• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5 Hasil dan Pembahasan

5.2 Pembahasan

5.2.1Jenis dan lama penggunaan kontrasepsi hormonal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kontrasepsi hormonal yang paling banyak digunakan responden adalah pil, sebanyak 36 orang (36%)

kemudian diikuti jenis suntik sebanyak 29 orang (29%). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Mustafa (2014) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan usia menopause pada perempuan lanjut usia di wilayah kerja puskesmas Baiturrahman kota Banda Aceh tahun 2014 yang menyebutkan bahwa jenis kontrasepsi yag paling banyak digunakan responden adalah pil, sebanyak 24 orang (61,5%). Tetapi hasil penelitian tersebut berbeda dengan penelitian Octasari (2014) tentang hubungan jenis dan lama penggunaan alat kontrasepsi hormonal terhadap gangguan menstruasi pada ibu PUS di kelurahan Binjai Medan kecamatan Medan Denai tahun 2014 yang menyebutkan bahwa jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh responden adalah suntik, sebanyak 127 orang (60,5%).

Menurut data BKKBN (2012), persentase jenis kontrasepsi hormonal yang paling banyak digunakan di Indonesia menurut metode kontrasepsi adalah jenis suntik kemudian diikuti jenis pil, dan yang paling sedikit digunakan adalah jenis AKDR. Sedangkan untuk wilayah kota Medan, jenis kontrasepsi hormonal yang paling banyak digunakan adalah jenis pil (BKKBN, 2012).

Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa pengguna AKDR dan implan menempati urutan terbawah. Padahal jika dilihat dari segi keluhan yang ditimbulkan setelah pemakaian, AKDR merupakan metode yang paling sedikit menimbulkan keluhan dibandingkan pil, suntik dan implan (SDKI, 2007).

Selain itu, saat ini pemerintah juga telah menyediakan 3 jenis alat kontrasepsi (alokon) secara gratis di seluruh wilayah Indonesia, yaitu kondom, AKDR, dan implan (Pusdatin, 2013). Pusdatin (2013) menyebutkan bahwa alasan mengapa masyarakat kurang memilih metode AKDR dan implan adalah karena pemasangan dan pelepasan metode kontrasepsi tersebut membutuhkan tindakan dan keterampilan profesonal tenaga medis yang lebih kompleks.

Data dari SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) tahun 2012 menyebutkan bahwa pil dan suntik merupakan jenis kontrasepsi yang paling diketahui oleh masyarakat disemua lapisan usia, termasuk usia beresiko tinggi diatas 35 tahun. Ditinjau dari segi tingkat pendidikan, pengetahuan tentang metode pil dan suntik cenderung sama disemua tingkat pendidikan (kecuali untuk yang tidak bersekolah), sedangkan pengetahuan tentang metode AKDR cenderung semakin diketahui seiring dengan tingginya tingkat pendidikan (Pusdatin, 2013). Peneliti berasumsi bahwa tingkat pengetahuan masyarakat tentang metode kontrasepsi pil dan suntik yang tinggi merupakan faktor utama yang menyebabkan persentase penggunaan kontrasepsi hormonal jenis pil dan suntik menempati urutan tertinggi.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui rata-rata lama penggunaan kontrasepsi hormonal oleh responden adalah 9,1 tahun. Rata-rata lama penggunaan kontrasepsi hormonal jenis pil adalah 3,1 tahun, jenis implan 6,4 tahun, jenis suntik 3,3 tahun, dan jenis AKDR 13,4 tahun. Pil dan suntik merupakan non-metode kontrasepsi jangka panjang (non-MKJP), dimana penggunaanya berkisar 1-3 bulan, sedangkan implan dan AKDR merupakan

