• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar Procalcitonin dengan beratnya Pneumonia Komunitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kadar Procalcitonin dengan beratnya Pneumonia Komunitas"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN

DENGAN BERATNYA PNEUMONIA KOMUNITAS

TESIS

Oleh

DOHARJO MANULLANG

NIM : 097101012

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN

DENGAN BERATNYA PNEUMONIA KOMUNITAS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran

Klinik dan Spesialis Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara

Oleh

DOHARJO MANULLANG

NIM : 097101012

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : Hubungan Kadar Procalcitonin dengan beratnya Pneumonia Komunitas

Nama Mahasiswa : Doharjo Manullang

NIM : 097101012

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik - Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing Tesis I Pembimbing Tesis II

dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP

dr. E.N Keliat, Sp.PD-KP

Disahkan oleh:

Ka.Dep.Ilmu Peny.Dalam Ketua TKP - PPDS

dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH

dr. H.Zainuddin Amir, SpP(K)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 3 Desember 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH

Anggota : Prof.dr.Haris Hasan, SpPD-SpJP

dr. Salli Roseffi Nasution SpPD-KGH

dr.Armon Rahimi, SpPD-KPTI

(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar

Nama : Doharjo Manullang

NIM : 097101012

(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan

di bawah ini :

Nama : Doharjo Manullang

NIM : 097101012

Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul : “ Hubungan Kadar Procalcitonin dengan beratnya Pneumonia Komunitas” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas

Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam

bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari

saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak

cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada tanggal : 3 Desember 2013

Yang menyatakan,

(7)

Abstrak

HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN DENGAN BERATNYA PNEUMONIA KOMUNITAS

Doharjo Manullang,E.N Keliat, Alwinsyah Abidin Divisi Pulmonologi, Alergi dan Imunologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H.Adam Malik Medan

Latar Belakang

Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukkan beratnya penyakit dan rencana tata laksana selanjutnya. Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai biomarker untuk sepsis dan infeksi. PCT dapat berperan dalam diagnosis, memutuskan pemberian antibiotik dan prognosis penderita PK

Tujuan

Untuk mengetahui hubungan kadar procalsitonin terhadap beratnya pneumonia komunitas yang datang ke rumah sakit.

Bahan dan Cara

Penelitian observasional dengan metode pengukuran cross sectional. Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor PSI dan PCT. Selanjutnya skor PSI dihubungkan dengan PCT dan parameter lainnya.

Hasil

Sebanyak 60 subjek penelitian dimana subjek yang tergolong dalam skor PSI berat sebanya 20 orang, terdiri atas 1 orang (1,7%) subjek dengan skor PSI tergolong berat memilki PCT 0,29 ng/ml dan sisanya 19 orang (31,7%) memiliki kadar PCT ≥ 0,5 ng/ml. Proporsi terbanyak didapatkan PSI ringan berjumlah 25 orang (41,7%) dengan kadar PCT terbanyak < 0,1 ng/ml sebanyak 9 orang (15%). Setelah dilakukan uji korelasi somers’d diperoleh hubungan yang signifikan antara derajat skor PSI dengan peningkatan kadar PCT (p=0,0001).

Kesimpulan

Procalsitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memilki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor PSI sehingga PCT dapat digunakan untuk menentukkan prognosis pasien PK sejak awal masuk ke rumah sakit.

(8)

Abstract

The Correlation Between Procalsitonin Levels and Severity of Community Acquired Pneumonia

Doharjo Manullang, E.N Keliat, Alwinsyah Abidin Pulmonology and Alergy Immunology Division

Internal Medicine Department

Faculty of Medicine University of North Sumatera H.Adam Malik General Hospital Medan

Background

The assessment of level severity in patient with Community Acquired Pneumonia (CAP) is very important determine the next management of disease. Procalcitonin (PCT) is known as one of biomarker sepsis and infection. The application of PCT is known to be used in diagnosis, to help clinician to decide antibiotic treatment and to make prognosis. It is still controversy whether the PCT early admission is related in clinical scoring system or prognostic score.

Objective

To determine the correlation between PCT and PSI score in CAP patients at early admission in hospital.

Materials and Methods

This was an cross sectional study. We had examined CAP subject with PSI and PCT. We had correlate the PCT levels with PSI to determined prognostic utiliy of PCT.

Result

Total CAP subjects was 60, consist of 20 subjects with severe PSI levels. From those 20 patients, one subject (1,7%) with PCT levels 0,29 ng/ml and 19 subjects (31,7%) with PCT ≥0,5 ng/ml. The bigge st proportion was in low severit of PSI, about 25 subjects (41,7%) with PCT levels in 9 subjects (15%) was < 0,1 ng/ml. We had found correlation beween PSI with PCT using somers’d correlation (p=0,0001).

Conclusion

Procalcitonin is a biomarker of bacteremia infection that has correlation with clinical scoring system PSI. PCT use can be use to determine the prognosis in CAP admission.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tak terhingga senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan

yang Maha Esa, atas karunia, petunjuk, kekuatan dan kemudahan sehingga penulis

dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dari

semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu

perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat, penghargaan dan

ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :

1. dr. Salli Roseffi Nasution, Sp.PD-KGH dan dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP (K) selaku Kepala dan Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan

serta senantiasa membimbing, memberi dorongan dan kemudahan selama penulis

menjalani pendidikan.

2. dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK-USU yang telah dengan sungguh-sungguh membantu,

membimbing, memberi dorongan dan membentuk penulis menjadi dokter

Spesialis Penyakit Dalam yang siap mengabdi pada nusa dan bangsa.

3. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Dr.Alwinsyah Abidin SpPD-KP dan Dr.Ermanta Ngirim Keliat SpPD-KP selaku pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga

telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis

sampai selesainya karya tulis ini. Terima kasih yang tak terhingga penulis

ucapkan.

4. dr. Zulhelmi Bustami, KGH (Alm), Dr. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD-KEMD selaku mantan Kepala Program Studi dan mantan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK-USU, saat penulis diterima sebagai peserta

Program Pendidikan Dokter Spesialis. Terima kasih atas kesempatan, dukungan

(10)

5. Para Guru Besar : Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, Prof. dr. Bachtiar Fanani Lubis, KHOM, Prof. dr. Habibah Hanum, Sp.PD-KPsi, Prof. dr. Pengarapen Tarigan, Sp.PD-KGEH, Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP(K), Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp.PD-KP-KAI, Sp.MK, Prof. dr. OK. Moehadsyah, Sp.PD-KR, Prof. dr. Lukman Hakim Zain, Sp.PD-KGEH, Prof. dr. M. Yusuf Nasution, Sp.PD-KGH, Prof. dr. Abdul Majid, Sp.PD-KKV, AIF, Prof. dr. Azmi S. Kar, Sp.PD-KHOM, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K), Prof. dr. Harun Al Rasyid Damanik, Sp.PD, Sp.GK, yang telah memberikan bimbingan dan teladan selama penulis menjalani pendidikan.

6. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, para guru

penulis : Prof. dr. Lukman Hakim Zain Sp.PD-KGEH, dr. Rustam Effendi Y.S Sp.PD-KGEH, dr. Zulhelmi Bustami, Sp.PD-KGH (Alm), dr. Salli Roseffi Nasution, Sp.PD-KGH, dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, dr. R. Tunggul Ch. Sukendar, Sp.PD-KGH (Alm), dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K), dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP, Dr. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD-KEMD, dr. Mardianto, Sp.PD-Sp.PD-KEMD, dr. Santi Syafril, SpP.D-Sp.PD-KEMD, dr. Sri Maryuni Sutadi, Sp.PD-KGEH, dr. Betthin Marpaung, Sp.PD-KGEH (Alm), dr. Mabel Sihombing, Sp.PD-KGEH, Dr. dr. Juwita Sembiring, Sp.PD-KGEH, dr. Leonardo Basa Dairi, Sp.PD-KGEH, dr. Dairion Gatot, KHOM, dr. Yosia Ginting, KPTI, Dr. dr. Umar Zein, Sp.PD-KPTI, DTM&H, dr. Armon Rahimi, Sp.PD-Sp.PD-KPTI, dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP, dr. E.N. Keliat, Sp.PD-KP, dr. Zuhrial Zubir, Sp.PD-KAI, dr. Pirma Siburian, Sp.PD-KGer, Dr. dr. Blondina Marpaung, Sp.PD-KR, dr. Tambar Kembaren, Sp.PD, dr. Sugiarto Gani, Sp.PD, dr. Savita Handayani, Sp.PD, dr. Imelda Rey, M.Ked (PD), Sp.PD, dr. Safrizal Nasution, M.Ked (PD), Sp.PD serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatiannya senantiasa membimbing

penulis selama mengikuti pendidikan. Penulis haturkan rasa hormat dan terima

kasih yang tak terhingga.

