• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pembahasan

Setelah dilakukan analisis terhadap kondisi lingkungan perairan di daerah Cianjur dan Rancabungur didapat data bahwa adanya perbedaan nilai suhu air kolam di daerah Cianjur dan Rancabungur dapat disebabkan karena adanya perbedaan ketinggian tempat dan tekanan udara diantara kedua lokasi tersebut, yaitu daerah Cianjur memiliki ketinggian 800 mdpl (di atas permukaan laut) dengan tekanan udara sebesar 0,8993 atm dan daerah Rancabungur memiliki ketinggian 300 mdpl (diatas permukaan laut) dengan tekanan udara sebesar 0,9622 atm (Santosa 2012). Menurut Goldman dan Horne (1983) bahwa suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), lama penyinaran matahari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan kedalaman perairan. Suhu di daerah Cianjur lebih rendah dibandingkan dengan di daerah Rancabungur karena lokasi Cianjur lebih tinggi daripada Rancabungur. Semakin bertambah ketinggian suatu tempat, semakin rendah suhu dan tekanan udara (Santosa 2011). Nilai suhu air kolam di daerah Cianjur sebesar dan di daerah Rancabungur masih termasuk dalam kisaran suhu yang optimal untuk pertumbuhan ikan lele sangkuriang. Menurut Amri dan Khairuman (2008), ikan lele sangkuriang dapat dipelihara pada suhu air 22-32 oC.

Perbedaan pada nilai DO juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat yang berbeda antara daerah Cianjur dan Rancabungur. Nilai DO di daerah Cianjur lebih kecil dibandingkan dengan daerah Rancabungur. Hal ini dapat disebabkan daerah Cianjur memiliki tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Rancabungur dan kondisi kolam di Cianjur tertutup oleh atap sehingga intensitas cahaya yang masuk sedikit. Menurut Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003) bahwa dengan adanya peningkatan suhu dan ketinggian (altitude) menyebabkan tekanan atmosfer semakin kecil, sehingga kadar oksigen terlarut menurun. Pengambilan sampel DO pada kedua lokasi dilakukan pada setiap pukul 10.00 WIB saat proses fotosintesis telah berlangsung dan kondisi cuaca yang cerah. Nilai DO pada kedua lokasi tersebut tergolong rendah. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi air kolam yang keruh, tetapi nilai DO tersebut masih berada di dalam kisaran optimal untuk ikan lele sangkuriang karena menurut Amri dan Khairuman (2008),

ikan lele sangkuriang dapat bertahan hidup pada kondisi kandungan DO sebesar >1mg/l.

Nilai pH air kolam di daerah Cianjur dan Rancabungur tidak menunjukkan adanya perbedaan. Nilai pH air tersebut masih dalam batas normal karena menurut Amri dan Khairuman (2008), ikan lele sangkuriang dapat dipelihara pada kondisi pH air 6-9. Menurut Wetzel (2001), pH berhubungan dengan konsentrasi karbondioksida di perairan, jika konsentrasi karbondioksida tinggi di perairan maka dapat menurunkan pH air karena akan terbentuk asam karbonat. Secara umum perubahan pH harian dipengaruhi oleh suhu, oksigen terlarut, fotosintesis, respirasi organisme, sisa pakan dan kotoran, serta keberadaan ion dalam perairan (Welch 1952).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa nilai rata-rata suhu dan DO air kolam di daerah Cianjur lebih tinggi daripada di daerah Rancabungur, tetapi nilai rata-rata pH air kolam di daerah Cianjur lebih rendah daripada di daerah Rancabungur. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan ketinggian tempat sehingga mempengaruhi nilai suhu, DO, dan pH pada kedua lokasi tersebut. Hubungan antara suhu, DO dan pH pada suatu perairan, yaitu semakin tinggi suhu air maka nilai DO semakin kecil, begitu pula semakin besar ketinggian tempat (altitude), serta semakin kecil tekanan atmosfer maka nilai DO juga semakin kecil.

Parameter kualitas lingkungan dapat berpengaruh terhadap kondisi habitat dan proses reproduksi pada ikan. Pada penelitian ini digunakan sampel berupa ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur dan daerah Rancabungur yang merupakan indukan ikan lele sangkuriang jantan yang sudah matang gonad karena memiliki bobot lebih dari 500 g dan masa pemeliharaan lebih dari 1 tahun. Menurut Suyanto (1999), lele sangkuriang mulai dapat dijadikan induk pada umur 8-9 bulan dengan bobot minimal 500 g dengan panjang 30-35 cm. Pada umur 9 bulan, spermatozoa pada indukan ikan lele jantan telah terbentuk dan ikan akan siap memijah pada umur 1 tahun. Tingkat kematangan gonad tersebut dipengaruhi oleh kondisi genetik ikan dan kandungan nutrisi pada pakan (Cek & Yilmaz 2005).

