• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Hasil Penelitian pada sampel karyawan pada PT. Pos Pusat Medan sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pelayanan dan jasa menunjukkan bahwa ada pengaruh positif antara budaya organisasi terhadap komitmen afektif. Di mana pengaruh positif budaya organisasi terhadap komitmen afektif menunjukkan presentase sebesar 66%, artinya variabel budaya organisasi memperngaruhi variabel komitmen afektif sebesar 66%, bahwa semakin kuat budaya organisasi terinternalisasi dalam diri para pegawai maka akan semakin tinggi komitmen afektif karyawan tersebut. Di mana efek yang terjadi ketika seorang karyawan memiliki komitmen afektif yang tinggi atau kuat adalah karyawan memiliki keterikatan secara emosional yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja, sehingga ia mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi tersebut, terlibat secara mendalam, dan menetap dalam organisasi tersebut karena ia yang menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997).

Ketika karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap budaya organisasi di perusahaan tempat mereka bekerja, di mana perusahaan tersebut menyediakan lingkungan kerja yang nyaman serta terciptanya komunikasi yang efektif dalam organisasi. Hal ini tidak hanya dapat meningkatkan kinerja

karyawan melainkan juga meningkatkan komitmen afektif pada karyawan dalam perusahaan tersebut (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Kemudian Dalam hal ini, karyawan yang berkomitmen secara afektif memiliki sense of belonging dan identifikasi yang baik terhadap organisasi sehingga mereka meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktifitas organisasi, kesediaan mereka untuk mencapai tujuan organisasi dan keinginan untuk bertahan dengan organisasi tersebut (Meyer & Allen, dkk, dalam Rhoades Eisenberger, dan Armeli, 2001). Kim dan Mauborgne (dalam Allen & Meyer, 1997) menyatakan individu dengan komitmen afektif tinggi akan cenderung mendukung kebijakan perusahaan dibanding yang lebih rendah. Berdasarkan penelitian komitmen afektif yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress yang dialami anggota organisasi (Begley&Czajka; Jamal; Ostroff&Kozlowski; Reilly&Orsak dalam Allen &Meyer, 1997).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan terhadap seluruh uraian permasalahan yang terdapat dalam penelitian dan gambaran mengenai hasil-hasil penelitian yang diperoleh, serta akan dikemukakan saran praktis dan metodologis untuk penelitian selanjutnya yang mengambil tema sama.

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini adalah hipotesa penelitian diterima. Berikut adalah paparan kesimpulan yang diperoleh berdasarkan analisa data dari penelitian ini :

1. Ada pengaruh positif antara budaya organisasi terhadap komitmen afektif pada karyawan PT. Pos Pusat Medan.

2. Dari hasil analisis regresi linear sederhana juga diketahui nilai koefisien korelasi (R)sebesar 0,812 dan nilai koefisien determinan (R2) sebesar 0,660 atau 66%. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh budaya organisasi terhadap komitmen afektif sebesar 66%.

3. Tingginya skor pada skala budaya organisasi dan skor pada skala komitmen afektif menunjukkan bahawa budaya yang kuat mempengaruhi terhadap komitmen afektif karyawan.

B. SARAN

` Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan beserta kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka dalam hal ini peneliti memberikan beberapa saran yang nantinya diharapkan dapat berguna bagi pengembangan studi ilmiah dan juga bagi perusahan PT. Pos Pusat Medan.

1. Saran Metodologis

1. Mengingat budaya organisasi tidak mudah untuk diinterpretasikan. Sebaiknya selain menggunakan metode kuesioner sebagai alat ukur penelitian, akan lebih baik jika peneliti menggunakan metode observasi dan wawancara yang lebih mendalam lagi untuk memperdalam informasi yang didapatkan mengenai budaya organisasi.

2. Peneliti sebaiknya menggunakan sampel yang lebih luas dan besar lagi, sehingga dapat digeneralisasikan secara lebih luas lagi.

3. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas variabel kontrol dengan meneliti faktor-faktor yang diperkirakan memiliki pengaruh dengan komitmen seperti usia, jenis kelamin atau jabatan.

2. Saran Praktis

1. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa setiap karyawan memiliki tingkat komitmen afektif yang cukup tinggi. Oleh karena itu, perusahaan diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan kembali nilai-nilai budaya yang lebih berkualitas, sehingga dapat memperkuat budaya organisasi yang ada.

2. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa budaya organisasi perusahaan memiliki pengaruh yang positif terhadap komittmen afektif pada karyawan. Oleh karena itu, untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan komitmen pada karyawan terhadap organisasi, maka pemimpin perusahaan diharapkan dapat senantiasa memberikan dorongan, selalu mensosialisasikan budaya kerja yang lebih baik terhadap karyawan, sehingga karyawan dapat menyerap dan mempelajari budaya organisasi dengan lebih baik lagi dari hari ke hari.

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dijabarkan teori-teori yang menjadi kerangka berfikir dalam melaksanakan penelitian ini. Beberapa teori yang dipakai adalah teori yang berkaitan dengan komitmen afektif dan budaya organisasi.

A. KOMITMEN AFEKTIF

1. Pengertian Komitmen Afektif

Komitmen afektif merupakan keterikatan emosional karyawan kepada organisasi, identifikasi karyawan dengan organisasi, dan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi tertentu, dimana karyawan menetap dalam organisasi karena mereka menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997)

Mowday, Porter, & Steers (dalam Meyer & Allen, 1997) mendefinisikan komitmen afektif merupakan kekuatan relatif pada seorang individu dalam mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan terlibat dalam organisasi tersebut. Sheldon (dalam Meyer & Allen, 1997) juga mendefinisikan komitmen afektif sebagai suatu attitude atau orientasi terhadap organisasi dimana berhubungan dengan identitas seseorang terhadap organisasi.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen afektif adalah perasaan karyawan terhadap organisasi yang terikat secara emosional sehingga mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi, terlibat secara mendalam, dan menetap dalam organisasi tersebut karena menginginkannya.

2. Perkembangan Komitmen Afektif

Terdapat beberapa variabel yang dinyatakan sebagai penyebab berkembangnya komitmen afektif yang dapat dikategorisasikan sebagai berikut (Meyer & Allen, 1997):

a. Karakteristik organisasi

Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa beberapa studi telah menguji hubungan antara komitmen organisasi dan struktur organisasi. Walaupun penelitian ini terbatas, ada terdapat beberapa bukti bahwa komitmen afektif berhubungan dengan pengambilan keputusan dan aturan serta prosedur dalam organisasi.

b. Karakteristik personal

Karaktersitik personal terdiri dari kebutuhan untuk pencapaian prestasi, afilliasi dan kebebasan, serta ketertarikan dalam kehidupan bekerja telah ditemukan berhubungan dengan komitmen organisasi. Individu yang memilih pekerjaan mereka sesuai dengan karakteristik personal mereka akan memiliki

attitude kerja yang lebih positif daripada karyawan yang tidak memiliki pekerjaan

berdasarkan karakteristik tersebut. c. Pengalaman kerja

Pengalaman kerja merupakan suatu dorongan sosial dan menghadirkan suatu ketertarikan psikologis yang dibentuk dalam suatu organisasi. Karyawan yang pengalamannya dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat memuaskan kebutuhan dasar mereka akan lebih mengembangkan komitmen afektif pada organisasi mereka, daripada karyawan yang memiliki sedikit

kepuasan terhadap pengalaman bekerja mereka. Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka, dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan mereka

B. Budaya Organisasi

1. Definisi Budaya Organisasi

Pengertian budaya organisasi menurut Robbins (2006) adalah suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut Robbins menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakteristik utama dari nilai-nilai yang dihargai oleh organisasi (a

system of shared meaning held by members that distinguishes the organization

from other organization. This system of shared meaning is, on closer examination,

a set of key characteristics that the organization values).

Schein (1992) budaya organisasi merupakan asumsi-asumsi dasar yang dipelajari baik sebagai hasil memecahkan masalah yang timbul dalam proses penyesuaian dengan lingkungannya, maupun sebagai hasil memecahkan masalah yang timbul dari dalam organisasi, antar unit-unit organisasi yang berkaitan dengan integrasi.

Martins dan Martins (2003) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu identitas untuk dapat membedakan organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Arnold (2005) menyatakan budaya organisasi adalah norma, kepercayaan, prinsip dan cara berperilaku yang khusus untuk memberikan setiap organisasi memiliki karakter yang berbeda. Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi membedakan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain (Manetje dan Martins, 2009).

Budaya organisasi menunjukkan suatu nilai-nilai, kepercayaan dan prinsip-prinsip yang mendasari suatu sistem manajemen organisasi (Denison, 1990). Perspektif budaya organisasi memusatkan perhatian terhadap nilai-nilai dasar, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi yang hidup dalam organisasi, pola-pola perilaku yang berasal dari shared meanings, dan simbol-simbol yang mengekspresikan hubungan-hubungan antara asumsi-asumsi, nilai-nilai dan perilaku dari anggota-anggota orgnisasi (Denison, 1990).

