• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.2 Pembahasan

Unsur utama bagi pertumbuhan rumput laut adalah karbon (C). Unsur ini dapat diperoleh dari karbon dioksida (CO2) yang sangat banyak terlarut dalam air, sehingga tidak terlalu menjadi masalah. Berbeda dengan kandungan nitrogen yang ketersediannya masih belum bisa terjamin untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan rumput laut. Nitrogen di suatu perairan budidaya berkaitan erat dengan pemberian pakan pada komoditas yang dipelihara. Semakin besar padat penebaran udang windu maka semakin banyak pakan yang diberikan pada aktivitas budidaya udang windu. Seiring meningkatnya pakan yang diberikan maka semakin banyak pula buangan nitrogen yang harus dihilangkan. Buangan nitrogen berasal dari pakan yang tidak termakan dan hasil sisa metabolisme dari udang windu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas budidaya udang windu dapat memberikan nitrogen bagi rumput laut. Hal ini dapat terlihat dari

0 2 4 6 8 0 10 20 30 K ad ar Ok sigen T er lau r (m g/l ) Hari-ke A B C D

nitrogen yang dikeluarkan oleh udang windu (Tabel 1). Pada perlakuan 8 ekor/0,27 m2 memiliki buangan nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain sebesar 0,14 mg/L. Menurut Sakdiah (2009) menyatakan nilai ekskresi TAN dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain suhu, bobot, kadar nutrisi, salinitas, dan kadar TAN.

Kekurangan nitrogen dalam perairan dapat menghambat pertumbuhan tanaman akuatik, walaupun unsur hara lain berada dalam jumlah yang melimpah (Hunter 1970 dalam Patadjai 1993). Sebab itulah, penanaman rumput laut pada budidaya udang windu dengan kandungan nitrogen yang berlimpah sangat menguntungkan, disatu sisi rumput laut membutuhkan N yang cukup untuk pertumbuhan dan disisi lain rumput laut (Gracilaria sp) diharapkan dapat mengurangi pencemaraan N-organik yang terjadi pada proses budidaya udang windu. Menurut Syah et al. (2006) menunjukkan beban limbah budidaya udang berupa sisa pakan, ekskresi, dan feses yang berada dalam air dapat mencapai 61,77-77,25 kg N per ton produksi udang pada tingkat FCR 1,69-2,14 dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya produktivitas udang.

Penyerapan dan penyimpanan nitrogen oleh rumput laut dilakukan diseluruh tubuh atau diseluruh bagian thallus rumput laut dan kemudian disimpan pada dinding sel. Berdasarkan Tabel 1, menunjukkan bahwa N dalam air pada perlakuan 24 ekor/0,27 m2 memiliki konsentrasi yang lebih tinggi tetapi penyerapan N rumput laut pada perlakuan 16 ekor/0,27 m2 yang memiliki nilai lebih tinggi. Hal ini diduga pada perlakuan 16 ekor/0,27 m2 merupakan kondisi maksimum kemampuan rumput laut dalam menyerap N di dalam air. Ketika padat tebar udang windu ditingkatkan melebihi 16 ekor/0,27 m2 dengan tujuan memberikan buangan yang lebih banyak lagi sebagai sumber nutrien untuk rumput laut, hal ini tidak akan berpengaruh karena kemampuan serap rumput laut telah mengalami kondisi optimal.

Selama masa pemeliharaan terlihat terjadi penyerapan N oleh rumput laut dengan bertambahnya N yang ada di dalam rumput laut (Lampiran 10). Pada semua perlakuan peningkatan nutrien N pada rumput laut memiliki peningkatan yang berbeda. Perbedaan peningkatan N pada rumput laut dikarenakan kemampuan serap rumput laut yang berbeda (Gambar 3). Penyerapan dan

penyimpanan N oleh rumput laut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya oleh konsentrasi N anorganik terlarut di media air dan juga dipengaruhi oleh fluktuasi ekologis N dalam jaringan tumbuhan dan kecepatan pertumbuhan.

