• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Aspek Reproduksi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Jantan yang Dipelihara pada Kondisi Lingkungan Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Aspek Reproduksi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Jantan yang Dipelihara pada Kondisi Lingkungan Berbeda"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

KONDISI LINGKUNGAN BERBEDA

NIDYA KARTINI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Kajian Aspek Reproduksi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Jantan yang Dipelihara pada Kondisi Lingkungan Berbeda.

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

(3)

Nidya Kartini. C24080007. Kajian Aspek Reproduksi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Jantan yang Dipelihara pada Kondisi Lingkungan Berbeda. Di bawah bimbingan M. Mukhlis Kamal dan R. Iis Arifiantini.

Ikan merupakan salah satu organisme akuatik yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan akuatik, seperti suhu, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO), pH, ketinggian tempat, serta ketersediaan makanan dan predator yang dapat memengaruhi proses biologi, termasuk reproduksi. Ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) merupakan strain baru dari ikan lele dumbo yang dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi air tawar dengan produksi yang cukup tinggi. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan reproduksi ikan lele sangkuriang adalah kualitas spermatozoa ikan lele sangkuriang tersebut agar fertilisasi berlangsung optimal. Penelitian mengenai spermatozoa ikan pada ketinggian tempat yang berbeda belum banyak dilakukan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai kajian reproduksi sehingga informasi tersebut dapat berguna dalam pengembangan budidaya dan produksi perikanan untuk masa yang akan datang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kualitas spermatozoa ikan lele sangkuriang pada lingkungan yang berbeda melalui penelaahan terhadap karakteristik spermatozoa meliputi volume, warna, konsistensi, konsentrasi, pH, motilitas, morfologi, dan morfometri sperma ikan melalui teknik pewarnaan.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2012 di Balai Pelestarian Perikanan Perairan Umum (BPPPU) Ciherang, Cianjur dengan ketinggian 800 meter dpl dan kolam budidaya di daerah Rancabungur, Kabupaten Bogor dengan ketinggian 300 meter dpl. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi dan Reproduksi (URR), Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran Hewan.

(4)

Rancabungur sebesar 7,44 ± 0,28, sedangkan nilai pH semen pada gonad sebelah kiri ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur sebesar 7,23 ± 0,27 dan yang berasal dari daerah Rancabungur sebesar 7,47 ± 0,27. Volume semen pada gonad sebelah kanan ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur sebesar 0,19 ± 0,26 ml dan yang berasal dari daerah Rancabungur sebesar 0,13 ± 0,19 ml, sedangkan nilai volume semen pada gonad sebelah kiri ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur sebesar 0,37 ± 0,52 ml dan yang berasal dari daerah Rancabungur sebesar 0,42 ± 0,79 ml.

Nilai motilitas spermatozoa pada gonad sebelah kanan ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur sebesar 28,85 ± 8,66 detik (84,44 ± 1,67 %) dan yang berasal dari daerah Rancabungur sebesar 33,01 ± 15,75 detik (85 ± 0 %), sedangkan nilai motilitas spermatozoa pada gonad sebelah kiri ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur sebesar 35,82 ± 13,44 detik (83,89 ± 2,20 %) dan yang berasal dari daerah Rancabungur sebesar 24,19 ± 9,61 detik (85 ± 0 %). Nilai konsentrasi spermatozoa pada gonad sebelah kanan ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur sebesar 27,15 ± 12,84 x 109 ml-1 dan Rancabungur sebesar 23,03 ± 15,95 ml-1, sedangkan nilai konsentrasi spermatozoa ikan lele sangkuriang pada gonad sebelah kiri didaerah Cianjur sebesar 27,70 ± 11,52x 109 ml-1 dan Rancabungur sebesar 22,49 ± 9,74 x 109 ml-1

Setelah dilakukan uji lanjut pada SK 95% ternyata nilai pH semen, volume semen, lama motil, motilitas dan konsentrasi spermatozoa ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur dan Rancabungur tidak berbeda nyata. Struktur morfologi spermatozoa ikan lele sangkuriang, baik yang berasal dari daerah Cianjur maupun Rancabungur memiliki bentuk kepala agak bulat dengan ekor yang tipis dan panjang. Diameter kepala spermatozoa ikan lele sangkuriang tidak jauh berbeda antara kedua lokasi pengambilan yaitu 2,28 ± 0,07 µm (Cianjur) dan 2,24 ± 0,07µm (Rancabungur) demikian juga dengan panjang ekor, yaitu 50,94 ± 2,53 µm (Cianjur) dan 49,51 ± 3,06 µm (Rancabungur).

Aplikasi pengelolaan perikanan yang dapat diterapkan dari penelitian ini adalah data kualitas semen ikan, terutama persentase dan lama spermatozoa motil dapat memberikan informasi dasar untuk keberhasilan dalam melakukan proses

cryopreservasi, studi reproduksi dalam proses recruitment dan digunakan sebagai penentuan sex ratio antara spermatozoa dan sel telur sehingga bisa menghasilkan jumlah benih yang optimal untuk produksi sektor perikanan di masa yang akan datang.

(5)

KONDISI LINGKUNGAN BERBEDA

NIDYA KARTINI C24080007

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Kajian Aspek Reproduksi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Jantan yang Dipelihara Pada Kondisi Lingkungan Berbeda.

Nama Mahasiswa : Nidya Kartini

NIM : C24080007

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. Prof. Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si.

NIP. 132084932 NIP. 19600804 198103 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP. 19660728 199103 1 002

(7)

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Aspek Reproduksi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Jantan yang Dipelihara pada Kondisi Lingkungan Berbeda” yang disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari 2012. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan ini merupakan pengkajian terhadap kualitas semen ikan lele sangkuriang jantan pada dua lokasi yang memiliki ketinggian tempat dan kondisi

lingkungan yang berbeda. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, September 2012

(8)

Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. selaku dosen pembimbing I dan Prof. Dr. Dra.

R. Iis Arifiantini, M.Si. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, serta bantuan moril dan materi dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Achmad

Fahrudin, M.Si. selaku dosen penguji program studi yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, arahan, dan perbaikan.

3. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. selaku ketua komisi pendidikan yang telah

memberikan masukan, saran, nasehat, dan perbaikan.

4. Prof. Dr. Ir. Djamar Tumpal F. Lumbanbatu, M.Agr. selaku dosen pembimbing

akademik atas arahan, motivasi, dan nasehat selama perkuliahan.

5. Keluarga tercinta, papa (Amsir Tayib, SH), mama (Hj. Suryati, S.Pd), abang

(Agita Rinaldi Nugraha), Devi Aida Meilani, Gilang Januar Nugraha, serta keluarga besar H.M. Tayib dan H. Danuar atas doa, motivasi, bantuan, pengorbanan, keikhlasan, nasehat, dan kasih sayangnya.

6. Bapak Pieter (BPPPU Ciherang, Cianjur), Bapak H.Nokh (Pemilik kolam

budidaya di daerah Rancabungur), Bapak Bondan (Teknisi Lab. URR) atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian.

7. Mbak Widar dan seluruh staf Tata Usaha MSP yang telah membantu

memperlancar proses administrasi penelitian dan penyusunan skripsi.

8. Lella Herdiana sebagai partner penelitian atas kerjasama, bantuan, dan motivasi

selama penelitian.

9. Teman-teman MSP 45, khususnya: Ria, Rina, Echa, Dea, Putu, Kak Donny,

Yuli, Dissil, Rena, dan Ayu Siti atas perhatian, motivasi, dan nasehatnya.

10. Kakak-kakak MSP 44, adik-adik MSP 46, tim asisten Ekologi Perairan dan

Fisiologi Hewan Air, serta teman-teman Wisma Seroja atas doa, dukungan, dan semangatnya selama ini.

(9)

Penulis dilahirkan di Jambi, 21 April 1990 dari pasangan Bapak Amsir Tayib, SH dan Ibu Hj. Suryati, S.Pd. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh yaitu TK Adhyaksa I Kota Jambi (1995-1996), SD Adhyaksa I Kota Jambi (1996-2002). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan formal di SMP Negeri 11 Kota Jambi (2002-2005) dan SMA Negeri 4 Kota Jambi (2005-2008). Pada tahun 2008, penulis lulus seleksi masuk ke perguruan tinggi, yaitu Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya

Perairan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota divisi Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) (2009/2010), anggota divisi Advokasi dan Keilmuan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) (2010/2011). Selain itu penulis juga aktif mengikuti kegiatan di luar kampus, yaitu sebagai anggota divisi Akademik Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA) (2009/2010), anggota divisi Kesekretariatan Kongres Nasional X Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI) (2010/2011), serta aktif mengikuti berbagai macam kepanitiaan. Penulis berkesempatan menjadi asisten luar biasa mata kuliah Ekologi Perairan (2009/2010), asisten mata kuliah Fisiologi Hewan Air (2010/2011 dan 2011/2012).

