarker seperti CRP, terutama PCT dapat berperan banyak dalam diagnosis PK.(14)

Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang tidak dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non inflamasi dan akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami penurunan saat proses inflamasi mereda.(9)

Dalam hal membantu tegaknya diagnosis pneumonia, beberapa biomarker telah dikenal, seperti: CRP, lekosit total, immunoglobulin, PCT dan Triggering receptor expressed on myeloid cell-1 (TREM-1). Beberapa biomarker lain yang masih dalam tahap studi untuk penggunaannya pada pneumonia antara lain: copeptin, kortisol, endotoksin dan proadrenomedullin.(9) Saat ini, PCT dikenal

4

(24)

sebagai biomarker yang manfaatnya menjanjikan. Konsentrasi PCT yang hanya meningkat pada infeksi bakteri dan tetap rendah pada infeksi virus membuat biomarker ini banyak digunakan untuk penyakit seperti sepsis, meningitis dan pneumonia. Studi terkini menunjukkan PCT dapat sebagai faktor prognosis pada keadaan sepsis dan pneumonia.(17,18)

2.2. Procalcitonin

Procalcitonin adalah prohormon calcitonin, berupa peptida yang terdiri atas 116 asam amino (Gambar 2.1.1) yang dilepaskan oleh sel C tiroid dalam keadaan normal dan konsentrasinya sangat rendah (<0,05 ng/ml(11), dengan alat yang paling sensitif didapatkan nilai: 0,033± 0,003(19)). Pada infeksi mikroba akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan lepasnya PCT dari seluruh sel parenkim dan sel-sel yang terdiferensiasi di hati maupun sel-sel mononuklear.(10,20) Pelepasan mediator inflamasi PCT dapat diinduksi melalui 2 proses, antara lain: (11)

1. Terlepasnya toksin yang ada di dalam mikroba (endotoksin)

2. Respon immunitas selluler yang diperantarai oleh sitokin pro inflamasi seperti: Interleukin 1b, Interleukin 6 dan TNF-alpha.

Sumber : Tannafos, 2008(19)

Gambar 2.2.1. Struktur Procalcitonin

(25)

bekerja.(11) Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa keadaan seperti trauma, pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar, sindroma distress pernapasan, infeksi, nekrosis setelah pankreatitis akut dan reaksi penolakan jaringan pada transplantasi dapat meningkatkan kadar PCT.(10,21-23) Rendahnya kadar PCT tidak selalu meniadakan infeksi bakteri. Keadaan false negative ini dapat disebabkan oleh, antara lain: tahap awal infeksi, infeksi terlokalisir, endokarditis infeksi subakut, infeksi oleh kuman atipikal (terutama kuman intraselluler).(11)

PCT akan meningkat setelah 2-3 jam induksi dari endotoksin. Kadarnya kemudian terus naik secara cepat hingga menjadi ratusan nanogram per ml pada sepsis berat dan syok sepsis, mencapai plateau pada 6 – 12 jam. PCT akan terus meningkat dan menetap dalam 48 jam lalu turun ke nilai normal dalam 2 hari jika pengobatan berhasil dan ini menunjukkan prognosis yang baik. Jika kadar PCT terus meningkat dan tidak turun menunjukkan kegagalan terapi. Waktu paruh dari PCT sekitar 20 – 24 jam. Namun dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Pada gangguan ginjal waktu paruh dapat memanjang hingga 35 jam.(11)

Peningkatan kadar PCT pada infeksi bakteri lebih tinggi dibanding infeksi parasit (cth: Plasmodium sp), beberapa jenis jamur meskipun mikroorganisme ini juga merangsang makrofag untuk menghasilkan sitokin proinflamasi. Berbagai studi telah menyimpulkan bahwa PCT jarang sekali meningkat pada keadaan murni infeksi virus. Keadaan ini diakibatkan oleh rangsangan virus terhadap makrofag akan menghasilkan interferon gamma (IFN-gamma) yang kemudian akan menghambat sintesa tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha). TNF-alpha merupakan salah satu mediator inflamasi yang merangsang pelepasan PCT. Studi oleh Moulin dkk dan Holm A dkk mendapatkan peningkatan kadar PCT pada pasien pneumonia dengan kuman Streptococcus pneumonia dan Hemophilus Influenzae baik pada anak-anak maupun dewasa. Ingram dkk mendapatkan kenaikan PCT yang tidak tinggi pada pasien yang terinfeksi H1N1. (24,25)

Telah dikenal beberapa jenis pemeriksaan komersil PCT, seperti ILMA (immunoluminometric assay/ LIA; sensitifitas 0,3 ng/ml)(11), BRAHMS PCT-Q (sensitifitas 0,5 ng/ml)(12,27), VIDAS BRAHMS PCT (sensitifitas 0,09)(11,27), BRAHMS PCT KRYPTOR (rentang 0,02 – 5000 ng/ml)(12,26), Elecsys BRAHMS PCT (rentang 0,02 – 100 ng/ml)(26) yang menggunakan alat berbeda-beda namun

(26)

dengan metode deteksi yang sama sandwich principle. Pada pemeriksaan ini, antibodi pertama akan berikatan secara spesifik dengan katalcin dan terikat di suatu coated tube (tabung yang dilapisi) sedangkan antibodi kedua akan berikatan dengan terminal dari molekul calcitonin. Antibodi kedua ini akan dilabel dengan luminescent tracer dan akan berikatan dengan tabung yang sudah mengikat CCP-I (calcitonin peptide-I). Pengukuran kadar PCT selanjutnya dilakukan dengan luminometer yang akan menerima signal dari antibodi yang terikat luminescent tracer. Teknik pengukuran yang berlapis ini disebut metode sandwich.(27)