(11)

Sinaga yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan.

8. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan dan Ketua TKP-PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu

Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

9. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis

dalam penyusunan tesis ini.

10. Teman-teman seangkatan penulis yang memberikan dorongan semangat : dr. Elisabeth Sipayung, dr. Riki Muljadi, dr. M. Budiman, dr. Wirandi Dalimunthe, dr. Sari Harahap, dr. Naomi Dalimunthe, dr. Ester Morina Silalahi, dr. Ratna Karmila, dr. Agustina, dr. N. Fitriani, dr. Herlina Yani, dr. Junita, dr. Bayu Rusfandi Nasution, dr. Kathrine, dr. M. Azhari, serta seluruh rekan seperjuangan peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK-USU, yang telah memberikan banyak dukungan dengan persahabatan, kerja sama serta

berbagi dalam suka dan duka dalam menjalani kehidupan sebagai residen.

11. Dokter ruangan di RS H. Adam Malik Medan yang membantu mengumpulkan sampel penelitian.

12. Seluruh perawat/paramedis di berbagai tempat di mana penulis pernah bertugas selama pendidikan, terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang baik selama

ini.

13. Para pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.

14. Syarifuddin Abdullah, Lely Husna Nasution, Deni, Yanti, Wanti, Tika, Tanti, Erjan Ginting dan seluruh pegawai administrasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU, yang telah banyak membantu memfasilitasi penulis

dalam menyelesaikan tugas pendidikan.

Sembah sujud dan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada kedua orangtua penulis, Prof.Dr.B.Manullang dan M.Banjarnahor , atas segala jerih payah, pengorbanan, dan kasih sayang tulus telah melahirkan, membesarkan,

(12)

mendorong penulis dalam berjuang. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa

memberikan kesehatan, rahmat dan karunianya. Teristimewa, penulis menyampaikan

terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada istri tercinta, Henna Betty Simorangkir, S.Mn atas cinta kasih yang tulus, pengertian, perhatian, kesabaran, dukungan moril dan materil serta telah mendukung, mendoakan, serta memberikan

semangat bagi penulis. Terima kasih sebesar-besarnya kepada anak-anakku Giselle Joanna Nathania Manullang dan Michelle Fayola Manullang dan kepada saudara kandung penulis, Johnson Manat Manullang, SP, MSi, Dapot Tua Manulang SE, MSi, Esninawaty Manullang, SSi, MPd, Rosmaida Manulang SPd serta segenap keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan bantuan moril, semangat dan

doa tanpa pamrih selama pendidikan.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan pula terima kasih

kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama pendidikan maupun

dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan limpahan rahmat dan

karuniaNya kepada kita semua dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita

dan masyarakat.

Medan, 3 Desember 2013

(13)

DAFTAR ISI

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 15

3.1 Kerangka Konsep ... 15

4.9 Ethical clearance dan Informed Consent ... 22

(14)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian ... 23 5.2 Pembahasan ... 27

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 29 6.2 Saran ... 29

(15)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 2.5.1 Skor PSI ... ...12

Tabel 3.2.4.1 Skor Pneumonia Severity Index ... ...16

Tabel 5.1.1 Data Karakteristik dasar subjek dengan pneumonia komunitas . ...23

Tabel 5.1.2 Hubungan Procalsitonin terhadap skor PSI... .... ...25

Tabel 5.1.3 Hubungan skor PSI dengan Rata-rata PCT ... ...26

Tabel 5.1.4 Rerata kadar PCT pada penderita PK yang sepsis dengan non sepsis...27

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.2.1 Struktur Procalcitonin ... ... 5

Gambar 2.3.1 Manfaat Procalcitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah ... ... 9

Gambar 4.10.1 Kerangka Operasional... ... ...22

Gambar 5.1.1 Korelasi antara PCT dengan skor PSI.. ... ... 25

(17)

DAFTAR SINGKATAN

ATS : American Thoracic Society

AUC : Area Under Curve

BACTEC : Best Patient Care Drug Neutrlization Capabilities

BM : Berat Molekul

BTS : British Thoracic Society

CALC-1 : Calcitonin-1

CCP-I : Calcitonin Peptide-I

CRP : C-Reactive Protein

CURB-65 : Confusion, Ureum, Respiratory Rate, Blood Pressure, Age≥65

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Dkk : Dan kawan-kawan

DM : Diabetes Melitus

ECLIA : Electrochemiluminesence Immunoassay

IDSA : Infectious Disease Society of America

IFN-γ : Interferon Gamma

ILMA : Immunoluminometric Assay

LBP : Lipopolysaccaride Binding Protein

Mg : Miligram

mmHg : milligram

mRNA : Messenger Ribo Nucleic Acid

n : Jumlah subjek penelitian

p : Tingkat kemaknaan

PF 1,2 : Protrombin Fragment 1,2

PK : Pneumonia Komunitas

PSI : Pneumonia Severity Index

PT : Protrombin Time

ROC : Receiving Operating Curve

RT-PCR : Multiple Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction

(18)

SD : Standar Deviasi

SE : Standar Eror

SIRS : Systemic Inflammatory Response Syndrome

SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga

SMART : Sensitivity and Specificity, Measureable, Affordable,

Responsive and Reproducible, timely fashion

TDD : Tekanan Darah Diastolik

TDS : Tekanan Darah Sistolik

TREM-1 : Triggering Receptor Expressed on Myeloid-1

TNF-α : Tumor Necrosis Factor α

Z α : deviat baku normal untuk α

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1. Lembar Persetujuan Komite Etik Penelitian... 34

LAMPIRAN 2. Lembar Penjelasan Kepada Subjek... 35

LAMPIRAN 3. Lembar Persetujuan Subjek Penelitian... 36

LAMPIRAN 4. Lembar Kerja Profil Peserta Penelitian... 37

LAMPIRAN 5. Daftar Riwayat Hidup... 38

(20)

Abstrak

HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN DENGAN BERATNYA PNEUMONIA KOMUNITAS

Doharjo Manullang,E.N Keliat, Alwinsyah Abidin Divisi Pulmonologi, Alergi dan Imunologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H.Adam Malik Medan

Latar Belakang

Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukkan beratnya penyakit dan rencana tata laksana selanjutnya. Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai biomarker untuk sepsis dan infeksi. PCT dapat berperan dalam diagnosis, memutuskan pemberian antibiotik dan prognosis penderita PK

Tujuan

Untuk mengetahui hubungan kadar procalsitonin terhadap beratnya pneumonia komunitas yang datang ke rumah sakit.

Bahan dan Cara

Penelitian observasional dengan metode pengukuran cross sectional. Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor PSI dan PCT. Selanjutnya skor PSI dihubungkan dengan PCT dan parameter lainnya.

Hasil

Sebanyak 60 subjek penelitian dimana subjek yang tergolong dalam skor PSI berat sebanya 20 orang, terdiri atas 1 orang (1,7%) subjek dengan skor PSI tergolong berat memilki PCT 0,29 ng/ml dan sisanya 19 orang (31,7%) memiliki kadar PCT ≥ 0,5 ng/ml. Proporsi terbanyak didapatkan PSI ringan berjumlah 25 orang (41,7%) dengan kadar PCT terbanyak < 0,1 ng/ml sebanyak 9 orang (15%). Setelah dilakukan uji korelasi somers’d diperoleh hubungan yang signifikan antara derajat skor PSI dengan peningkatan kadar PCT (p=0,0001).

Kesimpulan

Procalsitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memilki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor PSI sehingga PCT dapat digunakan untuk menentukkan prognosis pasien PK sejak awal masuk ke rumah sakit.

(21)

Abstract

The Correlation Between Procalsitonin Levels and Severity of Community Acquired Pneumonia

Doharjo Manullang, E.N Keliat, Alwinsyah Abidin Pulmonology and Alergy Immunology Division

Internal Medicine Department

Faculty of Medicine University of North Sumatera H.Adam Malik General Hospital Medan

Background

The assessment of level severity in patient with Community Acquired Pneumonia (CAP) is very important determine the next management of disease. Procalcitonin (PCT) is known as one of biomarker sepsis and infection. The application of PCT is known to be used in diagnosis, to help clinician to decide antibiotic treatment and to make prognosis. It is still controversy whether the PCT early admission is related in clinical scoring system or prognostic score.

