• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

Pencemaran logam berat seperti kadmium dan tembaga di Teluk Jakarta dapat mempengaruhi biota yang hidup di perairan tersebut. Data toksisitas kedua logam tersebut terhadap biota yang paling sensitif sangat diperlukan untuk dapat melindungi biota perairan dari pencemaran dan selanjutnya dapat mengetahui batas kadar yang aman bagi lingkungan perairan. Larva kerang merupakan tahapan yang paling rentan terhadap pengaruh toksikan. Pengaruh toksikan terhadap larva kerang umumnya berupa larva abnormal yaitu larva veliger yang gagal dalam pembentukan cangkang D (Darmono, 1995)

Pada penelitian ini, kadmium digunakan sebagai kontrol positif (reference

toxicant) dikarenakan sifat kadmium dalam air yang stabil dan kadmium telah

banyak digunakan dalam penelitian toksisitas yang telah diketahui pengaruhnya pada biota uji. Penelitian toksisitas tembaga pada larva kerang sendiri masih

belum banyak dilakukan sehingga diperlukan kontrol positif (reference toxicant) sebagai dasar bahwa penelitian yang dilakukan telah sesuai dengan prosedur.

Persentase rata-rata larva abnormal pada konsentrasi aktual kadmium 0,33 ppm, 1,22 ppm, 1,27 ppm, 2,24 ppm, dan 3,62 ppm berturut-turut adalah 13,56 %, 30,56 %, 42,69 %, 66,62 %, dan 89,60 %. Persentase rata-rata larva abnormal pada konsentrasi aktual tembaga adalah 5,56 ppb, 7,78 ppb, 8,89 ppb, 13,33 ppb, dan 18,89 ppb masing-masing sebesar 10,02 %, 23,93 %, 48,86 %, 74,07 %, dan 93,67 % (Tabel 7). Hasil uji definitif tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kadmium maupun tembaga, keabnormalan larva semakin meningkat pula.

Nilai EC50 kadmium dan tembaga terhadap abnormalitas larva kerang hijau (Perna viridis) berturut-turut adalah 1,971 ppm dan 11,70 ppb. Penelitian sebelumnya tentang toksisitas kadmium dan tembaga terhadap larva kerang hijau yang dilakukan oleh Afianty (2002) menghasilkan nilai EC50 yang jauh berbeda yaitu EC50 kadmium sebesar 0,91 ppm dan EC50 tembaga sebesar 17,93 ppb. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa larva kerang hijau yang digunakan dalam penelitian ini lebih tahan terhadap kadmium tetapi lebih sensitif terhadap tembaga dibandingkan penelitian yang dilakukan Afianty (2002).

Menurut Bryan in Darmono (1995) beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan racun logam berat terhadap ikan dan organisme air lainya adalah : • Bentuk ikatan kimia dari logam yang terlarut dalam air

• Pengaruh interaksi antara logam dan jenis racun lainnya

• Pengaruh lingkungan seperti temperatur, salinitas, pH, atau kadar oksigen dalam air

• Kondisi hewan, fase siklus hidup (telur, larva, dewasa), ukuran organisme, jenis kelamin, dan kecukupan kebutuhan nutrisi

• Kemampuan hewan untuk menghindar dari kondisi buruk (polusi) • Kemampuan hewan untuk beradaptasi terhadap racun, misalnya

detoksikasi.

Faktor lingkungan dalam uji diwakili oleh parameter kualitas air larutan uji sebagai media pertumbuhan larva yang diukur sebelum inokulasi larva. Hasil pengukuran menunjukkan kisaran salinitas, oksigen terlarut, pH, dan suhu sesuai dengan yang dianjurkan Asean Canada CPMS-II (1995). Sehingga pengaruh yang terjadi dalam uji ini bukan diakibatkan oleh faktor keadaan organisme (kualitas telur yang buruk atau stress) maupun kondisi media uji, melainkan lebih diakibatkan oleh perlakuan yang diberikan.

