BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biomarker pada Pneumonia
Pneumonia merupakan kumpulan gejala (demam, nyeri pleuritik, sesak nafas)
dan tanda (infiltrat paru) yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat
mempengaruhi penderitanya secara sistemik (Lim WS dkk, 2009). Sebagai penyakit
infeksi, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi pelepasan sitokin pro
inflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem
hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi (Kaplan V dkk, 2003).
Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali pneumonia
tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan diagnosis yang
akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi (Capelastegui dkk, 2006). Dalam suatu
analisis Receiving Operating Characteristic (ROC) yang bertujuan untuk menilai
akurasi diagnostik dari PK (yang dikonfirmasi dengan radiologik) dengan kondisi
medik lainnya. Didapatkan kelemahan gambaran klinik ( seperti demam, batuk,
produksi sputum, temuan auskultasi yang abnormal) dalam mendiagnosis PK dengan
Area Under Cover (AUC) sebesar 0,79. Temuan ini dapat dibandingkan dengan
jumlah total leukosit (AUC: 0,69); CRP (AUC: 0,76) dan PCT (AUC: 0,88) (Mira JP
dkk, 2008; Muller B dkk, 2007; Christ Crain M dkk, 2010). Dari studi ini dapat
disimpulkan bahwa biomarker seperti CRP, terutama PCT dapat berperan banyak
dalam diagnosis PK (Christ Crain M dkk, 2010).
Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan
tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses
fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang tidak
dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non inflamasi dan
akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami
penurunan saat proses inflamasi mereda (Capelastegui A dkk, 2006).
Dalam hal membantu tegaknya diagnosis pneumonia, beberapa biomarker
telah dikenal, seperti: CRP, leukosit total, immunoglobulin, PCT dan Triggering
masih dalam tahap studi untuk penggunaannya pada pneumonia antara lain: copeptin,
kortisol, endotoksin dan proadrenomedullin (Capelastegui A dkk, 2006). Saat ini,
PCT dikenal sebagai biomarker yang manfaatnya terus diteliti. Konsentrasi PCT yang
hanya meningkat pada infeksi bakteri dan tetap rendah pada infeksi virus membuat
biomarker ini banyak digunakan untuk penyakit seperti sepsis, meningitis dan
pneumonia. Tampaknya PCT dapat sebagai faktor prognosis pada keadaan sepsis dan
pneumonia (Hendlund J dkk, 2000; Masia M dkk, 2005).
2.2 Procalcitonin
Procalcitonin adalah prohormon calcitonin, berupa peptida yang terdiri atas
116 asam amino (Gambar 2.2.1.) yang dilepaskan oleh sel C tiroid dalam keadaan
normal dan konsentrasinya sangat rendah (<0,05 ng/ml , dengan alat yang paling
sensitive didapatkan nilai 0,033±0,003 (Kosanke R dkk, 2008). Pada infeksi mikroba
akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan lepasnya PCT dari
seluruh sel parenkim dan sel-sel yang terdiferensiasi di hati maupun sel-sel
mononuclear (Summah H dkk, 2009; ChastreJ dkk, 2006) . Pelepasan mediator
inflamasi PCT dapat diinduksi melalui 2 proses, antara lain (Cairns C dkk, 2010) :
1. Terlepasnya toksin yang ada di dalam mikroba (endotoksin)
2. Respon immunitas selluler yang diperantarai oleh sitokin pro inflamasi seperti:
Interleukin 1b, Interleukin 6 dan TNF-alpha.