Salah satu yang diserap oleh rumput laut adalah nitrogen dalam bentuk amoniak. Amoniak merupakan sumber nitrogen utama bagi tanaman akuatik (Dawes 1981). Amoniak (NH3) merupakan produk akhir utama dalam pemecahan protein pada budidaya udang maupun hewan akuatik lainnya. Udang mencerna protein pakan dan mengekskresikan amoniak melalui insang dan feses. Perubahan nilai konsentrasi amoniak terus mengalami peningkatan hingga akhir. Hal ini cukup wajar karena dengan seiring waktu konsentrasi amoniak akan semakin berakumulasi. Pada awal pemeliharaan rumput laut dapat berperan dengan baik dalam menyerap amoniak, ini terlihat dari perubahan peningkatan amoniak yang rendah pada sepuluh hari pertama dibandingkan sepuluh hari berikutnya (Gambar 11). Menurut Patadjai (1993) dan Sukmarumaeti (2002), bahwa nitrogen dalam bentuk amoniak yang paling utama diserap oleh rumput laut. Semakin tinggi kemampuan rumput laut menyerap amoniak di media budidaya, maka semakin besar nilai pertumbuhannya. Hal ini dapat dilihat dari pertambahan bobot tertinggi selama masa pemeliharaan terjadi pada sepuluh hari pertama (Gambar 4).

Nitrat adalah bentuk nitrogen utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Kandungan nitrat yang didapat pada penelitian ini berkisar antara 0,02-0,84 mg/L. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/L dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan, selanjutnya menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat (blooming) (Effendie 2003). Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik (Effendie 2003). Namun, konsentrasi yang dianjurkan harus kurang dari 100 mg/L (Pillay 2004). Konsentrasi nitrat selama penelitian cenderung mengalami peningkatan walaupun pada sampling terakhir konsentrasinya mengalami penurunan. Hal ini diduga karena proses penyerapan nitrat oleh rumput laut belum terjadi secara optimal pada 20 hari pertama tapi terjadi secara optimal pada 10 hari terakhir.

Selain amoniak dan nitrat, rumput laut dapat memanfaatkan nitrit sebagai nutrien untuk pertumbuhan. Amoniak diubah menjadi nitrit oleh bakteri

Nitrosomonas yang bersifat lebih berbahaya bagi udang. Pada 10 hari pertama konsentrasi amoniak dan nitrat cenderung rendah dibandingkan kandungan nitrit. Hal ini disebabkan proses nitrifikasi yang terjadi dan penyerapan yang dilakukan oleh rumput laut belum optimal. Pada umumnya, rumput laut tidak menyerap nitrit secara langsung. Akan tetapi rumput laut dapat menyerap nitrit dengan terlebih dahulu mereduksi nitrit menjadi amoniak. Gracilaria lebih menyukai amoniak dan nitrat dibandingkan dengan nitrit (Begon et al.1990).

Pada awal pemeliharaan ketika udang dimasukkan ke dalam media budidaya akan terlihat peningkatan konsentrasi amoniak hingga 10 hari pertama. Kemudian akan terjadi peningkatan konsentrasi nitrit karena mulai terjadi proses nitrifikasi oleh bakteri Nitrosomonas. Setelah lebih dari 10 hari, akan terlihat peningkatan konsentrasi nitrat dan penurunan konsentrasi nitrit pada media budidaya karena terjadi proses nitrifikasi oleh bakteri Nitrobacter. Setelah lebih dari 20 hari, sistem akan stabil dan proses nitrifikasi akan berlanjut secara alami (Nelson 2008).

Rumput laut dapat mengurangi atau menghilangkan nutrien amoniak, nitrit, dan nitrat di wadah pemeliharaan Tabel 3, pada pemeliharaan rumput laut dengan 24 ekor/0,27 m2 udang windu memiliki kemampuan menghilangkan konsentrasi lebih banyak, amoniak 61,08%, nitrat 62,04%, dan nitrit 58,68%. Pada penelitian Zhou et al. (2006) G lemaneiformis dapat mengurangi jumlah hara nitrogen yang terakumulasi dalam dissoloved inorganic nitrogen (DIN) pada wadah pemeliharaan dapat dihilangkan kurang lebih 90%, dan rumput laut dapat menerima hampir 90% dari ammonium yang dipelihara bersama ikan. Hasil penelitian menunjukkan perubahan kualitas air berupa amoniak, nitrat, dan nitrit pada wadah pemeliharaan budidaya secara polikultur untuk perlakuan 24 ekor/0,27 m2 udang windu memiliki perubahan lebih baik dalam menghilangkan konsentrasi amoniak dan nitrat, sedangkan pada perlakuan 16 ekor/0,27 m2 udang windu memiliki perubahan lebih baik dalam menghilangkan konsentrasi nitrit. Perlakuan rumput laut dengan padat tebar udang windu paling besar mampu menurunkan konsentrasi amoniak dan nitrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan rumput laut dengan padat tebar yang lebih rendah.