Dengan bervariasinya teknik maupun alat dalam mengukur PCT maka penting untuk mengetahui uji apa yang digunakan sebelum interpretasi hasil dilakukan. Penggunaan PCT-Q, dengan nilai ambang terendah 0,5 ng/ml, angka ini masih 10 kali lipat dari nilai normal PCT dan cukup banyak pasien dengan infeksi ringan yang tidak terdeteksi. Demikian juga dengan PCT-ILMA/ LIA, hasilnya tidak dapat dipercaya jika nilai billirubin dan trigliserida sangat tinggi. Saat ini, VIDAS PCT dengan mampu mendeteksi nilai PCT terendah 0,09 ng/ml dan PCT KRYPTOR dan Elecsys merupakan uji yang paling sensitif dan akurat.(27)

Sebelum memilih alat uji perlu diperhitungkan kondisi klinis yang dihadapi seperti :

a. Fokus infeksi

Infeksi saluran nafas, meningitis, infeksi intra abdomen, pankreatitis, dll. Setiap fokus infeksi memiliki perbedaan nilai PCT yang diharapkan. Infeksi yang sifatnya terlokalisir umumnya juga menghasilkan nilai PCT yang lebih rendah.(11,27)

b. Immunosupresi

Infeksi bakteri pada penderita HIV akan meningkatkan kadar PCT, namun nilainya tidak akan meningkat tajam dibanding pasien dengan HIV negatif.(11,28) Penggunaan steroid tampaknya tidak mempengaruhi PCT.(11)

c. Usia

(27)

2.3 Peran PCT dalam Diagnostik

Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan keunggulan PCT dengan sensitivitas (85% Vs 78%) dan spesifisitas (83% Vs 60%). PCT juga lebih sensitif dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus.(14) Simon dkk, dalam studinya secara tegas menyimpulkan bahwa dengan nilai cut off PCT < 0,25 ng/ml maka PK berat sudah dapat disingkirkan.(13,14,29)

Sejak Pasteur dan Sternberg berhasil mengkultur pneumococcus dari darah pada tahun 1881 dan Christian Gram berhasil mewarnainya 5 tahun kemudian, dalam diagnosis pneumonia juga dibutuhkan pembuktian kuman sehingga pengobatan dapat berdasarkan kuman penyebab.(24) Hingga saat ini, meskipun fasilitas identifikasi kuman yang sudah maju, sebanyak 70 % pasien yang terdiagnosis pneumonia komunitas dari radiologik tidak dijumpai kuman penyebab. Keadaan ini selanjutnya akan mempersulit keputusan klinisi untuk memulai antibiotik. Dalam keadaan ini studi oleh Christ Crain dkk memberi batasan kadar PCT ≥ 0,25 ng/ml mengindikasikan penyebab bakteri dan dapat dimulai pemberian antimikroba.(10,24)(gambar 2.3.1.)

Bagaimana interpretasi kadar PCT dihubungkan dengan mikrobiologi klinik dapat dilihat pada tabel 2.3.1. Studi ini menggunakan kultur darah/sputum, pemeriksaan antigen Streptococcus pneumonia dan Legionella pneumophila hingga multiple reverse transcription-Polymerese Chain Reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi etiologi kuman. Pada tabel ini terdapat 7 kemungkinan dengan interpretasinya. Kemungkinan kedua (baris ke-2) menunjukkan kenaikan kadar PCT tanpa dijumpai adanya kuman. Kondisi ini menunjukkan adanya respon immunitas innate terhadap patogen yang tidak dapat dideteksi oleh modalitas yang ada. Sedangkan adanya meskipun bakteri didapatkan belum dapat dipastikan bahwa kuman itu bersifat patogen atau invasif karena PCT akan meningkat dalam keadaan rangsangan immun yang tidak dipicu oleh kuman komensal/ tidak bersifat patogen.(24) Tampaknya penelitian ini tidak memperhitungkan kemungkinan adanya kuman-kuman yang tidak akan meningkatkan kadar PCT

(28)

seperti mycoplasma pneumonia yang bisa saja tidak terdeteksi dengan uji mikrobiologi.(25)

Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006(13)

Gambar 2.3.1. Manfaat Procalcitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah

Tabel 2.3.1 Aplikasi Kadar PCT Dalam Interpretasi Kuman pada Pasien Infeksi Saluran Nafas Bagian Bawah

Sumber : Journal of Clinical Microbiology, 2010(24)

2.4 PCT dalam Menentukan Prognostik

(29)

mortalitas dan komplikasi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Beovic, dkk yang menegaskan tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI.(7) Sebagai alat prognostik, studi oleh Huang dkk, melibatkan 2.000 penderita PK yang diketahui dari klinis dan radiologik, kemudian 1.651 pasien diikutsertakan dalam kohort selama 30 hingga 90 hari, setelah diambil serum PCT pada hari pertama. Juga dilakukan stratifikasi derajat keparahan PK dengan Pneumonia Severity Index dan CURB-65. Hasilnya, didapatkan juga kadar PCT< 0,1 ng/ml memiliki angka kematian hari ke-30 dan ke-90 akibat PK yang rendah meskipun skor PSI berada pada grup IV atau V. Keadaan ini juga dijumpai pada pasien dengan skor CURB-65 ≥ 3. Studi di atas menunjukkan bahwa sebagai alat prognostik, kadar PCT lebih baik dibandingkan daripada PSI dan CURB-65 (clinical scoring systems)(7,8)