Pengukuran salinitas pada kontrol, larutan kadmium, dan tembaga adalah 31 ‰. Kerang hijau merupakan organisme yang memiliki kisaran toleransi salinitas yang besar. Menurut Romimohtarto dan Juwana (1998) perkembangan kerang hijau dari larva hingga dewasa sangat dipengaruhi oleh salinitas. Pada tingkat larva, salinitas 21-33 ‰ memungkinkan larva tersebut berkembang normal menjadi tingkat berikutnya sebagai veliger. Semua larutan uji seharusnya berada dalam kisaran salinitas 23 sampai 34 ‰, dan tidak lebih dari 1 ‰ salinitas kontrol (Enviroment Canada, 1992). Peningkatan kepekaan terhadap toksikan dapat disebabkan oleh penurunan salinitas (ASTM, 2006).

Pengukuran oksigen terlarut pada kontrol menghasilkan nilai sebesar 6,28 mg/L, pada kadmium rata oksigen terlarut 6,27 mg/L, dan pada tembaga rata-rata oksigen terlarut 6,34 mg/L. Kondisi tersebut sesuai dengan Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, Tentang Baku Mutu Air Laut, oksigen terlarut yang diperbolehkan untuk biota laut adalah > 6 mg/L. Menurut Enviroment Canada (1992) kadar oksigen terlarut yang terlampau tinggi merupakan tekanan bagi banyak organisme air dan mungkin memberikan

pengaruh pada larva kerang hijau juga. Selain itu dinyatakan pula bahwa tekanan akibat oksigen rendah mungkin bersaing saling mempengaruhi dengan beberapa tekanan yang berasal dari toksikan.

Pengukuran pH pada kontrol menghasilkan nilai 8, pada kadmium rata-rata pH adalah 8,14, dan pada tembaga rata-rata-rata-rata pH adalah 8,15. Menurut Ditjen Perikanan Budidaya (2008) kisaran pH yang sesuai untuk perkembangan kerang hijau adalah 6,5 sampai 9. Waldichuk (1974) in Hutagalung (1991) menyatakan bahwa penurunan pH perairan menyebabkan tingkat bioakumulasi logam berat semakin besar, sehingga penurunan pH dapat menyebabkan daya racun logam berat semakin besar.

Hasil pengukuran suhu pada kontrol, larutan uji kadmium maupun tembaga diperoleh bahwa kisaran suhu antara 25,6 sampai 26,4 °C. Kondisi tersebut masih sesuai dengan kisaran suhu ideal untuk perkembangan kerang hijau adalah 18,0 sampai 34,4 °C (EPS, 1980). Menurut Enviroment Canada (1992) suhu yang tinggi dapat membuat uji lebih peka dalam mendeteksi beberapa toksikan.

Darmono (1995) menyatakan toksisitas logam dapat mempengaruhi masa pertumbuhan dan perkembangan larva. Beberapa penelitian mengenai toksisitas logam pada jenis kerang yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam proses pertumbuhan kerang, fase awal perkembangan larva kerang merupakan tahap

yang paling sensitif terhadap toksisitas logam sehingga banyak terjadi kematian pada konsentrasi logam yang rendah. Nilai EC50 – 48 jam terhadap larva kerang hijau dari penelitian ini (Cd 1,97 ppm dan Cu 11,70 ppb) lebih rendah

dibandingkan nilai EC50 – 24 jam terhadap kerang dewasa dengan ukuran 3 – 4 cm yang dilakukan oleh Yap et.al. (2003) yaitu Cd 1,53 ppm dan Cu 0,25 ppm.

Nilai EC50 untuk uji toksisitas dengan larva kerang ternyata selalu bervariasi dari uji yang berlainan. Hal ini disebabkan karena perbedaan

sensitifitas dari biota uji. Bila dibandingkan dengan kondisi subtropis, toksisitas kedua logam uji dalam kondisi tropis lebih besar. Mclucky (1986) menyatakan bahwa suhu rendah menurunkan toksisitas logam. Data toksisitas kadmium dan tembaga terhadap biota uji kerang biru (Mytilus edulis) dari subtropis mungkin dapat dijadikan pembanding. Kerang hijau (Perna viridis) dan kerang biru (Mytilus edulis) termasuk dalam satu marga, dan mempunyai kemiripan dalam sifat-sifat biologi dan morfologi. Nilai EC50-48 jam terhadap larva kerang hijau (Cd 1,97 ppm dan Cu 11,70 ppb) lebih rendah dibandingkan nilai EC50-48 jam terhadap larva kerang biru menurut Martin et.al. (1981) (Cd 12 ppm) dan Tucker (1998) (Cu 17,6 ppb).