Pemeliharaan rumput laut secara polikultur dengan udang windu memberikan laju pertumbuhan rumput laut sebesar 2,63%, hasil ini lebih baik dibandingkan dengan pemeliharaan rumput laut secara monokultur sebesar 1,44%. Hal ini disebabkan, nitrogen yang dihasilkan dari metabolisme udang windu mampu diserap oleh rumput laut untuk mendukung pertumbuhannya. Pertumbuhan dan biomassa dapat tercapai dengan baik bila rumput laut tercukupi oleh nitrogen. Laju pertumbuhan rumput laut hingga akhir masa penelitian menunjukkan perlakuan 16 ekor/0,27 m2 udang windu memiliki laju pertumbuhan tertinggi dibandingkan perlakuan 0 ekor/0,27 m2 udang windu, 8 ekor/0,27 m2 udang windu dan perlakuan 24 ekor/0,27 m2 udang windu yaitu sebesar 2,63%. Dari hasil uji statistik (Lampiran 1) menunjukkan bahwa perbedaan padat tebar udang berpengaruh nyata (P<0.2) terhadap laju pertumbuhan rumput laut. Laju pertumbuhan harian rumput laut yang dihasilkan masih tergolong rendah, yaitu perlakuan A (1,44%), B (2,21%), kemudian C (2,63%), dan D (2,55%), tetapi masih berada dalam kisaran normal bila dibandingkan dari hasil penelitian Hendrajat dan Mangampa (2007) dengan laju pertumbuhan 2,3%. Perbedaan pertumbuhan yang dihasilkan dikarenakan sistem budidaya yang digunakan.

Hasil laju pertumbuhan rumput laut yang kurang optimal juga disebabkan oleh intensitas cahaya yang tidak mencukupi selama masa penelitiaan. Penelitian dilaksanakan di kota Bogor memiliki kecenderungan cuaca yang mendung dan intensitas hujan yang cukup tinggi. Masa pemeliharaannya juga dilakukan pada musin penghujan yaitu bulan November, sehingga menyebabkan intensitas cahaya menjadi kurang optimal. Intensitas cahaya selama masa penelitian berkisar 1430-26800 lux meter (Tabel 1). Walaupun ketersedian unsur hara mencukupi dalam perairan bila intensitas cahaya rendah akan menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi terhambat. Pertumbuhan rumput laut merupakan perubahan biomassa yang memerlukan cahaya matahari untuk membentuk sel dari substansi abiotik melalui proses fotosintesis. Menurut Nyabakken (1992), laju fotosintesis akan tinggi bila tingkat intensitas cahaya tinggi.

Dilain pihak pada proses budidaya polikultur, rumput laut bukan hanya dapat menyerap N yang dapat menguntungkan udang dan lingkungan tetapi pada siang hari rumput laut dapat menghasilkan oksigen melalui fotosintesis. Rumput

laut berperan penting dalam menentukan jumlah konsentrasi oksigen dalam perairan. Hadirnya rumput laut ini, perairan akan menjadi lebih jernih dan secara signifikan akan meningkatkan oksigen terlarut. Pada masa pemeliharaan juga dilakukan penelitian tambahan yaitu produksi suplai oksigen yang dihasilkan oleh rumput laut. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rumput laut Gracilaria sp. dapat menyuplai oksigen terlarut sebesar 1,33 mg/L selama 6 jam pemeliharaan (Lampiran 11).

Konsentrasi oksigen terlarut di media budidaya pada semua perlakuan selama pemeliharaan berkisar antara 4,23-7,37 ppm. Ketersedian oksigen terlarut di dalam media digunakan untuk respirasi dan proses nitrifikasi. Nitrifikasi merupakan proses oksidasi amoniak menjadi nitrit dan nitrat, sehingga ketersedian oksigen terlarut akan memperngaruhi ketersedian nitrit dan nitrat di perairan. Hasil penelitian menunjukkkan kandungan nitrit dan nitrat fluktuasinya naik turun. Hal ini sangat mungkin saja terjadi karena selama masa pemeliharaan oksigen terlarut di media mengalami kondisi yang sama, yaitu berubah-ubah.

Konversi pakan (FCR) merupakan indikator untuk mengetahui efektifitas pakan dan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menggambarkan jumlah pakan yang dapat dimanfaatkan oleh organisme budidaya. Berdasarkan Gambar 8 terlihat dengan padat tebar lebih kecil menghasilkan FCR yang lebih rendah sebesar 2,46 dibandingkan padat tebar yang lebih tinggi, yaitu sebesar 3,02. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan pertumbuhan yang sama dibutuhkan jumlah pakan yang lebih sedikit, karena pakan yang diberikan banyak terserap oleh udang windu untuk pertumbuhan. Kondisi ini disebabkan sebagai akibat dari kepadatan rendah dan kondisi lingkungan yang lebih baik. Ikan mempunyai kemampuan memanfaatkan makanan dengan baik dibandingkan dengan kepadatan yang cukup tinggi, karena makanan merupakan faktor luar yang mempunyai peranan di dalam pertumbuhan (Syahid et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan nilai FCR berpengaruh nyata (p>0.2) terhadap budidaya polikultur rumput laut dengan padat tebar udang windu yang berbeda.

