HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN
DENGAN BERATNYA PNEUMONIA KOMUNITAS
TESIS
Oleh
DOHARJO MANULLANG
NIM : 097101012
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN
DENGAN BERATNYA PNEUMONIA KOMUNITAS
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran
Klinik dan Spesialis Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
Oleh
DOHARJO MANULLANG
NIM : 097101012
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : Hubungan Kadar Procalcitonin dengan beratnya Pneumonia Komunitas
Nama Mahasiswa : Doharjo Manullang
NIM : 097101012
Program Studi : Magister Kedokteran Klinik - Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Pembimbing Tesis I Pembimbing Tesis II
dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP
dr. E.N Keliat, Sp.PD-KP
Disahkan oleh:
Ka.Dep.Ilmu Peny.Dalam Ketua TKP - PPDS
dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH
dr. H.Zainuddin Amir, SpP(K)
Telah diuji
Pada Tanggal : 3 Desember 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH
Anggota : Prof.dr.Haris Hasan, SpPD-SpJP
dr. Salli Roseffi Nasution SpPD-KGH
dr.Armon Rahimi, SpPD-KPTI
PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar
Nama : Doharjo Manullang
NIM : 097101012
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
di bawah ini :
Nama : Doharjo Manullang
NIM : 097101012
Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul : “ Hubungan Kadar Procalcitonin dengan beratnya Pneumonia Komunitas” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas
Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam
bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak
cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada tanggal : 3 Desember 2013
Yang menyatakan,
Abstrak
HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN DENGAN BERATNYA PNEUMONIA KOMUNITAS
Doharjo Manullang,E.N Keliat, Alwinsyah Abidin Divisi Pulmonologi, Alergi dan Imunologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H.Adam Malik Medan
Latar Belakang
Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukkan beratnya penyakit dan rencana tata laksana selanjutnya. Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai biomarker untuk sepsis dan infeksi. PCT dapat berperan dalam diagnosis, memutuskan pemberian antibiotik dan prognosis penderita PK
Tujuan
Untuk mengetahui hubungan kadar procalsitonin terhadap beratnya pneumonia komunitas yang datang ke rumah sakit.
Bahan dan Cara
Penelitian observasional dengan metode pengukuran cross sectional. Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor PSI dan PCT. Selanjutnya skor PSI dihubungkan dengan PCT dan parameter lainnya.
Hasil
Sebanyak 60 subjek penelitian dimana subjek yang tergolong dalam skor PSI berat sebanya 20 orang, terdiri atas 1 orang (1,7%) subjek dengan skor PSI tergolong berat memilki PCT 0,29 ng/ml dan sisanya 19 orang (31,7%) memiliki kadar PCT ≥ 0,5 ng/ml. Proporsi terbanyak didapatkan PSI ringan berjumlah 25 orang (41,7%) dengan kadar PCT terbanyak < 0,1 ng/ml sebanyak 9 orang (15%). Setelah dilakukan uji korelasi somers’d diperoleh hubungan yang signifikan antara derajat skor PSI dengan peningkatan kadar PCT (p=0,0001).
Kesimpulan
Procalsitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memilki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor PSI sehingga PCT dapat digunakan untuk menentukkan prognosis pasien PK sejak awal masuk ke rumah sakit.
Abstract
The Correlation Between Procalsitonin Levels and Severity of Community Acquired Pneumonia
Doharjo Manullang, E.N Keliat, Alwinsyah Abidin Pulmonology and Alergy Immunology Division
Internal Medicine Department
Faculty of Medicine University of North Sumatera H.Adam Malik General Hospital Medan
Background
The assessment of level severity in patient with Community Acquired Pneumonia (CAP) is very important determine the next management of disease. Procalcitonin (PCT) is known as one of biomarker sepsis and infection. The application of PCT is known to be used in diagnosis, to help clinician to decide antibiotic treatment and to make prognosis. It is still controversy whether the PCT early admission is related in clinical scoring system or prognostic score.
Objective
To determine the correlation between PCT and PSI score in CAP patients at early admission in hospital.
Materials and Methods
This was an cross sectional study. We had examined CAP subject with PSI and PCT. We had correlate the PCT levels with PSI to determined prognostic utiliy of PCT.
Result
Total CAP subjects was 60, consist of 20 subjects with severe PSI levels. From those 20 patients, one subject (1,7%) with PCT levels 0,29 ng/ml and 19 subjects (31,7%) with PCT ≥0,5 ng/ml. The bigge st proportion was in low severit of PSI, about 25 subjects (41,7%) with PCT levels in 9 subjects (15%) was < 0,1 ng/ml. We had found correlation beween PSI with PCT using somers’d correlation (p=0,0001).
Conclusion
Procalcitonin is a biomarker of bacteremia infection that has correlation with clinical scoring system PSI. PCT use can be use to determine the prognosis in CAP admission.
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tak terhingga senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan
yang Maha Esa, atas karunia, petunjuk, kekuatan dan kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dari
semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu
perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat, penghargaan dan
ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :
1. dr. Salli Roseffi Nasution, Sp.PD-KGH dan dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP (K) selaku Kepala dan Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan
serta senantiasa membimbing, memberi dorongan dan kemudahan selama penulis
menjalani pendidikan.
2. dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK-USU yang telah dengan sungguh-sungguh membantu,
membimbing, memberi dorongan dan membentuk penulis menjadi dokter
Spesialis Penyakit Dalam yang siap mengabdi pada nusa dan bangsa.
3. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr.Alwinsyah Abidin SpPD-KP dan Dr.Ermanta Ngirim Keliat SpPD-KP selaku pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga
telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis
sampai selesainya karya tulis ini. Terima kasih yang tak terhingga penulis
ucapkan.
4. dr. Zulhelmi Bustami, KGH (Alm), Dr. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD-KEMD selaku mantan Kepala Program Studi dan mantan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK-USU, saat penulis diterima sebagai peserta
Program Pendidikan Dokter Spesialis. Terima kasih atas kesempatan, dukungan
5. Para Guru Besar : Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, Prof. dr. Bachtiar Fanani Lubis, KHOM, Prof. dr. Habibah Hanum, Sp.PD-KPsi, Prof. dr. Pengarapen Tarigan, Sp.PD-KGEH, Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP(K), Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp.PD-KP-KAI, Sp.MK, Prof. dr. OK. Moehadsyah, Sp.PD-KR, Prof. dr. Lukman Hakim Zain, Sp.PD-KGEH, Prof. dr. M. Yusuf Nasution, Sp.PD-KGH, Prof. dr. Abdul Majid, Sp.PD-KKV, AIF, Prof. dr. Azmi S. Kar, Sp.PD-KHOM, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K), Prof. dr. Harun Al Rasyid Damanik, Sp.PD, Sp.GK, yang telah memberikan bimbingan dan teladan selama penulis menjalani pendidikan.
6. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, para guru
penulis : Prof. dr. Lukman Hakim Zain Sp.PD-KGEH, dr. Rustam Effendi Y.S Sp.PD-KGEH, dr. Zulhelmi Bustami, Sp.PD-KGH (Alm), dr. Salli Roseffi Nasution, Sp.PD-KGH, dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, dr. R. Tunggul Ch. Sukendar, Sp.PD-KGH (Alm), dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K), dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP, Dr. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD-KEMD, dr. Mardianto, Sp.PD-Sp.PD-KEMD, dr. Santi Syafril, SpP.D-Sp.PD-KEMD, dr. Sri Maryuni Sutadi, Sp.PD-KGEH, dr. Betthin Marpaung, Sp.PD-KGEH (Alm), dr. Mabel Sihombing, Sp.PD-KGEH, Dr. dr. Juwita Sembiring, Sp.PD-KGEH, dr. Leonardo Basa Dairi, Sp.PD-KGEH, dr. Dairion Gatot, KHOM, dr. Yosia Ginting, KPTI, Dr. dr. Umar Zein, Sp.PD-KPTI, DTM&H, dr. Armon Rahimi, Sp.PD-Sp.PD-KPTI, dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP, dr. E.N. Keliat, Sp.PD-KP, dr. Zuhrial Zubir, Sp.PD-KAI, dr. Pirma Siburian, Sp.PD-KGer, Dr. dr. Blondina Marpaung, Sp.PD-KR, dr. Tambar Kembaren, Sp.PD, dr. Sugiarto Gani, Sp.PD, dr. Savita Handayani, Sp.PD, dr. Imelda Rey, M.Ked (PD), Sp.PD, dr. Safrizal Nasution, M.Ked (PD), Sp.PD serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatiannya senantiasa membimbing
penulis selama mengikuti pendidikan. Penulis haturkan rasa hormat dan terima
kasih yang tak terhingga.
