• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar Procalcitonin dengan beratnya Pneumonia Komunitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kadar Procalcitonin dengan beratnya Pneumonia Komunitas"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biomarker pada Pneumonia

Pneumonia merupakan kumpulan gejala (demam, nyeri pleuritik, sesak nafas)

dan tanda (infiltrat paru) yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat

mempengaruhi penderitanya secara sistemik (Lim WS dkk, 2009). Sebagai penyakit

infeksi, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi pelepasan sitokin pro

inflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem

hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi (Kaplan V dkk, 2003).

Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali pneumonia

tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan diagnosis yang

akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi (Capelastegui dkk, 2006). Dalam suatu

analisis Receiving Operating Characteristic (ROC) yang bertujuan untuk menilai

akurasi diagnostik dari PK (yang dikonfirmasi dengan radiologik) dengan kondisi

medik lainnya. Didapatkan kelemahan gambaran klinik ( seperti demam, batuk,

produksi sputum, temuan auskultasi yang abnormal) dalam mendiagnosis PK dengan

Area Under Cover (AUC) sebesar 0,79. Temuan ini dapat dibandingkan dengan

jumlah total leukosit (AUC: 0,69); CRP (AUC: 0,76) dan PCT (AUC: 0,88) (Mira JP

dkk, 2008; Muller B dkk, 2007; Christ Crain M dkk, 2010). Dari studi ini dapat

disimpulkan bahwa biomarker seperti CRP, terutama PCT dapat berperan banyak

dalam diagnosis PK (Christ Crain M dkk, 2010).

Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan

tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses

fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang tidak

dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non inflamasi dan

akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami

penurunan saat proses inflamasi mereda (Capelastegui A dkk, 2006).

Dalam hal membantu tegaknya diagnosis pneumonia, beberapa biomarker

telah dikenal, seperti: CRP, leukosit total, immunoglobulin, PCT dan Triggering

(2)

masih dalam tahap studi untuk penggunaannya pada pneumonia antara lain: copeptin,

kortisol, endotoksin dan proadrenomedullin (Capelastegui A dkk, 2006). Saat ini,

PCT dikenal sebagai biomarker yang manfaatnya terus diteliti. Konsentrasi PCT yang

hanya meningkat pada infeksi bakteri dan tetap rendah pada infeksi virus membuat

biomarker ini banyak digunakan untuk penyakit seperti sepsis, meningitis dan

pneumonia. Tampaknya PCT dapat sebagai faktor prognosis pada keadaan sepsis dan

pneumonia (Hendlund J dkk, 2000; Masia M dkk, 2005).

2.2 Procalcitonin

Procalcitonin adalah prohormon calcitonin, berupa peptida yang terdiri atas

116 asam amino (Gambar 2.2.1.) yang dilepaskan oleh sel C tiroid dalam keadaan

normal dan konsentrasinya sangat rendah (<0,05 ng/ml , dengan alat yang paling

sensitive didapatkan nilai 0,033±0,003 (Kosanke R dkk, 2008). Pada infeksi mikroba

akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan lepasnya PCT dari

seluruh sel parenkim dan sel-sel yang terdiferensiasi di hati maupun sel-sel

mononuclear (Summah H dkk, 2009; ChastreJ dkk, 2006) . Pelepasan mediator

inflamasi PCT dapat diinduksi melalui 2 proses, antara lain (Cairns C dkk, 2010) :

1. Terlepasnya toksin yang ada di dalam mikroba (endotoksin)

2. Respon immunitas selluler yang diperantarai oleh sitokin pro inflamasi seperti:

Interleukin 1b, Interleukin 6 dan TNF-alpha.

Sumber : Tannafos, 2008(19)

(3)

PCT merupakan molekul yang dianggap sebagai bentuk primitif dari

pertahanan bakterial yang bekerja sebelum sistem immun yang lebih efektif bekerja

(Cairn C dkk, 2010. Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa keadaan seperti trauma,

pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar, sindroma distress pernapasan, infeksi

nekrosis setelah pancreatitis akut dan reaksi penolakan jaringan pada transplantasi

dapat meningkatkan kadar PCT (Summah H dkk, 2009; Maier M dkk, 2009; Tseng

JS dkk, 2008; Jung DY dkk, 2008). Rendahnya kadar PCT tidak selalu meniadakan

infeksi bakteri. Keadaan false negative ini dapat disebabkan antara lain: tahap awal

infeksi, infeksi terlokalisir, endokarditis infeksi subakut, infeksi oleh kuman atipikal

(terutama kuman intraselluler) (Cairn C dkk, 2010).