MKJP yang penggunaannya berkisar 3-5 tahun. Pusdatin (2013) menyebutkan bahwa metode kontrasepsi pil dan suntik memiliki resiko putus penggunaan kontrasepsi lebih besar dibandingkan metode MKJP (20-40%). Berdasarkan data SDKI (2007), AKDR lebih sedikit menimbulkan keluhan pada wanita dibandingkan pil, suntik, maupun implan. Peneliti berpendapat bahwa sedikitnya keluhan yang ditimbulkan AKDR merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rata-rata lama penggunaan AKDR lebih tinggi dibandingkan metode kontrasepsi hormonal lainnya. Hal tersebut juga didukung dengan pernyataaan responden saat dilakukannya pengumpulan data yang menyatakan bahwa pil dan suntik sering menimbulkan keluhan seperti menstruasi yang tidak teratur, sehingga responden memilih beralih ke metode lainnya. Meilani, dkk. (2010) menyatakan bahwa salah satu efek samping penggunaan kontrasepsi hormonal jenis pil dan suntik adalah adanya gangguan menstruasi seperti perdarahan bercak (spotting).

5.2.2 Usia Menopause

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 51 responden (75%) mengalami menopause normal, 11 responden (16,2%) mengalami menopause terlambat, dan 6 responden (8,8%) mengalami menopause dini, dengan rata-rata usia menopause 50,06 tahun. Hasil tersebut lebih tinggi dari DepKes RI (2006) yang menyebutkan bahwa rata-rata usia menopause wanita di Indonesia adalah 49 tahun dan hasil penelitian lain yang menyebutkan rata usia

Menurut Safitri (2009), usia menopause dipengaruhi beberapa faktor, seperti usia menarche, status pekerjaan, jumlah anak, usia melahirkan terakhir, penggunaan kontrasepsi, konsumsi alkohol, merokok, dan riwayat penyakit. Mayoritas responden, yaitu sebanyak 36 responden (52,9%) mengalami menarche pada usia diatas 13 tahun. Menurut Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi (2008), semakin cepat seorang wanita mengalami menarche maka semakin lama menopause terjadi sehingga masa reproduksi akan semakin panjang. Mayoritas

responden memiliki jumlah anak ≤ 4 orang, yaitu sebanyak 39 orang (57,4%).

Semakin banyak jumlah anak maka usia menopause akan semakin tua (Kasdu; Sibagariang, Pusmaika, Rismalinda, 2010). Peneliti berasumsi usia menarche

responden yang mayoritas pada usia >13 tahun dan jumlah anak yang mayoritas ≤

4 orang mempengaruhi usia menopause sehingga responden tetap mengalami menopause normal walaupun telah menggunakan kontrasepsi hormonal.

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 6 orang responden (8,8%) mengalami menopause dini walaupun telah menggunakan kontrasepsi hormonal. Tabulasi silang antara usia menopause dengan lama penggunaan kontrasepsi hormonal, usia menarce, dan jumlah anak menunjukkan bahwa dari 6 responden yang mengalami menopause dini, 5 diantaranya menggunakan kontrasepsi

hormonal ≤ 9 tahun, 3 dintaranya mengalami menarche pada usia > 13 tahun, dan

5 diantaranya memiliki anak ≤ 4 orang. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas responden yang mengalami menopause dini memiliki faktor yang dapat menyebabkan menopause datang lebih awal. Selain faktor tersebut, menurut penelitian Safitri (2009), faktor lain yang mempengaruhi usia menopause adalah

usia ibu saat melahirkan anak terakhir, riwayat menopause dini pada keluarga, dan riwayat penyakit. Semakin tua usia ibu saat melahirkan anak terakhir maka semakin lama terjadinya menopause. Jika ibu memiliki riwayat penyakit dan riwayat adanya menopause dini dalam keluarga, maka hal tersebut akan membuat menopause datang lebih awal. Peneliti tidak melakukan pengukuran pada ketiga faktor tersebut. Peneliti berasumsi bahwa 6 orang responden yang mengalami menopause dini kemungkinan mengalami salah satu atau lebih faktor tersebut.