Sinaga yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan.
8. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan dan Ketua TKP-PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu
Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
9. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis
dalam penyusunan tesis ini.
10. Teman-teman seangkatan penulis yang memberikan dorongan semangat : dr. Elisabeth Sipayung, dr. Riki Muljadi, dr. M. Budiman, dr. Wirandi Dalimunthe, dr. Sari Harahap, dr. Naomi Dalimunthe, dr. Ester Morina Silalahi, dr. Ratna Karmila, dr. Agustina, dr. N. Fitriani, dr. Herlina Yani, dr. Junita, dr. Bayu Rusfandi Nasution, dr. Kathrine, dr. M. Azhari, serta seluruh rekan seperjuangan peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK-USU, yang telah memberikan banyak dukungan dengan persahabatan, kerja sama serta
berbagi dalam suka dan duka dalam menjalani kehidupan sebagai residen.
11. Dokter ruangan di RS H. Adam Malik Medan yang membantu mengumpulkan sampel penelitian.
12. Seluruh perawat/paramedis di berbagai tempat di mana penulis pernah bertugas selama pendidikan, terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang baik selama
ini.
13. Para pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.
14. Syarifuddin Abdullah, Lely Husna Nasution, Deni, Yanti, Wanti, Tika, Tanti, Erjan Ginting dan seluruh pegawai administrasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU, yang telah banyak membantu memfasilitasi penulis
dalam menyelesaikan tugas pendidikan.
Sembah sujud dan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada kedua orangtua penulis, Prof.Dr.B.Manullang dan M.Banjarnahor , atas segala jerih payah, pengorbanan, dan kasih sayang tulus telah melahirkan, membesarkan,
mendorong penulis dalam berjuang. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa
memberikan kesehatan, rahmat dan karunianya. Teristimewa, penulis menyampaikan
terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada istri tercinta, Henna Betty Simorangkir, S.Mn atas cinta kasih yang tulus, pengertian, perhatian, kesabaran, dukungan moril dan materil serta telah mendukung, mendoakan, serta memberikan
semangat bagi penulis. Terima kasih sebesar-besarnya kepada anak-anakku Giselle Joanna Nathania Manullang dan Michelle Fayola Manullang dan kepada saudara kandung penulis, Johnson Manat Manullang, SP, MSi, Dapot Tua Manulang SE, MSi, Esninawaty Manullang, SSi, MPd, Rosmaida Manulang SPd serta segenap keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan bantuan moril, semangat dan
doa tanpa pamrih selama pendidikan.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan pula terima kasih
kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama pendidikan maupun
dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan limpahan rahmat dan
karuniaNya kepada kita semua dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita
dan masyarakat.
Medan, 3 Desember 2013
DAFTAR ISI
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 15
3.1 Kerangka Konsep ... 15
4.9 Ethical clearance dan Informed Consent ... 22
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian ... 23 5.2 Pembahasan ... 27
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ... 29 6.2 Saran ... 29
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 2.5.1 Skor PSI ... ...12
Tabel 3.2.4.1 Skor Pneumonia Severity Index ... ...16
Tabel 5.1.1 Data Karakteristik dasar subjek dengan pneumonia komunitas . ...23
Tabel 5.1.2 Hubungan Procalsitonin terhadap skor PSI... .... ...25
Tabel 5.1.3 Hubungan skor PSI dengan Rata-rata PCT ... ...26
Tabel 5.1.4 Rerata kadar PCT pada penderita PK yang sepsis dengan non sepsis...27
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.2.1 Struktur Procalcitonin ... ... 5
Gambar 2.3.1 Manfaat Procalcitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah ... ... 9
Gambar 4.10.1 Kerangka Operasional... ... ...22
Gambar 5.1.1 Korelasi antara PCT dengan skor PSI.. ... ... 25
DAFTAR SINGKATAN
ATS : American Thoracic Society
AUC : Area Under Curve
BACTEC : Best Patient Care Drug Neutrlization Capabilities
BM : Berat Molekul
BTS : British Thoracic Society
CALC-1 : Calcitonin-1
CCP-I : Calcitonin Peptide-I
CRP : C-Reactive Protein
CURB-65 : Confusion, Ureum, Respiratory Rate, Blood Pressure, Age≥65
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Dkk : Dan kawan-kawan
DM : Diabetes Melitus
ECLIA : Electrochemiluminesence Immunoassay
IDSA : Infectious Disease Society of America
IFN-γ : Interferon Gamma
ILMA : Immunoluminometric Assay
LBP : Lipopolysaccaride Binding Protein
Mg : Miligram
mmHg : milligram
mRNA : Messenger Ribo Nucleic Acid
n : Jumlah subjek penelitian
p : Tingkat kemaknaan
PF 1,2 : Protrombin Fragment 1,2
PK : Pneumonia Komunitas
PSI : Pneumonia Severity Index
PT : Protrombin Time
ROC : Receiving Operating Curve
RT-PCR : Multiple Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction
SD : Standar Deviasi
SE : Standar Eror
SIRS : Systemic Inflammatory Response Syndrome
SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga
SMART : Sensitivity and Specificity, Measureable, Affordable,
Responsive and Reproducible, timely fashion
TDD : Tekanan Darah Diastolik
TDS : Tekanan Darah Sistolik
TREM-1 : Triggering Receptor Expressed on Myeloid-1
TNF-α : Tumor Necrosis Factor α
Z α : deviat baku normal untuk α
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN 1. Lembar Persetujuan Komite Etik Penelitian... 34
LAMPIRAN 2. Lembar Penjelasan Kepada Subjek... 35
LAMPIRAN 3. Lembar Persetujuan Subjek Penelitian... 36
LAMPIRAN 4. Lembar Kerja Profil Peserta Penelitian... 37
LAMPIRAN 5. Daftar Riwayat Hidup... 38
Abstrak
HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN DENGAN BERATNYA PNEUMONIA KOMUNITAS
Doharjo Manullang,E.N Keliat, Alwinsyah Abidin Divisi Pulmonologi, Alergi dan Imunologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H.Adam Malik Medan
Latar Belakang
Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukkan beratnya penyakit dan rencana tata laksana selanjutnya. Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai biomarker untuk sepsis dan infeksi. PCT dapat berperan dalam diagnosis, memutuskan pemberian antibiotik dan prognosis penderita PK
Tujuan
Untuk mengetahui hubungan kadar procalsitonin terhadap beratnya pneumonia komunitas yang datang ke rumah sakit.
Bahan dan Cara
Penelitian observasional dengan metode pengukuran cross sectional. Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor PSI dan PCT. Selanjutnya skor PSI dihubungkan dengan PCT dan parameter lainnya.
Hasil
Sebanyak 60 subjek penelitian dimana subjek yang tergolong dalam skor PSI berat sebanya 20 orang, terdiri atas 1 orang (1,7%) subjek dengan skor PSI tergolong berat memilki PCT 0,29 ng/ml dan sisanya 19 orang (31,7%) memiliki kadar PCT ≥ 0,5 ng/ml. Proporsi terbanyak didapatkan PSI ringan berjumlah 25 orang (41,7%) dengan kadar PCT terbanyak < 0,1 ng/ml sebanyak 9 orang (15%). Setelah dilakukan uji korelasi somers’d diperoleh hubungan yang signifikan antara derajat skor PSI dengan peningkatan kadar PCT (p=0,0001).
Kesimpulan
Procalsitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memilki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor PSI sehingga PCT dapat digunakan untuk menentukkan prognosis pasien PK sejak awal masuk ke rumah sakit.
Abstract
The Correlation Between Procalsitonin Levels and Severity of Community Acquired Pneumonia
Doharjo Manullang, E.N Keliat, Alwinsyah Abidin Pulmonology and Alergy Immunology Division
Internal Medicine Department
Faculty of Medicine University of North Sumatera H.Adam Malik General Hospital Medan
Background
The assessment of level severity in patient with Community Acquired Pneumonia (CAP) is very important determine the next management of disease. Procalcitonin (PCT) is known as one of biomarker sepsis and infection. The application of PCT is known to be used in diagnosis, to help clinician to decide antibiotic treatment and to make prognosis. It is still controversy whether the PCT early admission is related in clinical scoring system or prognostic score.
