• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil observasi ketika melakukan penelitian di posko pengungsian, peneliti mengamati situasi dan kegiatan para lansia secara umum disana. Lansia yang masih produktif akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Namun, lansia yang sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas hanya dapat berdiam diri di posko dan mengharapkan bantuan dari pemerintah saja untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Mayoritas lansia masih dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti memasak nasi, mandi, dan mencuci. Namun, perbandingan kamar mandi dan air yang tersedia di posko tidak sesuai dengan jumlah pengungsi. Sehingga lansia dapat memenuhi kebutuhan dasarnya

35

bekerja. Secara umum lingkungan posko pengungsian kurang tertata rapi, ventilasinya juga kurang memadai dan sebagian ruangan kapasitas pengungsinya terlalu banyak untuk satu ruangan. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan lansia untuk tetap tinggal di posko pengungsian.

Hasil penelitian menunjukkan distribusi perbandingan antara laki-laki dan perempuan di posko pengungsian menunjukkan bahwa jumlah lansia perempuan lebih banyak dari laki-laki, namun perbedaannya tidak terlalu besar. Data perbandingan laki-laki dan perempuan dari hasil Susenas tahun 2013 menyatakan di Indonesia terdapat 9,38 juta lansia laki-laki sedangkan lansia perempuan berjumlah 10,67 juta orang pada tahun 2013 (BPS, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa lansia perempuan secara umum di tingkat nasional memiliki usia harapan hidup lebih besar dari laki-laki. Hal ini juga sama dengan keadaan di Posko Pengungsian UKA Kabupaten Karo.

Dilihat dari karakteristik umur, terdapat klasifikasi batasan umur menurut WHO yaitu elderly (60-74 tahun), old (75-90 tahun) dan very old (lebih dari 90 tahun). Lansia di posko pengungsian paling banyak berada di dalam klasifikasi elderly. Namun lansia yang berumur antara 75-90 tahun hampir mencapai setengah dari elderly. Bahkan ada lansia di posko pengungsian yang sudah mencapai tahap very old yaitu lebih dari 90 tahun. Ini berarti secara umum usia harapan hidup lansia cukup tinggi. Semakin tua, keadaan fisik dan fungsional lansia akan menurun. Hal ini akan menambah resiko depresi ketika terpapar oleh penyebab dan faktor resiko depresi lainnya. Teori perkembangan Erikson menjelaskan bahwa lansia pada tahap usia ini akan mengalami integrity versus

36

despair. Lansia cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu. Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan. Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa. Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami. Individu ini akan mencapai kebijaksanaan, meskipun saat menghadapi kematian.

Hasil penelitian menunjukkan angka terbanyak menderita depresi adalah pada umur elderly age (60-74 tahun) yaitu 63,3% (19 orang). Hal ini sama dengan penelitian Siahaan (2013), dimana yang lansia yang mengalami depresi paling banyak terjadi pada tingkat elderly age yaitu 67,48% (83 orang). Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa semakin bertambah usia seseorang, semakin siap pula dalam menerima cobaan, hal ini didukung oleh teori aktivitas yang menyatakan bahwa hubungan antara sistem sosial dengan individu bertahan stabil pada saat individu bergerak dari usia pertengahan menuju usia tua (Cox dalam Tamher dan Noorkasiani, 2009).

Pada segi agama, sebagian besar lansia beragama Kristen Protestan (56,7%). Selain Kristen Protestan ada juga yang menganut agama Islam (40%) dan sebagian kecil menganut agama Katolik (3,3%). Hal ini menunjukkan bahwa orang Indonesia memiliki agama yang beragam dan tetap berbaur dalam suatu komunitas. Dari data tersebut juga diketahui bahwa semua lansia yang menjadi responden penelitian masing-masing memiliki agama yang di anutnya. Pihak posko menyediakan satu ruangan khusus untuk agama Kristen Protestan untuk

