• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pembahasan

Dari hasil pemeriksaan kadar MDA di dalam sekresi epididimis mencit diperoleh adanya peningkatan kadar MDA pada kelompok perlakuan P1 (Pb asetat 0,1 % ) dan P2 (Pb asetat 0,3 %) dibandingkan dengan kelompok perlakuan P0 (aquadest). Hal ini mungkin terjadi oleh karena logam berat Pb dari senyawa Pb asetat merupakan inisiator atau menginduksi terjadinya oksidasi senyawa lipid

terutama pada asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi melalui serangkaian proses pembentukan radikal bebas secara berantai (Gambar 16).

Gambar 16. Peroksidasi lipid. Reaksi dicetuskan oleh radikal bebas yang ada (X), oleh cahaya, atau ion logam. Malondialdehid hanya dibentuk oleh asam-asam lemak dengan tiga atau lebih ikatan rangkap, dan digunakan sebagai ukuran peroksidasi lipid bersama dengan etana dari dua karbon terminal asam lemak 3 serta pentana dari lima karbon terminal asam lemak 6

(Murray et al, 2003) Salah satu produk yang terbentuk dari serangkain reaksi tersebut adalah peroksidasi lipid (ROOH). Peroksidasi lipid tidak stabil, sehingga mudah mengalami pemecahan dan membentuk berbagai senyawa. Salah satu produk dari dekomposisi peroksidasi lipid adalah senyawa MDA. Peningkatan senyawa MDA menunjukkan terjadinya banyak lipid (merupakan komponen membran sel) yang mengalami oksidasi. MDA digunakan sebagai ”bio marker ” atau penanda terjadinya peningkatan stress oksidasi pada organisme (Del Rio et al, 2005).

Pada penelitian ini, vitamin C yang diberikan bersamaan dengan senyawa Pb asetat dilakukan untuk mengetahui kemampuan vitamin C dalam menangkal

senyawa radikal bebas atau senyawa ROS yang ditimbulkan dari perlakuan Pb asetat 0,1 %. Dari hasil permerikasaan kadar MDA di dalam sekresi epididimis mencit (Mus musculus L) pada kelompok P3 (Pb asetat 0,1% + Vitamin C 0,2 mg/g BB) ternyata menunjukkan penurunan yang bermakna p<0,05 dibandingkan dengan kelompok P1 (Pb asetat 0,1% ), Hal ini menyatakan bahwa pemberian vitamin C dengan dosis 0,2 mg/g BB/hari selama 36 hari mampu membantu melindungi senyawa-senyawa radikal bebas yang ditimbulkan dari paparan logam berat Pb (timbal) yang tedapat pada senyawa Pb asetat 0,1 %.

Pemberian timbal asetat memang terbukti memicu terbentuknya MDA sebagai produk dari peroksidasi lipid. Hal ini terlihat bila dibandingkan antara kelompok mencit yang diberi Pb dengan yang diberi aquadest, maupun dengan yang diberi vitamin C saja.

Peningkatan konsentrasi Pb yang diberikan dari 0,1 % menjadi 0,3 % ternyata juga meningkatkan konsentrasi MDA yang terbentuk, dimana hal ini terlihat dari perbandingan antara kadar MDA pada kelompok P2 dengan kelompok P1.

Melalui pemberian vitamin C dosis 0,2 mg/g BB selama 36 hari ternyata sudah dapat mengembalikan kadar MDA ke tingkat normal kembali bila Pb asetatnya 0,1 %, tetapi konsentrasi vitamin C tersebut di atas tidak mampu menanggulangi kerusakan yang ditimbulkan oleh Pb asetat 0,3 %.

Sejauhmana konsentrasi MDA akan menurun bila diberi vitamin C yang lebih tinggi lagi tentu memerlukan penelitian lanjutan, seterusnya bila diamati antara

kelompok mencit yang hanya diberi aquadest dengan yang diberi vitamin C saja ternyata kadar MDA kedua kelompok ini tidak terlalu berbeda dengan kelompok yang diberi Pb asetat 0,1 % tetapi bersamaan dengan vitamin C 0,2 mg/g BB.

Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian lainnya yaitu: Chitra et al (2003) dalam hasil penelitiannya munjukkan bahwa pemberian salah satu senyawa pemicu stres oksidasi (Bisphenol A) dosis 2 µg/Kg BB bersamaan dengan vitamin C dosis 40mg/Kg BB selama 45 hari, ternyata diperoleh hasil terjadi penurunan kadar lipid peroksidasi di dalam sekresi epididimis tikus putih (Rattus novergicus L), dibandingkan dengan kelompok yang diberikan senyawa bisphenol A dosis 2 µg/Kg BB tanpa vitamin C. Sedangkan Edyson (2003) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa pemberian kombinasi vitamin C dan vitamin E pada tikus yang terpapar L-Tiroksin (pemicu stress oksidasi) selama 14 hari dapat menurunkan kadar MDA eritrosit dibandingkan dengan hewan uji yang terpapar L-Tiroksin saja. Hal ini menunjukkan vitamin C berperan sebagai antioksidan melindungi efek toksik dari senyawa–senyawa yang dapat memicu peningkatan radikal bebas atau ROS. Penurunan kadar senyawa-senyawa radikal ini dapat ditandai dengan penurunan kadar senyawa MDA.