Objective
To determine the correlation between PCT and PSI score in CAP patients at early admission in hospital.
Materials and Methods
This was an cross sectional study. We had examined CAP subject with PSI and PCT. We had correlate the PCT levels with PSI to determined prognostic utiliy of PCT.
Result
Total CAP subjects was 60, consist of 20 subjects with severe PSI levels. From those 20 patients, one subject (1,7%) with PCT levels 0,29 ng/ml and 19 subjects (31,7%) with PCT ≥0,5 ng/ml. The bigge st proportion was in low severit of PSI, about 25 subjects (41,7%) with PCT levels in 9 subjects (15%) was < 0,1 ng/ml. We had found correlation beween PSI with PCT using somers’d correlation (p=0,0001).
Conclusion
Procalcitonin is a biomarker of bacteremia infection that has correlation with clinical scoring system PSI. PCT use can be use to determine the prognosis in CAP admission.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pneumonia memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di seluruh
dunia. Di Indonesia, berdasarkan data studi mortalitas dari Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 2001 mencatat kematian akibat pneumonia dan infeksi saluran
nafas sebanyak 34/100.000 penduduk (pada pria) dan 28/100.000 penduduk (pada
wanita). Hardiyanto, dkk melaporkan dari 235 pasien yang dirawat di R.S. Hasan Sadikin Bandung, sebanyak 75,3% menderita Pneumonia Komunitas (PK) (Dahlan Z,
2000). Di negara maju seperti Amerika Serikat, PK menyebabkan angka rawatan 1,3
juta orang per tahun (De Frances CJ dkk, 2008; Huang DT dkk 2008, Mira JP dkk, 2008) dan tercatat sebagai penyebab terbesar sepsis berat dan kematian terbanyak
akibat infeksi (Huang DT dkk 2008, Mira JP dkk, 2008). Tingginya angka kejadian
dan dampak mortalitas diikuti oleh tingginya biaya kesehatan terutama pada penderita
PK berat. Mar Masia, dkk melaporkan dari 240 pasien yang diteliti penyebab
terjadinya pneumonia yang terbanyak adalah bakteri (39 orang), atypical (36 orang),
virus (15 orang), gabungan (14 orang), tidak diketahui (81 orang) (Masia M dkk,
2005).
Pneumonia secara umum adalah radang dari parenkim paru dengan
karakteristik adanya konsoliasi dari bagian yang terkena dan alveolar terisi oleh
eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia yang berkembang di luar rumah sakit atau
dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit disebut dengan pneumonia komunitas (PK).
Pada penderita PK, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien
masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan tatalaksana
selanjutnya (Mira JP dkk, 2008; Singanayam A dkk, 2009), Lim WS dkk, 2009,
Mandel LA dkk, 2007; Capelastegui A dkk, 2002006). Hal inilah yang mendorong
lahirnya skor prognostik seperti CURB-65 (Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood
pressure, Age >65 years) dengan segala modifikasinya maupun PSI (pneumonia
severity index) dan penelitian akan petanda inflamasi dan infeksi seperti CRP
(C-Reactive Protein), procalcitonin, TNF-alpha (tumour necrosis factor alpha), dll (Mira
Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai SMART biomarker untuk sepsis
dan infeksi. Hal ini membuktikan dengan memenuhi beberapa kriteria, antara lain : 1.
Memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi, 2. Dapat diukur (measureable), 3.
Tersedia di sarana kesehatan seperti rumah sakit (affordable), 4. Responsive dan
reproducible, 5. Memiliki waktu paruh 24 jam dan dapat diperiksa berulang kali
(timely fashion) (Summah H dkk, 2009; Cairn C dkk, 2010). Muller dkk, melaporkan bahwa kadar procalcitonin lebih akurat dibanding CRP maupun jumlah leukosit total
dalam membedakan PK dengan kondisi medik lain (Mira JP dkk 2008, Muller B dkk,
2007). Pada penelitian Christ-Crain dkk, Nilai PCT ( dengan cut-off ≥ 0,25 ng/ml) dipakai sebagai pertimbangan untuk memutuskan pemberian antibiotik. Hasilnya
didapatkan pengurangan 50% penggunaaan antibiotik pada pasien dengan infeksi
saluran nafas bagian bawah. Hal ini ditegaskan kembali oleh peneliti yang sama
dimana kurangnya hari rawatan dari 12 hari menjadi 5 hari dengan durasi penggunaan
antibiotik berkurang hingga 65% tanpa merubah dampak klinis penderita PK (Christ
Crain M dkk, 2006; Christ Crain M dkk, 2010).
Sebagai alat prognostik, studi oleh Huang dkk, mendapatkan kadar PCT< 0,1 ng/ml memiliki risiko kematian akibat PK yang rendah tanpa memandang derajat skor
PSI. Pada studi Masia dkk, PCT dihubungkan dengan skor derajat keparahan
pneumonia. Pada penderita pneumonia dengan nilai PSI yang rendah (PSI, kelas I-II),
PCT ternyata dapat memprediksi pneumonia akibat bakteri dimana kadar PCT akan
meningkat pada pneumonia bakteria dibanding non-bakteria dengan cut-off ≥ 0,15
ng/ml. Pada penderita dengan PSI tinggi (PSI, kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat
prognostik dibanding diagnostik, dimana kadar PCT ≥ 0,5 ng/ml memiliki komplikasi
dan mortalitas yang lebih tinggi (Huang DT dkk, 2008, Mira JP dkk, 2008;
Capelastegui dkk, 2006). Mar Masia dkk melaporkan bahwa pasien PK yang mempunyai score PSI yang lebih tinggi maka semakin tinggi kadar procalsitonin dan
didapati bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat keparahan PSI
dan hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan komplikasi yang terjadi.
Kruger dkk, dalam suatu studi yang melibatkan 1671 pasien PK melaporkan bahwa kadar PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang
untuk mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Selain itu,
terdapat 2 (dua) penelitian terdahulu yang saling bertentangan dan menyebabkan
peran procalcitonin sebagai prediktor prognostik menjadi tidak jelas. Masia dkk
mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat PSI dan hal
ini berhubungan dengan derajat peningkatan mortalitas dan komplikasi yang terjadi.
Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Beovic dkk yang menegaskan
tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI (Huang DT dkk, 2008).Oleh
karena itu, peneliti berminat melakukan suatu penelitian yang mencari hubungan
antara kadar PCT terhadap skor keparahan pneumonia, dalam hal ini PSI pada awal
pasien PK datang ke RS. Selain itu hingga saat ini penelitian sejenis belum pernah
dilakukan di Medan.
2. Perumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan kadar procalcitonin dengan beratnya pneumonia
komunitas pasien yang datang ke rumah sakit?
3. Hipotesa
Semakin tinggi kadar procalcitonin pada penderita pneumonia komunitas yang
datang ke rumah sakit semakin berat keadaan penyakit yang dialaminya.
4. Tujuan Penelitian
Diketahuinya hubungan kadar procalcitonin terhadap beratnya pneumonia
komunitas pada pasien yang datang ke rumah sakit.
5. Manfaat Penelitian
5.1. Dapat membantu klinisi dalam mengidentifikasi derajat keparahan pneumonia
sehingga dapat membantu meyakinkan klinisi dalam mengambil keputusan
untuk pemberian antibiotika sejak awal.
5.2. Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya, memberi pemahaman akan
penggunaan petanda inflamasi dan menambah pengetahuan mengenai
karakteristik PK di Medan sehingga bermanfaat dalam menurunkan angka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biomarker pada Pneumonia
Pneumonia merupakan kumpulan gejala (demam, nyeri pleuritik, sesak nafas)
dan tanda (infiltrat paru) yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat
mempengaruhi penderitanya secara sistemik (Lim WS dkk, 2009). Sebagai penyakit
infeksi, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi pelepasan sitokin pro
inflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem
hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi (Kaplan V dkk, 2003).
Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali pneumonia
tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan diagnosis yang
akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi (Capelastegui dkk, 2006). Dalam suatu
analisis Receiving Operating Characteristic (ROC) yang bertujuan untuk menilai
akurasi diagnostik dari PK (yang dikonfirmasi dengan radiologik) dengan kondisi
medik lainnya. Didapatkan kelemahan gambaran klinik ( seperti demam, batuk,
produksi sputum, temuan auskultasi yang abnormal) dalam mendiagnosis PK dengan
Area Under Cover (AUC) sebesar 0,79. Temuan ini dapat dibandingkan dengan
jumlah total leukosit (AUC: 0,69); CRP (AUC: 0,76) dan PCT (AUC: 0,88) (Mira JP
dkk, 2008; Muller B dkk, 2007; Christ Crain M dkk, 2010). Dari studi ini dapat
disimpulkan bahwa biomarker seperti CRP, terutama PCT dapat berperan banyak
dalam diagnosis PK (Christ Crain M dkk, 2010).
Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan
tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses
fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang tidak
dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non inflamasi dan
akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami
penurunan saat proses inflamasi mereda (Capelastegui A dkk, 2006).
Dalam hal membantu tegaknya diagnosis pneumonia, beberapa biomarker
telah dikenal, seperti: CRP, leukosit total, immunoglobulin, PCT dan Triggering
masih dalam tahap studi untuk penggunaannya pada pneumonia antara lain: copeptin,
kortisol, endotoksin dan proadrenomedullin (Capelastegui A dkk, 2006). Saat ini,
PCT dikenal sebagai biomarker yang manfaatnya terus diteliti. Konsentrasi PCT yang
hanya meningkat pada infeksi bakteri dan tetap rendah pada infeksi virus membuat
biomarker ini banyak digunakan untuk penyakit seperti sepsis, meningitis dan
pneumonia. Tampaknya PCT dapat sebagai faktor prognosis pada keadaan sepsis dan
pneumonia (Hendlund J dkk, 2000; Masia M dkk, 2005).
2.2 Procalcitonin
Procalcitonin adalah prohormon calcitonin, berupa peptida yang terdiri atas
116 asam amino (Gambar 2.2.1.) yang dilepaskan oleh sel C tiroid dalam keadaan normal dan konsentrasinya sangat rendah (<0,05 ng/ml , dengan alat yang paling sensitive didapatkan nilai 0,033±0,003 (Kosanke R dkk, 2008). Pada infeksi mikroba
akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan lepasnya PCT dari
seluruh sel parenkim dan sel-sel yang terdiferensiasi di hati maupun sel-sel
mononuclear (Summah H dkk, 2009; ChastreJ dkk, 2006) . Pelepasan mediator
inflamasi PCT dapat diinduksi melalui 2 proses, antara lain (Cairns C dkk, 2010) :
1. Terlepasnya toksin yang ada di dalam mikroba (endotoksin)
2. Respon immunitas selluler yang diperantarai oleh sitokin pro inflamasi seperti:
Interleukin 1b, Interleukin 6 dan TNF-alpha.
Sumber : Tannafos, 2008(19)
PCT merupakan molekul yang dianggap sebagai bentuk primitif dari
pertahanan bakterial yang bekerja sebelum sistem immun yang lebih efektif bekerja
(Cairn C dkk, 2010. Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa keadaan seperti trauma,
pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar, sindroma distress pernapasan, infeksi
nekrosis setelah pancreatitis akut dan reaksi penolakan jaringan pada transplantasi
dapat meningkatkan kadar PCT (Summah H dkk, 2009; Maier M dkk, 2009; Tseng
JS dkk, 2008; Jung DY dkk, 2008). Rendahnya kadar PCT tidak selalu meniadakan
infeksi bakteri. Keadaan false negative ini dapat disebabkan antara lain: tahap awal
infeksi, infeksi terlokalisir, endokarditis infeksi subakut, infeksi oleh kuman atipikal
(terutama kuman intraselluler) (Cairn C dkk, 2010).
PCT akan meningkat setelah 2-3 jam induksi dari endotoksin. Kadarnya
kemudian terus naik secara cepat hingga menjadi ratusan nanogram per ml pada
sepsis berat dan syok sepsis, mencapai plateau pada 6 – 12 jam. PCT akan terus
meningkat dan menetap dalam 48 jam lalu turun ke nilai normal dalam 2 hari jika
pengobatan berhasil dan ini menunjukkan prognosis yang baik. Jika kadar PCT terus
meningkat dan tidak turun menunjukkan kegagalan terapi. Waktu paruh dari PCT
sekitar 20 – 24 jam. Namun dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Pada gangguan ginjal
waktu paruh dapat memanjang hingga 35 jam (Cairn C dkk, 2010).
Penigkatan kadar PCT pada infeksi bakteri lebih tinggi dibanding infeksi
parasit (cthnya : plasmodium sp), beberapa jenis jamur meskipun mikroorganisme ini
juga merangsang makrofag untuk menghasilkan sitokin proinflamasi. Berbagai studi
telah menyimpulkan bahwa PCT jarang sekali meningkat pada keadaan murni infeksi
virus. Keadaan ini diakibatkan oleh rangsangan virus terhadap makrofag yang akan
menghasilkan interferon gamma (IFN-gamma) yang kemudian akan menghambat
sintesa tumor necrosis alpha ((TNF-alpha). TNF-alpha merupakan salah satu mediator
inflamasi yang merangsang pelepasan PCT. Studi oleh Moulin dkk dan Holm A dkk
mendapatkan peningkatan kadar PCT pada pasien pneumonia dengan kuman
Streptococcus pneumonia dan Hemophilus Influenzae baik pada anak-anak maupun
dewasa. Ingram dkk mendapatkan kenaikan PCT yang tidak tinggi pada pasien yang
Telah dikenal beberapa jenis pemeriksaan komersil PCT dengan sensitifitas
yang berbeda-beda, seperti ILMA (immunoluminometric assay/LIA; sensitifitas 0,3
ng/ml)(Cairn C dkk, 2010), BRAHMS PCT-Q (sensitifitasnya 0,5 ng/ml) (Muller B
dkk, 2007; Schuetz P dkk, 2011), VIDAS BRAHMS PCT (sensitifitas 0,09) ((Cairn C
dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2011), BRAHMS PCT KRYPTOR (rentang 0,02-5000
ng/ml)(Muller B dkk, 2007; Irwin AD dkk, 2011), Elecsys BRAHMS PCT (rentang
0,02-100 ng/ml)( Irwin AD dkk, 2011) yang menggunakan alat berbeda-beda namun
dengan metode deteksi yang sama sandwich principle. Pada pemeriksaan ini, antibody
pertama akan berikatan secara spesifik dengan katalcin dan terikat di suatu coated
tube (tabung yang dilapisi) sedangkan antibody kedua akan berikatan dengan terminal
dari molekul calcitonin. Antibodi kedua ini akan dilabel dengan luminescent tracer
dan akan berikatan dengan tabung yang sudah mengikat CCP-1 (calcitonin peptide-I).
Pengukuran kadar PCT selanjutnya dilakukan dengan luminometer yang akan
menerima signal dari antibody yang terikat luminescent tracer. Teknik pengukuran
yang berlapis ini disebut metode sandwich (Schuetz P dkk, 2011).
Dengan bervariasinya teknik maupun alat dalam pengukuran PCT maka
penting untuk mengetahui apa yang digunakan sebelum interpretasi hasil dilakukan.
Penggunaan PCT-Q, dengan nilai ambang terendah 0,5 ng/ml, angka ini masih 10 kali
lipat dari nilai normal PCT dan cukup banyak pasien dengan infeksi ringan yang tidak
terdeteksi. Demikian juga dengan PCT-ILMA/LIA, hasilnya tidak dapat dipercaya
jika nilai bilirubin dan trigliserida sangat tinggi. Saat ini, VIDA PCT dengan mampu
mendeteksi nilai PCT terendah 0,09 ng/ml dan PCT KRYPTOR dan Elecsys
merupakan uji yang paling sensitive dan akurat (Schuetz P dkk, 2011).
Sebelum memilih alat uji perlu diperhitungkan kondisi klinis yang dihadapi
seperti :
a. Fokus Infeksi
Infeksi saluran nafas, meningitis, infeksi intra abdomen, pancreatitis, dll.
Setiap fokusnya infeksi memiliki perbedaan nilai PCT yang diharapkan.