Sumber : Tannafos, 2008(19)
PCT merupakan molekul yang dianggap sebagai bentuk primitif dari
pertahanan bakterial yang bekerja sebelum sistem immun yang lebih efektif bekerja
(Cairn C dkk, 2010. Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa keadaan seperti trauma,
pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar, sindroma distress pernapasan, infeksi
nekrosis setelah pancreatitis akut dan reaksi penolakan jaringan pada transplantasi
dapat meningkatkan kadar PCT (Summah H dkk, 2009; Maier M dkk, 2009; Tseng
JS dkk, 2008; Jung DY dkk, 2008). Rendahnya kadar PCT tidak selalu meniadakan
infeksi bakteri. Keadaan false negative ini dapat disebabkan antara lain: tahap awal
infeksi, infeksi terlokalisir, endokarditis infeksi subakut, infeksi oleh kuman atipikal
(terutama kuman intraselluler) (Cairn C dkk, 2010).
PCT akan meningkat setelah 2-3 jam induksi dari endotoksin. Kadarnya
kemudian terus naik secara cepat hingga menjadi ratusan nanogram per ml pada
sepsis berat dan syok sepsis, mencapai plateau pada 6 – 12 jam. PCT akan terus
meningkat dan menetap dalam 48 jam lalu turun ke nilai normal dalam 2 hari jika
pengobatan berhasil dan ini menunjukkan prognosis yang baik. Jika kadar PCT terus
meningkat dan tidak turun menunjukkan kegagalan terapi. Waktu paruh dari PCT
sekitar 20 – 24 jam. Namun dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Pada gangguan ginjal
waktu paruh dapat memanjang hingga 35 jam (Cairn C dkk, 2010).
Penigkatan kadar PCT pada infeksi bakteri lebih tinggi dibanding infeksi
parasit (cthnya : plasmodium sp), beberapa jenis jamur meskipun mikroorganisme ini
juga merangsang makrofag untuk menghasilkan sitokin proinflamasi. Berbagai studi
telah menyimpulkan bahwa PCT jarang sekali meningkat pada keadaan murni infeksi
virus. Keadaan ini diakibatkan oleh rangsangan virus terhadap makrofag yang akan
menghasilkan interferon gamma (IFN-gamma) yang kemudian akan menghambat
sintesa tumor necrosis alpha ((TNF-alpha). TNF-alpha merupakan salah satu mediator
inflamasi yang merangsang pelepasan PCT. Studi oleh Moulin dkk dan Holm A dkk
mendapatkan peningkatan kadar PCT pada pasien pneumonia dengan kuman
Streptococcus pneumonia dan Hemophilus Influenzae baik pada anak-anak maupun
dewasa. Ingram dkk mendapatkan kenaikan PCT yang tidak tinggi pada pasien yang
Telah dikenal beberapa jenis pemeriksaan komersil PCT dengan sensitifitas
yang berbeda-beda, seperti ILMA (immunoluminometric assay/LIA; sensitifitas 0,3
ng/ml)(Cairn C dkk, 2010), BRAHMS PCT-Q (sensitifitasnya 0,5 ng/ml) (Muller B
dkk, 2007; Schuetz P dkk, 2011), VIDAS BRAHMS PCT (sensitifitas 0,09) ((Cairn C
dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2011), BRAHMS PCT KRYPTOR (rentang 0,02-5000
ng/ml)(Muller B dkk, 2007; Irwin AD dkk, 2011), Elecsys BRAHMS PCT (rentang
0,02-100 ng/ml)( Irwin AD dkk, 2011) yang menggunakan alat berbeda-beda namun
dengan metode deteksi yang sama sandwich principle. Pada pemeriksaan ini, antibody
pertama akan berikatan secara spesifik dengan katalcin dan terikat di suatu coated
tube (tabung yang dilapisi) sedangkan antibody kedua akan berikatan dengan terminal
dari molekul calcitonin. Antibodi kedua ini akan dilabel dengan luminescent tracer
dan akan berikatan dengan tabung yang sudah mengikat CCP-1 (calcitonin peptide-I).
Pengukuran kadar PCT selanjutnya dilakukan dengan luminometer yang akan
menerima signal dari antibody yang terikat luminescent tracer. Teknik pengukuran
yang berlapis ini disebut metode sandwich (Schuetz P dkk, 2011).