Pada studi Jean dkk, PCT dihubungkan dengan skor derajat keparahan pneumonia. Pada penderita pneumonia dengan nilai PSI yang rendah (PSI, kelas I-II), PCT ternyata dapat memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada pneumonia bakteri dibanding non-bakteri. Pada penderita dengan PSI tinggi (PSI, kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding diagnostik.(7,8,31) Adanya inkonsistensi dalam beberapa studi yang mencoba mencari hubungan antara PCT dengan skor prognostik seperti PSI dan CURB-65 mendorong Kruger dkk, melakukan suatu studi pada 1671 pasien PK dan melaporkan bahwa kadar PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang sama dengan skor CRB-65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk mempermudah penelitian dilakukan di

sarana kesehatan primer. Pada studi ini didapati kadar PCT ≤ 0,228 ng/ml pada

awal pasien masuk memiliki risiko kematian yang rendah akibat PK. Temuan ini

hampir mendekati angka yang didapatkan oleh Christ Crains dkk (≤ 0,25

ng/ml).(31) Dalam suatu studi retrospektif mendapatkan kadar PCT > 1,5 ng/ml pada pasien PK yang terinfeksi Legionella sp memiliki risiko kematian dan kebutuhan akan fasilitas rawatan ICU yang tinggi.(28)

Schuetz dkk mencoba membandingkan kenaikan CRP, lekosit dengan PCT dalam menilai risiko kematian dalam 90 hari. Hasilnya, PCT memiliki akurasi yang lebih baik akan tetapi antara pasien yang meninggal dengan yang

(30)

selamat, tidak dijumpai rentang (range) PCT yang besar. Sedangkan jika PK dibagi sesuai dengan derajat keparahan, maka didapatkan rentang nilai PCT yang besar.(28)

Peran PCT sebagai prognostik pneumonia tidak hanya pada PK. Di Indonesia, Rumende dalam disertasinya membandingkan PCT dengan Lipopolysaccharide-Binding Protein (LBP) sebagai prognostik pasien dengan ventilator associated pneumonia (VAP) yang dirawat di ruang rawat intensif di RSCM. Hasilnya, PCT lebih sensitif dibanding LBP (80 – 81,3 % Vs 60 – 73 %) dalam menentukan kematian pasien VAP, akan tetapi keduanya memiliki spesifisitas yang rendah (25 – 30 %). Disimpulkan bahwa peningkatan PCT dapat menjadi petunjuk adanya respon tubuh terhadap infeksi bakteri oleh makrofag yang aktif sedangkan LBP yang dihasilkan oleh sel alveoli tipe 2 lebih menunjukkan beratnya keterlibatan paru. Jika kedua biomarker ini digabungkan, sensitifitasnya akan meningkat menjadi 88,5 – 96,3 % dengan spesifisitas 53,2 – 66,7 % untuk menentukan prognostik pasien VAP.(32)

2.5. Skor Klinis Pneumonia

Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting dalam tatalaksana PK. Hal ini membuat munculnya berbagai sistem skoring PSI, CURB-65, modified ATS (m-ATS) dsb. Skor PSI diperkenalkan pada tahun 1997 yang melibatkan 50.000 penderita pneumonia. Skor ini terdiri atas beberapa variabel klinik (Tabel 2.6.1) yang membagi pasien menjadi 5 tingkatan berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari (klas I= 0,1 – 0,4%; klas II= 0,6 -0,7%; klas III= 0,9 – 2,8%; klas IV= 4 – 10%; klas V: 27%). Skor PSI menunjukkan kemampuan prediksi yang baik dengan AUC: 0,74 -0,83 dan direkomendasikan pemakaiannya oleh American Thoracic Society (ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA). Akan tetapi, terlalu kompleks dan banyaknya variabel yang harus dinilai membuat sistem skor ini tidak praktis dan digunakan dalam klinik sehari-hari.(6,8)

(31)

3,2%. Skor 2= 13% masuk kategori risiko kematian sedang dan skor >3 masuk dalam skor kematian tinggi ( 3= 17%, 4= 41,5% dan 5= 57%). Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan PSI yaitu dengan AUC: 0,73 -0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel yang digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang terbaru menyadari kompleksitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan CURB-65.(6,8)

Baik skor PSI maupun CURB-65 sama-sama memiliki kelemahan yang sama, yaitu masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan skor CRB-65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini adalah dapat digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan memiliki peforma yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC: 0,69 – 0,78. Sayangnya, penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji.(6,30)

Tabel 2.5.1. Pneumonia Severity Index (PSI)

Sumber : QJ Med, 2009 (6)

Selain petanda inflamasi, sistem koagulasi juga dikatakan memiliki potensi dalam menilai risiko kematian penderita PK. Aktifasi sistem koagulasi dan aktifitas fibrinolisis merupakan gambaran yang dijumpai pada keadaan sepsis berat.(14) Querol-Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma D-dimer terhadap mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih banyak terjadi pada pasien dengan D-dimer yang tinggi ( 3.786 Vs 1.609 ng/ml dengan p< 0,00001). Selain itu, didapatkan juga hubungan linier antara D-dimer dengan skor