5.2.3 Hubungan jenis kontrasepsi hormonal dengan usia menopause

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara jenis kontrasepsi

hormonal dengan usia menopause dengan nilai p= 0,012< α=0,05. Variabel jenis

kontrasepsi hormonal digolongkan berdasarkan kadar hormonal yang terkandung dalam kontrasepsi dari yang tertinggi ke yang terendah. Tabulasi silang antara jenis kontrasepsi hormonal dengan usia menopause menunjukkan bahwa mayoritas ibu yang mengalami menopause dini memiliki riwayat menggunakan kontrasepsi hormonal jenis 7, yaitu hanya pil sebanyak 5 orang (83,3%) dan mayoritas ibu yang mengalami menopause terlambat memiliki riwayat menggunakan kontrasepsi hormonal jenis 5, yaitu hanya AKDR sebanyak 8 orang (57,1%). Jenis kontrasepsi hormonal berhubungan dengan kadar hormon yang terkandung di dalamnya. Peneliti berasumsi bahwa faktor yang menyebabkan jenis kontrasepsi hormonal berhubungan dengan usia menopause adalah kadar

menekan sekresi gonadotropin. Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti berasumsi bahwa kontrasepsi hormonal yang memiliki kadar hormon yang rendah tidak mampu menaikkan kadar estrogen dalam darah hingga mencapai 300% dalam 24 jam sehingga tidak memiliki efek penekanan ovulasi pada wanita. Hasil penelitian Djuwita & Fitriyani (2013) dengan judul hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal pil dengan usia menopause yang menyebutkan tidak ada hubungan antara lama penggunaan pil dengan usia menopause setelah dikontrol dengan variabel pendidikan. Dalam penelitian tersebut, seluruh responden menggunakan pil dengan dosis rendah. Hasil penelitian tersebut semakin menguatkan asumsi peneliti bahwa kadar hormon yang rendah pada pil tidak memberikan efek penekanan ovulasi pada wanita.

5.2.4 Hubungan lama penggunaan kontrasepsi hormonal dengan usia

menopause

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama

penggunaan kontrasepsi hormonal dengan usia menopause dengan nilai α= 0,00 <

0,05. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian Djuwita & Fitriyani (2013) dengan judul hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal pil dengan usia menopause yang menyebutkan tidak ada hubungan antara lama penggunaan pil dengan usia menopause setelah dikontrol dengan variabel pendidikan. Dalam penelitian tersebut, seluruh responden menggunakan pil dengan dosis rendah. Selain itu, Djuwita & Fitriyani juga menyebutkan bahwa kemungkinan telah terjadi kesalahan pengukuran pada lama penggunaan kontrasepsi hormonal sehingga mempengaruhi hasil penelitian tersebut.

Peneliti berasumsi bahwa faktor yang menyebabkan hasil penelitian Djuwita & Fitriyani tidak sama dengan hasil penelitian ini adalah karena seluruh responden dalam penelitian tersebut menggunakan pil dalam dosis rendah. Ganong (2014) menyebutkan bahwa peningkatan kadar estrogen hingga 300% dalam 24 jam akan memberikan efek umpan balik negatif yang dapat menekan sekresi gonadotropin. Peneliti berpendapat bahwa pil dosis rendah tidak memberikan efek penekanan ovulasi pada penggunanya, melainkan efek kontrasepsi hormonal lainya, seperti mengentalkan lender serviks, dan lain-lain.

Baziad (2002) mengatakan bahwa sebagian besar mekanisme kerja kontrasepsi hormonal adalah menekan sekresi hormon gonadotropin. Penekanan sekresi hormon tersebut akan menghambat pematangan dan pelepasan folikel sel telur sehingga menyebabkan menstruasi yang tidak menghasilkan sel telur. Semakin lama wanita menggunakan kontrasepsi hormonal menyebabkan semakin banyak siklus anovulatori yang terjadi setiap kali menstruasi sehingga semakin lama waktu yang dibutuhkan ovarium untuk kehilangan seluruh cadangan folikel. Menurut Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi (2008), usia menopause berhubungan dengan jumlah cadangan folikel yang masih tersisa dalam ovarium. Penulis berpedapat bahwa semakin lama seseorang menggunakan kontrasepsi hormonal, maka usia menopause akan semakin tua karena penekanan ovulasi akibat penggunaan kontrasepsi hormonal akan menyebabkan semakin lama ovum

asupan fitosteron. Walaupun terdapat hubungan antara jenis dan lama penggunaan kontrasepsi hormonal secara statistik, mayoritas responden memiliki usia menopause normal, yaitu dalam rentang usia 45-55 tahun. Data demografi

responden menujukkan bahwa mayoritas responden memiliki anak ≤ 4 orang dan

mengalami menarche pada usia > 13 tahun. Peneliti berpendapat bahwa walaupun usia menopause bergeser ke usia yang lebih tua akibat penggunaan kontrasepsi

hormonal, faktor jumlah anak yang ≤ 4 orang dan usia menarche > 13 tahun juga

mempengaruhi usia menopause menjadi lebih cepat dan hal tersebutlah yang menyebabkan mayoritas responden memiliki usia menopause normal.