Bobot dan panjang ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur lebih kecil dibandingkan dengan bobot dan panjang ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Rancabungur. Adanya perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh

faktor perbedaan masa pemeliharaan, ukuran benih saat pertama kali ditebar, jumlah pakan, serta komposisi kandungan pakan yang yang diberikan. Indukan ikan lele sangkuriang di daerah Cianjur dipelihara selama 1-1,5 tahun dan ukuran benih yang ditebar yaitu 5-7 cm dan banyaknya pakan yang diberikan, yaitu 10 kg setiap pagi, siang dan malam hari, sedangkan indukan ikan lele sangkuriang di daerah Rancabungur dipelihara lebih lama, yaitu 1,5-2 tahun dan ukuran benih yang ditebar yaitu 7-8 cm dan pemberian pakan yang tidak ditentukan per harinya.

Faktor lain yang menyebabkan adanya perbedaan kondisi ikan lele sangkuriang pada kedua lokasi adalah faktor kondisi lingkungan yang berbeda antara di daerah Cianjur dan Rancabungur sehingga memiliki kualitas lingkungan perairan yang berbeda. Sumber air di BPPPU Cianjur terkadang terkontaminasi pestisida yang digunakan petani untuk sayuran. Hal ini diduga dapat mempengaruhi reproduksi pada ikan lele sangkuriang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pestisida merupakan bahan kimia yang bersifat toksik dan dapat mengganggu kerja hormon dan enzim pada organisme akuatik. Selain itu juga dapat mengganggu fisiologis, pertumbuhan, dan reproduksi pada ikan sehingga dapat menyebabkan perkembangan seksual yang abnormal. Beberapa jenis pestisida, seperti organochlorine dapat menyebabkan kerusakan pada testis ikan karena menyerang hormone steroid dan endokrin sehingga perkembangan testis akan terganggu (Khan & Law 2005).

Analisis terhadap bobot gonad sebelah kanan dan kiri ikan lele sangkuriang menunjukkan nilai yang tidak berbeda antara ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur dan daerah Rancabungur (Mann-Whitney/p>0,05). Hal ini dapat disebabkan karena ikan lele sangkuriang pada kedua lokasi tersebut merupakan ukuran ikan yang sudah mengalami matang gonad sehingga ukuran gonad tidak berkembang lagi. Ukuran bobot gonad dapat dipengaruhi oleh bobot tubuh. Menurut Affandi dan Tang (2004), umumnya pertambahan bobot gonad pada ikan jantan 5-10 % dari bobot tubuh. Faktor-faktor yang mendukung perkembangan gonad ikan dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti suhu, makanan, periode cahaya, musim, dan proses hormonal (Affandi & Tang 2004).

Berdasarkan hasil analisis sampel, kondisi morfologi gonad ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Rancabungur mengalami bentuk yang tidak

simetris karena salah satu gonad memiliki ukuran yang jauh lebih besar (abnormal) sehingga berpengaruh terhadap semen yang menyebabkan berwarna putih keruh, konsistensi yang sedang, dan nilai konsentrasi sel spermatozoa yang lebih kecil, sehingga dapat berpengaruh pada kualitas spermatozoa ikan lele sangkuriang tersebut dalam keberhasian fertilisasi. Kondisi gonad yang abnormal tersebut diduga dapat disebabkan oleh penyakit, kondisi lingkungan perairan yang tercemar, kualitas pakan yang rendah, dan hal manajemen budidaya yang tidak optimal sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan gonad ikan yang tidak normal.

Setelah dilakukan analisis terhadap kondisi ikan lele sangkuriang pada kedua lokasi, kemudian dilakukan pengamatan kualitas semen ikan lele sangkuriang berupa pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis dan untuk mendapatkan semen segar harus dilakukan pembedahan terhadap ikan lele sangkuriang jantan. Hal ini karena testes ikan lele berada di belakang usus dan tertutup oleh lemak dan saat dilakukan pengurutan pada bagian abdomen, cairan semen tidak dapat keluar (Kamaruding et al. 2012).