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Kajian Aspek Reproduksi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Jantan yang Dipelihara pada Kondisi

(10)

x

2.2.3. Morfologi spermatozoa ... 7

2.2.4. Morfometri spermatozoa ... 8

2.2.5. Teknik pewarnaan ... 9

2.3 Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Reproduksi Ikan ... 9

2.3.1. Tekanan udara ... 9

2.3.2. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) ... 10

2.3.3. pH ... 10

2.3.4. Suhu ... 11

2.4. Kualitas Spermatozoa ... 11

2.4.1. Karakteristik spermatozoa ... 11

2.4.2. Biokimiawi semen ... 13

3.2.2.1. Motilitas spermatozoa ... 15

3.2.2.2. Konsentrasi spermatozoa ... 15

3.2.2.3. Morfologi dan morfometri ... 16

(11)

xi

3.2.4.2. Uji parametrik (Uji-t) ... 17

3.2.4.3. Uji non-parametrik (Uji Mann-Whitney) ... 17

3.2.4.4. Konsentrasi spermatozoa ... 18

3.2.4.5. Morfometri spermatozoa ... 18

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... 19

4.1.1 Kondisi umum lokasi penelitian ... 19

4.1.1.1. Ciherang, Cianjur ... 19

4.1.1.2. Rancabungur, Kabupaten Bogor ... 20

4.1.2. Kualitas lingkungan perairan ... 21

4.1.3. Kondisi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) ... 22

4.1.4. Karakteristik semen ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) secara makroskopis ... 23

4.1.5. Karakteristik semen ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) secara mikroskopis ... 24

4.1.6. Morfologi spermatozoa ... 25

4.1.7. Morfometri spermatozoa ... 25

4.1.8. Aplikasi pengelolaan ... 26

4.2. Pembahasan... 27

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 34

5.2. Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

(12)

xii

Halaman

1. Kualitas lingkungan kolam budidaya lele sangkuriang

(Clarias gariepinus) ... 21 2. Kondisi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) ... 22 3. Karakteristik semen ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) secara

makroskopis ... 23 4. Karakteristik semen ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) secara

mikroskopis ... 24

(13)

xiii

Halaman

1. Skema perumusan masalah sumberdaya ikan lele sangkuriang ... 2

2. Ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) ... 4

3. Proses pembentukan spermatozoa pada ikan jantan ... 6

4. Morfologi spermatozoa ... 7

5. Peta lokasi penelitian ... . 14

6. Kondisi kolam ikan lele sangkuriang di BPPPU Ciherang, Cianjur ... 19

7. Kondisi kolam ikan lele sangkuriang di kolam budidaya Rancabungur ... 21

(14)

xiv

Halaman

1. Nilai tekanan udara pada ketinggian tempat tertentu ... 38

2. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ... 39

3. Skema pembuatan preparat dengan pewarnaan Williams ... 42

4. Gonad ikan lele sangkuriang (Cianjur) ... 43

5. Gonad ikan lele sangkuriang (Rancabungur) ... 44

6. Karakteristik semen ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) secara makroskopis ... 45

7. Karakteristik semen ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) secara mikroskopis ... 46

8. Uji normalitas (Uji Kolmogorov-Smirnov) ... 47

9. Uji non-parametrik (Uji Mann-Whitney) ... 48

10. Uji parametrik (Uji-t) ... 50

(15)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan merupakan salah satu organisme akuatik yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan akuatik, baik faktor fisika, kimia dan biologi, seperti suhu, DO, pH, ketinggian tempat tertentu, ketersediaan makanan, dan predator yang dapat memengaruhi proses biologi pada ikan, termasuk reproduksi dan pertumbuhan karena setiap spesies mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda. Selain faktor eksternal (kondisi lingkungan), proses reproduksi pada ikan juga dapat dipengaruhi oleh faktor internal (kondisi hewan jantan). Kondisi gamet ikan yang dipelihara di dataran tinggi akan berbeda dengan di dataran rendah karena adanya perbedaan kondisi lingkungan.

Ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) termasuk salah satu jenis ikan ekonomis yang dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi air tawar dengan produksi yang cukup tinggi dan digemari masyarakat. Ikan ini merupakan hasil perbaikan genetik dari ikan lele dumbo yang dikembangkan oleh BBPBAT (Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar) Sukabumi. Saat ini budidaya lele sangkuriang berkembang pesat karena dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas

dengan padat tebar tinggi, teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, dan pemasarannya relatif mudah (Indonesian aquaculture 2010).

(16)

berguna dalam pengembangan budidaya dan produksi perikanan untuk masa yang akan datang.

1.2. Perumusan Masalah

Spermatozoa ikan yang normal dan fertil sangat diperlukan dalam proses pemijahan untuk menghasilkan keturunan sehingga pengetahuan mengenai morfologi dan morfometri spermatozoa ikan menjadi penting. Hal ini terkait dengan kualitas dan kuantitas spermatozoa yang dihasilkan oleh induk jantan. Keberhasilan fertilisasi dapat dilihat dari kemampuan ikan dalam menghasilkan spermatozoa terkait volume, konsentrasi spermatozoa, motilitas, serta persentase spermatozoa yang normal.

Spermatozoa ikan lele dumbo memiliki kisaran motilitas sebesar 70%-85% dan konsentrasi spermatozoa sebesar 3,48 x 109 – 20,55 x 109 /ml (Iromo 2006).

Pada ikan lele sangkuriang belum dilakukan penelitian terhadap motilitas, konsentrasi dan karakteristik spermatozoa lainnnya. Oleh karena itu perlu dilakukan studi mengenai morfologi dan morfometri spermatozoa terkait proses fertilisasi pada ikan lele sangkuriang yang merupakan perbaikan genetik dari ikan lele dumbo.

(17)

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kualitas spermatozoa ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) pada lingkungan yang berbeda melalui penelaahan terhadap karakteristik spermatozoa meliputi volume, konsistensi, konsentrasi, pH, warna, lama motil, motilitas, serta morfologi dan morfometri spermatozoa ikan lele sangkuriang melalui teknik pewarnaan.

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui potensi reproduksi ikan lele

(18)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus)

Menurut ww.fishbase.org klasifikasi ikan lele sangkuriang adalah sebagai berikut:

Class : Actinopterygii Ordo : Siluriformes Sub Ordo : Siluroidea Family : Clariidae Genus : Clarias

Spesies : Clarias gariepinus

Nama Sinonim : Silurus gariepinus

Nama Umum : Lele Sangkuriang

Nama Lokal : Ikan Maut (Aceh); Ikan Kalang (Sumatera Barat); Ikan Keling (Makassar)

Secara umum morfologi ikan lele sangkuriang tidak memiliki banyak perbedaan dengan lele dumbo yang selama ini banyak dibudidayakan. Hal tersebut dikarenakan lele sangkuriang merupakan hasil persilangan dari induk lele dumbo. Morfologi ikan lele sangkuriang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus)

(19)

memperbaiki kualitas ikan lele dumbo yang mengalami penurunan. Ikan lele betina keturunan kedua yang merupakan lele dumbo asli dari Afrika Selatan (F2) dikawinkan dengan ikan lele jantan keturunan keenam (F6) yang merupakan sediaan induk yang ada di BBPBAT Sukabumi, sehingga anakan yang dihasilkan kemudian dinamakan Lele Sangkuriang (Amri & Khairuman 2008).

Tubuh ikan lele sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit licin, berlendir, dan tidak bersisik. Bentuk kepala menggepeng (depress) dengan mulut yang relatif lebar, dan mempunyai empat pasang sungut. Ikan lele sangkuriang memiliki tiga sirip tunggal, yaitu sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur. Pada sirip dada dijumpai sepasang patil atau duri keras yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri dan dapat dipakai untuk berjalan di permukaan tanah atau pematang. Pada bagian atas ruangan rongga insang terdapat alat pernapasan tambahan (organ arborescent) berbentuk seperti batang pohon yang penuh dengan kapiler-kapiler darah untuk membantu mengikat oksigen dari udara (Najiyati 1992). Mulutnya terdapat di bagian ujung dan terdapat empat pasang sungut. Insangnya berukuran kecil dan terletak pada kepala bagian belakang. Ikan lele mempunyai kebiasaan makan di dasar perairan dan bersifat karnivora dan kanibal, yaitu memangsa jenisnya sendiri jika kekurangan jumlah pakan dan lambat memberikan pakan (Najiyati 1992).