(32)

PSI.(31) Hasil ini membuka peluang untuk penelitian terhadap petanda koagulasi lainnya seperti prothrombin fragment 1.2 (PF1.2), thrombin-antithrombin complex dan fibrinogen dalam hubungannya terhadap PK.(5,14)

Sumber: Thorax, 2009 (7)

Gambar 2.5.1. Skor CURB- 65 2.6. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas

Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10% dari penderita harus dirawat di ICU (intensive care unit). Pada PK yang dirawat jalan mortalitas sebesar diperkirakan < 5%, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas meningkat hingga 12% dan akan semakin meningkat menjadi 22% jika pasien dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat (PK berat) yang ditandai dengan adanya disfungsi organ.(34)

(33)

Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician (ACCP) and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis berat dan syok sepsisdibawah ini:

- Bakteremia : adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan kultur darah

positif.

- SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau lebih

keadaan berikut :

1. Suhu > 38ºC atau < 36ºC

2. Takikardia (HR > 90 kali/menit)

3. Takipneu (RR > 20 kali/menit) atau PaCO2 < 32 mmHg 4. Lekosit darah > 12.000/µL, < 4.000/µL atau netrofil batang > 10%

- Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman.

- Sepsis berat : sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi

atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.

- Syok sepsis :sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi

cairan secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ.

- Hipotensi : tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40

mmHg dari tekanan darah normal pasien.

- Multiple Organ Dysfunction Syndrome: Disfungsi dari satu organ atau lebih, memerlukan Intervensi untuk mempertahankan homeostasis.(35,36)

Dremsizov, dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil yang didapat antara lain bahwa 50 % dari penderita PK yang dirawat akan jatuh ke sepsis. Selain itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik dalam memprediksi perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini adalah dapat digunakannya PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk adanya disfungsi organ.(37)

(34)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Pneumonia komunitas adalah infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi toraks atau temuan auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara nafas atau ronkhi setempat) pada orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak

berada pada fasilitas perawatan jangka panjang selama ≥ 14 hari sebelum timbulnya gejala ataupun dalam rawatan rumah sakit ≤ 48 jam.33

3.2.2. Penilaian derajat keparahan penyakit adalah suatu alat bantu klinisi untuk membuat keputusan klinik seperti kebutuhan rawat inap, pemberian terapi intravena dan rencana monitoring lanjutan yang diperlukan oleh klinisi di tingkat primer maupun sekunder.6

3.2.3. Procalcitonin adalah suatu precursor calcitonin yang mengandung 116 asam amino dan dihasilkan oleh sel C dari kelenjar tiroid dengan kadar kosentrasi yang sangat rendah pada orang sehat ( 0,033±0,003 ng/ml)19 3.2.4. Derajat keparahan pneumonia dinilai berdasarkan skor CURB- 65

menurut acuan BTS (British Thoracic Society) 2009, seperti yang terlihat pada uraian di bawah ini:7

Penderita Pneumonia Komunitas

Derajat Keparahan Pneumonia Pada Awal Masuk Rumah Sakit

Procalcitonin

Skor CURB-65 Hubungan

(35)

1. Konfusio/Confusion : gangguan kesadaran yang baru terjadi atau adanya abnormalitas skor mental.

2. Urea : > 7 mmol/l ; > 20 mg/dl.

3. Laju pernapasan/Respiratory rate: ≥ 30x/menit.

4. Tekanan darah/ Blood Pressure: adanya tekanan darah

rendah (sistolik ≤ 90 mmHg dan atau diastolik ≤ 60 mmHg)

5. Umur/Age≥ 65 tahun.

Rentang nilai pada skor di atas adalah 0- 5 dimana setiap kriteria bernilai satu.

Untuk penilaian konfusio dapat dibantu dengan skor mental yang telah disesuaikan dengan pengetahuan di Indonesia.

Skor Mental (disesuaikan) 1. Berapa usia anda?

2. Kapan tanggal lahir anda?

3. Jam berapa saat ini?( tidak perlu menitnya) 4. Tahun berapa saat ini?

5. Apa nama Rumah Sakit yang anda datangi ini ?

6. Mengenal 2 orang ( contoh: dokter, perawat, anggota keluarga)

7. Alamat rumah saudara?

8. Menghitung mundur angka 20 sampai 1 9. Siapa nama Presiden Indonesia saat ini? 10. Tahun berapa Indonesia merdeka?

Setiap pertanyaan bernilai 1 dan jika nilai yang didapat ≤ 8, maka dapat

ditegakkan adanya konfusio pada penderita PK.

(36)

BAB IV

BAHAN DAN METODE

4.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian adalah observasional dengan metode pengukuran cross-sectional.

4.2. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2011 s/d Pebruari 2012 di Instalasi Gawat Darurat, Ruang Rawat Inap dan Poliklinik Pulmonologi dan Alergi Immunologi RS H. Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan.

4.3. Subjek Penelitian

Penderita Pneumonia Komunitas yang dirawat inap maupun rawat jalan di Rumah Sakit H. Adam Malik .

4.4. Kriteria Inklusi

1. Usia di atas 18 tahun

2. Gambaran klinis dan radiologik sesuai dengan diagnosis pneumonia.

3. Bersedia mengikuti penelitian.

4.5. Kriteria Eksklusi

1. Pasien pindahan dari rumah sakit lain.

2. Baru pulang dari rumah sakit 10 hari yang lalu. 3. Menderita pneumonia dalam 30 hari terakhir. 4. Menggunakan ventilasi mekanik.