Budaya Organisasi menurut Davis dan John Newstrom (dalam Mangkunegara, 2005) mengatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi, kepercayaan, sistem-sistem nilai, dan norma yang disepakati tiap anggota organisasi.

Menurut Luthans (1998), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku, agar diterima oleh lingkungannya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mangkunegara (2005) yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan internal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain.

2.Aspek – aspek Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2006), ada 7 aspek budaya organisasi, 7 aspek tersebut adalah:

1. Inovasi dan pengambilan risiko (Innovation and risk taking). Tingkatan dimana para karyawan terdorong untuk berinovasi dan mengambil risiko.

2. Perhatian yang rinci (Attention to detail). Suatu tingkatan dimana para karyawan diharapkan memperlihatkan kecermatan (precision), analisis dan perhatian kepada rincian.

3. Orientasi hasil (Outcome orientation). Tingkatan dimana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.

4. Orientasi pada manusia (People orientation). Suatu tingkatan dimana keputusan manajemen memperhitungkan efek-efek hasil terhadap individu atau anggota

yang ada dalam organisasi.

5. Orientasi tim (Team orientation). Suatu tingkatan dimana kegiatan kerja diorganisir di sekitar tim-tim, bukannya individ-individu.

6. Keagresifan (Aggressiveness). Suatu tingkatan dimana orang-orang (anggota organisasi) itu memiliki sifat agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai. 7. Stabilitas (Stability). Suatu tingkatan dimana kegiatan organisasi menekankan di pertahankannya status quo daripada pertumbuhan.

3. Pembentukan Budaya Organisasi

Pada dasarnya untuk membentuk budaya organisasi yang kuat memerlukan waktu yang cukup lama dan bertahap. Di dalam perjalanannya sebuah organisasi mengalami pasang surut, dan menerapkan budaya organisasi yang berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain. Budaya bisa dilihat sebagai suatu hal yang mengelilingi kehidupan orang banyak dari hari ke hari, bisa direkayasa dan dibentuk. Jika budaya dikecilkan cakupannya ketingkat organisasi atau bahkan ke kelompok yang lebih kecil, akan dapat terlihat bagaimana budaya terbentuk, ditanamkan, berkembang, dan akhirnya, direkayasa, diatur dan diubah (Robbins, 2003).

Berikut ini adalah gambar proses terbentuknya budaya organisasi menururt Robbins :

Gambar 1. Proses Terbentuknya Budaya Organisasi

Sumber : Robbins, 2003

Gambar 1. menjelaskan bahwa budaya asli diturunkan dari filsafat pendirinya, kemudian budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan karyawan. Tindakan dari manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan yang tidak. Tingkat kesuksesan dalam mensosialisasikan budaya perusahaan tergantung pada kecocokan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai-nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak akan metode-metode sosialisasi.

Menurut Robbins (2003), budaya organisasi dapat dibentuk melalui beberapa cara. Cara tersebut biasanya melalui beberapa tahap yaitu:

1. Seseorang (pendiri) mempunyai sejumlah ide atau gagasan tentang suatu pembentukan organisasi baru

Manajemen puncak Budaya Organisasi Kriteria Seleksi Filsafat dari Pendiri Organisasi Sosialisasi

2. Pendiri membawa satu atau lebih orang-orang kunci yang merupakan para pemikir dan membentuk sebuah kelompok inti yang mempunyai visi yang sama dengan pendiri.

3. Kelompok tersebut memulai serangkaian tindakan untuk menciptakan sebuah organisasi. Mengumpulkan dana, menentukan jenis dan tempat usaha, dan lain-lain mengenai suatu hal yang relevan.

4. Langkah terakhir yaitu orang-orang lain dibawa masuk kedalam organisasi untuk berkarya bersama-sama dengan pendiri dan kelompok inti dan pada akhirnya memulai sebuah pembentukan sejarah bersama.

Setiap perusahaan mempunyai budaya yang berbeda, tergantung dari apa yang dianut oleh pemimpin ketika membentuk organisasi tersebut. Budaya dapat bersifat kuat atau lemah, selain itu ada juga budaya yang salah dan sulit diubah, semua itu tergantung pada saat komitmen yang ingin dicapai dalam mendirikan organisasi.