Pemberian pakan yang baik dapat meningkatkan pertumbuhan udang tetapi dalam waktu bersamaan juga akan meningkatkan N yang dihasilkan dari

sisa metabolisme udang windu tersebut. Keberadaan rumput laut Gracilaria sp. menjadi sangat menguntungkan dengan meningkatnya N diperairan. Dari hasil penelitian ini rumput laut Gracilaria sp. dapat secara baik dalam menjaga konsentrasi N di wadah pemeliharaan. Hal ini dapat dilihat dari konsentrasi N berupa amoniak dan nitrit (Gambar 10 dan 11), walaupun tidak dilakukan pergantian air pada akuarium tapi masih dalam konsentrasi yang dapat di toleran bagi udang windu selama masa penelitian.

Kemampuan rumput laut dalam menyerap nutrien secara tidak langsung berdampak baik bagi kehidupan udang windu. Daya serap rumput laut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kondisi kualitas lingkungan di perairan. Wadah pemeliharaan yang mendukung berimplikasi pada kematian yang rendah dan pertumbuhan yang baik atau optimal. Hasil yang didapat selama massa pemliharaan, kelangsungan hidup udang windu pada perlakuan padat tebar 8 ekor/0,27 m2 udang windu memberikan kelangsungan hidup yang paling tinggi yaitu sebesar 91,7%. Walaupun kemampuan serap rumput laut terhadap nitrogen pada perlakuan 8 ekor/0,27 m2 lebih kecil dibandingkan perlakuan polikultur (Gambar 3), tetapi kondisi kualitas air pada perlakuan 8 ekor/0,27 m2 masih lebih baik, ini terlihat dari konsentrasi amoniak dan nitrit yang dominan lebih rendah dibandingkan perlakuan 16 ekor/0,27 m2 dan 24 ekor/0,27 m2 (Gambar 10) (Gambar 11).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada sistem polikultur rumput laut

Gracilaria sp. dengan perlakuan padat penebaran udang windu yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan udang windu. Walaupun rumput laut dapat memberikan kondisi lingkungan yang optimal bagi udang windu, tetapi tingkat padat tebar lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan udang windu. Menurut Mangampa dan Pantjara (2008), menyatakan bahwa semakin besar kepadatan ikan yang kita berikan, akan semakin kecil laju pertumbuhan per individu. Ruang gerak merupakan faktor luar yang mempengaruhi laju pertumbuhan, dengan adanya ruang gerak yang cukup luas ikan dapat bergerak dan memanfaatkan unsur hara secara maksimal (Anonimous 1993). Pada padat penebaran tinggi ikan mempunyai daya saing di dalam

memanfaatkan makanan, unsur hara dan ruang gerak, sehingga akan mempengaruhi laju pertumbuhan ikan tersebut.

Pertumbuhan rumput laut dan udang windu juga didukung oleh kondisi lingkungan seperti suhu, salinitas, dan pH. Hasil pengukuran menunjukkan selama pemeliharaan berlangsung suhu air berkisar antara 23-29,5 0C, hal ini tidak memberi indikasi negatif terhadap pertumbuhan thallus, karena menurut pengamatan Santika (1985) masih dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan rumput laut.

Selama pengamatan salinitas berkisar antara 30-34 ppt (Tabel 4), keadaan ini masih dalam batas toleransi, karena jenis Gracilaria sp. mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap salinitas sangat tinggi, yaitu antara 15-35 ppt (Santika 1985). Selama penelitian salinitas cenderung meningkat. Peningkatan salinitas disebabkan terjadinya penguapan yang tinggi. Air akan menguap sehingga air budidaya menjadi berkurang dan terjadi pengendapan garam-garam di dasar.

Nilai pH air laut umumnya bersifat basa. Selama pengamatan nilai pH dalam kondisi yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara 7,9-9,2. Nilai pH ini masih dalam kondisi toleran bagi kehidupan udang windu maupun rumput laut

Gracilaria sp., tetapi tidak memberikan kondisi yang optimal bagi rumput laut maupun udang windu. Sesuai dengan pendapat Santika (1985) bahwa algae jenis

Dokumen terkait