Infeksi yang sifatnya terlokalisir umunya juga menghasilkan nilai PCT yang
b. Immunosupresi
Infeksi bakteri pada penderita HIV akan meningkatkan kadar PCT, namun
nilainya tidak akan meningkat tajam dibanding pasien dengan HIV negative
(Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009). Penggunaan steroid tampaknya
tidak mempengaruhi PCT (Cairn C dkk, 2010).
c. Usia
Pada periode neonatus kadar PCT akan sangat tinggi. Pada anak-anak batasan
kadar PCT belum jelas. Terdapat beberapa bukti bahwa kadar PCT rendah
pada usia lanjut (Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009).
2.3. Peran PCT dalam Diagnostik
Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT
dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan
keunggulan PCT dengan sensitivitas (85% Vs 78%) dan spesifisitas (83% Vs 60%).
PCT juga lebih sensitif dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus
(Christ Crain M dkk, 2010). Simon dkk, dalam studinya secara tegas menyimpulkan bahwa dengan nilai cut off PCT < 0,25 ng/ml maka PK berat sudah dapat disingkirkan
(Christ Crain M dkk, 2006; Christ Crain M dkk, 2010; Gilbert DN dkk, 2010).
Sejak Pasteur dan Sternberg berhasil mengkultur peneumococcus dari darah
pada tahun 1881dan Christian Gram berhasil mewarnainya 5 tahun kemudian, dalam
diagnosis pneumonia dibutuhkan pembuktian kuman sehingga pengobatan dapat
berdasarkan kuman penyebab (Gilbert DN dkk, 2010). Hingga saat ini, meskipun
fasilitas identifikasi kuman yang sudah maju, sebanyak 70% pasien yang terdiagnosis
pneumonia komunitas dari radiologik tidak dijumpai kuman penyebab. Keadaan ini
selanjutnya akan mempersulit keputusan klinisi untuk memulai antibiotik. Dalam
keadaan ini studi oleh Christ Crain dkk memberi batasan kadar PCT ≥0,25 ng/ml
mengindikasikan penyebab bakteri dan dapat dimulai dengan pemberian antimikroba
Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006
Gambar 2.3.1. Manfaat Procalsitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah
2.4 PCT dalam menentukan prognostik
Masia dkk mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor
derajat keparahan PSI dan hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan
komplikasi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Boevic
dkk yang menegaskan tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI (Lim WS
dkk, 2009).Sebagai alat prognostik, studi oleh huang dkk melibatkan 2000 penderita
PK yang diketahui dari klinis dan radiologik, kemudian 1.651 pasien diikutsertakan
dalam kohort selama 30 hingga 90 hari, setelah diambil serum PCT pada hari pertama.
Juga dilakukan stratifikasi derajat keparahan PK dengan Pneumonia Severity Index
dan CURB-65. Hasilnya didapatkan juga kadar PCT < 0,1 ng/ml memilki angka
kematian hari ke 30 dan ke 90 akibat PK yang rendah meskipun skor PSI berada pada
grup IV dan V. Keadaan ini juga dijumpai pada pasien dengan skor CURB-65 ≥ 3.
Studi di atas menunjukkan bahwa sebagai alat prognostik kadar PCT lebih baik
dibandingkan dari PSI dan CURB-65 (clinical scoring system)(Lim WS dkk, 2009;
Pada studi Masia dkk, PCT dihubungkan dengan skor PSI derajat keparahan
pneumonia. Pada penderita PSI yang rendah (PSI kelas I-II), PCT ternyata dapat
memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada
pneumonia bakteri dibanding dengan non-bakteri. Pada penderita dengan PSI yang
tinggi (PSI kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding dengan
diagnostic (Lim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007; Queroll Ribelles JM dkk,
2004). Adanya inkonsistensi dalam beberapa studi yang mencoba mencari hubungan
antara PCT dengan dengan skor prognostik seperti PSI dan CURB-65 mendorong
Kruger dkk melakukan suatu studi pada 1671 pasien PK dan melaporkan bahwa kadar
PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang sama
dengan skor CRB 65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk
mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Pada studi ini
didapati kadar PCT ≤ 0,228 ng/ml pada awal pasien masuk memiliki resiko kematian
yang rendah akibat PK. Temuan ini hampir mendekati angka yang didapatkan oleh
Christ Crains dkk (≤0,25 ng/ml) ( Queroll Ribelles JM dkk, 2004). Dalam studi
retrospektif mendapatkan kadar PCT > 1,5 ng/ml pada pasien PK yang terinfeksi
Legionella sp memiliki resiko kematian dan kebutuhan akan fasilitas rawatan ICU
yang cukup tinggi (Schuetz P dkk, 2009).
Schuetz dkk mencoba membandingkan kenaikan CRP, leukosit dengan PCT
dalam menilai resiko kematian dalam 90 hari. Hasilnya, PCT memiliki akurasi yang
lebih baik akan tetapi antara pasien yang meninggal dengan yang selamat, tidak
dijumpai rentang (range) PCT yang besar. Sedangkan jika PK dibagi sesuai dengan
derajat keparahan, maka didapatkan rentang nilai PCT yang besar (Schuetz P dkk,
2009).
Peran PCT sebagai prognostik pneumonia tidak hanya pada PK. Di Indonesia,
Rumende dalam disertasinya membandingkan PCT dengan
Lipopolysaccharide-Binding Protein (LBP) sebagai prognostik pasien dengan ventilator associated
pneumonia (VAP) yang dirawat di ruang rawat intensif di RSCM. Hasilnya, PCT
lebih sensitive dibanding LBP (80-81,3% VS 60-73%) dalam menentukan kematian
pasien VAP, akan tetapi keduanya memilki spesifisitas yang rendah (25-30%).
terhadap infeksi bakteri oleh makrofag yang aktif sedangkan LBP yang dihasilkan
oleh sel alveoli tipe 2 lebih menunjukkan beratnya keterlibatan paru. Jika kedua
biomarker ini digabungkan, sensitifitasnya akan meningkat menjadi 88,5-96,3%
dengan spesifisitas 53,2-66,7% untuk menentukkan prognostik pasien VAP (Jung DY
dkk, 2008).
2.5 Skor Klinis Pasien
Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting dalam
tatalaksana PK. Hal ini membuat munculnya berbagai sistem skoring PSI, CURB-65,
modified ATS (m-ATS) dsb. Skor PSI (Tabel 2.5.1) diperkenalkan pada tahun 1997
yang melibatkan 50.000 penderita pneumonia . Skor ini terdiri atas beberapa variabel
klinik yang membagi pasien menjadi 5 tingkatan berdasarkan risiko kematian dalam
30 hari (klas I= 0,1 – 0,4%; klas II= 0,6 -0,7%; klas III= 0,9 – 2,8%; klas IV= 4 –
10%; klas V: 27%). Skor PSI menunjukkan kemampuan prediksi yang baik dengan
AUC: 0,74 -0,83 dan direkomendasikan pemakaiannya oleh American Thoracic
Society (ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA).Akan tetapi, terlalu
kompleks dan banyaknya variabel yang harus dinilai membuat system skor ini tidak
praktis digunakan dalam klinik sehari-hari (Singanayam dkk, 2009; Mandel LA dkk,
2007).
Skor CURB-65 diperkenalkan oleh British Thoracic Society (BTS) pada tahun
2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang
dihubungkan dengan resiko kematian dalam 30 hari. Skor 0-1 masuk dalam kategori
skor kematian yang rendah dimana skor 0 = 0,7% dan skor 1 = 3,2%. Skor 2 = 13%
masuk kategori kematian sedang dan skor>3 masuk dalam skor kematian tinggi ( 3 =
17%, 4=41,5% dan 5 = 57%). Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan
prediksi yaitu dengan AUC : 0,73-0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel
yang digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang
terbaru menyadari kompleksisitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan
Baik skor PSI dan CURB-65 sama-sama memilki kelemahan yang sama, yaitu
masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan
CRB-65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini dapat
digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan performa
yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC : 0,69-0,78. Sayangnya,
penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti
pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji (Singanayam A dkk, 2009; Bont
J dkk, 2008).