Dengan bervariasinya teknik maupun alat dalam pengukuran PCT maka
penting untuk mengetahui apa yang digunakan sebelum interpretasi hasil dilakukan.
Penggunaan PCT-Q, dengan nilai ambang terendah 0,5 ng/ml, angka ini masih 10 kali
lipat dari nilai normal PCT dan cukup banyak pasien dengan infeksi ringan yang tidak
terdeteksi. Demikian juga dengan PCT-ILMA/LIA, hasilnya tidak dapat dipercaya
jika nilai bilirubin dan trigliserida sangat tinggi. Saat ini, VIDA PCT dengan mampu
mendeteksi nilai PCT terendah 0,09 ng/ml dan PCT KRYPTOR dan Elecsys
merupakan uji yang paling sensitive dan akurat (Schuetz P dkk, 2011).
Sebelum memilih alat uji perlu diperhitungkan kondisi klinis yang dihadapi
seperti :
a. Fokus Infeksi
Infeksi saluran nafas, meningitis, infeksi intra abdomen, pancreatitis, dll.
Setiap fokusnya infeksi memiliki perbedaan nilai PCT yang diharapkan.
Infeksi yang sifatnya terlokalisir umunya juga menghasilkan nilai PCT yang
b. Immunosupresi
Infeksi bakteri pada penderita HIV akan meningkatkan kadar PCT, namun
nilainya tidak akan meningkat tajam dibanding pasien dengan HIV negative
(Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009). Penggunaan steroid tampaknya
tidak mempengaruhi PCT (Cairn C dkk, 2010).
c. Usia
Pada periode neonatus kadar PCT akan sangat tinggi. Pada anak-anak batasan
kadar PCT belum jelas. Terdapat beberapa bukti bahwa kadar PCT rendah
pada usia lanjut (Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009).
2.3. Peran PCT dalam Diagnostik
Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT
dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan
keunggulan PCT dengan sensitivitas (85% Vs 78%) dan spesifisitas (83% Vs 60%).
PCT juga lebih sensitif dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus
(Christ Crain M dkk, 2010). Simon dkk, dalam studinya secara tegas menyimpulkan
bahwa dengan nilai cut off PCT < 0,25 ng/ml maka PK berat sudah dapat disingkirkan
(Christ Crain M dkk, 2006; Christ Crain M dkk, 2010; Gilbert DN dkk, 2010).
Sejak Pasteur dan Sternberg berhasil mengkultur peneumococcus dari darah
pada tahun 1881dan Christian Gram berhasil mewarnainya 5 tahun kemudian, dalam
diagnosis pneumonia dibutuhkan pembuktian kuman sehingga pengobatan dapat
berdasarkan kuman penyebab (Gilbert DN dkk, 2010). Hingga saat ini, meskipun
fasilitas identifikasi kuman yang sudah maju, sebanyak 70% pasien yang terdiagnosis
pneumonia komunitas dari radiologik tidak dijumpai kuman penyebab. Keadaan ini
selanjutnya akan mempersulit keputusan klinisi untuk memulai antibiotik. Dalam
keadaan ini studi oleh Christ Crain dkk memberi batasan kadar PCT ≥0,25 ng/ml
mengindikasikan penyebab bakteri dan dapat dimulai dengan pemberian antimikroba
Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006
Gambar 2.3.1. Manfaat Procalsitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah
2.4 PCT dalam menentukan prognostik
Masia dkk mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor
derajat keparahan PSI dan hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan
komplikasi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Boevic
dkk yang menegaskan tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI (Lim WS
dkk, 2009).Sebagai alat prognostik, studi oleh huang dkk melibatkan 2000 penderita
PK yang diketahui dari klinis dan radiologik, kemudian 1.651 pasien diikutsertakan
dalam kohort selama 30 hingga 90 hari, setelah diambil serum PCT pada hari pertama.