Pengamatan secara makroskopis meliputi nilai pH, volume, konsistensi, dan warna semen. Nilai pH semen pada gonad sebelah kanan dan kiri antara ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur dan daerah Rancabungur tidak berbeda, yaitu berkisar antara 7,0 sampai 8,0. Hasil penelitian oleh Lutfi (2009) pada ikan lele dumbo mendapatkan nilai pH semen sebesar 8,0 dan cenderung bersifat basa. Menurut Toelihere (1985) metabolisme spermatozoa dalam keadaan anaerobik akan menghasilkan asam laktat yang bertimbun dan meninggikan derajat keasaman atau menurunkan pH semen. Adanya penurunan nilai pH semen akibat pengenceran dapat meningkatkan motilitas spermatozoa karena adanya produksi muatan proton (H+) yang memberikan manfaat dalam pembentukan ATP (Perchec et al. 1995 in Hamamah & Gatti 1998).

Warna semen ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur, baik gonad sebelah kanan maupun kiri berwarna putih susu, sedangkan warna semen ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Rancabungur, baik gonad sebelah kanan maupun kiri berwarna putih keruh-putih susu. Konsistensi semen ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur, baik gonad sebelah kanan maupun

kiri memliki konsistensi yang kental, sedangkan warna semen ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Rancabungur, baik gonad sebelah kanan maupun kiri memiliki konsistensi sedang-kental. Warna, konsistensi, dan konsentrasi mempunyai hubungan erat satu sama lain. Semakin encer semen, maka konsentrasi spermatozoa akan rendah dan warna semen semakin pucat. Konsistensi semen tergantung pada perbandingan spermatozoa dan cairan plasma.

Pengamatan secara mikroskopis meliputi lama motil, motilitas, dan konsentrasi spermatozoa. Gerakan merupakan cerminan dari motilitas spermatozoa. Gerakan individu yang progresif inilah yang akan menyebabkan spermatozoa akan cepat bertemu dengan sel telur betina. Menurut Fauvel et al. (2010), penentuan kualitas spermatozoa dapat dilihat dari persentase spermatozoa yang motil dan lamanya motil yang merupakan periode dari setiap gerakan progresif spermatozoa sampai pergerakannya berhenti.

Spermatozoa akan tahan hidup lama pada pH 7,0 dan tetap motil dalam waktu lama pada media isotonik darah (Toelihere 1985). Lamanya spermatozoa motil dipengaruhi oleh umur dan kematangan spermatozoa, temperatur dan faktor-faktor lingkungan (fisika dan kimia), seperti ion-ion, pH, tekanan osmotik, elektrolit dan non-elektrolit. Persentase motil merupakan nilai estimasi yang menggambarkan gerakan spermatozoa dan berhubungan dengan kapasitas atau kemampuan dalam fertilisasi dan ketersediaan energi dalam bentuk ATP (Suquet et al. 2000).

Saat ini, studi mengenai motilitas spermatozoa ikan masih sangat terbatas, padahal motilitas spermatozoa merupakan parameter kunci dalam menentukan kualitas semen (Alavi & Cosson 2005). Selain itu, lamanya waktu yang dibutuhkan mulai dari spermatozoa aktif sampai berhenti bergerak dan persentase spermatozoa motil juga berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa dalam keberhasilan fertilsasi (Billard 1986 in Alavi & Cosson 2005). Lamanya motilitas dan kecepatan spermatozoa juga bergantung pada suhu. Apabila suhu tinggi maka kecepatan bergerak dan metabolisme spermatozoa juga akan tinggi sehingga durasi motilitas akan menjadi singkat karena sumber energi spermatozoa terbatas, sebaliknya jika suhu rendah maka kecepatan bergerak dan metabolisme spermatozoa menjadi lambat sehingga durasi motilitas bisa bertahan lebih lama (Schlenk & Kahmann in