Ikan lele pertama kali matang gonad pada ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran bobot tubuh 100 sampai 200 gram (Suyanto 1986). Tingkat kematangan gonad tersebut dipengaruhi oleh kondisi genetik ikan dan kandungan nutrisi pada pakan (Cek & Yilmaz 2005).

(20)

2.2. Reproduksi Ikan 2.2.1. Organ reproduksi

Organ reproduksi ikan jantan terdiri dari sepasang testis, seminal vesikel, dan saluran-saluran spermatozoa (Affandi & Tang 2004). Testis ikan berbentuk memanjang dalam rongga badan dan terletak di bawah gelembung renang, di atas usus. Biasanya ikan memiliki sepasang testis, dapat berukuran sama panjang dan ada pula yang berukuran lebih panjang dari yang lain. Di sekitar dinding rongga (lumina) terdapat spermatogonia (calon spermatozoa) yang nantinya akan berkembang menjadi spermatozoa melalui proses yang disebut spermatogenesis. Spermatositogenesis adalah proses perkembangan spermatozoa yang dimulai dari pembelahan sel spermatogonia membelah secara mitosis berkali-kali sampai menjadi spermatosit primer, selanjutnya dengan beberapa pembelahan lagi menjadi spermatosit sekunder. Hasil dari pembelahan spermatosit sekunder menjadi spermatid yang akan bermetamorfosis menjadi gamet yang dapat bergerak aktif disebut sebagai spermatozoa. Proses metamorfosis dari spermatid tersebut disebut sebagai spermiogenesis (Salisbury & Van Denmark 1961). Proses pembentukan spermatozoa pada ikan jantan dapat dilihat pada Gambar 3.

(21)

Kapasitas produksi spermatozoa oleh testis sudah ditentukan terlebih dahulu oleh faktor keturunan dari setiap spesies. Selama hidup hewan tersebut, produksi spermatozoa dikendalikan oleh kelenjar hipofisa dan faktor-faktor lain yang memengaruhi testis secara tidak langsung melalui kelenjar hipofisa tersebut (Toelihere 1981).

2.2.2. Spermatozoa

Spermatozoa berada dalam larutan seminal dan dihasilkan oleh testis, atau salah satu bagian dari alat reproduksi ikan. Spermatozoa ikan tergolong dalam tipe

flagellate karena mempunyai ekor flagellate yang panjang. Spermatozoa yang sudah matang terdiri dari kepala, leher, dan ekor flagellate. Inti spermatozoa terdapat pada bagian kepala. Pada saat dikeluarkan dari alat kelamin jantan, spermatozoa berada dalam seminal plasma (Salisbury & Van Denmark 1961). Inti spermatozoa terdapat pada bagian kepala, sedangkan ekor berguna sebagai organ untuk membantu bergerak maju. Panjang pendeknya ukuran ekor spermatozoa menentukan keaktifan spermatozoa dalam bergerak. Semakin panjang ekor spermatozoa, maka semakin aktif spermatozoa tersebut dalam bergerak (Affandi & Tang 2004).

2.2.3. Morfologi spermatozoa

Menurut bentuknya, spermatozoa terbagi atas kepala dan ekor. Kepala

spermatozoa dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah akrosomal anterior yang dibungkus oleh tudung akrosom dan daerah post akrosomal posterior. Bagian-bagian morfologi spermatozoa dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Morfologi spermatozoa Sumber: www.enelset.co.id

Akrosom Membran plasma

Mitokondria Nukleus

Sentriol

Kepala Mid piece Principal piece End piece

(22)

Ekor spermatozoa berasal dari sentriol spermatid selama proses spermiogenesis yang berfungsi memberikan gerak maju atau lokomosi kepada spermatozoa dengan gelombang-gelombang yang dimulai di daerah implantasi ekor-kepala dan berjalan ke arah belakang. Menurut Salisbury dan Van Denmark (1961), permukaan spermatozoa dibungkus oleh suatu membran lipoprotein. Apabila sel tersebut mati maka permeabilitas sel akan meningkat terutama di daerah pangkal kepala. Hal ini dijadikan dasar pewarnaan spermatozoa untuk membedakan spermatozoa hidup dan spermatozoa mati berdasarkan kemampuan zat warna untuk menembus membran sel yang rusak.

Abnormalitas spermatozoa disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu penyakit, musim, stress dalam suhu panas, serta perlakuan preservasi dan kriopreservasi semen. Secara umum abnormalitas spermatozoa terdiri dari abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas primer adalah segala sesuatu perubahan yang terjadi pada saat proses spermatogenesis di tubuli seminiferi, sedangkan abnormalitas sekunder terjadi setelah spermatozoa meninggalkan tubuli seminiferi. Abnormalitas primer meliputi kepala yang telampau besar ataupun terlampau kecil, kepala melebar, ekor ganda, ekor melingkar, putus atau bercabang, sedangkan abnormalitas sekunder meliputi kepala tanpa ekor, bagian tengah yang terlipat, adanya butiran-butiran sitoplasmik proksimal atau distal dan selubung akrosom yang terlepas.

Pengamatan morfologi dapat dilakukan secara manual dengan menggunakan teknik pewarnaan dan pengamatan dilakukan dengan mikroskop cahaya atau mikroskop fase kontras (Hafez 1987). Morfologi spermatozoa memiliki korelasi dengan fertilitas sehingga keberadaan spermatozoa abnormal akan berpengaruh terhadap kemampuan sel spermatozoa untuk membuahi sel telur (Barth & Oko 1989).

2.2.4. Morfometri spermatozoa

Morfometri spermatozoa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu teknik fiksasi, teknik pewarnaan, handling semen, kualitas mikroskop, dan ketrampilan

personal (Toelihere 1981). Pengamatan morfometri spermatozoa dapat dilakukan dengan menggunakan metode manual, yaitu dengan teknik fiksasi dan pewarnaan,

(23)

Ukuran dan bentuk spermatozoa berbeda pada setiap jenis hewan, namun memiliki struktur morfologis yang hampir sama. Bagian tengah spermatozoa mempunyai panjang 1,5-2 kali panjang kepala dengan panjang spermatozoa 35-45

m (Hafez 1987).

2.2.5. Teknik pewarnaan

Pewarnaan spermatozoa berfungsi untuk membantu proses pengamatan morfologi dan morfometri spermatozoa. Berbagai metode pewarnaan dapat dilakukan di lapangan, salah satunya metode pewarnaan Williams karena sediaan pengamatan hanya perlu dibuat preparat ulas dan difiksasi di udara, sedangkan pewarnaan dan pengamatan dapat dilakukan di laboratorium. Zat pewarna yang umum di pakai adalah eosin atau merah Kongo terhadap latar belakang hitam dari negrosin (Toelihere 1981).

Metode lain yang direkomendasikan adalah fiksasi spermatozoa dalam larutan formol-saline. Hal yang perlu diperhatikan dalam fiksasi formol-saline

adalah senyawa formic acid yang tebentuk akibat terlalu lama disimpan sehingga akan merusak sel, maka pengamatan morfmetri sebaiknya dilakukan sebelum enam

bulan sejak sampel diambil. Pewarnaan dengan metode Williams merupakan serangkaian proses pewarnaan denga zat warna dasar carbol fuchsin dan eosin yang dapat mewarnai sitoplasma (Arifiantini 2006).

2.3. Kondisi Lingkungan yang Memengaruhi Reproduksi Ikan 2.3.1. Tekanan udara

(Santosa 2011). Tekanan udara di daerah Cipanas yang memiliki ketinggian 800 dpl sebesar 0,8993 atm, sedangkan tekanan udara di daerah Rancabungur, Kabupaten Bogor yang memiliki ketinggian 300 dpl sebesar 0,9622 atm (Santosa 2012).

(24)

air sebesar 1 atm. Tekanan yang ditimbulkan oleh air tersebut dinamakan tekanan hidrostatik. Tekanan tersebut juga dapat memengaruhi aktivitas pembentukan hormon dan enzim sehingga dapat memengaruhi proses berkembang dan reproduksi pada hewan akuatik. Adanya pengaruh tekanan karena perbedaan ketinggian tempat juga dapat berdampak terhadap kondisi fisiologis ikan dan juga berpengaruh pada proses reproduksi ikan tersebut (Isnaeni 2006).

2.3.2. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO)

Oksigen terlarut adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air

(Wetzel 2001). Oksigen di perairan bersumber dari difusi udara maupun hasil proses fotosintesis organisme autotrof (Welch 1952). Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, maka kadar oksigen terlarut semakin kecil. Setiap peningkatan ketinggian suatu tempat dari permukaan laut, tekanan atmosfer semakin rendah. Setiap peningkatan ketinggian suatu tempat sebesar 100 m diikuti dengan penurunan tekanan hingga 8 mmHg – 9 mmHg (Effendi 2003).

Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, bergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi 2003). Di perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/liter pada suhu 0 oC dan 8 mg/l pada suhu 25 oC (McNeely et al. 1979 in

Effendi 2003). Pada hakikatnya difusi oksigen dari atmosfer ke perairan berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan massa air. Oleh karena itu, sumber utama oksigen di perairan adalah fotosintesis (Effendi 2003).

2.3.3. pH

(25)

keberadaan ion dalam perairan. Organisme akuatik sangat sensitif terhadap perubahan pH. Nilai pH ideal untuk perairan adalah 6,5-8,5 (Welch 1952).

2.3.4. Suhu

Suhu merupakan parameter yang sangat penting bagi biota perairan. Perubahan suhu yang drastis dapat menimbulkan kematian bagi biota perairan. Suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25-32 oC. Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), lama penyinaran matahari, sirkulasi udara, penutupan

awan, dan kedalaman perairan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses-proses fisika, kimia, dan biologi suatu perairan. Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air sehingga konsumsi oksigen meningkat (Goldman & Horne 1983).

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan organisme. Effendi (2003) menyatakan bahwa peningkatan suhu perairan sebesar 10 oC dapat menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat sehingga meningkatkan metabolisme dan respirasi organisme air. Adanya peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan keberadaan oksigen sering tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organism akuatik melakukan proses metabolisme dan respirasi.

2.4. Kualitas Spermatozoa 2.4.1. Karakteristik spermatozoa

Spermatozoa tidak bergerak di dalam cairan plasma dan akan bergerak apabila bercampur dengan air. Spermatozoa dapat bertahan hidup pada pH 7,0 dan tetap motil dalam waktu lama pada media isotonik darah. Pergerakan spermatozoa biasanya berbentuk spiral dan gerak progresif secara berkesinambungan hanya terjadi 1 menit setelah bersentuhan dengan air. Sebagian besar spermatozoa ikan air tawar dapat bergerak (motil) selama 2-3 menit setelah bersentuhan dengan air (Iromo 2006).

(26)

pH, tekanan osmotik, elektrolit, dan non-elektrolit. Penurunan yang cepat dalam motilitas setelah aktivasi berhubungan dengan pengurangan yang teratur dari kandungan Adenosin Triphosphate (ATP) intraseluler sampai akhirnya spermatozoa berhenti bergerak. Hal ini menunjukkan bahwa motilitas spermatozoa dipengaruhi oleh kandungan ATP. Persentase motil merupakan nilai estimasi yang menggambarkan gerakan spermatozoa dan berhubungan dengan kapasitas atau kemampuan dalam fertilisasi dan ketersediaan energi dalam bentuk ATP (Suquet et al. 2000). Penentuan kualitas spermatozoa dapat dilihat dari persentase spermatozoa yang motil (motilitas) dan lamanya motil yang merupakan periode dari setiap gerakan progresif spermatozoa sampai pergerakannya berhenti (Fauvel et al. 2010).

Kualitas spermatozoa juga dipengaruhi dari nilai pH semen. Pada umumnya nilai pH semen ikan lele dumbo adalah 8,0 dan cenderung bersifat basa (Lutfi 2009). Adanya variasi pH semen diduga dipengaruhi oleh konsentrasi asam laktat yang dihasilkan dalam proses akhir metabolisme (Salisbury & Vandenmark 1961). Volume semen yang dihasilkan oleh setiap ikan juga bervariasi. Salisbury dan Vandemark (1961) menyatakan bahwa volume spermatozoa pejantan yang diejakulasikan tidaklah sama antara indukan jantan. Pada umumnya volume semen akan bertambah banyak sesuai dengan umur, ukuran tubuh, perubahan kondisi lingkungan, kesehatan organ reproduksi, dan frekuensi penampungan spermatozoa,

kemudian akan menurun setelah melewati puncak kedewasaannya.

(27)

2.4.2. Biokimiawi semen

Semen adalah cairan yang dihasilkan dari testis dan seminal plasma. Warna semen ikan lele dumbo adalah putih susu dengan konsistensi kental. Glukosa yang terdapat di dalam cairan seminal merupakan bahan energi untuk pergerakan spermatozoa. Warna dan konsistensi semen memiliki hubungan yang erat dengan konsentrasi spermatozoa. Semakin encer semen, maka semakin rendah konsentrasi selnya dan warnanya semakin pucat. Derajat kekeruhan atau warna keputih-putihan bergantung pada jumlah sel spermatozoa (konsentrasi/ml) yang ada di dalam semen. Parameter yang digunakan untuk menilai karakteristik semen pada hewan adalah warna, volume, kekentalan, pH, gerakan massa, konsentrasi, motilitas, morfologi, abnormalitas, keutuhan membrane plasma, dan tudung akrosom (Mansour et al.

(28)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2012 dengan selang waktu pengambilan satu minggu. Lokasi pengambilan ikan contoh memiliki ketinggian tempat yang berbeda, yaitu di Balai Pelestarian Perikanan Perairan Umum (BPPPU) Ciherang, Cianjur dengan ketinggian 800 meter diatas permukaan laut (dpl) dan kolam budidaya di daerah Rancabungur, Kabupaten Bogor dengan ketinggian 300 meter diatas permukaan laut (dpl). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi dan Reproduksi (URR), Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas

Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

(29)

3.2. Metode Kerja

3.2.1. Analisis laboratorium secara makroskopis

Pengambilan contoh ikan lele sangkuriang dilakukan terhadap 12 ekor ikan dalam kondisi hidup, selanjutnya dilakukan penimbangan bobot ikan dan pengukuran panjang ikan menggunakan penggaris berketelitian 0,1 cm. Setelah itu ikan dibedah, gonad ikan diambil dan ditimbang bobotnya menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g. Semen dikeluarkan dari gonad dengan cara ditoreh pada salah satu sisi tanpa mengenai pembuluh darah dan semen tersebut ditampung di dalam cawan petri. Gonad yang dilakukan analisis hanya gonad yang memiliki kondisi yang normal dan simetris. Setelah semua semen dikeluarkan, volume semen pada gonad kiri dan kanan diukur dengan menggunakan syringe, kemudian pH semen pada gonad kanan dan kiri diukur menggunakan kertas pH indikator dengan kisaran 6,4-8,0. Konsistensi diukur dengan cara memiringkan cawan petri dan dilihat apakah semen bersifat kental, sedang, atau cair (Arifiantini 2012).

3.2.2. Analisis laboratorium secara mikroskopis 3.2.2.1.Motilitas spermatozoa

Penilaian gerakan individu (motilitas) spermatozoa harus dilakukan pengenceran terlebih dahulu, yaitu satu tetes semen diambil dan diletakkan pada

object glass. Larutan pengencer (air) ditambahkan, kemudian kedua larutan tersebut dihomogenkan. Satu tetes campuran larutan diambil dan tutup dengan cover glass. Penilaian motilitas dilakukan dengan menggunakan lensa objektif pembesaran 400 kali dengan melihat persentase motilitas spermatozoa dan kecepatan spermatozoa bergerak ke depan (Arifiantini 2012).

3.2.2.2.Kosentrasi spermatozoa

(30)

seperti angka 8 selama 2-3 menit. Setelah itu, counting chamber disiapkan dan ditutup menggunakan gelas penutup khusus. Sebanyak 8-10 µl semen yang telah diencerkan kemudian dimasukkan ke dalam counting chamber. Spermatozoa yang berada di dalam counting chamber dihitung dari 5 kotak besar yang berada dalam

counting chamber, yaitu 4 kotak pada bagian sudut dan 1 bagian tengah(Arifiantini 2012).

3.2.2.3.Morfologi dan morfometri

Pengamatan morfologi dan morfometri spermatozoa dengan membuat

preparat ulas, kemudian dilakukan pewarnaan dengan menggunakan pewarnaan

Carbol fuchsin (Williams). Adapun langkah-langkah dalam pewarnaan Williams

disajikan pada Lampiran 3. Pada pengamatan morfometri spermatozoa dilakukan dengan melihat diameter kepala dan panjang ekor spermatozoa menggunakan mikroskop pada perbesaran objektif 100 kali dan perbesaran okuler 8 kali. Setiap satu sampel ikan diukur diameter kepala dan panjang ekor spermatozoa sebanyak 30 sel spermatozoa (Arifiantini 2012).

3.2.3. Pengamatan kondisi lingkungan

Pengamatan kondisi lingkungan berupa pengukuran kualitas, yaitu pengukuran DO, pH air, dan suhu air mengacu pada standar APHA (2005).