Objective

To determine the correlation between PCT and PSI score in CAP patients at early admission in hospital.

Materials and Methods

This was an cross sectional study. We had examined CAP subject with PSI and PCT. We had correlate the PCT levels with PSI to determined prognostic utiliy of PCT.

Result

Total CAP subjects was 60, consist of 20 subjects with severe PSI levels. From those 20 patients, one subject (1,7%) with PCT levels 0,29 ng/ml and 19 subjects (31,7%) with PCT ≥0,5 ng/ml. The bigge st proportion was in low severit of PSI, about 25 subjects (41,7%) with PCT levels in 9 subjects (15%) was < 0,1 ng/ml. We had found correlation beween PSI with PCT using somers’d correlation (p=0,0001).

Conclusion

Procalcitonin is a biomarker of bacteremia infection that has correlation with clinical scoring system PSI. PCT use can be use to determine the prognosis in CAP admission.

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pneumonia memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di seluruh

dunia. Di Indonesia, berdasarkan data studi mortalitas dari Survei Kesehatan Rumah

Tangga (SKRT) tahun 2001 mencatat kematian akibat pneumonia dan infeksi saluran

nafas sebanyak 34/100.000 penduduk (pada pria) dan 28/100.000 penduduk (pada

wanita). Hardiyanto, dkk melaporkan dari 235 pasien yang dirawat di R.S. Hasan Sadikin Bandung, sebanyak 75,3% menderita Pneumonia Komunitas (PK) (Dahlan Z,

2000). Di negara maju seperti Amerika Serikat, PK menyebabkan angka rawatan 1,3

juta orang per tahun (De Frances CJ dkk, 2008; Huang DT dkk 2008, Mira JP dkk, 2008) dan tercatat sebagai penyebab terbesar sepsis berat dan kematian terbanyak

akibat infeksi (Huang DT dkk 2008, Mira JP dkk, 2008). Tingginya angka kejadian

dan dampak mortalitas diikuti oleh tingginya biaya kesehatan terutama pada penderita

PK berat. Mar Masia, dkk melaporkan dari 240 pasien yang diteliti penyebab

terjadinya pneumonia yang terbanyak adalah bakteri (39 orang), atypical (36 orang),

virus (15 orang), gabungan (14 orang), tidak diketahui (81 orang) (Masia M dkk,

2005).

Pneumonia secara umum adalah radang dari parenkim paru dengan

karakteristik adanya konsoliasi dari bagian yang terkena dan alveolar terisi oleh

eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia yang berkembang di luar rumah sakit atau

dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit disebut dengan pneumonia komunitas (PK).

Pada penderita PK, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien

masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan tatalaksana

selanjutnya (Mira JP dkk, 2008; Singanayam A dkk, 2009), Lim WS dkk, 2009,

Mandel LA dkk, 2007; Capelastegui A dkk, 2002006). Hal inilah yang mendorong

lahirnya skor prognostik seperti CURB-65 (Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood

pressure, Age >65 years) dengan segala modifikasinya maupun PSI (pneumonia

severity index) dan penelitian akan petanda inflamasi dan infeksi seperti CRP

(C-Reactive Protein), procalcitonin, TNF-alpha (tumour necrosis factor alpha), dll (Mira

(23)

Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai SMART biomarker untuk sepsis

dan infeksi. Hal ini membuktikan dengan memenuhi beberapa kriteria, antara lain : 1.

Memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi, 2. Dapat diukur (measureable), 3.

Tersedia di sarana kesehatan seperti rumah sakit (affordable), 4. Responsive dan

reproducible, 5. Memiliki waktu paruh 24 jam dan dapat diperiksa berulang kali

(timely fashion) (Summah H dkk, 2009; Cairn C dkk, 2010). Muller dkk, melaporkan bahwa kadar procalcitonin lebih akurat dibanding CRP maupun jumlah leukosit total

dalam membedakan PK dengan kondisi medik lain (Mira JP dkk 2008, Muller B dkk,

2007). Pada penelitian Christ-Crain dkk, Nilai PCT ( dengan cut-off ≥ 0,25 ng/ml) dipakai sebagai pertimbangan untuk memutuskan pemberian antibiotik. Hasilnya

didapatkan pengurangan 50% penggunaaan antibiotik pada pasien dengan infeksi

saluran nafas bagian bawah. Hal ini ditegaskan kembali oleh peneliti yang sama

dimana kurangnya hari rawatan dari 12 hari menjadi 5 hari dengan durasi penggunaan

antibiotik berkurang hingga 65% tanpa merubah dampak klinis penderita PK (Christ

Crain M dkk, 2006; Christ Crain M dkk, 2010).

Sebagai alat prognostik, studi oleh Huang dkk, mendapatkan kadar PCT< 0,1 ng/ml memiliki risiko kematian akibat PK yang rendah tanpa memandang derajat skor

PSI. Pada studi Masia dkk, PCT dihubungkan dengan skor derajat keparahan

pneumonia. Pada penderita pneumonia dengan nilai PSI yang rendah (PSI, kelas I-II),

PCT ternyata dapat memprediksi pneumonia akibat bakteri dimana kadar PCT akan

meningkat pada pneumonia bakteria dibanding non-bakteria dengan cut-off ≥ 0,15

ng/ml. Pada penderita dengan PSI tinggi (PSI, kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat

prognostik dibanding diagnostik, dimana kadar PCT ≥ 0,5 ng/ml memiliki komplikasi

dan mortalitas yang lebih tinggi (Huang DT dkk, 2008, Mira JP dkk, 2008;

Capelastegui dkk, 2006). Mar Masia dkk melaporkan bahwa pasien PK yang mempunyai score PSI yang lebih tinggi maka semakin tinggi kadar procalsitonin dan

didapati bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat keparahan PSI

dan hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan komplikasi yang terjadi.

Kruger dkk, dalam suatu studi yang melibatkan 1671 pasien PK melaporkan bahwa kadar PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang

(24)

untuk mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Selain itu,

terdapat 2 (dua) penelitian terdahulu yang saling bertentangan dan menyebabkan

peran procalcitonin sebagai prediktor prognostik menjadi tidak jelas. Masia dkk

mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat PSI dan hal

ini berhubungan dengan derajat peningkatan mortalitas dan komplikasi yang terjadi.

Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Beovic dkk yang menegaskan

tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI (Huang DT dkk, 2008).Oleh

karena itu, peneliti berminat melakukan suatu penelitian yang mencari hubungan

antara kadar PCT terhadap skor keparahan pneumonia, dalam hal ini PSI pada awal

pasien PK datang ke RS. Selain itu hingga saat ini penelitian sejenis belum pernah

dilakukan di Medan.

2. Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan kadar procalcitonin dengan beratnya pneumonia

komunitas pasien yang datang ke rumah sakit?

3. Hipotesa

Semakin tinggi kadar procalcitonin pada penderita pneumonia komunitas yang

datang ke rumah sakit semakin berat keadaan penyakit yang dialaminya.

4. Tujuan Penelitian

Diketahuinya hubungan kadar procalcitonin terhadap beratnya pneumonia

komunitas pada pasien yang datang ke rumah sakit.

5. Manfaat Penelitian

5.1. Dapat membantu klinisi dalam mengidentifikasi derajat keparahan pneumonia

sehingga dapat membantu meyakinkan klinisi dalam mengambil keputusan

untuk pemberian antibiotika sejak awal.

5.2. Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya, memberi pemahaman akan

penggunaan petanda inflamasi dan menambah pengetahuan mengenai

karakteristik PK di Medan sehingga bermanfaat dalam menurunkan angka

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biomarker pada Pneumonia

Pneumonia merupakan kumpulan gejala (demam, nyeri pleuritik, sesak nafas)

dan tanda (infiltrat paru) yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat

mempengaruhi penderitanya secara sistemik (Lim WS dkk, 2009). Sebagai penyakit

infeksi, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi pelepasan sitokin pro

inflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem

hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi (Kaplan V dkk, 2003).

Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali pneumonia

tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan diagnosis yang

akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi (Capelastegui dkk, 2006). Dalam suatu

analisis Receiving Operating Characteristic (ROC) yang bertujuan untuk menilai

akurasi diagnostik dari PK (yang dikonfirmasi dengan radiologik) dengan kondisi

medik lainnya. Didapatkan kelemahan gambaran klinik ( seperti demam, batuk,

produksi sputum, temuan auskultasi yang abnormal) dalam mendiagnosis PK dengan

Area Under Cover (AUC) sebesar 0,79. Temuan ini dapat dibandingkan dengan

jumlah total leukosit (AUC: 0,69); CRP (AUC: 0,76) dan PCT (AUC: 0,88) (Mira JP

dkk, 2008; Muller B dkk, 2007; Christ Crain M dkk, 2010). Dari studi ini dapat

disimpulkan bahwa biomarker seperti CRP, terutama PCT dapat berperan banyak

dalam diagnosis PK (Christ Crain M dkk, 2010).

Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan

tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses

fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang tidak

dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non inflamasi dan

akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami

penurunan saat proses inflamasi mereda (Capelastegui A dkk, 2006).

Dalam hal membantu tegaknya diagnosis pneumonia, beberapa biomarker

telah dikenal, seperti: CRP, leukosit total, immunoglobulin, PCT dan Triggering

(26)

masih dalam tahap studi untuk penggunaannya pada pneumonia antara lain: copeptin,

kortisol, endotoksin dan proadrenomedullin (Capelastegui A dkk, 2006). Saat ini,

PCT dikenal sebagai biomarker yang manfaatnya terus diteliti. Konsentrasi PCT yang

hanya meningkat pada infeksi bakteri dan tetap rendah pada infeksi virus membuat

biomarker ini banyak digunakan untuk penyakit seperti sepsis, meningitis dan

pneumonia. Tampaknya PCT dapat sebagai faktor prognosis pada keadaan sepsis dan

pneumonia (Hendlund J dkk, 2000; Masia M dkk, 2005).

2.2 Procalcitonin

Procalcitonin adalah prohormon calcitonin, berupa peptida yang terdiri atas

116 asam amino (Gambar 2.2.1.) yang dilepaskan oleh sel C tiroid dalam keadaan normal dan konsentrasinya sangat rendah (<0,05 ng/ml , dengan alat yang paling sensitive didapatkan nilai 0,033±0,003 (Kosanke R dkk, 2008). Pada infeksi mikroba

akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan lepasnya PCT dari

seluruh sel parenkim dan sel-sel yang terdiferensiasi di hati maupun sel-sel

mononuclear (Summah H dkk, 2009; ChastreJ dkk, 2006) . Pelepasan mediator

inflamasi PCT dapat diinduksi melalui 2 proses, antara lain (Cairns C dkk, 2010) :

1. Terlepasnya toksin yang ada di dalam mikroba (endotoksin)

2. Respon immunitas selluler yang diperantarai oleh sitokin pro inflamasi seperti:

Interleukin 1b, Interleukin 6 dan TNF-alpha.

Sumber : Tannafos, 2008(19)

(27)

PCT merupakan molekul yang dianggap sebagai bentuk primitif dari

pertahanan bakterial yang bekerja sebelum sistem immun yang lebih efektif bekerja

(Cairn C dkk, 2010. Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa keadaan seperti trauma,

pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar, sindroma distress pernapasan, infeksi

nekrosis setelah pancreatitis akut dan reaksi penolakan jaringan pada transplantasi

dapat meningkatkan kadar PCT (Summah H dkk, 2009; Maier M dkk, 2009; Tseng

JS dkk, 2008; Jung DY dkk, 2008). Rendahnya kadar PCT tidak selalu meniadakan

infeksi bakteri. Keadaan false negative ini dapat disebabkan antara lain: tahap awal

infeksi, infeksi terlokalisir, endokarditis infeksi subakut, infeksi oleh kuman atipikal

(terutama kuman intraselluler) (Cairn C dkk, 2010).

PCT akan meningkat setelah 2-3 jam induksi dari endotoksin. Kadarnya

kemudian terus naik secara cepat hingga menjadi ratusan nanogram per ml pada

sepsis berat dan syok sepsis, mencapai plateau pada 6 – 12 jam. PCT akan terus

meningkat dan menetap dalam 48 jam lalu turun ke nilai normal dalam 2 hari jika

pengobatan berhasil dan ini menunjukkan prognosis yang baik. Jika kadar PCT terus

meningkat dan tidak turun menunjukkan kegagalan terapi. Waktu paruh dari PCT

sekitar 20 – 24 jam. Namun dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Pada gangguan ginjal

waktu paruh dapat memanjang hingga 35 jam (Cairn C dkk, 2010).

Penigkatan kadar PCT pada infeksi bakteri lebih tinggi dibanding infeksi

parasit (cthnya : plasmodium sp), beberapa jenis jamur meskipun mikroorganisme ini

juga merangsang makrofag untuk menghasilkan sitokin proinflamasi. Berbagai studi

telah menyimpulkan bahwa PCT jarang sekali meningkat pada keadaan murni infeksi

virus. Keadaan ini diakibatkan oleh rangsangan virus terhadap makrofag yang akan

menghasilkan interferon gamma (IFN-gamma) yang kemudian akan menghambat

sintesa tumor necrosis alpha ((TNF-alpha). TNF-alpha merupakan salah satu mediator

inflamasi yang merangsang pelepasan PCT. Studi oleh Moulin dkk dan Holm A dkk

mendapatkan peningkatan kadar PCT pada pasien pneumonia dengan kuman

Streptococcus pneumonia dan Hemophilus Influenzae baik pada anak-anak maupun

dewasa. Ingram dkk mendapatkan kenaikan PCT yang tidak tinggi pada pasien yang

(28)

Telah dikenal beberapa jenis pemeriksaan komersil PCT dengan sensitifitas

yang berbeda-beda, seperti ILMA (immunoluminometric assay/LIA; sensitifitas 0,3

ng/ml)(Cairn C dkk, 2010), BRAHMS PCT-Q (sensitifitasnya 0,5 ng/ml) (Muller B

dkk, 2007; Schuetz P dkk, 2011), VIDAS BRAHMS PCT (sensitifitas 0,09) ((Cairn C

dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2011), BRAHMS PCT KRYPTOR (rentang 0,02-5000

ng/ml)(Muller B dkk, 2007; Irwin AD dkk, 2011), Elecsys BRAHMS PCT (rentang

0,02-100 ng/ml)( Irwin AD dkk, 2011) yang menggunakan alat berbeda-beda namun

dengan metode deteksi yang sama sandwich principle. Pada pemeriksaan ini, antibody

pertama akan berikatan secara spesifik dengan katalcin dan terikat di suatu coated

tube (tabung yang dilapisi) sedangkan antibody kedua akan berikatan dengan terminal

dari molekul calcitonin. Antibodi kedua ini akan dilabel dengan luminescent tracer

dan akan berikatan dengan tabung yang sudah mengikat CCP-1 (calcitonin peptide-I).

Pengukuran kadar PCT selanjutnya dilakukan dengan luminometer yang akan

menerima signal dari antibody yang terikat luminescent tracer. Teknik pengukuran

yang berlapis ini disebut metode sandwich (Schuetz P dkk, 2011).

Dengan bervariasinya teknik maupun alat dalam pengukuran PCT maka

penting untuk mengetahui apa yang digunakan sebelum interpretasi hasil dilakukan.

Penggunaan PCT-Q, dengan nilai ambang terendah 0,5 ng/ml, angka ini masih 10 kali

lipat dari nilai normal PCT dan cukup banyak pasien dengan infeksi ringan yang tidak

terdeteksi. Demikian juga dengan PCT-ILMA/LIA, hasilnya tidak dapat dipercaya

jika nilai bilirubin dan trigliserida sangat tinggi. Saat ini, VIDA PCT dengan mampu

mendeteksi nilai PCT terendah 0,09 ng/ml dan PCT KRYPTOR dan Elecsys

merupakan uji yang paling sensitive dan akurat (Schuetz P dkk, 2011).

Sebelum memilih alat uji perlu diperhitungkan kondisi klinis yang dihadapi

seperti :

a. Fokus Infeksi

Infeksi saluran nafas, meningitis, infeksi intra abdomen, pancreatitis, dll.

Setiap fokusnya infeksi memiliki perbedaan nilai PCT yang diharapkan.

Infeksi yang sifatnya terlokalisir umunya juga menghasilkan nilai PCT yang

(29)

b. Immunosupresi

Infeksi bakteri pada penderita HIV akan meningkatkan kadar PCT, namun

nilainya tidak akan meningkat tajam dibanding pasien dengan HIV negative

(Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009). Penggunaan steroid tampaknya

tidak mempengaruhi PCT (Cairn C dkk, 2010).

c. Usia

Pada periode neonatus kadar PCT akan sangat tinggi. Pada anak-anak batasan

kadar PCT belum jelas. Terdapat beberapa bukti bahwa kadar PCT rendah

pada usia lanjut (Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009).