PCT akan meningkat setelah 2-3 jam induksi dari endotoksin. Kadarnya

kemudian terus naik secara cepat hingga menjadi ratusan nanogram per ml pada

sepsis berat dan syok sepsis, mencapai plateau pada 6 – 12 jam. PCT akan terus

meningkat dan menetap dalam 48 jam lalu turun ke nilai normal dalam 2 hari jika

pengobatan berhasil dan ini menunjukkan prognosis yang baik. Jika kadar PCT terus

meningkat dan tidak turun menunjukkan kegagalan terapi. Waktu paruh dari PCT

sekitar 20 – 24 jam. Namun dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Pada gangguan ginjal

waktu paruh dapat memanjang hingga 35 jam (Cairn C dkk, 2010).

Penigkatan kadar PCT pada infeksi bakteri lebih tinggi dibanding infeksi

parasit (cthnya : plasmodium sp), beberapa jenis jamur meskipun mikroorganisme ini

juga merangsang makrofag untuk menghasilkan sitokin proinflamasi. Berbagai studi

telah menyimpulkan bahwa PCT jarang sekali meningkat pada keadaan murni infeksi

virus. Keadaan ini diakibatkan oleh rangsangan virus terhadap makrofag yang akan

menghasilkan interferon gamma (IFN-gamma) yang kemudian akan menghambat

sintesa tumor necrosis alpha ((TNF-alpha). TNF-alpha merupakan salah satu mediator

inflamasi yang merangsang pelepasan PCT. Studi oleh Moulin dkk dan Holm A dkk

mendapatkan peningkatan kadar PCT pada pasien pneumonia dengan kuman

Streptococcus pneumonia dan Hemophilus Influenzae baik pada anak-anak maupun

dewasa. Ingram dkk mendapatkan kenaikan PCT yang tidak tinggi pada pasien yang

(4)

Telah dikenal beberapa jenis pemeriksaan komersil PCT dengan sensitifitas

yang berbeda-beda, seperti ILMA (immunoluminometric assay/LIA; sensitifitas 0,3

ng/ml)(Cairn C dkk, 2010), BRAHMS PCT-Q (sensitifitasnya 0,5 ng/ml) (Muller B

dkk, 2007; Schuetz P dkk, 2011), VIDAS BRAHMS PCT (sensitifitas 0,09) ((Cairn C

dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2011), BRAHMS PCT KRYPTOR (rentang 0,02-5000

ng/ml)(Muller B dkk, 2007; Irwin AD dkk, 2011), Elecsys BRAHMS PCT (rentang

0,02-100 ng/ml)( Irwin AD dkk, 2011) yang menggunakan alat berbeda-beda namun

dengan metode deteksi yang sama sandwich principle. Pada pemeriksaan ini, antibody

pertama akan berikatan secara spesifik dengan katalcin dan terikat di suatu coated

tube (tabung yang dilapisi) sedangkan antibody kedua akan berikatan dengan terminal

dari molekul calcitonin. Antibodi kedua ini akan dilabel dengan luminescent tracer

dan akan berikatan dengan tabung yang sudah mengikat CCP-1 (calcitonin peptide-I).

Pengukuran kadar PCT selanjutnya dilakukan dengan luminometer yang akan

menerima signal dari antibody yang terikat luminescent tracer. Teknik pengukuran

yang berlapis ini disebut metode sandwich (Schuetz P dkk, 2011).

Dengan bervariasinya teknik maupun alat dalam pengukuran PCT maka

penting untuk mengetahui apa yang digunakan sebelum interpretasi hasil dilakukan.