Hasil perhitungan EC50 pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa larva kerang hijau paling sensitif terhadap tembaga dibandingkan kadmium. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Yap et.al. (2003) yang menyatakan bahwa

Perna viridis paling sensitif terhadap Cu (EC50 0,25 ppm) dibandingkan Cd

(EC50 1,53 ppm), Pb (EC50 4,12 ppm), dan Zn (EC50 3,2 ppm). Walaupun tembaga termasuk logam esensial untuk makhluk hidup, tetapi logam ini dapat bersifat toksik dan dapat menyebabkan keabnormalan sampai kematian larva

kerang pada konsentrasi tinggi. Menurut Darmono (1995) kandungan logam esensial dalam jaringan organisme biasanya mengalami regulasi (diatur pada batas-batas konsentrasi tertentu). Konsentrasi logam yang tinggi dalam air dapat mengganggu proses regulasi logam dalam tubuh organisme.

Jika hasil uji toksisitas kadmium dan tembaga terhadap larva kerang hijau dibandingkan dengan hasil uji toksisitas terhadap oganisme laut lain, terlihat bahwa larva kerang hijau merupakan biota uji paling sensitif terhadap tembaga dibandingkan organisme air lain. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai EC50 tembaga terhadap kerang hijau adalah 11,70 ppb lebih rendah dibandingkan nilai EC50 tembaga terhadap Isochrysis galbana (Yap et.al., 2003), Sphaeroma

serratum (Prato et.al., 2005) dan larva Chasmagnathus granulata (Marcovecchio et.al., 2005) berturut-turut sebesar 0,91 ppm, 4,60 ppm, dan 219,20 ppb.

Mathew dan Menon (1983) menyatakan bahwa tembaga dapat

mempengaruhi produksi benang byssal kerang hijau. Filamen-filamen insang kerang terlepas selama pengujian toksisitas tembaga, sehingga pada konsentrasi yang berlebihan tembaga dapat membahayakan kehidupan kerang hijau.

Kerang hijau (Perna viridis) umum digunakan dalam studi toksikologi sebagai bio-indikator lingkungan. Berbagai bio-marker telah banyak

menggunakan kerang dalam memonitor tingkat polusi lingkungan diantaranya Biomarker Genotoksisitas dan Aktivitas Acetylcholinesterase di Populasi Alam

Mytilus galloprovincialis sepanjang gradient polusi di Teluk Oristano (Sardinia,

Mediterania Barat) (Magni et.al., 2006), Selular Biomarker untuk Monitoring Lingkungan Estuari: Kerang Transplantasi versus Pertumbuhan Alami (Nigro

Kerang Hijau (Perna viridis) pada daerah Terkontaminasi di Perairan Pesisir Hong Kong (Nicholson, 1999). Walaupun kerang hijau dikenal sebagai agen bimonitoring yang baik karena dapat mengakumulasi logam dalam jaringan tubuhnya tetapi jika kadar logam berat yang terserap oleh tubuh kerang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan keabnormalan pada tahap larva dan kematian pada kerang dewasa yang kemudian akan menyebabkan kepunahan.

Fase larva merupakan tingkat hidup yang paling sensitif terhadap perubahan lingkungan hidup, karena pada fase ini terjadi pembelahan sel yang menentukan keberhasilan pembentukan organ tubuh. Pada kondisi lingkungan normal pembentukan cangkang awal pada fase larva kerang hijau menentukan keberhasilan hidupnya sampai dewasa. Kegagalan pembentukan cangkang akan mengurangi daya tahan hidup kerang hijau. Fase larva Prodisoconch I (D-shape) merupakan tahap yang paling sensitif pada Bivalvia karena merupakan

pembentukan cangkang larva paling awal (Strathmann, 1987 in Afianty, 2002). Kondisi lingkungan yang tidak sesuai akan menyebabkan perkembangan cangkang terganggu. Oleh karena itu diduga bahwa Kadmium dan Tembaga mengganggu sistem enzimatis pada larva sehingga saat pembelahan dan pembentukan organ tubuh termasuk cangkang sebagai pelindung organ yang lunak, menjadi terganggu. Akibatnya terjadi abnormalitas saat fase larva

Prodisoconch I (D-shape) yang merupakan fase pembentukan cangkang larva

Dokumen terkait