2.3. Peran PCT dalam Diagnostik

Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT

dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan

keunggulan PCT dengan sensitivitas (85% Vs 78%) dan spesifisitas (83% Vs 60%).

PCT juga lebih sensitif dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus

(Christ Crain M dkk, 2010). Simon dkk, dalam studinya secara tegas menyimpulkan bahwa dengan nilai cut off PCT < 0,25 ng/ml maka PK berat sudah dapat disingkirkan

(Christ Crain M dkk, 2006; Christ Crain M dkk, 2010; Gilbert DN dkk, 2010).

Sejak Pasteur dan Sternberg berhasil mengkultur peneumococcus dari darah

pada tahun 1881dan Christian Gram berhasil mewarnainya 5 tahun kemudian, dalam

diagnosis pneumonia dibutuhkan pembuktian kuman sehingga pengobatan dapat

berdasarkan kuman penyebab (Gilbert DN dkk, 2010). Hingga saat ini, meskipun

fasilitas identifikasi kuman yang sudah maju, sebanyak 70% pasien yang terdiagnosis

pneumonia komunitas dari radiologik tidak dijumpai kuman penyebab. Keadaan ini

selanjutnya akan mempersulit keputusan klinisi untuk memulai antibiotik. Dalam

keadaan ini studi oleh Christ Crain dkk memberi batasan kadar PCT ≥0,25 ng/ml

mengindikasikan penyebab bakteri dan dapat dimulai dengan pemberian antimikroba

(30)

Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006

Gambar 2.3.1. Manfaat Procalsitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah

2.4 PCT dalam menentukan prognostik

Masia dkk mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor

derajat keparahan PSI dan hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan

komplikasi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Boevic

dkk yang menegaskan tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI (Lim WS

dkk, 2009).Sebagai alat prognostik, studi oleh huang dkk melibatkan 2000 penderita

PK yang diketahui dari klinis dan radiologik, kemudian 1.651 pasien diikutsertakan

dalam kohort selama 30 hingga 90 hari, setelah diambil serum PCT pada hari pertama.

Juga dilakukan stratifikasi derajat keparahan PK dengan Pneumonia Severity Index

dan CURB-65. Hasilnya didapatkan juga kadar PCT < 0,1 ng/ml memilki angka

kematian hari ke 30 dan ke 90 akibat PK yang rendah meskipun skor PSI berada pada

grup IV dan V. Keadaan ini juga dijumpai pada pasien dengan skor CURB-65 ≥ 3.

Studi di atas menunjukkan bahwa sebagai alat prognostik kadar PCT lebih baik

dibandingkan dari PSI dan CURB-65 (clinical scoring system)(Lim WS dkk, 2009;

(31)

Pada studi Masia dkk, PCT dihubungkan dengan skor PSI derajat keparahan

pneumonia. Pada penderita PSI yang rendah (PSI kelas I-II), PCT ternyata dapat

memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada

pneumonia bakteri dibanding dengan non-bakteri. Pada penderita dengan PSI yang

tinggi (PSI kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding dengan

diagnostic (Lim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007; Queroll Ribelles JM dkk,

2004). Adanya inkonsistensi dalam beberapa studi yang mencoba mencari hubungan

antara PCT dengan dengan skor prognostik seperti PSI dan CURB-65 mendorong

Kruger dkk melakukan suatu studi pada 1671 pasien PK dan melaporkan bahwa kadar

PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang sama

dengan skor CRB 65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk

mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Pada studi ini

didapati kadar PCT ≤ 0,228 ng/ml pada awal pasien masuk memiliki resiko kematian

yang rendah akibat PK. Temuan ini hampir mendekati angka yang didapatkan oleh

Christ Crains dkk (≤0,25 ng/ml) ( Queroll Ribelles JM dkk, 2004). Dalam studi

retrospektif mendapatkan kadar PCT > 1,5 ng/ml pada pasien PK yang terinfeksi

Legionella sp memiliki resiko kematian dan kebutuhan akan fasilitas rawatan ICU

yang cukup tinggi (Schuetz P dkk, 2009).

Schuetz dkk mencoba membandingkan kenaikan CRP, leukosit dengan PCT

dalam menilai resiko kematian dalam 90 hari. Hasilnya, PCT memiliki akurasi yang

lebih baik akan tetapi antara pasien yang meninggal dengan yang selamat, tidak

dijumpai rentang (range) PCT yang besar. Sedangkan jika PK dibagi sesuai dengan

derajat keparahan, maka didapatkan rentang nilai PCT yang besar (Schuetz P dkk,

2009).

Peran PCT sebagai prognostik pneumonia tidak hanya pada PK. Di Indonesia,

Rumende dalam disertasinya membandingkan PCT dengan

Lipopolysaccharide-Binding Protein (LBP) sebagai prognostik pasien dengan ventilator associated

pneumonia (VAP) yang dirawat di ruang rawat intensif di RSCM. Hasilnya, PCT

lebih sensitive dibanding LBP (80-81,3% VS 60-73%) dalam menentukan kematian

pasien VAP, akan tetapi keduanya memilki spesifisitas yang rendah (25-30%).

(32)

terhadap infeksi bakteri oleh makrofag yang aktif sedangkan LBP yang dihasilkan

oleh sel alveoli tipe 2 lebih menunjukkan beratnya keterlibatan paru. Jika kedua

biomarker ini digabungkan, sensitifitasnya akan meningkat menjadi 88,5-96,3%

dengan spesifisitas 53,2-66,7% untuk menentukkan prognostik pasien VAP (Jung DY

dkk, 2008).

2.5 Skor Klinis Pasien

Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting dalam

tatalaksana PK. Hal ini membuat munculnya berbagai sistem skoring PSI, CURB-65,

modified ATS (m-ATS) dsb. Skor PSI (Tabel 2.5.1) diperkenalkan pada tahun 1997

yang melibatkan 50.000 penderita pneumonia . Skor ini terdiri atas beberapa variabel

klinik yang membagi pasien menjadi 5 tingkatan berdasarkan risiko kematian dalam

30 hari (klas I= 0,1 – 0,4%; klas II= 0,6 -0,7%; klas III= 0,9 – 2,8%; klas IV= 4 –

10%; klas V: 27%). Skor PSI menunjukkan kemampuan prediksi yang baik dengan

AUC: 0,74 -0,83 dan direkomendasikan pemakaiannya oleh American Thoracic

Society (ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA).Akan tetapi, terlalu

kompleks dan banyaknya variabel yang harus dinilai membuat system skor ini tidak

praktis digunakan dalam klinik sehari-hari (Singanayam dkk, 2009; Mandel LA dkk,

2007).

Skor CURB-65 diperkenalkan oleh British Thoracic Society (BTS) pada tahun

2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang

dihubungkan dengan resiko kematian dalam 30 hari. Skor 0-1 masuk dalam kategori

skor kematian yang rendah dimana skor 0 = 0,7% dan skor 1 = 3,2%. Skor 2 = 13%

masuk kategori kematian sedang dan skor>3 masuk dalam skor kematian tinggi ( 3 =

17%, 4=41,5% dan 5 = 57%). Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan

prediksi yaitu dengan AUC : 0,73-0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel

yang digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang

terbaru menyadari kompleksisitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan

(33)

Baik skor PSI dan CURB-65 sama-sama memilki kelemahan yang sama, yaitu

masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan

CRB-65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini dapat

digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan performa

yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC : 0,69-0,78. Sayangnya,

penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti

pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji (Singanayam A dkk, 2009; Bont

J dkk, 2008).

Tabel 2.5.1.Pneumonia Severity Index (PSI)

(34)

Selain petanda inflamasi, system koagulasi juga dikatakan memiliki potensi

dalam menilai resiko kematian penderita PK. Aktifasi system koagulasi dan aktifitas

fibrinolisis merupakan gambaran yang dijumpai pada keadaan sepsis berat (Christ

Crain M dkk, 2010). Querol-Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma

D-dimer terhadap mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih

banyak terjadi pada pasien dengan D-dimer yang tinggi (3.786 VS 1.609 ng/ml

dengan p<0,00001). Selain itu, didapatkan juga hubungan linear antara D-dimer

dengan skor PSI (Querol-Ribelles dkk, 2004).

2.6. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas

Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10%

dari penderita harus dirawat di ICU (Intensive Care Unit). Pada PK yang dirawat jalan

mortalitas diperkirakan < 5%, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas

meningkat hingga 12% dan akan semakin meningkat menjadi 22% jika pasien

dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat (PK

berat) yang ditandai dengan adanya disfungsi organ (Laterre PF dkk, 2005).

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana

lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi

proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah

leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang

ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ (American

College of Chest Physician, 1992).

Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician (ACCP)

and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on

Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu consensus dengan

defenisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan

dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis

berat dan syok sepsis dibawah ini :

(35)

- SIRS : manifestasi klinis inflamasi sistemik yang dapat merupakan respon

infeksi (mis. Sepsis) atau non infeksi (mis luka bakar, pancreatitis),

ditandai 2 atau lebih tanda sebagai berikut :

1. Temp : >380C atau kurang dari 360C

2. Denyut nadi > 90x/menit

3. Respirasi > 20x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

4. Leukosit darah > 12.000/mm3, < 4000 mm3atau netrofil batang > 10%

- Sepsis : infeksi disertai dengan SIRS.

- Sepsis berat : sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi yang

meliputi asidosis laktat, oliguria atau perubahan akut status mental.

- Syok sepsis : syndrome sepsis yang disertai dengan hipotensi.

- Hipotensi : tek darah < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tek.darah normal pasien

- Multiple Organ Dysfunction syndrome : disfungsi lebih dari 1 organ atau lebih,

memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis.

Dremsizov dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam

memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil yang

didapat antara lain 50% dari penderita PK yang dirawat akan jatuh ke sepsis. Selain

itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik dalam memprediksi

perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini adalah dapat digunakannya

PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk adanya disfungsi

(36)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

3.2Definisi Operasional

3.2.1. Pneumonia komunitas adalah infeksi akut pada parenkim paru yang

berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai

adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi toraks atau temuan

auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara nafas atau

ronkhi setempat) pada orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak

berada pada fasilitas perawatan jangka panjang selama ≥ 14 hari sebelum

timbulnya gejala ataupun dalam rawatan rumah sakit ≤ 48 jam (Dahlan Z

dkk, 2009).

3.2.2. Penilaian derajat keparahan penyakit adalah suatu alat bantu klinisi untuk

membuat keputusan klinik seperti kebutuhan rawat inap, pemberian terapi

intravena dan rencana monitoring lanjutan yang diperlukan oleh klinisi di

tingkat primer maupun sekunder (Singanayam A dkk, 2009).

3.2.3. Procalcitonin adalah suatu precursor calcitonin yang mengandung 116

asam amino dan dihasilkan oleh sel C dari kelenjar tiroid dengan kadar

kosentrasi yang sangat rendah pada orang sehat ( <0,1ng/ml)(Kosanke R

(37)

3.2.4. Derajat keparahan pneumonia dinilai berdasarkan skor PSI menurut acuan ATS (American Thoracic Society) 1997, seperti yang terlihat pada uraian di bawah ini :

(38)

Neoplasma : suatu kanker dengan pengeculian basal atau squamous cell cancer

pada kulit yang masih aktif yang masih dapat dilihat selama 1

tahun.

Penyakit hati :dilihat secara klinis ataupun histology pada dari penyakit hati

kronis.

Gagal Jantung : adanya gangguan disfungsi ventrikuler sistolik maupun

diastolik yang dicatat baik riwayat, pem fisik diagnostik maupun

foto thorak, echocardiogram, CT-scan dan Left Ventriculogram.

Penyakit Cerebrovaskuler merupakan diagnosa klinis dari stroke atau transient

iskemik attack (TIA) atau adanya stroke pada pem.MRI atau

CT-scan

Penyakit ginjal yaitu dijumpainya riwayat gagal ginjal kronik ataupun kelainan

konsentrasi blood urea nitrogen (ureum) maupun creatinin pada

laporan medis (MR).

Perubahan status mental yaitu adanya disorientasi pada orang, tempat ataupun

waktu.

(39)

BAB IV

BAHAN DAN METODE

4.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian adalah observasional dengan metode pengukuran

cross-sectional

4.2. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2011 s/d Juni 2013 di Instalasi Gawat

Darurat, Ruang Rawat Inap dan Poliklinik Pulmonologi dan Alergi

Immunologi RS H. Adam Malik Medan.

4.3. Subjek Penelitian

Penderita Pneumonia Komunitas yang dirawat inap maupun rawat jalan di

Rumah Sakit H. Adam Malik Medan.

4.4. Kriteria Inklusi

1. Usia di atas 18 tahun

2. Gambaran klinis dan radiologik sesuai dengan diagnosis pneumonia komuniti

3. Bersedia mengikuti penelitian.

4.5 Kriteria Eksklusi

1. Pasien pindahan dari rumah sakit lain.

2. Baru pulang dari rumah sakit 10 hari yang lalu.

3. Menderita pneumonia dalam 30 hari terakhir.

4. Menggunakan ventilasi mekanik.

(40)

6. Pasien HIV, alkoholisme dan adanya kerusakan organ lanjut (end-organ

damage)

4.6 Besar Sampel

Studi ini menggunakan sampel tunggal untuk uji hipotesis proporsi suatu

populasi.

Dan perkiraan besar sampel :

(Zα√P0Q0 + Zβ√PaQa)2

=

( Po – Pa)2 (0,2)2

1,96√0,198 x 0,802 + 1,036√0,398 x 0,602

= 51,4 ≈ 52 orang. Dimana: Zα: deviat baku untuk α = 0,05 : 1,96

Zβ: deviat baku untuk β= 0,10: 1,036

Pa: Proporsi sekarang : 0,398

Qa= 1 – Pa= 1- 0,216= 0,602

Po: Proposi terdahulu : 0,198 **

Qo= 1- Po = 1- 0,198= 0,802

Keterangan: **Christ Crain dkk, 2006 4.7.Cara Kerja

a. Seluruh pasien yang didiagnosis menderita pneumonia komunitas dari

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi. Setelah

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya dilakukan

pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, ureum, creatinin,

elektrolit, albumin AGDA, KGD Adrandom dan Procalcitonin.

b. Dilakukan penilaian derajat keparahan pneumonia dengan skor PSI.

(41)

c. Kadar procalcitonin diukur menggunakan metode

electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA) dengan reagen kit Elecsys BRAHMS PCT dan dengan alat cobas 6000.

4.7.1. Pengambilan sampel darah

Sampel darah diambil dari vena mediana cubiti dengan terlebih dahulu

dilakukan tindakan anti septik dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering.

Pengambilan darah sebanyak 6 cc dilakukan dengan menggunakan dispossible

syringe 10 cc yang dibagi atas 2 bagian. Bagian pertama sebanyak 3 cc darah

dengan antikoagulan EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap. Bagian kedua

sebanyak 3 cc darah tanpa antikoagulan dan diambil serumnya untuk

pemeriksaan PCT. Pengambilan sampel darah dilakukan tanpa memperdulikan

hari keberapa pasien dirawat, dimana apabila ditemukan pasien sepsis maka

diambil sampel darahnya dalam waktu 24 jam. Dan pada saat pengambilan

sampel darah, pasien dalam posisi berbaring. Pemeriksaan darah lengkap

dilakukan dengan alat cell Dyne 3700 dan morfologi darah tepi teridentifikasi

dari blood film dengan pewarnaan giemsa. Pemeriksaan laju Endap Darah

dilakukan dengan cara Westergen.

4.7.2. Teknik Pemeriksaan PCT

Prinsip tes : Sanwich principle. Total durasi pemeriksaan 18 menit.

• Inkubasi 1 : antigen dalam sampel (30 uL), suatu antibody spesifik PCT biotinylated monoclonal dan suatu antibodi spesifik monoklonal

yang dilabel dengan kompleks ruthenium dan bereaksi membentuk

kompleks sandwich.

• Inkubasi 2 : setelah penambahan mikropartikel yang dilapisi streptavidin, kompleks akan menjadi berikatan ke solid phase melalui

interaksi dari biotin dan streptavidin.

(42)

Substansi yang tidak berikatan kemudian dipindahkan dengan Procell.

Aplikasi voltase terhadap elektroda akan menginduksi emisi

chemiluminescent yang diukur oleh photomultiplier.

• Hasil ditentukan melalui kurva kalibrasi yang merupakan instrument spesifik oleh 2 point calibration dan suatu kurva master yang

disediakan melalui barcode reagen.

d. Berdasarkan kadar procalcitonin subjek penelitian akan dibagi menjadi

4 kelas yaitu:

Klas I: PCT < 0,1 ng/ml

Klas II: 0,1≤ PCT <0,25 ng/ml

Klas III: 0,25≤ PCT <0,5 ng/ml

Klas IV: PCT ≥ 0,5 ng/ml

4.8. Analisa Data

• Untuk melihat gambaran karakteristik dan kadar PCT pada subjek PK disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan.