3.2.4. Analisis data

3.2.4.1.Uji normalitas (Uji Kolmogorov-Smirnov)

Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk mengetahui distribusi nilai-nilai sampel yang teramati sesuai dengan distribusi teoritis tertentu (normal, uniform, poisson, atau eksponensial). Prinsip dari uji Kolmogorov-Smirnov adalah menghitung selisih absolut antara fungsi distribusi frekuensi kumulatif sampel [SN(X)] dan fungsi distribusi frekuensi kumulatif teoritis [F0(X)] pada masing-masing interval kelas (www.biostatistik.com).

(31)

Keterangan:

F0(X) = distribusi kumulatif pilihan di bawah H0 SN(X) = distribusi kumulatif pilihan hasil observasi

Uji normalitas (Kolmogorov-Smirnov) juga dapat dilakukan dengan menggunakan Software Minitab versi 15. Hipotesis yang digunakan , yaitu H0 : data yang digunakan merupakan data distribusi normal dan H1 : data yang digunakan data distribusi tidak normal. Jika p-value <0,05 maka tolak H0 (data menyebar tidak normal), sedangkan jika p-value >0,05 maka gagal tolak H0 (data meyebar normal).

3.2.4.2.Uji parametrik (Uji-t)

Uji-t merupakan uji statistik yang digunakan untuk menguji kesamaan rata-rata dari dua populasi yang bersifat independen pada taraf nyata 0,05. Nilai uji statistik dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

Jumlah data pertama Jumlah data kedua Ragam data pertama Ragam data kedua Ragam populasi Rata-rata data pertama Rata-rata data kedua

3.2.4.3.Uji non-parametrik (Uji Mann-Whitney)

Uji Mann-Whitney merupakan uji non-parametrik yang digunakan untuk menguji apakah dua sampel yang independen berasal dari populasi yang sama. Perhitungan uji Mann-Whitney dapat menggunakan Software Minitab versi 15 atau

(32)

Keterangan:

Jumlah data pada populasi 1 Jumlah data pada populasi 2 Jumlah ranking pada populasi 1 Jumlah ranking pada populasi 2

Uji Mann-Whitney juga dapat dilakukan dengan menggunakan Software Minitab versi 15. Hipotesis yang digunakan, yaitu H0 : data pertama = data kedua dan H1 : data pertama ≠ data kedua. Jika p-value <0,05 maka tolak H0, sedangkan jika p-value >0,05 maka gagal tolak H0.

3.2.4.4.Konsentrasi spermatozoa

Cara menghitung konsentrasi spermatozoa adalah jumlah sel spermatozoa dari 2 chamber dijumlahkan, kemudian dirata-ratakan (chamber 1 + chamber 2 = N/2) (Arifiantini 2012). Rumus dalam menghitung jumla spermatozoa per ml:

Jumlah Spermatozoa/ml = N x 5 x FP x 10.000

Keterangan:

N : Jumlah rata-rata spermatozoa dalam chamber. FP : Faktor pengenceran (1000).

“5” : Faktor koreksi karena hanya menghitung 5 kotak dari 25 kotak hitung yang ada (25/5).

“10.000” : Faktor koreksi yang dibutuhkan karena kedalaman cover slip 0,0001 ml per chamber

3.2.4.5.Morfometri spermatozoa

Pengukuran morfometri spermatozoa didapat dari hasil pengukuran menggunakan mikrometer yang sudah dikonversikan kedalam satuan mikron (µ) dengan melakukan kalibrasi terlebih dahulu menggunakan stage mikrometer. Setelah dilakukan kalibrasi didapat hasil bahwa satu skala pada mikrometer okuler sama dengan 1,47 µm, sehingga:

(33)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Kondisi umum lokasi penelitian 4.1.1.1.Ciherang, Cianjur

Lokasi pertama pengambilan sampel ikan lele sangkuriang terletak di Balai Pelestarian Perikanan Perairan Umum (BPPPU) Ciherang, Cianjur yang terletak di Jalan Raya Cianjur KM. 12 Pacet, Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat dengan luas areal sebesar 22.685 m² (BPPPU Cianjur 2010). Secara geografis wilayah BPPPU Ciherang berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan koordinat 6o48’42,67” LS dan 107o08’43,33” BT (www. googleearth.com). Kolam budidaya ikan lele sangkuriang di BPPPU Cianjur merupakan kolam tembok dan tertutup atap dengan ukuran 2 m x 2 m x 0,5

m dengan warna air cokelat keruh (Gambar 6).

Gambar 6. Kondisi kolam ikan lele sangkuriang di BPPPU Cianjur

(34)

masyarakat, khususnya untuk kebutuhan kebun sayuran. Secara kualitas, air yang tersedia cukup layak digunakan untuk kegiatan budidaya ikan walaupun terkadang

terjadi keracunan karena air yang masuk telah terkontaminasi pestisida yang digunakan petani untuk sayuran. Selain itu aliran air yang masuk senantiasa membawa sampah berupa limbah sayuran, plastik, atau pun sampah domestik lainnya, akan tetapi kendala ini dapat diatasi oleh BPPPU Ciherang dengan adanya proses penanganan pengairan yang baik, yakni dengan pembuatan filter yang berfungsi untuk mengendapkan air dan menyaring sampah yang terbawa aliran air. Bentuk kepemilikan seluruh lokasi merupakan milik Dinas Pemerintahan Jawa Barat yang sesuai dengan badan hukum BPPPU sendiri (BPPPU Cianjur 2010).

Kolam indukan ikan lele sangkuriang di BPPPU Cianjur terdiri dari kolam indukan jantan dan betina. Jumlah indukan jantan yang dipelihara adalah sebanyak 500 ekor dengan masa pemeliharaan selama 1-1,5 tahun. Ukuran benih saat pertama kali ditebar yaitu 5-7 cm dan benih tersebut berasal dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Pemberian pakan dilakukan sebanyak tiga kali sehari, yaitu pada pagi, siang, dan malam hari berupa pelet tenggelam dengan jumlah 30 kg/hari.

4.1.1.2.Rancabungur, Kabupaten Bogor

Lokasi kedua pengambilan sampel ikan lele sangkuriang dilakukan di daerah Rancabungur yang terletak di Jl. Atang Sandjaya, Gang Nangka Rt 05 Rw 10, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor dan berada pada ketinggian 300 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan koordinat 6o33’15,35” LS dan 106o41’38.34” BT (www. googleearth.com). Areal kolam budidaya sangat luas, berjumlah 50 kolam yang terdiri dari kolam pembenihan dan kolam pembesaran. Kolam indukan lele sangkuriang merupakan kolam tanah dengan ukuran 6 m x 4 m x 1 m dan warna air hijau keruh (Gambar 7).

Jenis pakan yang diberikan untuk induk ikan lele sangkuriang adalah pakan jenis pelet tenggelam. Pemberian pakan 2-3 kali/hari dengan jumlah yang tidak ditentukan. Jumlah indukan ikan lele sangkuriang dipelihara sebanyak 1000 ekor dengan masa pemeliharaan selama 1,5-2 tahun. Ukuran benih saat pertama kali ditebar adalah 7-8 cm dan benih ikan tersebut berasal dari daerah Parung, Kabupaten

(35)

Gambar 7. Kondisi kolam ikan lele sangkuriang dikolam budidaya Rancabungur

4.1.2. Kualitas lingkungan perairan

Pengukuran kualitas lingkungan pada kolam budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) di daerah Cianjur dan Rancabungur berupa pengukuran suhu, DO, dan pH air. Parameter kualitas lingkungan tersebut untuk mendukung kajian aspek reproduksi ikan lele sangkuriang. Berikut ini merupakan data hasil pengukuran kualitas air kolam ikan lele sangkuriang pada kedua lokasi (Tabel 1).

Tabel 1. Kualitas lingkungan kolam budidaya lele sangkuriang (Clarias gariepinus)

(36)

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai suhu air kolam dan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) di daerah Cianjur lebih rendah dibandingkan dengan

daerah Rancabungur, sedangkan nilai pH air kolam di kedua lokasi tersebu tidak terlalu berbeda jauh. Setelah dilakukan uji normalitas diketahui bahwa nilai suhu, pH dan DO air kolam ikan lele sangkuriang di dua lokasi tersebut berdistribusi normal (Kolmogorov-Smirnov/p>0,05). Nilai suhu air kolam dan nilai DO di daerah Cianjur dan Rancabungur terdapat perbedaan, sedangkan nilai pH air tidak terdapat perbedaan di antara dua lokasi tersebut (α=0,05).

