• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5. Hasil dan Pembahasan

2. Pembahasan

2.1. Indeks Massa Tubuh

Penilaian antropometri tubuh salah satunya dengan mengukur indeks massa tubuh seseorang, dimana penilaian dengan mengukur berat badan dan tinggi badan (Kusmiran, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki indeks massa tubuh normal yaitu sejumlah 58 orang (60,4%). Hasil penelitian ini memperlihatkan hasil yang sama dengan penelitian Pristina (2014) yang menemukan sebagian besar subjek memiliki indeks massa tubuh normal yaitu sejumlah 44 orang (71,0%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Arisman (2007) bahwa perkembangan perekonomian dan

37

teknologi menyebabkan perbaikan gizi jika dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya. Adapun faktor lain yang mempengaruhi indeks massa tubuh seseorang adalah tingkat pengetahuan, dimana semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka akan semakin baik nilai indeks massa tubuh tersebut (Suhardjo, 2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat remaja putri dengan indeks massa tubuh yaitu sejumlah 15 orang (15,6%), status gizi lebih yaitu sejumlah 20 orang (20,8%), serta obesitas yaitu sejumlah 3 orang (3,1%). Menurut Suhardjo (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi indeks massa tubuh pada dasarnya ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari genetik, asupan makanan, dan penyakit infeksi. Faktor eksternal terdiri dari faktor terdiri dari faktor pertanian, faktor ekonomi, faktor sosial budaya, dan pengetahuan gizi. Selain itu, banyak hal yang turut mempengzruhi keadaan status gizi. Faktor teknologi juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi status gizi remaja.

Gizi kaum remaja yang dicerminkan oleh pola makannya akan sangat menentukan apakah mereka bisa mencapai pertumbuhan fisik yang optimal sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Pertumbuhan fisik remaja akan sangat ditentukan oleh asupan kalori dan protein. Dengan mengkonsumsi kalori dan protein secara cukup maka pertumbuhan badan yang menyangkut pertambahan berat badan dan tinggi badan akan dapat dicapai dengan baik (Dieny, 2014).

38

2.2. Siklus Menstruasi

Keteraturan siklus menstruasi merupakan rangkaian siklus menstruasi yang secara kompleks saling mempengaruhi dan terjadi secara simultan ketika perdarahan periodik dari uterus yang dimulai sekitar 14 hari setelah ovulasi secara berkala akibat terlepasnya endometrium uterus. Fungsi menstruasi normal merupakan hasil interaksi antara hipotalamus, hipofisis dan ovarium dengan perubahan-perubahan terkait pada jaringan sasaran dan pada saluran reproduksi normal, ovarium berperan penting dalam proses ini, karena bertanggung jawab dalam pengaturan siklik maupun lama siklus menstruasi (Bobak, 2004).

Gangguan atau kelainan pada organ reproduksi dapat terjadi dari berbagai faktor misalnya genetik, lingkungan dan gaya hidup (Banudi, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 60 responden (62,5%) yang mengalami siklus menstruasi teratur dan 36 responden (37,5%) yang mengalami siklus menstruasi tidak teratur. Berbeda dengan penelitian Pristina (2014) yang mendapatkan hasil mayoritas responden mendapatkan siklus menstruasi tidak teratur yaitu sejumlah 54 responden (87,1%) padahal responden di asumsikan dalam tingkatan umur yang sama dengan remaja putri di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Perbedaan hasil penelitian di atas dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan siklus menstruasi seperti stress. Pada saat stres peningkatan HPA aksis yang mengakibatkan hipotalamus menyekresikan CRH yang akan merangsang kelenjar adrenal untuk

39

menyekresikan kortisol. Kortisol menekan pultasil LH sehingga terjadi ketidakseimbangan hormone yang mengakibatkan siklus menstruasi tidak teratur (Guyton, 2006). Faktor lain yang dapat mempengaruhi ketidakterturan siklus menstruasi adalah aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang berat menyebabkan gangguan pada sekresi GnRH sehingga menurunkan level estrogen yang akan mempengaruhi siklus menstruasi (Ganong, 2008).