• Untuk melihat hubungan kadar PCT berdasarkan tingkatannya terhadap derajat keparahan PK dengan skor PSI digunakan uji

somers’d

• Untuk menilai perbedaan rerata pada dua kelompok digunakan uji

Mann-Whitney.

• Analisa data menggunakan program SPSS 15 for windows.

(43)

4.9.Ethical Clearence dan Informed consent.

Ethical clearance (izin untuk melakukan penelitian) diperoleh dari Komite

Penelitian Bidang kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

yang ditanda tangani oleh Prof.Dr.Sutomo kasiman, SpPD, SpJP (K) 24 Juli

2011 dengan nomor 316 /KOMET/FK USU/2011.

Informed Consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian yang

bersedia untuk ikut dalam penelitian setelah mendapatkan penjelasan

mengenai maksud dan tujuan penelitian ini.

4.10. Kerangka Operasional

Gambar 4.10.1 Kerangka Operasional

Penderita

(44)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Selama periode penelitian (Juli 2011 s/d juni 2013) di Departemen Ilmu

Penyakit Dalam RS. H. Adam Malik Medan diperoleh 60 subjek penelitian dengan

pneumonia komunitas. Seluruh subjek penelitian merupakan pasien rawat inap. Pada

saat pengambilan sampel darah tidak satupun subjek dirawat di ruang intensif dan

seluruh subjek dijumpai adanya infiltrat dari radilogik dan pemeriksaan fisik. 33

(55%) subjek berjenis kelamin pria dan 27 (45%) merupakan wanita dengan usia

rata-rata (± SD) 52,47±13,31.

Rentang nilai Hb terletak antara 2,8-15,5 gr/dl dengan rerata 10,35±2,68.

Rerata leukosit (12,853±6,875mm3), ureum (64,815±58,037 mg/dl) dan kreatinin

(2,557±4,214 mg/dl) meningkat dari nilai normal. Empat puluh empat subjek

penelitian memiliki PCT ≥ 0,25 ng/ml (73,4%). Ada 25 (41,7%) subjek penelitian

dengan skor PSI ≤ 90, 15 (25%) subjek denga n skor PSI 90-130 dan 20 (33,3%)

subjek penelitian dengan skor PSI > 130. (Tabel 5.1.1) .

Tabel 5.1.1. Data Karakteristik dasar subjek dengan pneumonia komunitas

Variabel Pneumonia Komunitas

(45)

-RR (kali/menit)

-Creatinin (mg/dl) (± SD)

-PCT (ng/ml) (%)

Subjek yang tergolong dalam skor PSI berat sebanyak 20 orang dimana terdiri

atas 1 orang (5%) subjek dengan skor CURB-65 tergolong berat memiliki PCT

25≤PCT<0,5 ng/ml dan sisanya 19 (95%) orang memilki PCT ≥ 0,5 ng/ml (tabel

(46)

Tabel 5.1.2. Hubungan procalcitonin terhadap skor PSI*

SKOR PSI

PCT (ng/ml) Ringan (≤ 90)

Sedang (91-130)

Berat (>130)

PCT < 0,1 9 (15%) 2 (3,3%) 0 (0%)

0,1≤PCT<0,25 4 (6,7%) 1 (1,7%) 0 (0%)

0,25≤PCT<0,5 4 (6,7%) 5 (8,3%) 1 (1,7%)

PCT≥0,5 8 (13,3%) 7 (11,7%) 19 (31,7%)

Korelasi somers’d p = 0,0001

Proporsi terbanyak didapatkan pada PSI ringan berjumlah 25 orang (41,7%)

dengan kadar PCT paling banyak di rentang < 0,1 ng/ml sebanyak 9 orang (15%).

Setelah dilakukan uji korelasi somers’d diperoleh hubungan (r = 0,498) dengan p<

0,05, terlihat sifat hubungan yang positif yang artinya semakin tinggi skor PSI maka

kadar PCT semakin besar (Gambar 5.1.1.)

(47)

Dapat dilihat bahwa kadar rata-rata PCT untuk PSI Ringan sekitar 1,85 ng/ml,

PSI sedang 7,12 ng/ml serta PSI Berat 9.39 ng/ml. Dan dapat terlihat bahwa semakin

berat pneumonia yang dialami pasien (dinilai dari skor PSI) maka semakin tinggi pula

kadar PCT yang dijumpai.(Tabel 5.1.3)

Tabel 5.1.3 Hubungan Skor PSI dengan rata-rata PCT

SKOR PSI

PCT (ng/ml) Ringan (≤ 90)

Sedang (91-130)

Berat (>130)

PCT < 0,1 0,045 0,045 -

0,1≤PCT<0,25 0,15 0,14 -

0,25≤PCT<0,5 0,38 0,36 0,29

PCT≥0,5 1,28 6,67 9,1

Total 1,85 7,12 9.39

Dan pada penelitian ini dijumpai sebanyak 8 orang (13,3%) subjek yang menderita

sepsis PK dengan rata-rata kadar PCT 10,5 ng/ml sedangkan subjek yang menderita

PK pada penelitian sebanyak 52 orang (86,7%) dengan rata-rata kadar PCT 2,96

ng/ml dan ternyata dijumpai adanya hubungan yang signifikan dimana semakin berat

keadaan pneumonianya (dinilai dari skor PSI) maka semakin tinggi kadar PCT yang

ditemukannnya (p=0,002) . Tabel (5.1.4)

(48)

Tabel 5.1.4. Rerata kadar PCT pada penderita PK yang sepsis dengan non sepsis

DIAGNOSA PROCALCITONIN

n Mean SD

Sepsis PK 8 10,15 16,58

PK 52 2,96 7,52

Uji Mann-Whitney p=0,002

5.2. Pembahasan

Penilaian derajat keparahan penyakit merupakan salah satu langkah awal

dalam menentukkan rencana manajemen setelah menegakkan diagnosis. Kunci

manajemen PK yang aman dan efisien adalah kemampuan untuk memprediksi

prognosis (Huang DT dkk, 2008). Untuk mencapai tujuan, telah banyak system

scoring klinis yang diuji manfaatnya antara lain seperti skor PSI dengan AUC :

0,74-0,83 yang telah direkomendasikan pemakainnya oleh American Thoracic Society

(ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA) (Singanayagam dkk, 2009).

Pada study Mar Masia dkk yang melibatkan 185 pasien CAP menyatakan bahwa

peranan PCT dengan beratnya CAP pada pasien sangat berkaitan dimana semakin

berat pasien CAP (yang dinilai dari skor PSI) maka semakin tinggi kadar PCT nya.

Dan juga nilai mean PCT pada penelitian oleh Mar Masia dkk juga meningkat sesuai

dengan tingkat keparahan CAP-nya dimana semakin berat CAP-nya maka mean PCT

yang dijumpai juga meningkat. Pada studi ini dijumpai kesesuaian dengan studi Mar

Masia dimana dijumpai kadar PCT meningkat pada pasien dengan CAP yang berat

dibanding CAP yang ringan. Selain itu pada studi ini dapat terlihat peningkatan nilai

mean PCT seiring dengan peningkatan tingkat keparahan dari CAP-nya. Hal ini dapat

terbukti pada penelitin ini dimana 8 orang pasien sepsis PK mmpunyai mean PCT

lebih tinggi (10,15 ng/ml) dibanding dengan pasien PK yang berjumlah 52 orang

(49)

Studi ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain : pertama : populasi

penelitian yang tak satupun berasal dari pasien rawat jalan dimana semua subjek yang

masuk dari instalasi gawat darurat (IGD). Sehingga studi ini tidak mencerminkan PK

yang berobat jalan. Kedua Metode cross sectional membatasi studi ini untuk

mengikuti perjalanan klinis penderita PK dan menentukkan dampak klinisnya

sehingga mortalitas tidak dapat dihubungkan dengan skor PSI maupun PCT dan studi

ini juga tidak dapat memastikan bahwa perburukan dari subjek memang murni

disebabkan PK, bukan oleh komorbid pasien, saat di IGD tidak memberi gejala klinis

(50)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Procalcitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memiliki hubungan

dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor PSI sehingga PCT

dapat digunakan untuk menentukkan hubungan kadar procalcitonin dengan

beratnya Pneumonia Komunitas.

2. Tingginya kadar PCT pada penderita sepsis memberi keyakinan klinisi akan

infeksi bakteri sehingga pemberian antibiotik dapat diberikan dengan segera.

6.2. Saran :

1. Perlunya penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan desain

penelitian kohort ataupun uji survival untuk mendapatkan hubungan antara

PCT, Skor PSI dengan mortalitas PK.