5. Pasien dengan fibrosis kistik paru maupun tuberkulosis paru yang aktif.

(37)

4.6. Besar Sampel

Studi ini menggunakan sampel tunggal untuk uji hipotesis proporsi suatu populasi.

Dan perkiraan besar sampel :

(Zα√P0Q0 + Zβ√PaQa)2 = 1,96√0,198 x 0,802 + 1,036√0,398x 0,602 ( Po – Pa)2 (0,2)2

= 51,4≈ 52 orang.

Dimana: Zα: deviat baku untuk α = 0,05 : 1,96 Zβ: deviat baku untuk β= 0,10: 1,036 Pa: Proporsi sekarang : 0,398

Qa= 1 – Pa= 1- 0,398= 0,602 Po: Proposi terdahulu : 0,198 *

Qo= 1- Po = 1- 0,198= 0,802 Keterangan: *Christ Crain dkk, 2006 (13)

4.7. Cara Kerja

a. Seluruh pasien yang didiagnosis menderita pneumonia komunitas dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi. Setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, ureum, creatinin, procalcitonin , kultur sputum dan kultur darah.

b. Dilakukan penilaian derajat keparahan pneumonia dengan skor CURB-65. Jika subjek memiliki skor 0-1 maka disebut ringan, skor 2 disebut sedang dan jika berada pada skor 3-5 disebut berat.

c. Kadar procalcitonin diukur menggunakan metode

electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA) dengan reagen kit Elecsys BRAHMS PCT dan dengan alat cobas 6000.

(38)

4.7.1. Pengambilan sampel darah

 Sampel darah diambil dari vena mediana cubiti dengan terlebih dahulu dilakukan tindakan anti septik dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Pengambilan darah sebanyak 6 cc dilakukan dengan menggunakan dispossible syringe 10 cc yang dibagi atas 2 bagian. Bagian pertama sebanyak 3 cc darah dengan antikoagulan EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap. Bagian kedua sebanyak 3 cc darah tanpa antikoagulan dan diambil serumnya untuk pemeriksaan PCT Pengambilan sampel darah dilakukan tanpa memperdulikan hari keberapa pasien dirawat, dimana apabila ditemukan pasien sepsis maka diambil sampel darahnya dalam waktu 24 jam. Dan pada saat pengambilan sampel darah , pasien dalam posisi berbaring.

Pemeriksaan darah lengkap dilakukan dengan alat Cell Dyne 3700 dan morfologi darah tepi diidentifikasi dari blood film dengan pewarnaan Giemsa. Pemeriksaan Laju Endap Darah dilakukan dengan cara Westergren.

4.7.2. Teknik Pemeriksaan PCT

Prinsip tes : Sandwich principle. Total durasi pemeriksaan: 18 menit.

 Inkubasi 1 : antigen dalam sampel (30uL), suatu antibodi spesifik PCT biotinylated monoclonal dan suatu antibody spesifik monoklonal yang di label dengan kompleks ruthenium dan bereaksi membentuk kompleks sandwich.

 Inkubasi 2 : Setelah penambahan mikropartikel yang dilapisi streptavidin, kompleks akan menjadi berikatan ke solid phase melalui interaksi dari biotin dan streptavidin

(39)

 Hasil ditentukan melalui kurva kalibrasi yang merupakan instrument spesifik oleh 2-point calibration dan suatu kurva master yang disediakan melalui barcode reagen.

 Berdasarkan kadar procalcitonin subjek penelitian akan dibagi menjadi 4 kelas yaitu:

Klas I : PCT < 0,1 ng/ml Klas II : 0,1≤ PCT <0,25 ng/ml

Klas III: 0,25≤ PCT <0,5 ng/ml Klas IV: PCT ≥ 0,5 ng/ml

4.7.3. Kultur Darah dan GAL dengan BACTEC 9050

Prinsip Pemeriksaan: Membiakkan dan menginokulasikan bakteri yang

terdapat pada sampel darah pada media agar. Jika terdapat pertumbuhan koloni bakteri, dilakukan identifikasi dan selanjutnya dilakukan uji kepekaan.

Metode: Kultur Sampel

 Jenis : Darah

 Volum : 8-10 ml (untuk pasien dewasa), 1-3 ml (untuk pasien anak)

 Stabilitas: 24 Jam pada suhu ruang pada media Bactec plus Aerobic Langkah Kerja

 Persiapan  Prosedur Kerja Penanganan Sampel

- Disinfeksi penutup botol dengan kapas alkohol 70%

- Dengan menggunakan spuilt, masukkan 8-10 ml (untuk pasien dewasa) darah ke dalam botol Bactec Plus Aerobic atau 1-3 ml (untuk pasien anak) darah ke dalam botol Bactec Peds Plus.

- Masukkan botol ke alat Bactec 9050 - Inkubasi botol fan aerobic selama 5 hari - Keluarkan botol dari alat Bactec 9050

(40)

Inokulasi Sampel

- Dengan menggunakan spuit, ambil 1 ml sampel dari botol yang menunjukan hasil positif kemudian ratakan dengan ose (dilakukan secara aseptis) pada permukaan media agar.

- Inkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam.