5.3 Hambatan penelitian

Peneliti menemukan beberapa kendala selama melakukan proses pengumpulan data. Kendala tersebut berhubungan dengan calon respoden yang menolak untuk dilakukan wawancara dengan alasan takut jika diakhir proses wawancara mereka akan dimintai biaya atau diminta untuk ikut dengan peneliti ke Fakultas Keperawatan USU untuk wawancara lebih lanjut. Alasan ketakutan responden tersebut dikarenakan sebelumnya belum pernah ada penelitian seperti ini yang mendatangi satu-persatu responden dan melakukan wawancara langsung. Tetapi setelah peneliti memberikan informed consent, calon respoden akhirnya setuju untuk dilakukan wawancara.

Kendala lainnya yaitu kesulitan responden dalam mengingat riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal. Sebagian besar responden merupakan lansia yang sudah mengalami penurunan daya ingat sehingga peneliti harus melakukan

beberapa cara untuk membantu responden mengingatnya kembali, yaitu dengan menanyakan secara berurutan jenis dan lama penggunaan kontraspsi hormonal mulai dari awal menikah hingga saat ini.

Hambatan penelitian selanjutnya yaitu instrumen yang telah disusun oleh peneliti memiliki beberapa kelemahan sehingga belum dapat megukur variabel secara akurat. Beberapa kelemahan tersebut antara lain: tidak mengkaji faktor yang mempengaruhi usia menopause secara keseluruhan, yaitu riwayat menopause dini dalam keluarga, usia melahirkan anak terakhir, riwayat merokok, asupan fitosteron, dan penyakit yang sedang diderita.

Bab 6

Kesimpulan dan Saran

6.1 Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan dari 68 responden, mayoritas menggunakan kontrasepsi hormonal jenis pil (36 %), rata-rata lama total penggunaan kontrasepsi hormonal adalah 9,11 tahun,, dan mayoritas mengalami menopause normal (75%).

Berdasarkan hasil analisa statistik uji korelasi menggunakan kontingensi C

(koefisien Cramer) dengan taraf kritik (α) yang digunakan adalah 0,05, dapat

dibuktikan bahwa: ada hubungan jenis kontrasepsi hormonal dengan usia menopause (ρ=0,012 < α=0,05) dengan nilai koefisien Cramer (C)= 0,434; ada hubungan lama penggunaan kontrasepsi hormonal dengan usia menopause

(ρ=0,000 < α=0,05) dengan nilai koefissien Cramer (C)= 0,517. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa Ha1 dan Ha2 diterima dengan pernyataan hipotesa Ha1

ada hubungan jenis kontrasepsi hormonal dengan usia menopause; Ha2 ada

hubungan lama penggunaan kontrasepsi hormonal engan usia menopause. Keeratan hubungan termasuk kuat dengan arah yang positif.

6.2 Saran

6.2.1 Pendidikan Keperawatan

Peneliti menyarankan agar pendidikan keperawatan menambahkan kegiatan penyuluhan tentang kontrasepsi hormonal dan menopause kepada masyarakat dalam kurikulum praktek komunitas yang dilakukan mahasiswa agar

pengetahuan masyarakat tentang kontrasepsi hormonal dan menopause semakin baik.