4.1.3. Kondisi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus)

Pengukuran karakteristik ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) di

daerah Cianjur dan Rancabungur berupa bobot ikan, panjang ikan dan bobot gonad sebelah kanan dan kiri. Data kondisi ikan dapat digunakan sebagai data pendukung

untuk mengetahui kondisi reproduksi pada ikan lele sangkuriang. Berikut ini merupakan data kondisi ikan lele sangkuriang pada kedua lokasi (Tabel 2).

Tabel 2. Kondisi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus)

Sampel

Ka: Gonad sebelah kanan ; Ki: Gonad sebelah kiri

(37)

sangkuriang tidak terlalu berbeda jauh. Setelah dilakukan uji normalitas diketahui bahwa nilai bobot ikan lele sangkuriang berdistribusi normal ( Kolmogorov-Smirnov/p>0,05), sedangkan nilai panjang, bobot gonad sebelah kanan dan kiri pada

ikan lele sangkuriang pada kedua lokasi tersebut cenderung berdistribusi tidak normal (Kolmogorov-Smirnov/p<0,05). Nilai panjang ikan lele sangkuriang di daerah Cianjur dan Rancabungur terdapat perbedaan (Mann-Whitney/p>0,05), sedangkan nilai bobot gonad sebelah kanan dan kiri tidak terdapat perbedaan antara di daerah Cianjur dan Rancabungur (Mann-Whitney/p>0,05). Pada nilai bobot ikan didapat kesimpulan bahwa terdapat perbedaan bobot ikan lele sangkuriang di dua lokasi tersebut (α=0,05).

4.1.4. Karakteristik semen ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) secara makroskopis

Pengamatan karakteristik secara makroskopis meliputi: pH, volume, warna, dan konsistensi semen. Pada ikan lele, untuk mendapatkan semen tidak dapat

dilakukan dengan stripping, sehingga harus dilakukan pembedahan. Berikut ini merupakan data karakteristik semen ikan lele sangkuriang secara makroskopis

(Tabel 3).

Tabel 3. Karakteristik semen ikan lele sangkuriang secara makroskopis

Parameter Cianjur Rancabungur

Ka Ki Ka Ki

pH semen 7,22 ± 0,24 7,47 ± 0,27 7,44 ± 0,28 7,47 ± 0,27

Volume semen (ml) 0,19 ± 0,26 0,37 ± 0,52 0,13 ± 0,19 0,42 ± 0,79

Konsistensi semen Kental Sedang - Kental

Warna semen Putih Susu Putih Susu - Putih Keruh

Keterangan:

Ka: Gonad sebelah kanan ; Ki: Gonad sebelah kiri

Berdasarkan hasil analisis didapat data bahwa nilai pH semen pada gonad sebelah kanan ikan lele sangkuriang memiliki kisaran rata-rata 7,22-7,47. Volume semen ikan lele sangkuriang memiliki kisaran rata-rata 0,13-0,42 ml, konsistensi

(38)

Setelah dilakukan uji normalitas diketahui bahwa nilai pH semen gonad sebelah kanan dan kiri ikan lele sangkuriang berdistribusi normal ( Kolmogorov-Smirnov/p>0,05), sedangkan nilai volume semen pada gonad sebelah kanan dan kiri

cenderung berdistribusi tidak normal (Kolmogorov-Smirnov/p<0,05). Nilai volume semen pada gonad sebelah kanan dan kiri ikan lele sangkuriang di daerah Cianjur dan Rancabungur tidak terdapat perbedaan (Mann-Whitney/p>0,05). Pada nilai pH semen didapat kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai pH semen gonad sebelah kanan ikan lele sangkuriang pada dua lokasi tersebut (α=0,05).

4.1.5. Karakteristik semen ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) secara mikroskopis

Pengamatan karakteristik secara mikroskopis meliputi: lama motil, motilitas, dan konsentrasi semen. Pengamatan karakteristik secara mikroskopik meliputi motilitas dan konsentrasi spermatozoa. Nilai lama motil spermatozoa ikan lele sangkuriang memiliki kisaran rata-rata 24,19-35,82 detik, nilai motilitas

spermatozoa berkisar 83,89-85 % dan nilai konsentrasi spermatozoa berkisar 22,49 x 109-27,70 x 109 ml-1 (Tabel 4). Data karakteristik semen setiap sampel ikan lele

sangkuriang secara mikroskopis dapat dilihat pada Lampiran 7.

Tabel 4. Karakteristik semen ikan lele sangkuriang secara mikroskopis

Parameter Cianjur Rancabungur

Ka: Gonad sebelah kanan ; Ki: Gonad sebelah kiri

(39)

spermatozoa didapat kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai lama motil dan motilitas spermatozoa gonad sebelah kanan ikan lele sangkuriang pada dua lokasi tersebut (α=0,05).

4.1.6. Morfologi spermatozoa

Pengamatan morfologi spermatozoa ikan lele sangkuriang dilihat dari preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan Williams dan di foto menggunakan kamera digital dengan skala yang telah dikalibrasikan dengan lensa mikroskop pada perbesaran 800 kali. Morfologi spermatozoa ikan lele sangkuriang dapat dilihat pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8. Morfologi spermatozoa ikan lele sangkuriang di daerah Cianjur (a) dan Rancabungur (b)

Pada gambar 8 dapat dilihat bahwa struktur spermatozoa ikan pada umumnya terdiri dari kepala dan ekor spermatozoa dan morfologi spermatozoa ikan lele sangkuriang, baik yang berasal dari daerah Cianjur maupun Rancabungur memiliki bentuk kepala agak bulat dengan ekor yang tipis dan panjang.

4.1.7. Morfometri spermatozoa

Pengukuran morfometrik spermatozoa ikan lele sangkuriang di daerah Cianjur dan Rancabungur berupa diameter kepala dan panjang ekor spermatozoa. Nilai diameter kepala spermatozoa ikan lele sangkuriang memiliki kisaran rata-rata 2,24-2,28 µm dan panjang ekor spermatozoa memiliki kisaran rata-rata 49,51-50,94 µm (Tabel 5). Dengan demikian dapat dilihat bahwa nilai diameter kepala dan panjang ekor spermatozoa ikan lele sangkuriang di daerah Cianjur dan Rancabungur tidak jauh berbeda (Tabel 5).

(40)

Tabel 5. Morfometri spermatozoa ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus)

Setelah dilakukan uji normalitas diketahui bahwa nilai diameter kepala dan

panjang ekor spermatozoa ikan lele sangkuriang berdistribusi normal ( Kolmogorov-Smirnov/p>0,05). Nilai diameter kepala dan panjang ekor spermatozoa ikan lele sangkuriang tidak terdapat perbedaan pada kedua lokasi tersebut (α=0,05).

4.1.8. Aplikasi pengelolaan

Aplikasi pengelolaan pada perikanan yang dapat diterapkan dari penelitian ini adalah data pada kualitas semen ikan, terutama data persentase dan lamanya motilitas dapat memberikan informasi dasar untuk keberhasilan dalam melakukan proses cryopreservasi karena motilitas spermatozoa ikan lele sangkuriang hanya dapat bertahan dalam waktu yang singkat dan untuk mendapatkan semen segar dari ikan lele harus dilakukan pembedahan dengan mengorbankan induk jantan. Selain

(41)

4.2 Pembahasan

Setelah dilakukan analisis terhadap kondisi lingkungan perairan di daerah

Cianjur dan Rancabungur didapat data bahwa adanya perbedaan nilai suhu air kolam di daerah Cianjur dan Rancabungur dapat disebabkan karena adanya perbedaan ketinggian tempat dan tekanan udara diantara kedua lokasi tersebut, yaitu daerah Cianjur memiliki ketinggian 800 mdpl (di atas permukaan laut) dengan tekanan udara sebesar 0,8993 atm dan daerah Rancabungur memiliki ketinggian 300 mdpl (diatas permukaan laut) dengan tekanan udara sebesar 0,9622 atm (Santosa 2012). Menurut Goldman dan Horne (1983) bahwa suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), lama penyinaran matahari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan kedalaman perairan. Suhu di daerah Cianjur lebih rendah dibandingkan dengan di daerah Rancabungur karena lokasi Cianjur lebih tinggi daripada Rancabungur. Semakin bertambah berbeda antara daerah Cianjur dan Rancabungur. Nilai DO di daerah Cianjur lebih

(42)

ikan lele sangkuriang dapat bertahan hidup pada kondisi kandungan DO sebesar >1mg/l.