Tabel 2.5.1.Pneumonia Severity Index (PSI)
Selain petanda inflamasi, system koagulasi juga dikatakan memiliki potensi
dalam menilai resiko kematian penderita PK. Aktifasi system koagulasi dan aktifitas
fibrinolisis merupakan gambaran yang dijumpai pada keadaan sepsis berat (Christ
Crain M dkk, 2010). Querol-Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma
D-dimer terhadap mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih
banyak terjadi pada pasien dengan D-dimer yang tinggi (3.786 VS 1.609 ng/ml
dengan p<0,00001). Selain itu, didapatkan juga hubungan linear antara D-dimer
dengan skor PSI (Querol-Ribelles dkk, 2004).
2.6. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas
Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10%
dari penderita harus dirawat di ICU (Intensive Care Unit). Pada PK yang dirawat jalan
mortalitas diperkirakan < 5%, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas
meningkat hingga 12% dan akan semakin meningkat menjadi 22% jika pasien
dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat (PK
berat) yang ditandai dengan adanya disfungsi organ (Laterre PF dkk, 2005).
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana
lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi
proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah
leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang
ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ (American
College of Chest Physician, 1992).
Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician (ACCP)
and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on
Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu consensus dengan
defenisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan
dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis
berat dan syok sepsis dibawah ini :
- SIRS : manifestasi klinis inflamasi sistemik yang dapat merupakan respon
infeksi (mis. Sepsis) atau non infeksi (mis luka bakar, pancreatitis),
ditandai 2 atau lebih tanda sebagai berikut :
1. Temp : >380C atau kurang dari 360C
2. Denyut nadi > 90x/menit
3. Respirasi > 20x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Leukosit darah > 12.000/mm3, < 4000 mm3atau netrofil batang > 10%
- Sepsis : infeksi disertai dengan SIRS.
- Sepsis berat : sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi yang
meliputi asidosis laktat, oliguria atau perubahan akut status mental.
- Syok sepsis : syndrome sepsis yang disertai dengan hipotensi.
- Hipotensi : tek darah < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tek.darah normal pasien
- Multiple Organ Dysfunction syndrome : disfungsi lebih dari 1 organ atau lebih,
memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis.
Dremsizov dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam
memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil yang
didapat antara lain 50% dari penderita PK yang dirawat akan jatuh ke sepsis. Selain
itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik dalam memprediksi
perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini adalah dapat digunakannya
PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk adanya disfungsi
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
3.2Definisi Operasional
3.2.1. Pneumonia komunitas adalah infeksi akut pada parenkim paru yang
berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai
adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi toraks atau temuan
auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara nafas atau
ronkhi setempat) pada orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak
berada pada fasilitas perawatan jangka panjang selama ≥ 14 hari sebelum
timbulnya gejala ataupun dalam rawatan rumah sakit ≤ 48 jam (Dahlan Z
dkk, 2009).
3.2.2. Penilaian derajat keparahan penyakit adalah suatu alat bantu klinisi untuk
membuat keputusan klinik seperti kebutuhan rawat inap, pemberian terapi
intravena dan rencana monitoring lanjutan yang diperlukan oleh klinisi di
tingkat primer maupun sekunder (Singanayam A dkk, 2009).
3.2.3. Procalcitonin adalah suatu precursor calcitonin yang mengandung 116
asam amino dan dihasilkan oleh sel C dari kelenjar tiroid dengan kadar
kosentrasi yang sangat rendah pada orang sehat ( <0,1ng/ml)(Kosanke R
3.2.4. Derajat keparahan pneumonia dinilai berdasarkan skor PSI menurut acuan ATS (American Thoracic Society) 1997, seperti yang terlihat pada uraian di bawah ini :
Neoplasma : suatu kanker dengan pengeculian basal atau squamous cell cancer
pada kulit yang masih aktif yang masih dapat dilihat selama 1
tahun.
Penyakit hati :dilihat secara klinis ataupun histology pada dari penyakit hati
kronis.
Gagal Jantung : adanya gangguan disfungsi ventrikuler sistolik maupun
diastolik yang dicatat baik riwayat, pem fisik diagnostik maupun
foto thorak, echocardiogram, CT-scan dan Left Ventriculogram.
Penyakit Cerebrovaskuler merupakan diagnosa klinis dari stroke atau transient
iskemik attack (TIA) atau adanya stroke pada pem.MRI atau
CT-scan
Penyakit ginjal yaitu dijumpainya riwayat gagal ginjal kronik ataupun kelainan
konsentrasi blood urea nitrogen (ureum) maupun creatinin pada
laporan medis (MR).
Perubahan status mental yaitu adanya disorientasi pada orang, tempat ataupun
waktu.
BAB IV
BAHAN DAN METODE
4.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian adalah observasional dengan metode pengukuran
cross-sectional
4.2. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2011 s/d Juni 2013 di Instalasi Gawat
Darurat, Ruang Rawat Inap dan Poliklinik Pulmonologi dan Alergi
Immunologi RS H. Adam Malik Medan.
4.3. Subjek Penelitian
Penderita Pneumonia Komunitas yang dirawat inap maupun rawat jalan di
Rumah Sakit H. Adam Malik Medan.
4.4. Kriteria Inklusi
1. Usia di atas 18 tahun
2. Gambaran klinis dan radiologik sesuai dengan diagnosis pneumonia komuniti
3. Bersedia mengikuti penelitian.
4.5 Kriteria Eksklusi
1. Pasien pindahan dari rumah sakit lain.
2. Baru pulang dari rumah sakit 10 hari yang lalu.
3. Menderita pneumonia dalam 30 hari terakhir.
4. Menggunakan ventilasi mekanik.
6. Pasien HIV, alkoholisme dan adanya kerusakan organ lanjut (end-organ
damage)
4.6 Besar Sampel
Studi ini menggunakan sampel tunggal untuk uji hipotesis proporsi suatu
populasi.
Dan perkiraan besar sampel :
(Zα√P0Q0 + Zβ√PaQa)2
=
( Po – Pa)2 (0,2)2
1,96√0,198 x 0,802 + 1,036√0,398 x 0,602
= 51,4 ≈ 52 orang. Dimana: Zα: deviat baku untuk α = 0,05 : 1,96
Zβ: deviat baku untuk β= 0,10: 1,036
Pa: Proporsi sekarang : 0,398
Qa= 1 – Pa= 1- 0,216= 0,602
Po: Proposi terdahulu : 0,198 **
Qo= 1- Po = 1- 0,198= 0,802
Keterangan: **Christ Crain dkk, 2006 4.7.Cara Kerja
a. Seluruh pasien yang didiagnosis menderita pneumonia komunitas dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi. Setelah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya dilakukan
pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, ureum, creatinin,
elektrolit, albumin AGDA, KGD Adrandom dan Procalcitonin.
b. Dilakukan penilaian derajat keparahan pneumonia dengan skor PSI.
c. Kadar procalcitonin diukur menggunakan metode
electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA) dengan reagen kit Elecsys BRAHMS PCT dan dengan alat cobas 6000.
4.7.1. Pengambilan sampel darah
Sampel darah diambil dari vena mediana cubiti dengan terlebih dahulu
dilakukan tindakan anti septik dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering.
Pengambilan darah sebanyak 6 cc dilakukan dengan menggunakan dispossible
syringe 10 cc yang dibagi atas 2 bagian. Bagian pertama sebanyak 3 cc darah
dengan antikoagulan EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap. Bagian kedua
sebanyak 3 cc darah tanpa antikoagulan dan diambil serumnya untuk
pemeriksaan PCT. Pengambilan sampel darah dilakukan tanpa memperdulikan
hari keberapa pasien dirawat, dimana apabila ditemukan pasien sepsis maka
diambil sampel darahnya dalam waktu 24 jam. Dan pada saat pengambilan
sampel darah, pasien dalam posisi berbaring. Pemeriksaan darah lengkap
dilakukan dengan alat cell Dyne 3700 dan morfologi darah tepi teridentifikasi
dari blood film dengan pewarnaan giemsa. Pemeriksaan laju Endap Darah
dilakukan dengan cara Westergen.
4.7.2. Teknik Pemeriksaan PCT
Prinsip tes : Sanwich principle. Total durasi pemeriksaan 18 menit.
• Inkubasi 1 : antigen dalam sampel (30 uL), suatu antibody spesifik PCT biotinylated monoclonal dan suatu antibodi spesifik monoklonal
yang dilabel dengan kompleks ruthenium dan bereaksi membentuk
kompleks sandwich.