- Lakukan pewarnaan Gram, identifikasi dan atau uji kepekaan terhadap koloni tersangka

Catatan : untuk kultur Gal, lakukan konfirmasi dengan test serologi anti

sera terhadap salmonela. 4.7.4. Kultur sputum

o Satu ose bahan sputum ditanam ke media padat blood agar dan Mc

Conkey, masukkan ke inkubator 37 C selama 24 jam.

o Dibaca dan dilihat pertumbuhan bakterinya, jika tumbuh dibuat

direct smear dan dilakukan pengecatan gram.

o Bahan yang tumbuh di Mc Conkey agar, dilanjutkan ke reaksi biokimia untuk dimasukkan lagi ke inkubator selama 24 jam dan dibaca serta ditentukan jenis kumannya.

o Kalau hanya tumbuh pada blood agar, langsung dibaca dan ditentukan jenis kumannya.

d. Selanjutnya skor CURB-65 yang didapat akan dicari hubungannya dengan kadar PCT.

4.8. Analisa Data

 Untuk melihat gambaran karasteristik dan kadar PCT pada subjek PK disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan.

 Untuk melihat hubungan kadar PCT berdasarkan tingkatannya terhadap derajat keparahan PK dengan skor CURB-65 digunakan uji Chi square, jika tidak memenuhi syarat maka digunakan Kolmogorov smirnov dan jika tidak memenuhi digunakan korelasi spearman.

(41)

sedangkan untuk data distribusi tidak normal digunakan korelasi spearman

 Untuk menilai perbedaan rerata pada dua kelompok digunakan uji t independent atau Uji Mann-Whitney.

 Untuk menilai hubungan PCT dengan jumlah lekosit digunakan Fischer exact test.

 Analisa data menggunakan program SPSS 15 for windows

 Untuk semua uji statistik p < 0,05 dianggap bermakna dalam statistik.

4.9. Ethical Clearence dan informed consent

Ethical clearence (izin untuk melakukan penelitian) diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP (K) pada tanggal 1 Juli 2011 dengan nomor 102/KOMET/FK USU/2011.

Informed consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian yang bersedia untuk ikut dalam penelitian setelah mendapatkan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian ini.

(42)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Selama periode penelitian (Juli 2011 s/d Pebruari 2012) di Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS. H. Adam Malik Medan diperoleh 56 subjek penelitian dengan pneumonia komunitas. Seluruh subjek penelitian merupakan pasien rawat inap. Pada saat pengambilan sampel darah tidak satupun subjek yang dirawat di ruang intensif. Hanya 18 orang (32%) subjek yang dijumpai infiltrat dari radiologik, sisanya dijumpai infiltrat pada pemeriksaan fisik. Tiga puluh tiga (58,9%) subjek berjenis kelamin pria dan 23 (41,07%) merupakan wanita dengan usia rata-rata (±SD) 52,98 ± 14,86 tahun.

Rentang nilai Hb terletak antara 8,9 – 13,8 gr/dl dengan rerata 10,9± 2,9 gr/dl. Rerata lekosit (19.777 ± 45.762/mm3), ureum (60,3 ± 52,7mg/dl) dan kreatinin (1,7 ± 2,56 mg/dl) meningkat dari nilai normal. Empat puluh

empat subjek penelitian memiliki PCT ≥ 0,25 ng/ml (78,6%). Tidak ada

subjek penelitian yang skor CURB-65 ≥ 4 dan 27 orang (48,2%) berada pada skor 1. Kultur darah didapatkan pada 48,2% dimana 6 orang (10,7%) kultur darah positif. Kuman komensal kulit (Staphylococcus saprophyticus, Streptococcus viridians, Streptococcus epidermidis dan Streptococus agalatica) mendominasi hasil kultur darah dan dua lagi dengan Enterobacter aerogens dan Klebsiella pneumonia. Kultur dahak hanya diperoleh pada 8 orang (14,2%) dimana 50% ( 4 orang) dari kultur dahak positif. (Tabel 5.1.1.) Empat bakteri yang terdeteksi pada sputum antara lain Klebsiela pneumonia, Pseudomonas aeroginosa, Klebsiela oxytoca dan Streptococcus viridians.

Subjek yang tergolong dalam skor CURB-65 berat sebanyak 8 orang, terdiri atas 1 orang (1,8%) subjek dengan skor CURB-65 tergolong berat memiliki PCT dibawah 0,1 ng/ml dan sisanya 7 orang (12,5%) memiliki

kadar PCT ≥ 0,5 ng/ml (tabel 5.1.2.). Proporsi terbanyak didapatkan

(43)

banyak berada di rentang 0,25-0,49 sebanyak 13 orang (23,2%). Setelah dilakukan uji korelasi spearman diperoleh hubungan (r = 0,306) signifikan antara derajat skor CURB-65 terhadap peningkatan kadar PCT dengan p= 0,02 (Gambar 5.1.1).

