• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Pengaruh kultur lingkungan kerja pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan. Hasil ini didukung oleh perhitungan statistik yang menunjukkan bahwa nilai Fhitung = 61,221 lebih besar dari Ftabel =

2,6937 atau nilai signifikansi koefisien regresi (3) yang menunjukkan (

= 0,039 <  = 0,050). Artinya, pada karyawan yang berasal dari kultur lingkungan kerja yang berorientasi pada power distance kecil, kolektif, sangat feminin, dan uncertainty avoidance yang sangat lemah maka semakin kuat hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

Deskripsi kualitas pelayanan karyawan menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan terkategorikan baik sebanyak 71 karyawan atau 66,98%. Berdasar nilai tersebut dapat diketahui bahwa universitas dapat

menampilkan fasilitas fisik, peralatan, personel, dan media komunikasi yang baik, karyawan memberikan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya, karyawan membantu mahasiswa dan memberikan jasa dengan tepat, adanya kepercayaan dan keyakinan serta pengetahuan dan kesopanan dari karyawan, dan karyawan peduli atau memberi perhatian pribadi bagi mahasiswa. Sementara deskripsi kecerdasan emosional terkategorikan tinggi sebanyak 58 karyawan atau 54,72%. Dengan demikian mencerminkan bahwa karyawan dapat mengenali perasaan diri sendiri maupun perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain. Karenanya karyawan mampu bekerja dengan baik sehingga dapat menampilkan kualitas pelayanan yang baik pula.

Deskripsi kultur lingkungan kerja menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan terkategorikan mempunyai power distance kecil (51 karyawan atau 48,11%), kolektif (43 karyawan atau 40,57%), sangat feminin (55 karyawan atau 51,89%), dan uncertainty avoidance yang sangat lemah (53 karyawan atau 50%). Karyawan yang berasal dari lingkungan kerja dengan power distance yang kecil berarti semua karyawan apapun tingkatannya dalam lingkungan kerja diperlakukan sama oleh pemimpin, ada ketergantungan dari karyawan yang berkemampuan lemah terhadap karyawan yang berkemampuan baik, ada perbedaan yang nyata antara tugas dan kewajiban masing-masing dalam struktur organisasi, bagian/unit kerja diberikan kewenangan penuh untuk

mengelola dan mengambil keputusan demi kemajuan unit kerja, ada perbedaan gaji antara atasan dan bawahan, atasan berkonsultasi dengan para karyawan sebelum mengambil keputusan, dan pimpinan menampakkan diri sebagai atasan dan para karyawan sebagai bawahan. Perbedaan budaya dalam dimensi power distance ini akan berpengaruh pada perbedaan dalam perilaku kerja. Masyarakat yang memiliki budaya power distance rendah berusaha meminimalkan perbedaan status atau mengutamakan kesejajaran (equality), sehingga struktur organisasinya biasanya kurang ketat hirarkinya dan lebih terdesentralisasi (Dayakisni, 2003:278). Untuk itu karyawan yang bekerja di lingkungan yang bercirikan power distance kecil akan lebih dihargai dan sering diajak berkomunikasi dalam pengambilan keputusan oleh atasan yang berpengaruh baik pada kualitas pelayanan mereka.

Karyawan yang berasal dari lingkungan kerja yang kolektif berarti dalam lingkungan kerja mereka hubungan antara karyawan dan pemimpin tidak didasarkan pada perbedaan status dan jabatan, terjalin komunikasi yang harmonis antara atasan dan karyawan maupun antar karyawan, komunikasi antara atasan dan karyawan tidak dilakukan untuk hal yang penting saja, kesalahan yang dilakukan atasan akan mempermalukan semua unit kerja, hubungan kekeluargaan antara para karyawan dan atasan sangat kuat, atasan mengikutsertakan karyawan dalam proses pengambilan keputusan tentang promosi, pengelolaan/manajemen dalam unit kerja ditentukan oleh hasil kesepakatan bersama, dan hubungan antara atasan

dengan para karyawan dan antar karyawan tidak hanya sebatas urusan pekerjaan kantor. Orang-orang yang memiliki budaya kolektivistis cenderung memandang kelompok kerja dan organisasi tempat mereka bekerja menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka, sehingga ikatan dengan perusahaan atau organisasi dan teman-teman sejawatnya adalah lebih kuat dan mengakar dalam. Jadi kerja, teman-teman sekerja dan perusahaan menjadi sinonim dengan diri (self) (Dayakisni, 2003:273). Pada budaya kolektivistis kemampuan untuk berempati atau memahami orang lain adalah sangat penting. Seorang manager diharapkan untuk lebih memberikan pertimbangan daripada perintah, sehingga karyawan yang bekerja dalam lingkungan kerja yang bercirikan kolektif akan lebih lebih mengutamakan nilai keharmonisan dan menepis situasi konflik yang berpengaruh terhadap kualitas kerja mereka.