2. Penelitian lebih lanjut perlu mengikutsertakan pasien dengan daya tahan

menurun (immunocompromised) sehingga dapat membantu memutuskan

pemberian antibiotik pada populasi tersebut.

3. Dibutuhkan studi lebih lanjut bagaimana hubungan PCT derajat bakteremia

(bacterial load) dan bagaimana kadar PCT jika terdapat ko-infeksi bakteri dan

virus.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Aabenhus R. Jansen JUS. Procalcitonin-Guided antibiotic treatment of respiratory

tract infection in primary care setting : are we there yet?Prim care Respir

J.2011;20:305-19.

American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus

Conference : Definitions for Sepsis and Organ Failure and Guidelines for The

Use of Innovative Therapies in Sepsis. Critical Care Medicine, 1992. Vol 20

no 6.

Bont J, Hak E, Hoes AW, Macfarlane JT, Varheiji TJM. Predicitng Death in Elderly

Patients with Community Acquired Pneumonia : A Prospective Validation

Study Re-evaluating the CRB-65 Severity Assessment Tool. Arch Intern Med.

2008; 168:1465-68.

Capelastegui A, Espana PP, Quintana JM, Arcitio I, Gorondo I, Egurolla M, et.al.

Validation of Predictive Rule for the management of Community Acquired

Pneumonia. Eur Respir J. 2006; 27: 151-57.

Carol P. Kathryn JG. Alteration of Urinary System. In:Essentials of Pathophysiology.

Lippincott Williams and Wilkins, 2003:411.

Crain C. Procalcitonin. Department of Anaesthetics. University of Kwazulu-Natal.

2010: 3 – 24.

Chastre J, Luyt CE, Trouillet JL, Combes A. New Diagnostic and Prognostic Markers

of Ventilator Associated Pneumonia . Current Opnion in Critical Care. 2006;

12: 446-51.

Christ-Crain M, Stolz D, Bingisser R, Mueller C, Mledinger D, Huber P, et.al.

Procalcitonin Guidance of Antibiotics Therapy in Community Acquired

Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. 2006; 174: 84 -93.

Christ-Crain M, Opal SM. Clinical Review: The Role of Biomarkers in the Diagnosis

and Management of Community Acquired Pneumonia. Critical care. 2010; 14:

1- 11.

Dahlan Z. Pandangan Baru Pneumonia Atipik dan Terapinya. Cermin Dunia

(52)

Dahlan Z. Pneumonia. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,

Setiati S (editors). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Interna Publishing;

2009:2196-2206

De Frances CJ, Lucas CA, Buie VC, Golosinskiy A. 2006 National Hospital

Discharge Survey. National Health Statistic Reports. 2008;5: 1 – 20.

Dremsizov T, Clermont G, Kellum JA, Kallassian KG, Fine MJ, Angus DC. Severe

Sepsis in CAP : When Does It Happen, and do SIRS Help Predict

Course?Chest, 2006; 129:968-78.

Gilber DN. Use of Plasma Procalcitonin Levels as an Adjunct to Clinical

Microbiology. Journal of Clinical Microbiology. July 2010:2325-29.

Hendlund J, Hansson LO. Procalcitonin and C-Reactive Protein Levels in Community

Acquired Pneumonia: Correlation With Etiology and Prognosis. Infection.

2000; 28: 68 – 72.

Huang DT, Weissfeld LA, Kellum JA, Yealy DM, Kong L, Martino M, et.al. Risk

Prediction with Procalcitonin and Clinical Rules in Community Acqiured

Pneumonia. Ann Emerg Med. 2008; 52(1): 48- 58.

Irwin AD, Carrol ED. Procalcitonin. Arch Dis Child Educ Parc Ed.2011:228-33.

Jung DY, Park JB, Lee EN, Lee HT, Joh JW, Kwon CH, et. al. Combined use of

Myeloid-related protein 8/14 and Procalcitonin as diagnostic markers for acute

allograft rejection in kidney transplantation recipients. Transplant

Immunology. 2008; 18: 338-43.

Kaplan V, Clermont G, Griffin MF, Kasal J, Watson RS, Linde-Zwirble WT, et.al.

Pneumonia: Still the Oldman’s Friend?. Arch Intern Med. 2003; 163: 317-23.

Kosanke R, Beier W, Lipecky R, Meisner M. Clinical Benefits of Procalcitonin.

Tannafos. 2008; 7:14 – 18.

Kruger S, Ewig S, Marne R, Papassotisiou J, Richter K, Von Baum H, et.al.

Procalcitonin Predicts Patient at Low Risk of Death from Community

Acquired Pneumonia Across all CRB-65 Classes. Eur Respir J. 2008; 31:

349-55.

Laterre PF, Garber G, Levy H, Wunderink R. Kinasewitz GT, Sollet JP, et al. Severe

Community Acquired Pneumonia as Cause of severe sepsis : data from

(53)

Lim WS, Baudouin SV, George RC, Hill AT, Jamieson C, Jeune IL, et.al. British

Thoracic Society Guidelines For The Management of Community Acquired

Pneumonia in Adults: update 2009. Thorax. 2009; 64(suppl II): 1 – 55.

Maier M, Wutzler S, Lehnert M, Szermutzky, Hendrik W, Bingold T, et.al. Serum

Procalcitonin Level in Patients with Multiple Injuries Including Viseral

Trauma. Journals of Trauma. 2009; 66: 243-49.Summary Executive. Pola

Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT). 2001: 2.

Mandell LA, Wunderik RG, Arzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, et.al.

Infectious Diseases Society of America/ American Thoracic Society

Consensus Guidelines on The Management of Community Acquired

Pneumonia in Adults. CID. 2007; 44: 27- 72.

Masia M, Gutierrez F, Shum C, Padilla, Sergio, et.al. Usefulness of Procalcitonin

Level in Community Acquired Pneumonia According to Patients Outcome

Research Team Pneumonia Severity Index. Chest. 2005; 128: 23-29.

Michael J.Fine,Thomas E.Auble, Donald M. Yealy. A Prediction Rule to identify

Low-Risk patients With Community Acquired Pneumonia,NEJM 1997; 336,

243-250.

Mira JP, Max A, Burgel PR. The Role of Biomarker in Community Acquired

Pneumonia: Prediciting Mortality and Response to Adjunctive Therapy.

Critical Care. 2008;12(Suppl 6): 1-7.

Muller B, Harbarth S, Stolz D, Bingisser R, Mueller C, Leuppi J, et.al. Diagnostic and

Prognostic Accuracy of Clinical and Laboratory Parameters in Community

Acquired Pneumonia. BMC Infectious Diseases. 2007; 7: 1- 10.

Nayak SB, Sakhamuri MS, Raghunanan B, Allison A, Uppalapati K, Patcha K. The

role of serum markers in assessing the severity and outcome of community

acquired pneumonia in Trinidadion population. Journal of Public Health and

Epidemiology. 2010:20-24.

Querol-Ribelles JM, Tenias JM, Grav E, Querol-Borras JM, Climent JL, Gomez E,

et.al. Plasma d-dimer levels correlate with outcomes in patient with

Gambar

Gambar 2.2.1. Struktur Procalsitonin
Gambar 2.3.1. Manfaat Procalsitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah
Tabel 2.5.1.Pneumonia Severity Index (PSI)
Tabel 3.2.4.1 Skor Pneumonia Severity Index
+6

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan, AT-III merupakan biomarker koagulasi yang memiliki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor CURB-65 sehingga AT-III dapat digunakan untuk

D dimer merupakan biomarker koagulasi yang memiliki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor CURB-65 sehingga D dimer dapat digunakan untuk

Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul : “ Hubungan Kadar Procalcitonin dengan beratnya Pneumonia Komunitas” beserta perangkat yang.. ada

Level in Community Acquired Pneumonia According to Patients Outcome. Research Team Pneumonia

Peserta Simposium Perdarahan Saluran Cerna, Gastroentero-Hepatology Update IX 2010, Convention Hall Hotel Danau Toba Medan, 4-5 November 2011.. Panitia Pelatihan Program

Antithrombin IIImerupakan biomarker koagulasi yang memiliki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor CURB-65 sehingga Anti thrombin III dapat digunakan

Konsentrasi PCT yang hanya meningkat pada infeksi bakteri dan tetap rendah pada infeksi virus membuat biomarker ini banyak digunakan untuk penyakit seperti sepsis, meningitis

Simpulan, AT-III merupakan biomarker koagulasi yang memiliki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor CURB-65 sehingga AT-III dapat digunakan untuk