Tabel 5.1.1 Data karakteristik dasar subjek dengan pneumonia komunitas

(44)

Tabel 5.1.2. Hubungan procalcitonin terhadap skor CURB-65*

PCT (ng/ml)

Skor CURB-65

Total 0-1 (ringan)

n (%)

2 (sedang)

n (%)

3-5 (berat)

n (%)

PCT< 0,1 3 (5,4%) 1(1,8%) 1(1,8%) 5(8,9%)

0,1≤PCT<0,25 6(10,7%) 1 (1,8%) 0(0%) 7(12,5%)

0,25≤PCT<0,5 13(23,2%) 7 (12,5%) 0(0%) 20(35,7%)

PCT≥ 0,5 10(17,9%) 7 (12,5%) 7(12,5%) 24(42,9%)

Total 32(57,1%) 16 (28,6%) 8(14,3%) 56(100%)

*Korelasi Spearman p=0,02

Skor Curb 65

3 2.5

2 1.5

1

Pr

oca

l C

iton

in

4

3.5

3

2.5

2

1.5

1

R Sq Linear = 0.067

Gambar 5.1.1. Korelasi antara PCT dengan skor CURB-65

(45)

Gambar 5.1.2. Nilai median PCT terhadap skor CURB-65

Nilai median PCT semakin meningkat sesuai dengan semakin memberatnya skor CURB-65. Beberapa subjek penelitian memiliki kadar PCT di luar rentang dan median karena kadar PCT tidak terdistribusi dengan normal (Gambar 5.1.2)

Tabel 5.1.3. Rerata kadar PCT pada penderita PK yang sepsis dengan non-sepsis*

PCT

ng/ml

Diagnosis n Mean SD SE

PK(non sepsis) 37 3,59 9,64 1,58

Sepsis 19 11,07 15,56 3,56

* Uji t independent p= 0,067

(46)

Tabel 5.1.4. Korelasi antara nadi, laju pernafasan, ureum dan lekosit dengan Procalcitonin

Variabel PCT

Nadi r = 0,307*

p< 0,022

Laju Pernafasan r = 0,382*

p< 0,004

Ureum r = 0,341*

p< 0,01

Lekosit r = 0,288*

p< 0,031

* Korelasi spearman

Sebanyak 19 orang (34%) subjek dengan sepsis. Peningkatan kadar PCT pada subjek penderita PK yang sepsis (11,07±15,56 ng/ml) dibanding non sepsis (3,59 ± 9,64 ng/ml) meskipun perbedaan itu tidak signifikan.(Tabel 5.1.3)

Tidak semua variabel yang diukur memiliki distribusi data yang normal seperti variabel tekanan darah diastolik, lekosit, ureum, creatinin dan PCT. Setelah dilakukan uji spearman (tabel 5.1.4) diperoleh korelasi antara nadi, laju pernafasan, ureum dan lekosit dengan kadar PCT. (p < 0,05)

Tabel 5.1.5. Hubungan PCT dengan jumlah lekosit*

Procalcitonin

Lekosit

Total

≥ 10.000 ≤ 10.000

≥ 0,25 ng/ml 39(69,6%) 5(8,9%) 44 (78,6%)

≤ 0,25 ng/ml 6(10,7%) 6(10,7%) 12 (21,4%)

Total 45(80,4%) 11(19,6%) 56 (100%)

*Fisher Exact Test p= 0,008

Hubungan antara lekosit (≥10.000/mm3 atau ≤10.000/mm3) dengan

PCT ( ≥ 0,25 atau ≤ 0,25 ng/ml) dijumpai signifikan (tabel 5.1.5) dimana

(47)

atas 10.000/mm3 dengan jumlah 39 orang (69,6%) sedangkan subjek

dengan PCT ≤ 0,25 ng/ml memiliki proporsi lekosit ≥ 10.000/mm3

lebih kecil yaitu 6 orang (10,7%).

Tabel 5.1.6. Rerata kadar PCT pada subjek dengan kultur darah positif dan kultur darah negatif *

PCT

ng/ml

Hasil Kultur

Darah

n Mean SD SE

Kuman - 21 4,36 8,12 1,77

Kuman + 6 20,30 25,33 10,34

* Uji Mann-Whitney p= 0,137

Dari subjek yang dilakukan kultur darah sebanyak 27 orang (48%), hanya 6 orang (10,7%) yang berhasil dijumpai kuman. Rerata kadar PCT didapatkan berbeda antara subjek dengan kuman positif (20,3± 25,33 ng/ml) dengan kuman negatif (4,36±8,12 ng/ml) , namun perbedaan ini tidak signifikan.(Tabel 5.1.6)

5.2.Pembahasan

Penilaian derajat keparahan penyakit merupakan salah satu langkah awal dalam menentukan rencana manajemen setelah menegakkan diagnosis. Kunci manajemen PK yang aman dan efesien adalah kemampuan untuk memprediksi pasien yang akan membaik atau justru akan mengalami perburukan.(4) Untuk mencapai tujuan ini, telah banyak sistem skoring klinis yang diuji manfaatnya, antara lain seperti skor CURB-65 (AUC: 0,73-0,83) maupun CRB-65 (AUC:0,69-0,78) telah tervalidasi untuk memprediksi kematian dalam 30 hari dan cukup sederhana untuk diterapkan.(6) Hubungan antara biomarker terhadap derajat keparahan penyakit dalam beberapa studi masih kontroversi. Keadaan ini digambarkan oleh studi oleh Masia,dkk maupun Beovic,dkk yang bertolak belakang dalam menyatakan hubungan PCT dengan PSI.(15,18) Senada dengan studi Beovic, Nayak, dkk juga menyimpulkan tidak ada hubungan antara PCT dengan PSI.(38) Studi prospektif oleh Huang, dkk yang juga