37

dikarenakan pihak posko tidak memfasilitasi kegiatan keagaamaan tersebut. Pengajian rutin untuk Islam juga tidak ada. Sehingga lansia tidak dapat mengisi waktunya dengan beribadah yang seharusnya dapat menambah kematangan spiritual lansia dan dapat mencegah depresi.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui rata-rata tingkat pendidikan lansia adalah lulusan SD sebesar 66,7% (20 orang). Pendidikan bisa mempengaruhi seseorang dalam menerima informasi, kemampuan mendengar, gaya hidup, perilaku, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Lansia yang tinggal di posko mayoritas berpendidikan rendah oleh karena itu kemampuan lansia mendengar, menerima dan memahami informasi, gaya hidup (kebiasaan), serta cara menyelesaikan masalah terkait kesehatan juga rendah. Masalah kesehatan kerap terjadi pada masa lansia. Lansia yang tidak tahu dan paham terhadap perubahan tersebut akan kesulitan beradaptasi dan hal ini bisa menjadi stresor yang memicu depresi pada lansia. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rochdiat (2012) dilihat dari faktor pendidikan diketahui sebagian besar responden bependidikan SD sebesar 66,7%. Hal ini sesuai dengan teori Tamher dan Noorkasiani (2009) bahwa tingkat pendidikan juga merupakan hal terpenting dalam menghadapi masalah. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin banyak pengalaman hidup yang dilaluinya, sehingga akan lebih siap dalam menghadapi masalah yang terjadi. Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hawari (2011) yang menyatakan seseorang yang tidak memiliki pendidikan memiliki wawasan yang kurang, sehingga dalam proses mengatasi sebuah permasalahan, dapat menyebabkan stress dan depresi.

38

Depresi juga dapat disebabkan karena ketidakberdayaan status sosial ekonomi yang rendah. Responden penelitain ini sebagian besar pernah bekerja sebagai petani sebanyak 90% (27 orang), hal ini karena dipengaruhi oleh letak geografis Karo yang dekat dengan pegunungan dengan tanah subur sangat cocok ditanami sayur-sayuran dan buah-buahan. Namun, setelah tinggal di posko pengungsian sebagian lansia yang masih produktif harus mencari pekerjaan supaya dapat memenuhi kebutuhannya, karena bantuan dari pemerintah tidak cukup. Kondisi ekonomi yang rendah menyebabkan timbulnya rasa ketidakberdayaan karena hilangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya depresi.

Faktor psikologis dan sosial ekonomi dipengaruhi berbagai peristiwa kehidupan antara lain lansia perempuan lebih sering kehilangan pasangan hidup pada masa tuanya, kehilangan sumber penghasilan dan mengalami perubahan lingkungan hidup setelah menjadi janda. Hal inilah yang dapat mengakibatkan lansia kehilangan dukungan secara psikologis, sosial dan ekonomi dan merasa kesepian. Menurut Nolen-Hoeksema, Morrow dan Frederickson 1991 dalam buku Kaplan & Sadock 2010 bahwa perbedaan dalam gaya koping juga dapat membantu menjelaskan mengenai besarnya kerentanan wanita untuk terkena depresi. Terlepas dari apakah faktor yang memicu depresi itu biologi, psikologis, atau sosial: respon koping seseorang menambah atau mengurangi keparahan dan durasi dari episode depresi. Pria lebih cenderung untuk mengalihkan pikiran saat depresi dengan merenungkan, duduk diam dan berpikir.

39

Terdapat berbagai keluhan yang dimiliki oleh lansia. Depresi pada lansia sangat dipengaruhi oleh penurunan status kesehatan. Ada berbagai keluhan kesehatan yang dimiliki oleh lansia. Pada tabel distribusi terlihat bahwa banyak lansia yang memiliki riwayat kesehatan 0-2 penyakit. Hal ini terjadi akibat kemunduran-kemunduran fisik yang dialami oleh setiap orang yang memasuki usia lansia. Penyakit yang bersifat kronik dan bersifat nyeri sangat berpotensi menjadi stressor. Begitu juga dengan ketidakmampuan fisik yang menimbulkan ketergantungan pada orang lain dan menjadi tidak berdaya. Hal ini lebih memperbesar risiko depresi pada lansia. Stanley dan Beare (2006), mengatakan bahwa dalam teori penurunan imunitas juga berperan penting terhadap terjadinya berbagai penyakit dalam tubuh lansia. Dalam teori imunitas, saat seseorang bertambah usia, pertahanan terhadap organisme asing juga mengalami penurunan sehingga mengakibatkan kelompok usia lanjut menjadi rentan terhadap berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seorang dengan berkurangnya sistem imun, maka terjadilah peningkatan dalam respon autoimun pada lansia seperti arthritir rheumatoid dan alergi terhadap makanan dan faktor lingkungan yang lain.