6.2.2 Pelayanan keperawatan

Peneliti menyarankan agar pelayanan keperawatan lebih banyak melakukan sosialisasi tentang metode penggunaan kontrasepsi yang tepat kepada masyarakat sesuai dengan tujuan akseptor KB menggunakan kontrasepsi. Disarankan juga agar pelayanan keperawatan lebih mensosialisasikan tentang metode kontrasepsi jangka panjang agar jumlah pengguna metode tersebut (AKDR dan implan) semakin meningkat karena metode tersebut menimbulkan keluhan yang lebih sedikit serta resiko putus penggunaan KB lebih kecil dibandingkan metode pil dan suntik, sehingga dengan demikian target pencapaian jumlah akseptor KB dalam program Keluarga Berencana yang sedang dijalankan pemerintah saat ini dapat tercapai.

6.2.3 Penelitian keperawatan

Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan memperhatikan variabel riwayat menopause dini dalam keluarga, riwayat penyakit, dan usia ibu saat melahirkan anak terakhir untuk menapatkan hasil yang lebih tepat tentang hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan usia menopause.

Bab 2

Tinjauan Pustaka

2.1

Menopause

2.1.1

Defenisi Menopause

Kata menopause pertama kali digunakan oleh dokter pada tahun 1821 (Ballard, 2003 dalam Bushman dan Young, 2012). Kata ini berasal dari bahasa Yunani menos, yang berarti bulan, dan pausos, yang berarti berakhir. Jadi menopause dapat diartikan berhentinya siklus menstruasi bulanan (Bushman & Young, 2012).

Semua wanita yang berumur panjang akan mengalami menopause. Abernethy (2009, dalam Andrews, 2009) mengatakan menopause merupakan suatu fase dalam kehidupan wanita dimana masa kesuburan sudah berakhir yang ditandai dengan berhentinya siklus haid. Menurut Morgan dan Hamilton (2009) menopause merupakan berhentinya menstruasi secara permanen akibat kegagalan ovarium. Widyastuti, Rahmawati, dan Purnamaningrum (2009) berpendapat bahwa menopause adalah haid terakhir, atau saat terjadinya haid terakhir yang dapat didiagnosis setelah terdapat amenorea sekurang-kurangnya selama 1 tahun. Jadi menopause dapat didefenisikan sebagai suatu fase dalam kehidupan wanita dimana siklus haid berhenti secara permanen sekurang-kurangnya selama 1 tahun, yang dapat terjadi akibat berhentinya fungsi ovarium.

Sebelum mencapai menopause seorang wanita terlebih dahulu melalui masa perimenopause. Perimenopause merupakan masa yang menjelaskan tentang tahun-tahun menjelang masa menopause, yang ditandai dengan ketidakteraturan

menstruasi (Morgan dan Hamilton, 2009). Masa peralihan ini terjadi selama 4-5 tahun sekitar menopause (2-3 tahun sebelum dan sesudah menopause), dan ditandai dengan perdarahan yang terjadi sebentar dan sedikit atau perdarahan yang banyak disertai bekuan dan rasa kram.

Menopause merupakan masa yang sangat individual dan berbeda pada tiap wanita. Perbedaannya dapat dilihat dari usia awal menopause, keluhan-keluhan yang dirasakan, serta respon dalam menghadapi perubahan selama masa menopause maupun masa setelahnya (pascamenopause). Usia awal menopause berbeda-beda tergantung faktor yang mempengaruhinya. Enam persen wanita mengalami menopause pada usia 35 tahun, 25% pada usia 44 tahun, 75% pada usia 50 tahun, dan 94% pada usia 55 tahun (Morgan dan Hamilton, 2009). Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa usia menopause terbanyak yaitu pada usia 50-55 tahun. Wilson (2003 dalam Bushman & Young, 2012) menyebutkan bahwa rentang usia menopause wanita di Amerika Serikat adalah 40-55, dengan rata-rata usia 51,3 tahun. sedangkan menurut Ganong (2014) usia rata-rata awitan menopause adalah sekitar 52 tahun. DepKes RI menyebutkan rentang usia menopause wanita Indonesia adalah 45-55 tahun dengan rata-rata usia menopause 49 tahun. Beberapa wanita mengalami perhentian menopause secara lambat dan bertahap selama bertahun-tahun, sebagian mengalaminya dengan cepat. Keluhan yang dialami juga dapat berbeda. Sebagian wanita dapat melalui masa menopause