Konsentrasi spermatozoa penting untuk diketahui karena hal ini sebagai kriteria penentu kualitas semen (Toelihere 1985). Perhitungan konsentrasi spermatozoa yang sering digunakan, yaitu dihitung dari banyaknya sel speozoarmat/ml (Rurangwa et al. 2003). Semakin encer semen ikan, maka kadar sodium yang terdapat dalam semen semakin tinggi sehingga motilitas dan fertilitas spermatozoa akan semakin tinggi (Aas et al. 1991 in Affandi & Tang 2004). Sebaliknya, konsentrasi spermatozoa yang tinggi dapat menghambat aktifitas spermatozoa karena berkurangnya daya gerak sehngga spermatozoa sukar menemukan atau menembus mikrofil sel telur yang mengakibatkan rendahnya fertilitas (Gwo et al. 1991 in Affandi & Tang 2004). Hal ini didukung oleh pernyataan Geffen dan Maxwell (2000) in Rurangwa et al. (2003) bahwa konsentrasi spermatozoa yang tinggi tidak selalu memberikan tingkat motilitas dan fertilisasi yang tinggi pula sehingga dalam pemijahan buatan sebaiknya dilakukan pengenceran terhadap semen ikan yang memiliki konsistensi yang kental dan konsentrasi yang tinggi agar tingkat fertilisasi dapat meningkat.

Spermatozoa tidak bergerak di dalam cairan seminal plasma dan akan bergerak aktif jika bersentuhan dengan air (Billard 1986 in Alavi & Cosson 2005) sehingga untuk mengamati motilitas spermatozoa ikan harus di teteskan air untuk mengaktivasi spermatozoa. Berdasarkan hasil pengamatan, ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur memiliki persentase motil sebesar 83,89-85 % dan dapat bertahan hidup dalam waktu 28,85-35,82 detik, sedangkan ikan lele sangkuriang yang berasal dari kolam budidaya di daerah Rancabungur memiliki persentase motil sebesar 85 % dan dapat bertahan hidup dalam waktu 24,19 – 33,01 detik. Pada ikan air tawar, spermatozoa hanya mampu bertahan selama kurang dari 2 menit. Hal ini berbeda dengan spermatozoa ikan air laut yang mampu bertahan selama 1-2 jam setelah bersentuhan dengan air (Affandi & Tang 2004).

Pengamatan juga dilakukan terhadap morfologi dan morfometri spermatozoa. Pada umumnya kepala spermatozoa yang berbentuk nyaris bulat atau oval sempurna, dengan kondisi ekor yang tidak menggulung dapat dikatakan normal, tetapi dari hasil pengamatan pada preparat ditemukan banyak ekor yang menggulung. Hal ini diduga karena putusnya sebagian ekor spermatozoa yang disebabkan oleh proses sentrifugasi yang bertujuan untuk memisahkan fase padatan

dan cairan. Inti spermatozoa terdapat pada bagian kepala yang membawa materi keturunan paternal, sedangkan ekor berperan sebagai alat penggerak (Affandi & Tang 2004). Morfologi sperma memiliki hubungan dengan kemampuan pergerakan spermatozoa dalam membuahi sel telur, yaitu terkait bentuk kepala serta panjang atau pendeknya ekor (Tuset et al. 2008 in Fauvel et al. 2010).

Secara morfologi, spermatozoa pada hewan mempunyai pola dasar yang sama, namun terdapat perbedaan-perbedaan tertentu yang menjadi karakteristik bentuk spermatozoa pada masing-masing spesies. Morfologi spermatozoa memiliki korelasi dengan fertilitas sehingga keberadaan spermatozoa abnormal akan berpengaruh terhadap kemampuan sel spermatozoa untuk membuahi sel telur (Barth & Oko 1989).

Menurut Barth dan Oko (1989), permukaan spermatozoa dibungkus oleh suatu membran lipoprotein. Apabila sel tersebut mati maka permeabilitas sel akan meningkat terutama di daerah pangkal kepala. Hal ini dijadikan dasar pewarnaan spermatozoa untuk membedakan spermatozoa hidup dan spermatozoa mati berdasarkan kemampuan zat warna untuk menembus membran sel yang rusak. Sel spermatozoa dapat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh mutasi gen, kontaminasi zat kimia dan bahan cryoprotectant untuk pengawetan (Fauvel et al.

2010).

Morfometri spermatozoa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu teknik fiksasi, teknik pewarnaan, handling semen, kualitas mikroskop dan ketrampilan personal (Toelihere 1981). Spermatozoa dengan ukuran ekor, midpiece (bagian tengah) dan kepala yang panjang akan mempunyai kecepatan bergerak yang tinggi (Malo et al. 2006 in Sopinka 2010). Menurut Humpries et al. (2008) in Sopinka (2010), perbandingan antara panjang ekor dan diameter kepala merupakan hubungan yang sesuai untuk mempelajari korelasi antara morfologi spermatozoa dan motilitas pada pembuahan eksternal, seperti yang terjadi pada ikan.

Dokumen terkait