Penggunaan PCT-Q, dengan nilai ambang terendah 0,5 ng/ml, angka ini masih 10 kali

lipat dari nilai normal PCT dan cukup banyak pasien dengan infeksi ringan yang tidak

terdeteksi. Demikian juga dengan PCT-ILMA/LIA, hasilnya tidak dapat dipercaya

jika nilai bilirubin dan trigliserida sangat tinggi. Saat ini, VIDA PCT dengan mampu

mendeteksi nilai PCT terendah 0,09 ng/ml dan PCT KRYPTOR dan Elecsys

merupakan uji yang paling sensitive dan akurat (Schuetz P dkk, 2011).

Sebelum memilih alat uji perlu diperhitungkan kondisi klinis yang dihadapi

seperti :

a. Fokus Infeksi

Infeksi saluran nafas, meningitis, infeksi intra abdomen, pancreatitis, dll.

Setiap fokusnya infeksi memiliki perbedaan nilai PCT yang diharapkan.

Infeksi yang sifatnya terlokalisir umunya juga menghasilkan nilai PCT yang

(5)

b. Immunosupresi

Infeksi bakteri pada penderita HIV akan meningkatkan kadar PCT, namun

nilainya tidak akan meningkat tajam dibanding pasien dengan HIV negative

(Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009). Penggunaan steroid tampaknya

tidak mempengaruhi PCT (Cairn C dkk, 2010).

c. Usia

Pada periode neonatus kadar PCT akan sangat tinggi. Pada anak-anak batasan

kadar PCT belum jelas. Terdapat beberapa bukti bahwa kadar PCT rendah

pada usia lanjut (Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009).

2.3. Peran PCT dalam Diagnostik

Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT

dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan

keunggulan PCT dengan sensitivitas (85% Vs 78%) dan spesifisitas (83% Vs 60%).

PCT juga lebih sensitif dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus

(Christ Crain M dkk, 2010). Simon dkk, dalam studinya secara tegas menyimpulkan

bahwa dengan nilai cut off PCT < 0,25 ng/ml maka PK berat sudah dapat disingkirkan

(Christ Crain M dkk, 2006; Christ Crain M dkk, 2010; Gilbert DN dkk, 2010).

Sejak Pasteur dan Sternberg berhasil mengkultur peneumococcus dari darah

pada tahun 1881dan Christian Gram berhasil mewarnainya 5 tahun kemudian, dalam

diagnosis pneumonia dibutuhkan pembuktian kuman sehingga pengobatan dapat

berdasarkan kuman penyebab (Gilbert DN dkk, 2010). Hingga saat ini, meskipun

fasilitas identifikasi kuman yang sudah maju, sebanyak 70% pasien yang terdiagnosis

pneumonia komunitas dari radiologik tidak dijumpai kuman penyebab. Keadaan ini

selanjutnya akan mempersulit keputusan klinisi untuk memulai antibiotik. Dalam

keadaan ini studi oleh Christ Crain dkk memberi batasan kadar PCT ≥0,25 ng/ml

mengindikasikan penyebab bakteri dan dapat dimulai dengan pemberian antimikroba

(6)

Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006

Gambar 2.3.1. Manfaat Procalsitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah

2.4 PCT dalam menentukan prognostik

Masia dkk mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor

derajat keparahan PSI dan hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan

komplikasi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Boevic

dkk yang menegaskan tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI (Lim WS

dkk, 2009).Sebagai alat prognostik, studi oleh huang dkk melibatkan 2000 penderita

PK yang diketahui dari klinis dan radiologik, kemudian 1.651 pasien diikutsertakan

dalam kohort selama 30 hingga 90 hari, setelah diambil serum PCT pada hari pertama.

Juga dilakukan stratifikasi derajat keparahan PK dengan Pneumonia Severity Index

dan CURB-65. Hasilnya didapatkan juga kadar PCT < 0,1 ng/ml memilki angka

kematian hari ke 30 dan ke 90 akibat PK yang rendah meskipun skor PSI berada pada

grup IV dan V. Keadaan ini juga dijumpai pada pasien dengan skor CURB-65 ≥ 3.