2.1.2 Tipe Menopause

Menopause dapat terjadi sebagai kejadian yang terjadi secara alami atau perubahan hidup yang timbul akibat intervensi medis. Penyebab menopause dapat dikategorikan sebagai berikut:

2.1.2.1Menopause normal

Menopause normal merupakan menopause yang terjadi secara alami sesuai dengan waktu normal terjadinya menopause, yaitu 45-55 tahun, dengan rata-rata usia kurang lebih 51 tahun (Tagliaferri, Cohen, Tripathy, 2007)

2.1.2.2Menopause prematur

Menopause prematur adalah menopause yang terjadi sebelum usia 40 tahun apapun penyebabnya. Wanita yang menjalani menopause prematur memiliki resiko yang lebih kecil untuk terkena kanker payudara dan ovarium, tetapi memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena osteoporosis (Tagliaferri, Cohen, Tripathy, 2007). Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang wanita mengalami menopause prematur, termasuk genetik, proses autoimun, atau intervensi medis, seperti kemoterapi, dan pengangkatan indung telur (ooforektomi).

2.1.2.3 Menopause beralasan atau medis

Menopause beralasan atau medis terjadi pada saat adanya kerusakan parah pada ovarum (seperti yang disebabkan oleh kemoterapi) atau adanya pengangkatan operatif ovarium (Tagliaferri, Cohen, Tripathy, 2007). Pada saat terjadi kerusakan pada ovarium atau dilakukan pengangkatan ovarium, terjadi penurunan produksi hormon estrogen secara tiba-tiba dan wanita dengan

menopause tipe ini cenderung mengalami gejala menopause yang lebih parah dibandingkan dengan wanita yang mengalami menopause alami (Tagliaferri, Cohen, Tripathy, 2007).

2.1.2.4 Menopause terlambat

Seorang wanita dikatakan mengalami menopause terlambat jika usia menopausenya diatas 55 tahun. Menopause yang terlambat sering dikaitkan dengan fibromioma uteri dan tumor ovarium yang menghasilkan estrogen, sehingga seorang wanita yang mengalami menopause terlambat memerlukan pemeriksaan lebih lanjut (Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi, 2008). Menurut Novak dalam Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi (2008), wanita dengan karsinoma endometrium sering mengeluhkan menopausenya yang terlambat. Selain itu, wanita yang mengalami menopause terlambat akan terpapar estrogen lebih lama dibandingkan wanita dengan jadwal menopause normal, dimana menurut Manuaba (2010) paparan estrogen berhubungan dengan angka kejadian carsinoma mammae.

2.1.3 Faktor yang mempengaruhi usia menopause

Usia seseorang mengalami menopause dapat berbeda menurut faktor yang mempengaruhinya. Menurut hasil penelitian Herawati (2012) ada beberapa faktor yang mempengaruhi usia menopause, yaitu: kebiasaan merokok, pendapatan, penggunaan kontrasepsi, olahraga, jumlah anak, status pernikahan,

2.1.3.1 Usia menarche

Menurut Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi (2008), usia menarche berhubungan dengan usia menopause. Semakin cepat seorang wanita mengalami menarche maka semakin lama menopause terjadi sehingga masa reproduksi akan semakin panjang. Hal tersebut berhubungan dengan jumlah folikel primordial yang tersisa untuk dimatangkan selama masa reproduksi yang dimulai sejak masa pubertas (menarche). Menurut Sibagariang, Pusmaika, Rismalinda (2010) usia menarche di Indonesia berkisar 12-13 tahun, sebagian perempuan mengalami menstruasi lebih awal (8 tahun) atau lebih lambat (18 tahun). Jumlah folikel primordial pada usia 6-9 tahun adalah sebanyak 486.600 dan terus berkurang hingga tersisa 382.000 pada usia 12-16 tahun (Kasdu, 2002). Sedangkan menurut Manuaba (2010) jumlah folikel primordial pada usia 6-15 tahun berkisar 440.000 dan terus berkurang hingga mencapai 160.000 pada usia 16-25 tahun. Semakin lama seorang wanita mengalami menarche, maka semakin sedikit jumlah folikel primordial yang akan dimatangkan dan melalui proses ovulasi dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebut yang dapat menyebabkan perempuan yang mengalami menarche lebih cepat mengalami menopause yang lebih lambat karena menurut Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi (2008), usia menopause berhubungan dengan jumlah cadangan folikel yang masih tersisa dalam ovarium.