Nilai pH air kolam di daerah Cianjur dan Rancabungur tidak menunjukkan adanya perbedaan. Nilai pH air tersebut masih dalam batas normal karena menurut Amri dan Khairuman (2008), ikan lele sangkuriang dapat dipelihara pada kondisi pH air 6-9. Menurut Wetzel (2001), pH berhubungan dengan konsentrasi karbondioksida di perairan, jika konsentrasi karbondioksida tinggi di perairan maka dapat menurunkan pH air karena akan terbentuk asam karbonat. Secara umum perubahan pH harian dipengaruhi oleh suhu, oksigen terlarut, fotosintesis, respirasi organisme, sisa pakan dan kotoran, serta keberadaan ion dalam perairan (Welch 1952).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa nilai rata-rata suhu dan DO air kolam di daerah Cianjur lebih tinggi daripada di daerah Rancabungur, tetapi nilai rata-rata pH air kolam di daerah Cianjur lebih rendah daripada di daerah Rancabungur. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan ketinggian tempat sehingga mempengaruhi nilai suhu, DO, dan pH pada kedua lokasi tersebut. Hubungan antara suhu, DO dan pH pada suatu perairan, yaitu semakin tinggi suhu air maka nilai DO semakin kecil, begitu pula semakin besar ketinggian tempat (altitude), serta semakin kecil tekanan atmosfer maka nilai DO juga semakin kecil.

Parameter kualitas lingkungan dapat berpengaruh terhadap kondisi habitat

dan proses reproduksi pada ikan. Pada penelitian ini digunakan sampel berupa ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur dan daerah Rancabungur yang merupakan indukan ikan lele sangkuriang jantan yang sudah matang gonad karena memiliki bobot lebih dari 500 g dan masa pemeliharaan lebih dari 1 tahun. Menurut Suyanto (1999), lele sangkuriang mulai dapat dijadikan induk pada umur 8-9 bulan dengan bobot minimal 500 g dengan panjang 30-35 cm. Pada umur 9 bulan, spermatozoa pada indukan ikan lele jantan telah terbentuk dan ikan akan siap memijah pada umur 1 tahun. Tingkat kematangan gonad tersebut dipengaruhi oleh kondisi genetik ikan dan kandungan nutrisi pada pakan (Cek & Yilmaz 2005).

(43)

faktor perbedaan masa pemeliharaan, ukuran benih saat pertama kali ditebar, jumlah pakan, serta komposisi kandungan pakan yang yang diberikan. Indukan ikan lele

sangkuriang di daerah Cianjur dipelihara selama 1-1,5 tahun dan ukuran benih yang ditebar yaitu 5-7 cm dan banyaknya pakan yang diberikan, yaitu 10 kg setiap pagi, siang dan malam hari, sedangkan indukan ikan lele sangkuriang di daerah Rancabungur dipelihara lebih lama, yaitu 1,5-2 tahun dan ukuran benih yang ditebar yaitu 7-8 cm dan pemberian pakan yang tidak ditentukan per harinya.

Faktor lain yang menyebabkan adanya perbedaan kondisi ikan lele sangkuriang pada kedua lokasi adalah faktor kondisi lingkungan yang berbeda antara di daerah Cianjur dan Rancabungur sehingga memiliki kualitas lingkungan perairan yang berbeda. Sumber air di BPPPU Cianjur terkadang terkontaminasi pestisida yang digunakan petani untuk sayuran. Hal ini diduga dapat mempengaruhi reproduksi pada ikan lele sangkuriang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pestisida merupakan bahan kimia yang bersifat toksik dan dapat mengganggu kerja hormon dan enzim pada organisme akuatik. Selain itu juga dapat mengganggu fisiologis, pertumbuhan, dan reproduksi pada ikan sehingga dapat menyebabkan perkembangan seksual yang abnormal. Beberapa jenis pestisida, seperti organochlorine dapat menyebabkan kerusakan pada testis ikan karena menyerang hormone steroid dan endokrin sehingga perkembangan testis akan terganggu (Khan & Law 2005).

Analisis terhadap bobot gonad sebelah kanan dan kiri ikan lele sangkuriang menunjukkan nilai yang tidak berbeda antara ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur dan daerah Rancabungur (Mann-Whitney/p>0,05). Hal ini dapat disebabkan karena ikan lele sangkuriang pada kedua lokasi tersebut merupakan ukuran ikan yang sudah mengalami matang gonad sehingga ukuran gonad tidak berkembang lagi. Ukuran bobot gonad dapat dipengaruhi oleh bobot tubuh. Menurut Affandi dan Tang (2004), umumnya pertambahan bobot gonad pada ikan jantan 5-10 % dari bobot tubuh. Faktor-faktor yang mendukung perkembangan gonad ikan dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti suhu, makanan, periode cahaya, musim, dan proses hormonal (Affandi & Tang 2004).

(44)

simetris karena salah satu gonad memiliki ukuran yang jauh lebih besar (abnormal) sehingga berpengaruh terhadap semen yang menyebabkan berwarna putih keruh,

konsistensi yang sedang, dan nilai konsentrasi sel spermatozoa yang lebih kecil, sehingga dapat berpengaruh pada kualitas spermatozoa ikan lele sangkuriang tersebut dalam keberhasian fertilisasi. Kondisi gonad yang abnormal tersebut diduga dapat disebabkan oleh penyakit, kondisi lingkungan perairan yang tercemar, kualitas pakan yang rendah, dan hal manajemen budidaya yang tidak optimal sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan gonad ikan yang tidak normal.

Setelah dilakukan analisis terhadap kondisi ikan lele sangkuriang pada kedua lokasi, kemudian dilakukan pengamatan kualitas semen ikan lele sangkuriang berupa pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis dan untuk mendapatkan semen segar harus dilakukan pembedahan terhadap ikan lele sangkuriang jantan. Hal ini karena testes ikan lele berada di belakang usus dan tertutup oleh lemak dan saat dilakukan pengurutan pada bagian abdomen, cairan semen tidak dapat keluar (Kamaruding et al. 2012).

Pengamatan secara makroskopis meliputi nilai pH, volume, konsistensi, dan warna semen. Nilai pH semen pada gonad sebelah kanan dan kiri antara ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur dan daerah Rancabungur tidak berbeda, yaitu berkisar antara 7,0 sampai 8,0. Hasil penelitian oleh Lutfi (2009)

pada ikan lele dumbo mendapatkan nilai pH semen sebesar 8,0 dan cenderung bersifat basa. Menurut Toelihere (1985) metabolisme spermatozoa dalam keadaan anaerobik akan menghasilkan asam laktat yang bertimbun dan meninggikan derajat keasaman atau menurunkan pH semen. Adanya penurunan nilai pH semen akibat pengenceran dapat meningkatkan motilitas spermatozoa karena adanya produksi muatan proton (H+) yang memberikan manfaat dalam pembentukan ATP (Perchec et al. 1995 in Hamamah & Gatti 1998).

(45)

kiri memliki konsistensi yang kental, sedangkan warna semen ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Rancabungur, baik gonad sebelah kanan maupun kiri

memiliki konsistensi sedang-kental. Warna, konsistensi, dan konsentrasi mempunyai hubungan erat satu sama lain. Semakin encer semen, maka konsentrasi spermatozoa akan rendah dan warna semen semakin pucat. Konsistensi semen tergantung pada perbandingan spermatozoa dan cairan plasma.

Pengamatan secara mikroskopis meliputi lama motil, motilitas, dan konsentrasi spermatozoa. Gerakan merupakan cerminan dari motilitas spermatozoa. Gerakan individu yang progresif inilah yang akan menyebabkan spermatozoa akan cepat bertemu dengan sel telur betina. Menurut Fauvel et al. (2010), penentuan kualitas spermatozoa dapat dilihat dari persentase spermatozoa yang motil dan lamanya motil yang merupakan periode dari setiap gerakan progresif spermatozoa sampai pergerakannya berhenti.

Spermatozoa akan tahan hidup lama pada pH 7,0 dan tetap motil dalam waktu lama pada media isotonik darah (Toelihere 1985). Lamanya spermatozoa motil dipengaruhi oleh umur dan kematangan spermatozoa, temperatur dan faktor-faktor lingkungan (fisika dan kimia), seperti ion-ion, pH, tekanan osmotik, elektrolit dan non-elektrolit. Persentase motil merupakan nilai estimasi yang menggambarkan gerakan spermatozoa dan berhubungan dengan kapasitas atau kemampuan dalam fertilisasi dan ketersediaan energi dalam bentuk ATP (Suquet et al. 2000).