• Inkubasi 2 : setelah penambahan mikropartikel yang dilapisi streptavidin, kompleks akan menjadi berikatan ke solid phase melalui
interaksi dari biotin dan streptavidin.
Substansi yang tidak berikatan kemudian dipindahkan dengan Procell.
Aplikasi voltase terhadap elektroda akan menginduksi emisi
chemiluminescent yang diukur oleh photomultiplier.
• Hasil ditentukan melalui kurva kalibrasi yang merupakan instrument spesifik oleh 2 point calibration dan suatu kurva master yang
disediakan melalui barcode reagen.
d. Berdasarkan kadar procalcitonin subjek penelitian akan dibagi menjadi
4 kelas yaitu:
Klas I: PCT < 0,1 ng/ml
Klas II: 0,1≤ PCT <0,25 ng/ml
Klas III: 0,25≤ PCT <0,5 ng/ml
Klas IV: PCT ≥ 0,5 ng/ml
4.8. Analisa Data
• Untuk melihat gambaran karakteristik dan kadar PCT pada subjek PK disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan.
• Untuk melihat hubungan kadar PCT berdasarkan tingkatannya terhadap derajat keparahan PK dengan skor PSI digunakan uji
somers’d
• Untuk menilai perbedaan rerata pada dua kelompok digunakan uji
Mann-Whitney.
• Analisa data menggunakan program SPSS 15 for windows.
4.9.Ethical Clearence dan Informed consent.
Ethical clearance (izin untuk melakukan penelitian) diperoleh dari Komite
Penelitian Bidang kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
yang ditanda tangani oleh Prof.Dr.Sutomo kasiman, SpPD, SpJP (K) 24 Juli
2011 dengan nomor 316 /KOMET/FK USU/2011.
Informed Consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian yang
bersedia untuk ikut dalam penelitian setelah mendapatkan penjelasan
mengenai maksud dan tujuan penelitian ini.
4.10. Kerangka Operasional
Gambar 4.10.1 Kerangka Operasional
Penderita
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Selama periode penelitian (Juli 2011 s/d juni 2013) di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RS. H. Adam Malik Medan diperoleh 60 subjek penelitian dengan
pneumonia komunitas. Seluruh subjek penelitian merupakan pasien rawat inap. Pada
saat pengambilan sampel darah tidak satupun subjek dirawat di ruang intensif dan
seluruh subjek dijumpai adanya infiltrat dari radilogik dan pemeriksaan fisik. 33
(55%) subjek berjenis kelamin pria dan 27 (45%) merupakan wanita dengan usia
rata-rata (± SD) 52,47±13,31.
Rentang nilai Hb terletak antara 2,8-15,5 gr/dl dengan rerata 10,35±2,68.
Rerata leukosit (12,853±6,875mm3), ureum (64,815±58,037 mg/dl) dan kreatinin
(2,557±4,214 mg/dl) meningkat dari nilai normal. Empat puluh empat subjek
penelitian memiliki PCT ≥ 0,25 ng/ml (73,4%). Ada 25 (41,7%) subjek penelitian
dengan skor PSI ≤ 90, 15 (25%) subjek denga n skor PSI 90-130 dan 20 (33,3%)
subjek penelitian dengan skor PSI > 130. (Tabel 5.1.1) .
Tabel 5.1.1. Data Karakteristik dasar subjek dengan pneumonia komunitas
Variabel Pneumonia Komunitas
-RR (kali/menit)
-Creatinin (mg/dl) (± SD)
-PCT (ng/ml) (%)
Subjek yang tergolong dalam skor PSI berat sebanyak 20 orang dimana terdiri
atas 1 orang (5%) subjek dengan skor CURB-65 tergolong berat memiliki PCT
25≤PCT<0,5 ng/ml dan sisanya 19 (95%) orang memilki PCT ≥ 0,5 ng/ml (tabel
Tabel 5.1.2. Hubungan procalcitonin terhadap skor PSI*
SKOR PSI
PCT (ng/ml) Ringan (≤ 90)
Sedang (91-130)
Berat (>130)
PCT < 0,1 9 (15%) 2 (3,3%) 0 (0%)
0,1≤PCT<0,25 4 (6,7%) 1 (1,7%) 0 (0%)
0,25≤PCT<0,5 4 (6,7%) 5 (8,3%) 1 (1,7%)
PCT≥0,5 8 (13,3%) 7 (11,7%) 19 (31,7%)
Korelasi somers’d p = 0,0001
Proporsi terbanyak didapatkan pada PSI ringan berjumlah 25 orang (41,7%)
dengan kadar PCT paling banyak di rentang < 0,1 ng/ml sebanyak 9 orang (15%).
Setelah dilakukan uji korelasi somers’d diperoleh hubungan (r = 0,498) dengan p<
0,05, terlihat sifat hubungan yang positif yang artinya semakin tinggi skor PSI maka
kadar PCT semakin besar (Gambar 5.1.1.)
Dapat dilihat bahwa kadar rata-rata PCT untuk PSI Ringan sekitar 1,85 ng/ml,
PSI sedang 7,12 ng/ml serta PSI Berat 9.39 ng/ml. Dan dapat terlihat bahwa semakin
berat pneumonia yang dialami pasien (dinilai dari skor PSI) maka semakin tinggi pula
kadar PCT yang dijumpai.(Tabel 5.1.3)
Tabel 5.1.3 Hubungan Skor PSI dengan rata-rata PCT
SKOR PSI
PCT (ng/ml) Ringan (≤ 90)
Sedang (91-130)
Berat (>130)
PCT < 0,1 0,045 0,045 -
0,1≤PCT<0,25 0,15 0,14 -
0,25≤PCT<0,5 0,38 0,36 0,29
PCT≥0,5 1,28 6,67 9,1
Total 1,85 7,12 9.39
Dan pada penelitian ini dijumpai sebanyak 8 orang (13,3%) subjek yang menderita
sepsis PK dengan rata-rata kadar PCT 10,5 ng/ml sedangkan subjek yang menderita
PK pada penelitian sebanyak 52 orang (86,7%) dengan rata-rata kadar PCT 2,96
ng/ml dan ternyata dijumpai adanya hubungan yang signifikan dimana semakin berat
keadaan pneumonianya (dinilai dari skor PSI) maka semakin tinggi kadar PCT yang
ditemukannnya (p=0,002) . Tabel (5.1.4)
Tabel 5.1.4. Rerata kadar PCT pada penderita PK yang sepsis dengan non sepsis
DIAGNOSA PROCALCITONIN
n Mean SD
Sepsis PK 8 10,15 16,58
PK 52 2,96 7,52
Uji Mann-Whitney p=0,002
5.2. Pembahasan
Penilaian derajat keparahan penyakit merupakan salah satu langkah awal
dalam menentukkan rencana manajemen setelah menegakkan diagnosis. Kunci
manajemen PK yang aman dan efisien adalah kemampuan untuk memprediksi
prognosis (Huang DT dkk, 2008). Untuk mencapai tujuan, telah banyak system
scoring klinis yang diuji manfaatnya antara lain seperti skor PSI dengan AUC :
0,74-0,83 yang telah direkomendasikan pemakainnya oleh American Thoracic Society
(ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA) (Singanayagam dkk, 2009).
Pada study Mar Masia dkk yang melibatkan 185 pasien CAP menyatakan bahwa
peranan PCT dengan beratnya CAP pada pasien sangat berkaitan dimana semakin
berat pasien CAP (yang dinilai dari skor PSI) maka semakin tinggi kadar PCT nya.