Studi di atas menunjukkan bahwa sebagai alat prognostik kadar PCT lebih baik

dibandingkan dari PSI dan CURB-65 (clinical scoring system)(Lim WS dkk, 2009;

(7)

Pada studi Masia dkk, PCT dihubungkan dengan skor PSI derajat keparahan

pneumonia. Pada penderita PSI yang rendah (PSI kelas I-II), PCT ternyata dapat

memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada

pneumonia bakteri dibanding dengan non-bakteri. Pada penderita dengan PSI yang

tinggi (PSI kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding dengan

diagnostic (Lim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007; Queroll Ribelles JM dkk,

2004). Adanya inkonsistensi dalam beberapa studi yang mencoba mencari hubungan

antara PCT dengan dengan skor prognostik seperti PSI dan CURB-65 mendorong

Kruger dkk melakukan suatu studi pada 1671 pasien PK dan melaporkan bahwa kadar

PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang sama

dengan skor CRB 65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk

mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Pada studi ini

didapati kadar PCT ≤ 0,228 ng/ml pada awal pasien masuk memiliki resiko kematian

yang rendah akibat PK. Temuan ini hampir mendekati angka yang didapatkan oleh

Christ Crains dkk (≤0,25 ng/ml) ( Queroll Ribelles JM dkk, 2004). Dalam studi

retrospektif mendapatkan kadar PCT > 1,5 ng/ml pada pasien PK yang terinfeksi

Legionella sp memiliki resiko kematian dan kebutuhan akan fasilitas rawatan ICU

yang cukup tinggi (Schuetz P dkk, 2009).

Schuetz dkk mencoba membandingkan kenaikan CRP, leukosit dengan PCT

dalam menilai resiko kematian dalam 90 hari. Hasilnya, PCT memiliki akurasi yang

lebih baik akan tetapi antara pasien yang meninggal dengan yang selamat, tidak

dijumpai rentang (range) PCT yang besar. Sedangkan jika PK dibagi sesuai dengan

derajat keparahan, maka didapatkan rentang nilai PCT yang besar (Schuetz P dkk,

2009).

Peran PCT sebagai prognostik pneumonia tidak hanya pada PK. Di Indonesia,

Rumende dalam disertasinya membandingkan PCT dengan

Lipopolysaccharide-Binding Protein (LBP) sebagai prognostik pasien dengan ventilator associated

pneumonia (VAP) yang dirawat di ruang rawat intensif di RSCM. Hasilnya, PCT

lebih sensitive dibanding LBP (80-81,3% VS 60-73%) dalam menentukan kematian

pasien VAP, akan tetapi keduanya memilki spesifisitas yang rendah (25-30%).

(8)

terhadap infeksi bakteri oleh makrofag yang aktif sedangkan LBP yang dihasilkan

oleh sel alveoli tipe 2 lebih menunjukkan beratnya keterlibatan paru. Jika kedua

biomarker ini digabungkan, sensitifitasnya akan meningkat menjadi 88,5-96,3%

dengan spesifisitas 53,2-66,7% untuk menentukkan prognostik pasien VAP (Jung DY

dkk, 2008).

2.5 Skor Klinis Pasien

Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting dalam

tatalaksana PK. Hal ini membuat munculnya berbagai sistem skoring PSI, CURB-65,

modified ATS (m-ATS) dsb. Skor PSI (Tabel 2.5.1) diperkenalkan pada tahun 1997

yang melibatkan 50.000 penderita pneumonia . Skor ini terdiri atas beberapa variabel

klinik yang membagi pasien menjadi 5 tingkatan berdasarkan risiko kematian dalam

30 hari (klas I= 0,1 – 0,4%; klas II= 0,6 -0,7%; klas III= 0,9 – 2,8%; klas IV= 4 –

10%; klas V: 27%). Skor PSI menunjukkan kemampuan prediksi yang baik dengan

AUC: 0,74 -0,83 dan direkomendasikan pemakaiannya oleh American Thoracic

Society (ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA). Akan tetapi, terlalu

kompleks dan banyaknya variabel yang harus dinilai membuat system skor ini tidak

praktis digunakan dalam klinik sehari-hari (Singanayam dkk, 2009; Mandel LA dkk,

2007).