Robbins (1998) mengemukakan ciri-ciri budaya kuat, antara lain: a. Menurunnya tingkat keluarnya karyawan.

b. Ada kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota mengenai apa yang dipertahankan oleh organisasi.

3. Karakteristik Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2006) terdapat beberapa karakteristik yang apabila dicampur dan dicocokkan maka akan menjadi budaya internal yaitu :

1. Inisiatif individu yaitu sejauh mana organisasi memberikan kebebasan kepada setiap pegawai dalam mengemukakan pendapat atau ide-ide yang di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi.

2. Toleransi terhadap tindakan beresiko yaitu sejauh mana pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif dan mengambil resiko dalam mengambil kesempatan yang dapat memajukan dan mengembangkan organisasi. Tindakan yang beresiko yang dimaksudkan adalah segala akibat yang timbul dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh pegawai.

3. Pengarahan yaitu sejauh mana pimpinan suatu organisasi dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan, sehingga para pegawai dapat memahaminya dan segala kegiatan yang dilakukan para pegawai mengarah pada pencapaian tujuan organisasi. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi dan misi.

4. Integrasi yaitu sejauh mana suatu organisasi dapat mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Menurut Handoko (2003 : 195) dalam (Robbins, 2006) koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada unit-unit yang

terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan.

5. Dukungan manajemen yaitu sejauhmana para pimpinan organisasi dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap pegawai. Dukungan tersebut dapat berupa adanya upaya pengembangan kemampuan para pegawai seperti mengadakan pelatihan.

6. Kontrol yaitu adanya pengawasan dari para pimpinan terhadap para pegawai dengan menggunakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan demi kelancaran organisasi. Pengawasan menurut Handoko (2003: 360) dalam (Robbins, 2006) dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi tercapai.

7. Sistem imbalan yaitu sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya.

8. Toleransi terhadap konflik yaitu sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka guna memajukan organisasi, dan bagaimana pula tanggapan organisasi terhadap konflik tersebut.

9. Pola komunikasi yaitu sejauh mana komunikasi dalam organisasi yang dibatasi oleh hirarki kewenangan yang formal dapat berjalan baik. Menurut Handoko (2003: 272) komunikasi itu sendiri merupakan proses pemindahan pengertian atau informasi dari seseorang ke orang lain. Komunikasi yang baik adalah

komunikasi yang dapat memenuhi kebutuhan sasarannya, sehingga akhirnya dapat memberikan hasil yang lebih efektif.

C. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Komitmen Afektif

Budaya organisasi mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi yang lain. Budaya organisasi adalah sekumpulan norma-norma tingkah laku atau corak/warna serta nilai-nilai yang ada di dalam suatu perusahaan/organisasi dan merupakan aturan main yang harus ditaati dan diamalkan oleh para pelaku perusahaan/organisasi tersebut agar dapat berinteraksi baik terhadap faktor internal maupun eksternal. Dalam hal ini, karyawan yang telah dapat memiliki nilai-nilai budaya yang kuat yang dijalani seperti karyawan yang berinovasi dan mengambil resiko dalam pekerjaannya, cermat dalam bekerja, dapat bekerja tim dengan baik, serta kompetitif diharapkan dapat menimbulkan ketertarikan secara emosional kepada organisasi, atau dengan kata lain timbul yang dinamakan komitmen afektif. Dimana komitmen afektif ini timbul karena faktor tantangan pekejaan, partisipasi, timbal balik serta saling bergantung. Budaya organisasi yang diukur melalui kejelasan tujuan organisasi dan otonomi pekerjaan mempunyai pengaruh yang signifikan positif terhadap komitmen organisasi, baik pada perusahaan swasta maupun perusahaan pemerintah. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Nystrom (1993) yang menunjukkan bahwa budaya organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap komitmen organisasi dan kinerja karyawan. Mengingat setiap organisasi memiliki budaya organisasi yang berbeda-beda, maka

tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap komitmen afektif pada karyawan PT. Pos Pusat Medan.

D. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis dan hasil penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan hipotesis alternatif :

A. LATAR BELAKANG

Sumber daya manusia merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi, karena efektifitas dan keberhasilan suatu organisasi sangat tergantung pada kualitas dan kinerja sumber daya manusia yang ada pada organisasi tersebut. Sumber daya manusia merupakan salah satu elemen utama dari organisasi yang tidak dapat diabaikan. Karena sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam mencapai tujuan organisasi. Sumber daya manusia tidak saja membantu organisasi dalam mencapai tujuannya tetapi juga dapat membantu organisasi untuk menghadapi persaingan yang ada. Organisasi yang memiliki sumber daya manusia yang baik akan menjadikan organisasi mempunyai kekuatan untuk menghadapi persaingan (Cusway, 2002).