Saat ini, studi mengenai motilitas spermatozoa ikan masih sangat terbatas, padahal motilitas spermatozoa merupakan parameter kunci dalam menentukan kualitas semen (Alavi & Cosson 2005). Selain itu, lamanya waktu yang dibutuhkan mulai dari spermatozoa aktif sampai berhenti bergerak dan persentase spermatozoa motil juga berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa dalam keberhasilan fertilsasi (Billard 1986 in Alavi & Cosson 2005). Lamanya motilitas dan kecepatan spermatozoa juga bergantung pada suhu. Apabila suhu tinggi maka kecepatan bergerak dan metabolisme spermatozoa juga akan tinggi sehingga durasi motilitas akan menjadi singkat karena sumber energi spermatozoa terbatas, sebaliknya jika suhu rendah maka kecepatan bergerak dan metabolisme spermatozoa menjadi lambat sehingga durasi motilitas bisa bertahan lebih lama (Schlenk & Kahmann in

(46)

Konsentrasi spermatozoa penting untuk diketahui karena hal ini sebagai kriteria penentu kualitas semen (Toelihere 1985). Perhitungan konsentrasi

spermatozoa yang sering digunakan, yaitu dihitung dari banyaknya sel speozoarmat/ml (Rurangwa et al. 2003). Semakin encer semen ikan, maka kadar sodium yang terdapat dalam semen semakin tinggi sehingga motilitas dan fertilitas spermatozoa akan semakin tinggi (Aas et al. 1991 in Affandi & Tang 2004). Sebaliknya, konsentrasi spermatozoa yang tinggi dapat menghambat aktifitas spermatozoa karena berkurangnya daya gerak sehngga spermatozoa sukar menemukan atau menembus mikrofil sel telur yang mengakibatkan rendahnya fertilitas (Gwo et al. 1991 in Affandi & Tang 2004). Hal ini didukung oleh pernyataan Geffen dan Maxwell (2000) in Rurangwa et al. (2003) bahwa konsentrasi spermatozoa yang tinggi tidak selalu memberikan tingkat motilitas dan fertilisasi yang tinggi pula sehingga dalam pemijahan buatan sebaiknya dilakukan pengenceran terhadap semen ikan yang memiliki konsistensi yang kental dan konsentrasi yang tinggi agar tingkat fertilisasi dapat meningkat.

Spermatozoa tidak bergerak di dalam cairan seminal plasma dan akan bergerak aktif jika bersentuhan dengan air (Billard 1986 in Alavi & Cosson 2005) sehingga untuk mengamati motilitas spermatozoa ikan harus di teteskan air untuk mengaktivasi spermatozoa. Berdasarkan hasil pengamatan, ikan lele sangkuriang yang berasal dari daerah Cianjur memiliki persentase motil sebesar 83,89-85 % dan

dapat bertahan hidup dalam waktu 28,85-35,82 detik, sedangkan ikan lele sangkuriang yang berasal dari kolam budidaya di daerah Rancabungur memiliki persentase motil sebesar 85 % dan dapat bertahan hidup dalam waktu 24,19 – 33,01 detik. Pada ikan air tawar, spermatozoa hanya mampu bertahan selama kurang dari 2 menit. Hal ini berbeda dengan spermatozoa ikan air laut yang mampu bertahan selama 1-2 jam setelah bersentuhan dengan air (Affandi & Tang 2004).

(47)

dan cairan. Inti spermatozoa terdapat pada bagian kepala yang membawa materi keturunan paternal, sedangkan ekor berperan sebagai alat penggerak (Affandi &

Tang 2004). Morfologi sperma memiliki hubungan dengan kemampuan pergerakan spermatozoa dalam membuahi sel telur, yaitu terkait bentuk kepala serta panjang atau pendeknya ekor (Tuset et al. 2008 in Fauvel et al. 2010).

Secara morfologi, spermatozoa pada hewan mempunyai pola dasar yang sama, namun terdapat perbedaan-perbedaan tertentu yang menjadi karakteristik bentuk spermatozoa pada masing-masing spesies. Morfologi spermatozoa memiliki korelasi dengan fertilitas sehingga keberadaan spermatozoa abnormal akan berpengaruh terhadap kemampuan sel spermatozoa untuk membuahi sel telur (Barth & Oko 1989).

Menurut Barth dan Oko (1989), permukaan spermatozoa dibungkus oleh suatu membran lipoprotein. Apabila sel tersebut mati maka permeabilitas sel akan meningkat terutama di daerah pangkal kepala. Hal ini dijadikan dasar pewarnaan spermatozoa untuk membedakan spermatozoa hidup dan spermatozoa mati berdasarkan kemampuan zat warna untuk menembus membran sel yang rusak. Sel spermatozoa dapat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh mutasi gen, kontaminasi zat kimia dan bahan cryoprotectant untuk pengawetan (Fauvel et al.

2010).

Morfometri spermatozoa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu teknik

(48)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5,1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik semen ikan lele sangkuriang antara daerah Cianjur (dataran tinggi) dan Rancabungur (dataran rendah), secara makroskopis (volume, pH, warna, dan konsistensi) mau pun secara mikroskopis (konsentrasi, lama motil, motilitas), serta morfologi dan morfometri spermatozoa mempunyai kualitas yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa ikan lele sangkuriang memiliki batas toleransi yang luas sehingga dapat hidup dan beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan.

5.2. Saran

(49)

Affandi R, Tang MU. 2004. Fisiologi Hewan Air. Universitas Riau Press: Pekan Baru. 217 p.

Alavi SM, Cosson J. 2005. Sperm Motility in Fishes Effects of Temperature and pH. Cell Biology International. 29: 101-110.

Amri K, Khairuman. 2008.Buku Pintar Budidaya Ikan Konsumsi. PT.Agro Media Pustaka: Tangerang. 358 p.

APHA (American Public Health Association). 2005. Standard methods for the examination of water and waste water. 21th ed. Baltimore, MD. 1081 p.

Arifiantini RI, Wresdiyati T, Retnani EF. 2006. Pengujian Morfologi Spermatozoa Sapi Bali (Bos sondaicus) Menggunakan pewarnaan “Williams”.Jurnal

Pengembangan Peternakan Tropis.31(2):05-110.

Arifiantini RI. 2012. Teknik Koleksi dan Evaluasi Semen Pada Hewan. IPB Press: Bogor. 92 p.

Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal Morphology of Bovine Spermatozoa. Lowa State University Press. Ames: Lowa.

Cabrita E, Robles V, Herraez P. 2008. Methods in Reproductive Aquaculture Marine and Freshwater Species. CRC Press. Boca Raton. New York. 549 p.

Cek S, Yilmaz E. 2005. Gonad Development and Sex Ratio of Sharptooth Catfish (C. gariepinus Burchell, 1822) Cultured Under Laboratory Conditions. Tubitak Turk J Zool 31: 35-46.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan Perairan. Kanisius: Yogyakarta. 258 p.

Embong WK, Kamaruding NA, Abdullah RB. 2011. Development of Cryopreservation Technique from Fresh Sperm Baseline Information of African Catfish (Clarias gariepinus). International Conference on Agricultural and Animal Science. 22: 10-13.

Fauvel C, Suquet M, Cosson J. 2010. Evaluation of Fish Sperm Quality. Journal of Applied Ichthyology. 25(5): 636-643.

Goldman CR, Horne AJ. 1983. Limnology. McGraw-Hill Book Company. United States of America. Xvi+464 p.

Gambar

Gambar 1.  Skema perumusan  masalah sumberdaya ikan lele sangkuriang
Gambar 2.  Ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus)
Gambar 3.  Proses pembentukan spermatozoa pada ikan jantan
Gambar 5.  Peta lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pengaruh penambahan tepung bioflok sebagai suplemen pakan terhadap pertumbuhan benih ikan lele sangkuriang..

memiliki kan-dungan organisme untuk membantu mening-katkan nilai pertumbuhan harian spesifik ikan lele sangkuriang pada usia 7 hari pemeliha-raan dan kandungan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa subtitusi parsial tepung ikan dengan tepung tulang untuk pertumbuhan ikan lele sangkuriang yang terbaik yaitu pakan

Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan A makanan yang diberikan lebih efesien untuk pertumbuhan ikan lele sangkuriang, dibandingkan pada perlakuan B dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan ikan lele sangkuriang sebagai bahan baku utama dalam pembuatan sosis ikan lele sangkuriang, untuk mengetahui

memiliki kan-dungan organisme untuk membantu mening-katkan nilai pertumbuhan harian spesifik ikan lele sangkuriang pada usia 7 hari pemeliha-raan dan kandungan

Jumlah eritrosit dalam darah ikan lele yang dipelihara dengan teknologi biofloc berada pada tingkat yang lebih rendah dari normal maupun nilai eritrosit pada ikan lele

Pengamatan terhadap rata-rata biomassa memperlihatkan bahwa ikan lele sangkuriang yang dipelihara pada perlakuan pakan ikan rucah, ikan asin, dan kepala ikan adalah berkisar