Skor CURB-65 diperkenalkan oleh British Thoracic Society (BTS) pada tahun

2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang

dihubungkan dengan resiko kematian dalam 30 hari. Skor 0-1 masuk dalam kategori

skor kematian yang rendah dimana skor 0 = 0,7% dan skor 1 = 3,2%. Skor 2 = 13%

masuk kategori kematian sedang dan skor>3 masuk dalam skor kematian tinggi ( 3 =

17%, 4=41,5% dan 5 = 57%). Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan

prediksi yaitu dengan AUC : 0,73-0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel

yang digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang

terbaru menyadari kompleksisitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan

(9)

Baik skor PSI dan CURB-65 sama-sama memilki kelemahan yang sama, yaitu

masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan

CRB-65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini dapat

digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan performa

yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC : 0,69-0,78. Sayangnya,

penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti

pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji (Singanayam A dkk, 2009; Bont

J dkk, 2008).

Tabel 2.5.1.Pneumonia Severity Index (PSI)

(10)

Selain petanda inflamasi, system koagulasi juga dikatakan memiliki potensi

dalam menilai resiko kematian penderita PK. Aktifasi system koagulasi dan aktifitas

fibrinolisis merupakan gambaran yang dijumpai pada keadaan sepsis berat (Christ

Crain M dkk, 2010). Querol-Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma

D-dimer terhadap mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih

banyak terjadi pada pasien dengan D-dimer yang tinggi (3.786 VS 1.609 ng/ml

dengan p<0,00001). Selain itu, didapatkan juga hubungan linear antara D-dimer

dengan skor PSI (Querol-Ribelles dkk, 2004).

2.6. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas

Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10%

dari penderita harus dirawat di ICU (Intensive Care Unit). Pada PK yang dirawat jalan

mortalitas diperkirakan < 5%, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas

meningkat hingga 12% dan akan semakin meningkat menjadi 22% jika pasien

dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat (PK

berat) yang ditandai dengan adanya disfungsi organ (Laterre PF dkk, 2005).

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana

lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi

proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah

leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang

ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ (American

College of Chest Physician, 1992).

Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician (ACCP)

and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on

Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu consensus dengan

defenisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan

dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis

berat dan syok sepsis dibawah ini :

(11)

- SIRS : manifestasi klinis inflamasi sistemik yang dapat merupakan respon

infeksi (mis. Sepsis) atau non infeksi (mis luka bakar, pancreatitis),

ditandai 2 atau lebih tanda sebagai berikut :

1. Temp : >380C atau kurang dari 360C

2. Denyut nadi > 90x/menit

3. Respirasi > 20x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

4. Leukosit darah > 12.000/mm3, < 4000 mm3atau netrofil batang > 10%

- Sepsis : infeksi disertai dengan SIRS.

- Sepsis berat : sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi yang

meliputi asidosis laktat, oliguria atau perubahan akut status mental.

- Syok sepsis : syndrome sepsis yang disertai dengan hipotensi.

- Hipotensi : tek darah < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tek.darah normal pasien

- Multiple Organ Dysfunction syndrome : disfungsi lebih dari 1 organ atau lebih,

memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis.

Dremsizov dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam

memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil yang

didapat antara lain 50% dari penderita PK yang dirawat akan jatuh ke sepsis. Selain

itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik dalam memprediksi

perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini adalah dapat digunakannya

PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk adanya disfungsi

Gambar

Gambar 2.2.1. Struktur Procalsitonin
Gambar 2.3.1. Manfaat Procalsitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah
Tabel 2.5.1.Pneumonia Severity Index (PSI)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis fasa dengan XRD menunjukkan bahwa fasa yang terbentuk fasa dominan yaitu fasa Al 2 O 3 (corondum) dan fasa minor yaitu fasa SiO2, dan AlO2.. Kata kunci :

Setelah Al dicuci dan didiamkan di udara terbuka: terjadi pertumbuhan serabut (putih) pada permukaan logam alumunium seperti jarum.. Setelah Al dicuci dan didiamkan di udara

Pihak satuan laka lantas mempunyai tugas tambahan sejak ditetapkan daerah daerah Black spot di sebagian daerah, dengan beberapa angota polisi yang memiliki satuan lalu

With respect to the doCall() function, it basically calls the createOffer() method on the available PeerConnection , asking the browser to properly build an SDP

Dengan adanya aplikasi Visual Basic 6.0 yang sudah dibuat, maka harus dipergunakan secara sebaik-baiknya, sehingga dapat membantu dalam pembuatan laporan penjualan handphone tepat

[r]

[r]

[r]