2.1.3.2 Penggunaan kontrasepsi hormonal

Sebagian besar kontrasepsi hormonal menekan produksi dan sekresi gonadotropin (Baziad, 2002). Hormon yang temasuk dalam hormon

gonadotropin yaitu FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing

Hormone), dimana hormon ini berperan dalam proses pematangan dan pelepasan

folikel ovarium (Andrews dan Steele, 2009 dalam Andrews, 2009).

Menurut pendapat Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi (2008) pemberian hormon estrogen dan/ atau progesteron dalam konsentrasi dan jangka waku tertentu dapat menekan produksi dan sekresi gonadotropin melalui suatu mekanisme umpan balik positif-negatif. Pemberian hormon estrogen dan/ atau progesteron melalui kontrasepsi hormonal akan menyebabkan konsentrasi kedua hormon steroid tersebut meningkat hingga mencapai konsentrasi tertentu yang dapat menstimulus hipofisi anterior untuk menghentikan produksi dan sekresi FSH dan LH. Ketika produksi dan sekresi gonadotropin dihambat maka proses pematangan folikel akan terhambat dan ovulasi tidak terjadi sehingga menyebabkan menstruasi yang tidak menghasilkan sel telur dan juga berarti mempengaruhi kesuburan wanita.

2.1.3.3 Paritas

Usia menopause berhubungan dengan paritas, semakin banyak jumlah anak maka usia menopause akan semakin tua (Kasdu, 2002; Sibagariang, Pusmaika, Rismalinda, 2010). Hal tersebut terjadi karena selama kehamilan dan persalinan sistem kerja organ reproduksi dihambat (Kasdu, 2002). Menurut Sibagariang, Pusmaika, Rismalinda (2010) selama kehamilan, menstruasi dan

siklus menstruasi selama 6 bulan pertama setelah kembalinya haid bersifat anovulatorik (tidak mengandung sel telur). Penundaan ovulasi selama masa kehamilan dan laktasi menyebabkan waktu yang dibutuhkan ovarium untuk kehilangan seluruh folikel akan semakin lama. Menurut Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi (2008), usia menopause berhubungan dengan jumlah cadangan folikel yang masih tersisa dalam ovarium.

2.1.3.4 Konsumsi isoflavon

Menurut penelitian Mulyati, Triwinarto, Budiman (2006), konsumsi isoflavon berpengaruh terhadap usia menopause. Isoflavon adalah salah satu dari tiga gugus utama fitoestrogen. Fitoestrogen merupakan hormon alamiah yang terdapat dalam tanaman (kacang dari keluarga polong-polongan, paling banyak terdapat pada kedelai) yang memiliki efek manfaat mirip dengan estrogen (Northrup, 2006). Sama seperti hormon estrogen, isoflavon akan terikat dengan reseptor estrogen dalam tubuh dan memerikan efek yang menyeimbangkan atau adaptogenik, artinya, saat kadar estrogen dalam tubuh rendah maka isoflavon akan menaikkan kadarnya hingga mencapai keseimbangan, begitu pula sebaliknya (Northrup, 2006). Menopause berhubungan dengan defisiensi estrogen sebagai akibat dari menurunnya fungsi ovarium. Dengan mengkonsumsi isoflavon maka penurunan kadar estrogen dalam tubuh dapat diseimbangkan. Konsumsi isoflavon sebanyak 80 mg per hari dalam jangka panjang akan memperlama usia menopause dan mengurangi masalah kesehatan yang terjadi pada masa menopause (Mulyati, Triwinarto, Budiman, 2006).

2.1.4Dampak fisik yang terjadi saat menopause 2.1.4.1 Hot flush

Rata-rata 75% wanita menopause akan mengalami hot flush (North American Menopause Society/NAMS, 2004 dalam Bushman dan Young, 2012). Menurut Goldman dan Hatch (2000, dalam Bushman dan

Dokumen terkait