Dan juga nilai mean PCT pada penelitian oleh Mar Masia dkk juga meningkat sesuai
dengan tingkat keparahan CAP-nya dimana semakin berat CAP-nya maka mean PCT
yang dijumpai juga meningkat. Pada studi ini dijumpai kesesuaian dengan studi Mar
Masia dimana dijumpai kadar PCT meningkat pada pasien dengan CAP yang berat
dibanding CAP yang ringan. Selain itu pada studi ini dapat terlihat peningkatan nilai
mean PCT seiring dengan peningkatan tingkat keparahan dari CAP-nya. Hal ini dapat
terbukti pada penelitin ini dimana 8 orang pasien sepsis PK mmpunyai mean PCT
lebih tinggi (10,15 ng/ml) dibanding dengan pasien PK yang berjumlah 52 orang
Studi ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain : pertama : populasi
penelitian yang tak satupun berasal dari pasien rawat jalan dimana semua subjek yang
masuk dari instalasi gawat darurat (IGD). Sehingga studi ini tidak mencerminkan PK
yang berobat jalan. Kedua Metode cross sectional membatasi studi ini untuk
mengikuti perjalanan klinis penderita PK dan menentukkan dampak klinisnya
sehingga mortalitas tidak dapat dihubungkan dengan skor PSI maupun PCT dan studi
ini juga tidak dapat memastikan bahwa perburukan dari subjek memang murni
disebabkan PK, bukan oleh komorbid pasien, saat di IGD tidak memberi gejala klinis
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Procalcitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memiliki hubungan
dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor PSI sehingga PCT
dapat digunakan untuk menentukkan hubungan kadar procalcitonin dengan
beratnya Pneumonia Komunitas.
2. Tingginya kadar PCT pada penderita sepsis memberi keyakinan klinisi akan
infeksi bakteri sehingga pemberian antibiotik dapat diberikan dengan segera.
6.2. Saran :
1. Perlunya penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan desain
penelitian kohort ataupun uji survival untuk mendapatkan hubungan antara
PCT, Skor PSI dengan mortalitas PK.
2. Penelitian lebih lanjut perlu mengikutsertakan pasien dengan daya tahan
menurun (immunocompromised) sehingga dapat membantu memutuskan
pemberian antibiotik pada populasi tersebut.
3. Dibutuhkan studi lebih lanjut bagaimana hubungan PCT derajat bakteremia
(bacterial load) dan bagaimana kadar PCT jika terdapat ko-infeksi bakteri dan
virus.
DAFTAR PUSTAKA
Aabenhus R. Jansen JUS. Procalcitonin-Guided antibiotic treatment of respiratory
tract infection in primary care setting : are we there yet?Prim care Respir
J.2011;20:305-19.
American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus
Conference : Definitions for Sepsis and Organ Failure and Guidelines for The
Use of Innovative Therapies in Sepsis. Critical Care Medicine, 1992. Vol 20
no 6.
Bont J, Hak E, Hoes AW, Macfarlane JT, Varheiji TJM. Predicitng Death in Elderly
Patients with Community Acquired Pneumonia : A Prospective Validation
Study Re-evaluating the CRB-65 Severity Assessment Tool. Arch Intern Med.
2008; 168:1465-68.
Capelastegui A, Espana PP, Quintana JM, Arcitio I, Gorondo I, Egurolla M, et.al.
Validation of Predictive Rule for the management of Community Acquired
Pneumonia. Eur Respir J. 2006; 27: 151-57.
Carol P. Kathryn JG. Alteration of Urinary System. In:Essentials of Pathophysiology.
Lippincott Williams and Wilkins, 2003:411.
Crain C. Procalcitonin. Department of Anaesthetics. University of Kwazulu-Natal.
2010: 3 – 24.
Chastre J, Luyt CE, Trouillet JL, Combes A. New Diagnostic and Prognostic Markers
of Ventilator Associated Pneumonia . Current Opnion in Critical Care. 2006;
12: 446-51.
Christ-Crain M, Stolz D, Bingisser R, Mueller C, Mledinger D, Huber P, et.al.
Procalcitonin Guidance of Antibiotics Therapy in Community Acquired
Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. 2006; 174: 84 -93.
Christ-Crain M, Opal SM. Clinical Review: The Role of Biomarkers in the Diagnosis
and Management of Community Acquired Pneumonia. Critical care. 2010; 14:
1- 11.
Dahlan Z. Pandangan Baru Pneumonia Atipik dan Terapinya. Cermin Dunia
Dahlan Z. Pneumonia. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S (editors). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Interna Publishing;
2009:2196-2206
De Frances CJ, Lucas CA, Buie VC, Golosinskiy A. 2006 National Hospital
Discharge Survey. National Health Statistic Reports. 2008;5: 1 – 20.
Dremsizov T, Clermont G, Kellum JA, Kallassian KG, Fine MJ, Angus DC. Severe
Sepsis in CAP : When Does It Happen, and do SIRS Help Predict
Course?Chest, 2006; 129:968-78.
Gilber DN. Use of Plasma Procalcitonin Levels as an Adjunct to Clinical
Microbiology. Journal of Clinical Microbiology. July 2010:2325-29.
Hendlund J, Hansson LO. Procalcitonin and C-Reactive Protein Levels in Community
Acquired Pneumonia: Correlation With Etiology and Prognosis. Infection.
2000; 28: 68 – 72.
Huang DT, Weissfeld LA, Kellum JA, Yealy DM, Kong L, Martino M, et.al. Risk
Prediction with Procalcitonin and Clinical Rules in Community Acqiured
Pneumonia. Ann Emerg Med. 2008; 52(1): 48- 58.
Irwin AD, Carrol ED. Procalcitonin. Arch Dis Child Educ Parc Ed.2011:228-33.
Jung DY, Park JB, Lee EN, Lee HT, Joh JW, Kwon CH, et. al. Combined use of
Myeloid-related protein 8/14 and Procalcitonin as diagnostic markers for acute
allograft rejection in kidney transplantation recipients. Transplant
Immunology. 2008; 18: 338-43.
Kaplan V, Clermont G, Griffin MF, Kasal J, Watson RS, Linde-Zwirble WT, et.al.
Pneumonia: Still the Oldman’s Friend?. Arch Intern Med. 2003; 163: 317-23.
Kosanke R, Beier W, Lipecky R, Meisner M. Clinical Benefits of Procalcitonin.
Tannafos. 2008; 7:14 – 18.
Kruger S, Ewig S, Marne R, Papassotisiou J, Richter K, Von Baum H, et.al.
Procalcitonin Predicts Patient at Low Risk of Death from Community
Acquired Pneumonia Across all CRB-65 Classes. Eur Respir J. 2008; 31:
349-55.
Laterre PF, Garber G, Levy H, Wunderink R. Kinasewitz GT, Sollet JP, et al. Severe
Community Acquired Pneumonia as Cause of severe sepsis : data from
Lim WS, Baudouin SV, George RC, Hill AT, Jamieson C, Jeune IL, et.al. British
Thoracic Society Guidelines For The Management of Community Acquired
Pneumonia in Adults: update 2009. Thorax. 2009; 64(suppl II): 1 – 55.
Maier M, Wutzler S, Lehnert M, Szermutzky, Hendrik W, Bingold T, et.al. Serum
Procalcitonin Level in Patients with Multiple Injuries Including Viseral
Trauma. Journals of Trauma. 2009; 66: 243-49.Summary Executive. Pola
Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT). 2001: 2.
Mandell LA, Wunderik RG, Arzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, et.al.
Infectious Diseases Society of America/ American Thoracic Society
Consensus Guidelines on The Management of Community Acquired
Pneumonia in Adults. CID. 2007; 44: 27- 72.
Masia M, Gutierrez F, Shum C, Padilla, Sergio, et.al. Usefulness of Procalcitonin
Level in Community Acquired Pneumonia According to Patients Outcome
Research Team Pneumonia Severity Index. Chest. 2005; 128: 23-29.
Michael J.Fine,Thomas E.Auble, Donald M. Yealy. A Prediction Rule to identify
Low-Risk patients With Community Acquired Pneumonia,NEJM 1997; 336,
243-250.
Mira JP, Max A, Burgel PR. The Role of Biomarker in Community Acquired
Pneumonia: Prediciting Mortality and Response to Adjunctive Therapy.
Critical Care. 2008;12(Suppl 6): 1-7.
Muller B, Harbarth S, Stolz D, Bingisser R, Mueller C, Leuppi J, et.al. Diagnostic and
Prognostic Accuracy of Clinical and Laboratory Parameters in Community
Acquired Pneumonia. BMC Infectious Diseases. 2007; 7: 1- 10.
Nayak SB, Sakhamuri MS, Raghunanan B, Allison A, Uppalapati K, Patcha K. The
role of serum markers in assessing the severity and outcome of community
acquired pneumonia in Trinidadion population. Journal of Public Health and
Epidemiology. 2010:20-24.
Querol-Ribelles JM, Tenias JM, Grav E, Querol-Borras JM, Climent JL, Gomez E,
et.al. Plasma d-dimer levels correlate with outcomes in patient with