Juga dilakukan stratifikasi derajat keparahan PK dengan Pneumonia Severity Index
dan CURB-65. Hasilnya didapatkan juga kadar PCT < 0,1 ng/ml memilki angka
kematian hari ke 30 dan ke 90 akibat PK yang rendah meskipun skor PSI berada pada
grup IV dan V. Keadaan ini juga dijumpai pada pasien dengan skor CURB-65 ≥ 3.
Studi di atas menunjukkan bahwa sebagai alat prognostik kadar PCT lebih baik
dibandingkan dari PSI dan CURB-65 (clinical scoring system)(Lim WS dkk, 2009;
Pada studi Masia dkk, PCT dihubungkan dengan skor PSI derajat keparahan
pneumonia. Pada penderita PSI yang rendah (PSI kelas I-II), PCT ternyata dapat
memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada
pneumonia bakteri dibanding dengan non-bakteri. Pada penderita dengan PSI yang
tinggi (PSI kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding dengan
diagnostic (Lim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007; Queroll Ribelles JM dkk,
2004). Adanya inkonsistensi dalam beberapa studi yang mencoba mencari hubungan
antara PCT dengan dengan skor prognostik seperti PSI dan CURB-65 mendorong
Kruger dkk melakukan suatu studi pada 1671 pasien PK dan melaporkan bahwa kadar
PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang sama
dengan skor CRB 65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk
mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Pada studi ini
didapati kadar PCT ≤ 0,228 ng/ml pada awal pasien masuk memiliki resiko kematian
yang rendah akibat PK. Temuan ini hampir mendekati angka yang didapatkan oleh
Christ Crains dkk (≤0,25 ng/ml) ( Queroll Ribelles JM dkk, 2004). Dalam studi
retrospektif mendapatkan kadar PCT > 1,5 ng/ml pada pasien PK yang terinfeksi
Legionella sp memiliki resiko kematian dan kebutuhan akan fasilitas rawatan ICU
yang cukup tinggi (Schuetz P dkk, 2009).
Schuetz dkk mencoba membandingkan kenaikan CRP, leukosit dengan PCT
dalam menilai resiko kematian dalam 90 hari. Hasilnya, PCT memiliki akurasi yang
lebih baik akan tetapi antara pasien yang meninggal dengan yang selamat, tidak
dijumpai rentang (range) PCT yang besar. Sedangkan jika PK dibagi sesuai dengan
derajat keparahan, maka didapatkan rentang nilai PCT yang besar (Schuetz P dkk,
2009).
Peran PCT sebagai prognostik pneumonia tidak hanya pada PK. Di Indonesia,
Rumende dalam disertasinya membandingkan PCT dengan
Lipopolysaccharide-Binding Protein (LBP) sebagai prognostik pasien dengan ventilator associated
pneumonia (VAP) yang dirawat di ruang rawat intensif di RSCM. Hasilnya, PCT
lebih sensitive dibanding LBP (80-81,3% VS 60-73%) dalam menentukan kematian
pasien VAP, akan tetapi keduanya memilki spesifisitas yang rendah (25-30%).
terhadap infeksi bakteri oleh makrofag yang aktif sedangkan LBP yang dihasilkan
oleh sel alveoli tipe 2 lebih menunjukkan beratnya keterlibatan paru. Jika kedua
biomarker ini digabungkan, sensitifitasnya akan meningkat menjadi 88,5-96,3%
dengan spesifisitas 53,2-66,7% untuk menentukkan prognostik pasien VAP (Jung DY
dkk, 2008).