Ada pun faktor lain yang dapat mempengaruhi siklus menstruasi antara yaitu penyakit yang meyebabkan perubahan hormone seperti diabetes mellitus (DM) yang tidak terkontrol, polycystic ovary syndrome (PCOS), kelainan kelenjar tiroid, stress, konsumsi obat tertentu dan obat yang dapat meningkatkan kadar hormon prolaktin, merokok serta aktivitas fisik yang berlebihan (Proverawati, 2009).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah seluruh responden berdasarkan gambaran siklus menstruasi yaitu normal sebanyak 60 orang (62,5%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahbubah (2006) tentang hubungan tingkat stress dengan siklus menstruasi pada remaja putri di Kelurahan Sidoarjo Kecamatan Pacitan juga menunjukkan bahwa mayoritas dari 75 responden memiliki siklus menstruasi yang normal sebanyak 64,9%.

Menurut Wolfenden (2010), faktor yang paling berpengaruh dalam regulitas siklus menstruasi adalah ketidakseimbangan hormon. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan pengaturan hormon terganggu, beberapa diantaranya stress, penyakit, perubahan rutinitas, gaya hidup, dan berat badan. Selain itu juga terdapat faktor lainnya yang berpengaruh terhadap siklus

40

menstruasi yaitu status gizi, kelainan uterus, kondisi fisik, penyakit ginekologi dan umur (Llewellyn, 2001).

Jenis siklus menstruasi yang tidak normal, seperti menstruasi yang terjadi setiap 3 sampai 6 minggu sekali, menstruasi yang terjadi setiap 2 sampai 3 minggu sekali dan menstruasi yang terjadi hanya 2 kali setahun. Siklus menstruasi yang tidak teratur berdampak pada gangguan kesuburan (Llewellyn, 2001)

2.3.Hubungan Status Gizi dengan Siklus Menstruasi

Hubungan antara status gizi dengan siklus menstruasi dengan uji spearman yaitu (r=0,103, p=0,001) yang berarti didapati adanya hubungan antara keduanya. Salah satu hormon yang berperan dalam menstruasi adalah estrogen. Estrogen ini disintetis di ovarium, adrenal, plasenta, testis, jaringan lemak dan susunan saraf pusat. Menurut analisis penyebab lebih panjangnya siklus menstruasi diakibatkan jumlah estrogen yang meningkat dalam darah akibat meningkatnya jumlah lemak tubuh (Hupitoyo, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian dari 15 responden yang mempunyai status gizi kurang sebagian besar mengalami siklus menstruasi tidak teratur yaitu sebanyak 11 responden (73,3%). Pada wanita yang kekurangan gizi kadar hormon steroid mengalami perubahan. Kolestrol sebagai pembakal (prekursor) steroid disimpan dalam jumlah banyak di sel-sel theka. Di bawah rangsangan LH, steroid yang oleh jaringan perifer diubah menjadi senyawa aktif secara

41

androgenis (Sacher, 2004). Peningkatan kadar steroid akan berdampak pada perubahan siklus ovulasi dan terganggunya siklus menstruasi (Paath, 2005).

Berat badan kurang atau terbatas selain akan memengaruhi pertumbuhan dan fungsi organ, juga akan menyebabkan terganggunya fungsi reproduksi. Hal ini akan berdampak pada gangguan menstruasi, tetapi akan membaik jika asupan nutrisinya baik (Banudi, 2013). Kekurangan nutrisi pada seseorang akan berdampak pada penurunan fungsi reproduksi, hormon steroid akan mengalami perubahan yang dampak pada terjadinya perubahan siklus ovulasi (Waryana, 2010).

Perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi, penurunan berat badan akut dan sedang menyebabkan gangguan pada fungsi ovarium, tergantung derajat tekanan pada ovarium dan lamanya penurunan berat badan (Kusmiran, 2011). Status gizi kurang, lemak yang sedikit, intake kalori yang rendah dan eating disorder diduga mengganggu sekresi pulsatil dari pituitary gonadotropin (Fujiwara et al, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian dari 16 responden yang mempunyai status gizi lebih sebagian besar mengalami siklus menstruasi tidak teratur yaitu sebanyak 14 orang (87,5%). Lemak tubuh yang diukur dengan IMT, memiliki pengaruh yang kuat pada siklus memanjang dan tidak teratur. Perempuan dengan status gizi diatas normal memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadi siklus tidak teratur (Rowland et al, 2002). Status gizi lebih cenderung mengalami ketidakteraturan siklus menstruasi, hal ini sejalan dengan yang

42

dilakukan Wei et al. (2009) pada wanita Australian yang semakin mendukung adanya hubungan antara status gizi dengan siklus menstruasi.