Pada masa lansia, kematian pasangan hidup kerap sering terjadi. Kematian pasangan dan perceraian merupakan salah satu faktor resiko terjadinya depresi pada lansia. Pada penelitian ini didapatkan bahwa dari 30 orang lansia yang dengan kriteria janda/duda yaitu 53,3% (16 orang). Menjadi sendiri lagi setelah kematian pasangan di usia senja akan berdampak besar pada psikologis lansia karena kehilangan dukungan baik emosional, penghargaan, informasi dan instrumental. Bencana alam juga membuat lansia diharuskan tinggal di posko

40

pengungsian yang mengharapkan bantuan dari pemerintah. Hidup di posko dengan keadaan seperti itu bisa memicu depresi pada lansia di akhir kehidupannya. Menurut hasil penelitian Rochdiat (2012) diketahui sebagian besar responden berstatus janda/duda sebesar 66,7%. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2011) bahwa sebanyak 50 dari 52 subyek lanjut usia dari yang diteliti berstatus duda/janda/belum menikah dan 34,8% mengalami depresi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka depresi lansia di posko pengungsian UKA yang mengalami depresi cukup mencengangkan. Perbandingan antara lansia yang tidak mengalami depresi sebesar 23,3% (7 orang) dan yang depresi sebesar 76,7% (23 orang). Angka ini menunjukkan bahwa angka kejadian depresi pada lansia cukup tinggi, yaitu hampir seluruh lansia mengalami depresi. Berdasarkan hasil pengamatan tempat penelitian, sebagian besar lansia tidak memiliki banyak aktivitas, tidak mampu melakukan pekerjaan, kehilangan pekerjaan, sudah tidak memiliki pasangan hidup, kehilangan peran sosial dan hal itu merupakan faktor pemicu terjadinya depresi pada lansia. Dari hasil penelitian bahwa 14 responden (46,7%) termasuk kategori depresi ringan. Hasil ini dipengaruhi oleh mekanisme koping pada usia lanjut yaitu faktor-faktor usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan dan dukungan keluarga sesuai dengan teori Tamher dan Noorkasiani (2009). Penelitian yang dilakukan Werdiningsih (2010) menemukan bahwa 40% lansia korban erupsi Merapi di Kabupaten Sleman mengalami depresi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada

41

korban letusan gunung merapi, maka tingkat depresi mereka akan lebih tinggi lagi.

Persebaran lansia jika dilihat dari distribusi frekuensi ternyata lansia perempuan lebih banyak menderita depresi daripada lansia laki-laki yaitu jika dilihat dari tingkatannya lansia perempuan yang mengalami depresi berat 5,6% (1 orang). Hal ini dikarenakan perbedaan gender juga dapat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi psikologis lansia, sehingga akan berdampak pada bentuk adaptasi yang digunakan. Hal ini sesuai dengan penelitian Siahaan (2013) bahwa angka kejadian depresi pada lansia lebih tinggi pada perempuan yaitu 8,42% (8 orang) sedangkan laki-laki 10,76% (3 orang). Hal ini berlawanan dengan penelitian Saragih (2010) yang menyatakan bahwa lansia dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengalami depresi yaitu 33,3% daripada lansia berjenis kelamin perempuan 20,7%. Darmojo (1999) menyatakan hasil penelitian mereka yang memaparkan bahwa ternyata keadaan psikososial lansia di Indonesia secara umum masih lebih baik dibandingkan lansia di negara maju, antara lain tanda-tanda depresi (pria 4,3% dan wanita 4,2%) dapat diasumsikan bahwa wanita lebih mampu menghadapi masalah daripada kaum lelaki yang cenderung lebih emosional (Tamher & Noorkasiani, 2009).

Hasil penelitian mayoritas responden lebih banyak memilih pernyataan yang ke sebelas yaitu lansia merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup sekarang (96,7%), hal ini menunjukkan spiritualitas lansia di posko pengungsian UKA baik dan pernyataan ke sembilan yaitu lansia lebih suka mengerjakan hal-hal baru daripada tinggal dirumah (93,3%), hal ini disebabkan

42

oleh kondisi pengungsian yang kurang baik buat kesehatan karena ventilasi kurang memadai, terlalu banyak barang memenuhi posko dan jumlah pengungsi yang banyak dalam satu ruangan. Namun, pada pernyataan ke empat lansia merasa bosan (90%) hal ini dikarenakan lansia sudah tidak dapat melakukan aktivitas yang biasa dilakukannya sebelum terjadinya bencana. Lansia pada umumnya bekerja sebagai petani, namun setelah terjadi bencana mereka tidak memiliki lahan pertanian lagi sehingga membuat lansia merasa bosan.

43

Dokumen terkait