Berdasarkan pemaparan di atas, sangat penting bagi perusahaan untuk memilih dan mempertahankan karyawan yang benar-benar berkualitas (Mariatin, 2009). Karena organisasi merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, bekerja secara terus menerus untuk mencapai tujuan (Robbins, 2006).

Perubahan lingkungan bisnis dan organisasi saat ini tidak sekedar berjalan cepat tetapi juga sangat tidak pasti, khususnya perkembangan pada industri pelayanan jasa dan barang. Perubahan tersebut menjadikan suatu tantangan bagi PT. Pos Pusat Medan yang mempunyai core business jasa pengiriman surat dan

barang. Sementara itu dengan semakin majunya tingkat teknologi, membutuhkan karyawan yang juga dapat memiliki keahlian yang dibutuhkan dalam beradaptasi dengan kemajuan teknologi tersebut. Dengan kata lain, terjadi perubahan budaya atau kebiasaan dalam hal teknologi dalam dunia kerja di PT. Pos pusat Medan tersebut. Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut organisasi membutuhkan karyawan–karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi (Mariatin, 2009).

Komitmen organisasi didefinisikan oleh beberapa peneliti sebagai ukuran dari kekuatan identitas dan keterlibatan karyawan dalam tujuan dan nilai-nilai organisasi (Porter, Steers, Mowday, dan Boulian, 1974, dalam McNeese-Smith, 1996). Komitmen terhadap organisasi mengarah kepada keterikatan emosional, identifikasi, dan keterlibatan dalam organisasi tertentu. Karyawan yang berkomitmen berarti bersifat loyal terhadap organisasinya, dimana karyawan yang setia memiliki keuntungan untuk bersaing (McShane dan Glinow, 2003).

Meyer, Allen dan Gellatly (dalam Manetje dan Martins, 2009) menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu attitude yang di karakteristikkan sebagai komponen kognitif dan afektif yang positif mengenai organisasi. Oleh karena itu, komitmen organisasi adalah suatu bagian psikologis yang menggambarkan hubungan karyawan dengan organisasi dan memiliki dampak pada keputusan karyawan untuk menetap dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1997).

Tiga konsep sebagai model komitmen organisasi menurut Meyer & Allen (1997) : 1) Affective commitment: yang berkaitan dengan adanya keinginan untuk

terikat pada organisasi. Individu menetap dalam organisasi karena keinginan sendiri. Kunci dari komitmen ini adalah want to. 2) continuance commitment: suatu komitmen yang didasarkan akan kebutuhan rasional. Dengan kata lain, komitmen ini terbentuk atas dasar untung rugi, dipertimbangkan atas apa yang harus dikorbankan bila mememutuskan untuk pindah dari organisaasi atau perusahaan tersebut atau memilih akan menetap pada suatu organisasi. Kunci dari komitmen ini adalah kebutuhan untuk bertahan (need to). 3) normative

commitment: komitmen yang didasarkan pada norma yang ada dalam diri

karyawan, berisi keyakinan individu akan tanggung jawab terhadap organisasi.Ia merasa harus bertahan karena loyalitas. Kunci dari komitmen ini adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to).

Meyer dan Allen (1997) mengajukan tiga tipe tersebut sebagai tiga model komponen pada komitmen (three-component model of commitment). Karyawan dengan affective commitment yang kuat tetap bekerja dengan organisasi tersebut karena mereka ingin melakukannya. Karyawan yang bertahan dalam suatu organisasi berdasarkan continuance commitment itu karena mereka perlu melakukannya. Sedangkan karyawan dengan tingkat normative commitment yang tinggi merasa bahwa mereka wajib untuk bertahan dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1997).

Setiap komponen pada komitmen memiliki konsekuensi yang berbeda-beda terhadap perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan seperti performa, kehadiran karyawan, dan lain-lain. Karyawan dengan tingkat komitmen afektif yang tinggi lebih sedikit keluar dari pekerjaan mereka, absen dari bekerja

(McShane dan Glinow, 2003), dan memiliki motivasi serta keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1997). Sebaliknya pada karyawan dengan continuance commitment yang tinggi tidak memiliki keinginan yang kuat dalam berkontribusi pada organisasi dan cenderung dapat mengarah pada perilaku bekerja yang tidak pantas, karena karyawan dengan

Dokumen terkait