Perempuan dengan berat badan berlebih memiliki empat sampai lima kali lebih sering terjadi gangguan fungsi ovarium. Ditemukan juga peningkatan androstendoin dan peningkatan rasio estron atau estradiolsrta penurunan kadar sex hormone binding globuline (SHBG) serum (Basir, 2012). Gangguan siklus menstruasi disebabkan karena adanya gangguan umpan balik dengan kadar estrogen yang selalu tinggi sehingga kadar FSH tidak pernah mencapai puncak. Dengan demikian pertumbuhan folikel terhenti sehingga tidak terjadi ovulasi. Keadaaan ini berdampak pada perpanjangan siklus menstruasi ataupun kehilangan siklus menstruasi (Prawirohardjo, 2010).

Pada perempuan dengan berat badan berlebihan ditemukan produksi androgen suprarenal meningkat, peningkatan pengeluaran 17-ketosteroid dan 17-hidroksisteroid, kadar plasma testoteron meningkat, kadar plasma androstenadion meningkat, rasio estron/stradiol 2,5 serta kadar sex hormone binding globulin (SHBG) yang rendah (Morgan, 2009). Ditambah lagi terjadi kelebihan androgen, estrogen terutama estron. Pada obesitas ditemukan interaksi adipokin dan Hipothalamus Pituitary Gonad (HPG) serta leptin sebagai pleiotropic modulator keseimbangan energi dan reproduksi. Peningkatan metabolisme hormon reproduksi didalam deposit jaringan adipos bisa menyebabkan kadarandrogen dan estrogen dalam plasma yang abnormal yang berakibat pada gangguan pada aksis. Sex Hormone Binding Globuline (SBHG) berperan dalam regulasibioavabilitas kadar hormon (Kyrou, 2010).

43

Berdasarkan hasil penelitian dari 3 responden yang mempunyai indeks massa tubuh obese sebagian besar mengalami siklus menstruasi tidak normal yaitu sebanyak 2 orang (66,6%). Agrawal (2012) pada penelitiannya mendapati siklus memanjang (>35 hari) pada indeks massa tubuh obesitas sebesar 10%, 6% indeks massa tubuh lebih, dan 2% dari indeks massa tubuh normal mengalami siklus memendek (>21 hari). Hasil penelitian ini sejalan dengan Prismatuti (2012) mendapati obese memiliki resiko 3,5 kali lipat.

Persen lemak tubuh tinggi menyebabkan peningkatan produksi androstenedoin yang merupakan androgen yang berfungsi sebagai precursor hormon reproduksi. Sehingga, semakin banyak persentase jaringan lemak tubuh, semakin banyak pula esterogen yang terbentuk yang kemudian dapat mengganggu keseimbangan hormon (Rakhmawati, 2012).

Kondisi kegemukan berkaitan dengan proses perubahan androgen menjadi estrogen (Waryana, 2010). Makanan yang bergizi tinggi dan berlemak tinggi akan mengakibatkan pertambahan berat badan pada perempuan remaja. Kolestrol yang terdapat pada lemak tubuh yang berlebihan merupakan prekorsur dari esterogen sehingga produksi esterogen cenderung berlebihan. Dengan begitu, kadar estrogen dalam darah akan meningkat akibat kolestrol tinggi (Wiknjosastro, 2009).

Perempuan dengan berat badan berlebih dan memiliki gangguan siklus menstruasi dapat melakukan program penurunan berat badan untuk menormalkan siklus menstruasinya. Penurunan berat badan ±10% menunjukkan adanya perbaikan profil hormon yang dapat menurunkan resiko

44

gangguan siklus menstruasi (Norman, 2012). Sedangkan perempuan dengan berat badan kurang dianjurkan untuk melakukan program peningkatan berat badan sampai mencapai ideal. Selain itu memperbaiki kualitas dan kuantitas asupan makanan merupakan tindakan untuk meningkatkan fungsi reproduksi kedepannya (Paath et al, 2005).

3. Keterbatasan Penelitian

1. Kuesioner penelitian untuk siklus menstruasi tidak dilakukan pemantauan siklus menstruasi secara berturut serta pada kuesioner tidak dilampirkan pertanyaan mengenai jumlah darah yang seharusnya menjadi indikator keteraturan siklus menstruasi.

2. Frekuensi status gizi pada sampel penelitian tidak proporsional antara status gizi normal dan tidak normal

3. Alat ukur untuk tinggi badan pada penelitian menggunakan pita meteran, seharusnya alat pengukur tinggi badan yang digunakan yaitu microtoise

45

Dokumen terkait