(48)

meneliti hubungan PCT terhadap PSI dan skor CURB-65 mendapatkan bahwa meskipun penderita PK tergolong dalam grup PSI IV dan V (berat) tetapi memiliki kadar PCT< 0,1ng/ml maka tidak akan terjadi peningkatan mortalitas sesuai dengan derajat PSI. Hal yang sama juga berlaku pada subjek dengan skor CURB-65 ≥4. Kadar PCT normal adalah indikator bahwa risiko mortalitas rendah pada penderita PK meskipun skor klinis berada pada tingkat PK berat.(4,5) Pada studi ini dihubungkan PCT dengan skor CURB-65 saat awal pasien masuk rumah sakit. Didapatkan pertambahan proporsi subjek dengan PCT berat yang sejalan dengan memberatnya skor CURB-65. Meskipun subjek penelitian ini tidak mendapat subjek dengan skor CURB-65 ≥4, temuan ini menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara kadar PCT dengan derajat keparahan penyakit dimana semakin meningkat skor CURB-65 semakin tinggi kadar PCT. Selain itu, semakin buruk prognosis penderita PK maka semakin tinggi kadar PCT yang diperoleh dan keadaan ini sudah dapat diperkirakan sejak awal pasien masuk. Temuan ini merupakan penegasan dari studi Kruger,dkk yang mendapatkan hubungan antara PCT dengan skor CRB-65 saat pasien awal pasien PK masuk rumah sakit.(15)

(49)

sederhana, parameter klinis dapat digunakan dalam menilai perbaikan dan perburukan PK.

Dengan alasan untuk mempermudah penilaian derajat keparahan PK di sarana pelayanan primer yang umumnya tidak memiliki fasilitas pemeriksaan laboratorium yang memadai, dilakukan penyederhanaan dengan menghilangkan variabel ureum pada skor CURB-65 menjadi skor CRB-65.(6) Ureum dikenal sebagai cerminan gangguan target organ akibat proses infeksi. Proses infeksi dapat mengganggu fungsi ginjal melalui gangguan aliran darah ke ginjal akibat dehidrasi (pre-renal) maupun gangguan akibat toksin dari kuman yang langsung merusak fungsi ginjal (renal).(40,41) Dalam keadaan dehidrasi terjadi penurunan volume intravaskular dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Tubulus ginjal yang permeabel terhadap ureum dan turunnya LFG akan membuat ureum lebih lama berada di dalam tubulus sehingga reabsorbsi ureum ke dalam darah semakin meningkat.(40) Dampak langsung infeksi terhadap ginjal (nefrotoksik) belum sepenuhnya dipahami. Induksi nitrit oxide, terlepasnya sitokin seperti tumour necrosis factor-alpha (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), IL-6, kemokines dan aktifasi netrofil oleh endotoksin dan peptida kemotaktik yang dihasilkan oleh dinding bakteri dikatakan berperan dalam mencetuskan gangguan ginjal akut.(41) Pada studi ini, kadar ureum juga berkorelasi dengan PCT (r = 0,342). Hal ini memberi petunjuk memberatnya proses infeksi bakteri oleh PK akan memberi dampak sistemik dan mengganggu faal organ, yang dalam hal ini adalah fungsi ginjal. Implikasi klinis dari temuan ini antara lain pentingnya ureum sebagai parameter untuk menilai beratnya infeksi akibat PK sehingga akan menambah validitas skor jika diikutsertakan dalam skor derajat keparahan PK. Dalam GuidelinesAmerican Thoracic Society (ATS) dikenal 9 kriteria (modified-ATS) untuk menentukan PK berat yang membutuhkan perawatan intensif dimana variabel gagal ginjal akut sebagai satu dari 4 kriteria mayor (selain kebutuhan ventilasi mekanik, pertambahan luas infiltrat >50% dalam 48 jam, kebutuhan akan vasopressor selama > 4 jam).(6)

Gambar

Gambar 2.2.1. Struktur Procalcitonin
Tabel 2.3.1 Aplikasi Kadar PCT Dalam Interpretasi Kuman pada Pasien Infeksi
Tabel 5.1.1 Data karakteristik dasar subjek dengan pneumonia komunitas
Tabel 5.1.2. Hubungan procalcitonin terhadap skor CURB-65*
+3

Referensi

Dokumen terkait

Procalsitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memilki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor PSI sehingga PCT dapat digunakan untuk

Manfaat Penelitian dengan diketahuinya hubungan derajat skor keparahan Pneumonia (CURB-65) terhadap nilai penghambat bekuan darah (Antithrombin III) pada saat awal pasien

Procalsitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memilki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor PSI sehingga PCT dapat digunakan untuk

antara kadar PCT terhadap skor keparahan pneumonia, dalam hal ini PSI pada awal. pasien PK datang

“ Hubungan Derajat Skor CURB-65 Saat Awal Masuk Pada Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Nilai Antithrombin III ( AT-III) “ yang merupakan persyaratan dalam menyelesaikan

Berdasarkan uraian di atas, peneliti berminat melakukan suatu penelitian yang mencari hubungan antara skor CURB-65 terhadap nilai antithrombin III (AT-III) pada saat awal pasien

Dari penelitian ini juga dijumpai rerata nilai Antithrombin III yang rendah sesuai dengan memberatnya derajat keparahan PK, yang dinilai berdasarkan skor CURB-65. Ini

Konsentrasi PCT yang hanya meningkat pada infeksi bakteri dan tetap rendah pada infeksi virus membuat biomarker ini banyak digunakan untuk penyakit seperti sepsis, meningitis