Vitamin C mempunyai polaritas yang tinggi karena banyak mengandung gugus hidroksil sehingga mudah larut dalam air. vitamin C mudah mengalami proses oksidasi dengan senyawa-senyawa radikal (Tabel 9) sehingga terbentuk radikal

ascorbat (Asc0-). Selanjutnya radikal ascorbat ini dengan NADH akan kembali lagi menjadi asam ascorbat (AscH- ) (Gambar 17).

Gambar 17. Reaksi vitamin C menetralisir radikal bebas

Tabel 9. Kecepatan reaksi senyawa-senyawa radikal bebas yang bereaksi dengan asam ascorbat (AscH- )

Radical Kabs/M-1 s-1 (pH 7.4) Ref.a

HO 1.1 x 1010 [20]

RO (tert-butyl alkoxyl radical) 1.6 x 109 [21]

ROO (alkyl peroxyl radical, e.g., CH3COO) 1-2 x 108 [22]

Cl3COO 1.8 x 108 [23] GS (glutathiyl radical) 6 x 108 (5.6) [24,25] PUFA -UH• - (Urate radical) 1 x 106 [26] TO (Tocopheroxyl radical) 2 x 105 c [3] Asc• - (dismutation) 2 x 105 d [27]

CPZ • - (Chlorpromazine radical cation) 1.4 x 109 (5.9) [28]

Fe(III)EDTA/Fe(II)EDTA x 102 e

O2• -/HO2 1 x 105 d [29, 30]

2.7 x 105 [31]

Fe(III)DFO/Fe(II)DFO Very slow [32, 33]

(Favier et al , 1995) Dari hasil pengamatan kualitas spermatozoa dapat dilihat bahwa jumlah spermatozoa di dalam sekresi epididimis ternyata tidak begitu dipengaruhi oleh

pemberian vitamin C, dimana terlihat bahwa jumlah spermatozoa pada kelompok mencit yang diberi Pb asetat dengan konsentrasi yang berbeda (0,1% dan 0,3 %) masih sama dengan kelompok yang diberi Pb asetat seperti di atas ditambah dengan vitamin C 0,2 mg/g BB. Jumlah spermatozoa berbeda secara bermakna bila dibandingkan dengan kelompok yang diberi aquadest saja ataupun diberi vitamin C saja dibandingkan dengan kelompok yang diracuni Pb asetat 0,1 % atau 0,3%.

Jika dilihat pada persentase motilitas spermatozoa, maka tampak bahwa hanya dengan pemberian Pb asetat 0,3% yang dapat mempengaruhi/menurunkan motilitasnya. Pemberian vitamin C yang bersamaan dengan Pb asetat ternyata mempengaruhi secara bermakna akan motilitas spermatozoa tersebut, hal ini terlihat bila dibandingkan dengan kelompok P3 dengan P1 maupun P4 dengan P2. Manfaat vitamin C ini diperkuat lagi dengan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok P3 maupun P4 dengan P0.

Pemberian Pb asetat dengan konsentrasi 0,1 % maupun 0,3 % sudah dapat menurunkan kecepatan gerak spermatozoa. Perbaikan terhadap kecepatan gerak spermatozoa memang terlihat dengan pemberian vitamin C oleh karena kelompok P3 ( Pb asetat 0,1% + vitamin C 0,2 mg/g BB) berbeda dengan kelompok P1 (Pb asetat 0,1% saja). Begitu juga bila dibandingkan P4 dengan P2, namun penurunan ini hanya dapat dikembalikan kepada kondisi normal bila diberi vitamin C pada pemberian Pb asetat 0,1 % saja, dimana kondisi ini terlihat dari perbandingan antara kelompok P3 dengan P0.

Dari pengamatan terhadap morfologi spermatozoa dapat dilihat bahwa morfologi spermatozoa belum begitu dipengaruhi oleh vitamin C, dimana hal ini terbukti dari perbandingan antara kelompok P3 dengan P1 maupun P4 dengan P2. Peningkatan nyata morfologi abnormal spermatozoa diperoleh antara kelompok yang diberi Pb asetat konsentrasi 0,1% dan 0,3% dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa timbal yang merupakan salah satu senyawa pemicu stres oksidasi, dapat mempengaruhi kerusakan struktur sel spema, ditandai banyaknya dijumpai kelainan bentuk/abnormalitas sel sperma. Beberapa kriteria yang menunjukkan spermatozoa yang abnormal antara lain: kelainan bentuk kepala berupa kepala bulat, kepala ganda, atau bentuk amorphous, dan kelainan ekor berupa ekor membengok.

Hasil ini didukung oleh penelitian Hayati et al (2006) yang menyatakan bahwa senyawa yang menyebabkan stres oksidasi dapat memicu terjadinya peroksidasi lipid pada membran spermatozoa sehingga terjadi kerusakan membran dan penurunan integritas membran spermatozoa, yang pada akhirnya berdampak terhadap penurunan kualitas spermatozoa.

Dokumen terkait