• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

Selama penelitian, data fisika-kimia perairan yang diukur di dalam wadah pemeliharaan baik KJA maupun KJT, pada sore hari setiap minggunya secara umum memiliki nilai baku mutu yang masih sesuai dengan standar baku perairan untuk budidaya. Hanya pada suhu dan kecepatan arus saja yang nilainya tidak sesuai.

Selama penelitian suhu berkisar antara 29-29,8 0C sedangkan standar baku perairan untuk budidaya kerapu ialah 26,5-28 0C, namun kisaran suhu tersebut cenderung konstan dan menurut Sudjiharno dan Winanto (1998) perubahan suhu yang cukup ekstrim akan berpengaruh terhadap proses metabolisme atau nafsu makan ikan. Karena selama penelitian tidak terjadi perubahan suhu yang ekstrim, sehingga faktor suhu masih dianggap layak untuk dilaksanakannya budidaya kerapu.

Kecepatan arus pada saat penelitian berkisar anatara 0,02 – 0,08 m/s yang seharusnya standar baku perairan untuk budidaya kerapu memiliki kisaran kecepatan arus 0,2 – 0,3 m/s. Hal tersebut diduga berdampak pada penurunan mutu perairan diantaranya kadar oksigen perairan. Pada saat penelitian pengukuran fisika-kimia perairan hanya dilakukan pada sore hari dimana kadar oksigen terlarut masih tinggi. Pada malam hari kadar oksigen di perairan akan berkurang disebabkan konsumsi oksigen di perairan selain digunakan oleh ikan kerapu macan juga digunakan oleh fitoplankton dalam perairan untuk respirasi, sehingga kompetisi dalam memperoleh oksigen semakin tinggi. Dengan kecepatan arus yang relatif kecil, perputaran air pada wadah menjadi lambat menyebabkan kadar oksigen pada wadah semakin krisis. Oleh karena itu kematian ikan selama penelitian yang terjadi pada malam hari diduga karena kadar oksigen dalam wadah yang menurun secara drastis.

Pada KJT kadar amoniak (0,14 ppm) lebih tinggi dibandingkan KJA (0,08 ppm), sedangkan kelarutan oksigen KJT (7,33 ppm) lebih rendah dibandingkan KJA (7,34 ppm), menurut Effendi (2000) toksisitas amoniak akan meningkat seiring dengan menurunnya kadar oksigen dalam suatu perairan. Oleh karena itu toksisitas amoniak pada KJT lebih tinggi dibandingkan di KJA sehingga secara umum ikan pada KJT lebih rentan dibandingkan ikan pada KJA.

Keberadaan perairan tersebut memberikan dampak pada nafsu makan ikan, efisiensi pakan dan tingkat kelangsungan hidup ikan kerapu macan. Pada kelompok ikan ukuran kecil KJA dan kelompok ikan ukuran kecil KJT memiliki nilai rata-rata konsumsi pakan harian yang sama yaitu 2,2% dari biomasa ikan, namun nilai efisiensi pakan dari ikan tersebut berbeda yaitu KJA (23%) lebih tinggi dibandingkan KJT (21%). Dengan demikian energi dari pakan yang dikonsumsi oleh ikan ukuran kecil pada KJT lebih sedikit diserap oleh tubuh dibandingkan ikan ukuran kecil pada KJA. Hal tersebut menyebabkan laju pertumbuhan spesifik ikan kecil pada KJT (0,44%) lebih rendah dibandingkan ikan kecil pada KJA (0,47%). Begitu pula yang terjadi pada ikan yang berukuran besar, nilai rata-rata konsumsi pakan harian ikan ukuran besar pada KJT (2,2% dari biomasa) lebih tinggi dibandingkan ikan ukuran besar pada KJA (2,0% dari biomasa). Hal tersebut menyebabkan laju pertumbuhan pada ikan ukuran besar pada KJT (0,86%) lebih tinggi dibandingkan ikan ukuran besar pada KJA (0,62%).

Nafsu makan dan laju pertumbuhan yang tinggi menunjukan bahwa ikan menyukai perairan tersebut. Sesuai dengan pola hidup ikan kerapu macan menurut Anonimus (2007b), Pada saat stadia telur dan larva, ikan kerapu macan bersifat pelagis, namun begitu menginjak usia muda sampai dewasa bersifat demersal. Pada penelitian ini terlihat ikan kerapu ukuran kecil lebih menyukai wadah KJA dibandingkan KJT dengan laju pertumbuhan yang lebih tinggi pada KJA. Wadah KJA memiliki karakteristik pelagis dimana kantong jaring berada pada kolom perairan. Demikian pula pada ikan kerapu macan ukuran besar lebih menyukai wadah KJT yang memiliki karakteristik demersal dimana kantong jaring berada di dasar perairan. Hal tersebut juga sesuai dengan sistem pengadaptasian pada kegiatan sea farming dimana ikan kerapu macan ukuran kecil (11-13 cm) dipelihara dalam KJA, kemudian setelah besar (13-15 cm) dipelihara dalam KJT.

Tingkat kelangsungan hidup dari masing-masing kelompok perlakuan umumnya memiliki nilai yang sama yaitu 100%, hanya kelompok ikan ukuran besar pada KJT saja yang memiliki tingkat kelangsungan hidup sebesar 82,35%. Pada sistem KJA, kantong jaring pemeliharaan ikan berada jauh dari dasar perairan yaitu 6,5 s.d 8 m, sedangkan keramba jaring tancap permukaan kantong

37

jaring berkenaan langsung dengan dasar perairan sehingga ikan dapat kontak langsung dengan substrat perairan yang menjadi tempat mengendapnya senyawa-senyawa organik dan anorganik serta limbah yang bersifat toksik. Selain itu pada dasar perairan pun banyak terdapat vektor penyakit yang dapat menjangkit tubuh ikan kerapu macan yang dipelihara. Hal tersebut dapat terlihat pada kasus penyakit yang terjadi selama penelitian, pada ikan kerapu macan yang dipelihara dalam KJT didapatkan 2 kasus penyakit disetiap wadah, sedangkan pada ikan uji yang dipelihara pada KJA hanya terdapat 1 kasus penyakit yaitu pada kelompok ikan ukuran kecil.

Dilihat dari sampel ikan yang mengalami kematian pada ikan ukuran besar dalam KJT, ikan mati dengan kondisi kurus yang diduga karena terjangkit oleh penyakit dalam pencernaan seperti cacing. Menurut Sindermann (1990), pada ikan dewasa cacing menyerang pada saluran pencernaan, sedangkan pada larva ikan cacing menyerang pada daging dan isi perut. Cacing dapat masuk ke dalam tubuh inang dikarenakan adanya kesalahan dalam mekanik, hilangnya substansi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam metabolisme, adanya fasilitas bagi mikroorganisme patogen untuk masuk ke dalam tubuh inangnya serta lingkungan yang buruk menyebabkan ikan mudah terjangkit. Pada ikan yang terserang cacing pada pencernaannya akan terlihat kurus dan terlihat lemas.

Kematian hanya terjadi pada ikan yang berukuran besar di KJT diduga karena pada saat terjadi up wealing atau gelombang tinggi, substrat dasar yang banyak mengandung senyawa-senyawa toksik terangkat dan terlarut dalam perairan, kemudian ikan besar lebih banyak menyerap air untuk metabolisme tubuh sedangkan perairan pada saat itu sedang mengalami penurunan mutu, akhirnya ikan besar akan banyak menyerap toksik dari perairan dan menyebabkan kematian terutama pada ikan yang sebelumnya telah terserang oleh penyakit.

Dokumen terkait