2.5 Skor Klinis Pasien
Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting dalam
tatalaksana PK. Hal ini membuat munculnya berbagai sistem skoring PSI, CURB-65,
modified ATS (m-ATS) dsb. Skor PSI (Tabel 2.5.1) diperkenalkan pada tahun 1997
yang melibatkan 50.000 penderita pneumonia . Skor ini terdiri atas beberapa variabel
klinik yang membagi pasien menjadi 5 tingkatan berdasarkan risiko kematian dalam
30 hari (klas I= 0,1 – 0,4%; klas II= 0,6 -0,7%; klas III= 0,9 – 2,8%; klas IV= 4 –
10%; klas V: 27%). Skor PSI menunjukkan kemampuan prediksi yang baik dengan
AUC: 0,74 -0,83 dan direkomendasikan pemakaiannya oleh American Thoracic
Society (ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA). Akan tetapi, terlalu
kompleks dan banyaknya variabel yang harus dinilai membuat system skor ini tidak
praktis digunakan dalam klinik sehari-hari (Singanayam dkk, 2009; Mandel LA dkk,
2007).
Skor CURB-65 diperkenalkan oleh British Thoracic Society (BTS) pada tahun
2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang
dihubungkan dengan resiko kematian dalam 30 hari. Skor 0-1 masuk dalam kategori
skor kematian yang rendah dimana skor 0 = 0,7% dan skor 1 = 3,2%. Skor 2 = 13%
masuk kategori kematian sedang dan skor>3 masuk dalam skor kematian tinggi ( 3 =
17%, 4=41,5% dan 5 = 57%). Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan
prediksi yaitu dengan AUC : 0,73-0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel
yang digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang
terbaru menyadari kompleksisitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan
Baik skor PSI dan CURB-65 sama-sama memilki kelemahan yang sama, yaitu
masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan
CRB-65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini dapat
digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan performa
yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC : 0,69-0,78. Sayangnya,
penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti
pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji (Singanayam A dkk, 2009; Bont
J dkk, 2008).
Tabel 2.5.1.Pneumonia Severity Index (PSI)
Selain petanda inflamasi, system koagulasi juga dikatakan memiliki potensi
dalam menilai resiko kematian penderita PK. Aktifasi system koagulasi dan aktifitas
fibrinolisis merupakan gambaran yang dijumpai pada keadaan sepsis berat (Christ
Crain M dkk, 2010). Querol-Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma
D-dimer terhadap mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih
banyak terjadi pada pasien dengan D-dimer yang tinggi (3.786 VS 1.609 ng/ml
dengan p<0,00001). Selain itu, didapatkan juga hubungan linear antara D-dimer
dengan skor PSI (Querol-Ribelles dkk, 2004).
2.6. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas
Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10%
dari penderita harus dirawat di ICU (Intensive Care Unit). Pada PK yang dirawat jalan
mortalitas diperkirakan < 5%, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas
meningkat hingga 12% dan akan semakin meningkat menjadi 22% jika pasien
dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat (PK
berat) yang ditandai dengan adanya disfungsi organ (Laterre PF dkk, 2005).
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana
lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi
proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah
leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang
ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ (American
College of Chest Physician, 1992).
Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician (ACCP)
and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on
Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu consensus dengan
defenisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan
dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis
berat dan syok sepsis dibawah ini :
- SIRS : manifestasi klinis inflamasi sistemik yang dapat merupakan respon
infeksi (mis. Sepsis) atau non infeksi (mis luka bakar, pancreatitis),
ditandai 2 atau lebih tanda sebagai berikut :
1. Temp : >380C atau kurang dari 360C
2. Denyut nadi > 90x/menit
3. Respirasi > 20x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Leukosit darah > 12.000/mm3, < 4000 mm3atau netrofil batang > 10%
- Sepsis : infeksi disertai dengan SIRS.
- Sepsis berat : sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi yang
meliputi asidosis laktat, oliguria atau perubahan akut status mental.
- Syok sepsis : syndrome sepsis yang disertai dengan hipotensi.
- Hipotensi : tek darah < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tek.darah normal pasien
- Multiple Organ Dysfunction syndrome : disfungsi lebih dari 1 organ atau lebih,
memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis.
Dremsizov dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam
memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil yang
didapat antara lain 50% dari penderita PK yang dirawat akan jatuh ke sepsis. Selain
itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik dalam memprediksi
perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini adalah dapat digunakannya
PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk adanya disfungsi