Karyawan yang berasal dari lingkungan kerja yang sangat feminin berarti dalam lingkungan kerja mereka atasan memberikan pilihan cara penyelesaian masalah ketika melakukan kesalahan, filosofi karyawan adalah bekerja untuk hidup, tidak terjadi diskriminasi gender dalam promosi jabatan, antar karyawan berkesempatan saling membantu dan memahami satu dengan yang lainnya, pemimpin mengelola unit kerja berdasarkan rasionalitas yang dikembangkan bersama, dan ditekankan persamaan hak dan kewajiban, solidaritas antar karyawan dan kualitas hidup bekerja. Adanya perbedaan dalam dimensi budaya ini akan berpengaruh pada stuktur organisasi dan corak hubungan dalam suatu

perusahaan. Pada masyarakat yang memiliki dimensi feminin menganggap bahwa kerja yang baik menuntut kemampuan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan orang lain dan kurang mengutamakan kepentingan diri sendiri, sehingga manager yang baik misalnya diharapkan memiliki ketrampilan dalam memberikan dukungan (supporting), mentoring dan membentuk tim kerja yang solid (teambuilding skill) (Dayakisni, 2003:283). Untuk itu karyawan yang bekerja dalam lingkungan kerja yang bercirikan kolektif akan lebih diperhatikan kesejahteraannya dan diutamakan kepentingannya yang berpengaruh terhadap kualitas kerja mereka.

Karyawan yang berasal dari lingkungan kerja dengan uncertainty avoidance yang sangat lemah berarti dalam lingkungan kerja mereka aturan diterapkan secara longgar, karyawan dituntut untuk disiplin dan memanfaatkan waktu bekerja sebaik-baiknya, adanya kesediaan karyawan untuk bekerja lembur jika memang ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan, ketelitian dalam bekerja harus dipelajari, pemimpin menuntut karyawan memiliki mempunyai inisiatif yang tinggi, dan pemimpin memuji hasil kerja karyawan yang memuaskan. Dimensi uncertainty avoidance menunjukkan tingkatan atau sejauhmana masyarakat dalam menghadapi situasi yang samar-samar atau tidak pasti. Pada masyarakat yang memiliki orientasi budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi yang samara-samar atau tak pasti lebih tinggi. Biasanya bersikap lebih relaks dan sedikit memiliki aturan dan penyampaian

mandate kepada bawahannya. Dengan situasi ini orang lebih banyak diberi lesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Sehingga seorang manager misalnya dapat lebih memfokuskan pada isu- isu strategik daripada detailnya dan lebih bebas mengunakan ide-ide inovatif (Dayakisni, 2003:279). Untuk itu karyawan yang bekerja pada lingkungan kerja yang bercirikanuncertainty avoidance lemah akan lebih diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam memyelesaikan tugas yang berpengaruh terhadap kualitas kerja mereka.

Lingkungan kerja sebagai segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam melakukan tugas- tugas yang dibebankan (Nitisemito 1982:184). Dengan kondisi lingkungan kerja yang nyaman, aman dan mendukung akan membuat karyawan menjadi bersemangat dan bergairah dalam bekerja, sehingga berdampak positif pada kinerja karyawan. Beberapa faktor lingkungan fisik yang harus diperhatikan oleh pihak universitas dalam upaya meningkatkan semangat dan gairah kerja para karyawannya, antara lain: fasilitas pelayanan karyawan yang meliputi pelayanan makan, kesehatan, dan pengadaan kamar mandi/kamar kecil; kondisi kerja yang meliputi pengaturan penerangan ruang kerja, pengaturan suhu udara, pengaturan suara bising, pemilihan warna, penerangan ruang gerak yang diperlukan serta keamanan karyawan; dan hubungan karyawan dengan karyawan lain. Karyawan yang berada pada lingkungan kerja yang mendukung seperti ini dapat memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas pelayanan sebagian besar karyawan terkategorikan baik (71 karyawan atau 66,98%). Berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui tingkat kemampuan karyawan dalam proses pelayanan terhadap mahasiswa yang berkualitas baik. Deskripsi kecerdasan emosional terkategorikan tinggi (58 karyawan atau 54,72%). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh antara variabel kultur lingkungan kerja pada hubungan kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan. Lingkungan kerja sebagai salah satu faktor yang cukup berpengaruh terhadap kecerdasan emosional karyawan untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Dengan semangat dalam bekerja dan kecerdasan emosional yang tinggi karyawan cenderung akan merasa puas dan berkualitas dalam pekerjaannya. Kultur lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup, ritual dan kebiasaan yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara memandang persoalan dan pemecahannya. Kultur lingkungan kerja merupakan faktor esensial dalam membentuk karyawan menjadi manusia yang optimis, berani tampil, berperilaku kooperatif, kecakapan personal dan akademik (Hofstede, 1994:35). Karyawan yang dapat mengenali emosi diri, bertanggung jawab atas kinerja sendiri, terbuka dengan ide-ide serta informasi baru, mengerti perasaan orang lain, siap sedia membantu kesulitan mahasiswa, dan dapat bekerja sama dalam tim terbukti mempunyai kualitas pelayanan yang baik. Apabila karyawan lebih memperhatikan kecerdasan emosional daripada

kecerdasan intelektual dalam lingkungan kerja maka karyawan akan lebih berkualitas dalam pekerjaanya.

Hasil penelitian ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Ika Septi Kurnia Anggraeni (2004:62) dengan judul “Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Keberhasilan Kerja dalam Lingkungan Sosial”, yang menunjukkan bahwa ada pengaruh lingkungan sosial yang signifikan terhadap perubahan perilaku individu dan tingkat emosional yang dimiliki oleh seorang individu memiliki hubungan yang sangat erat dengan kinerja individu tersebut. Hasil penelitian ini juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Lianto dan Kurniawan (2002:207) dengan judul “Pengaruh Faktor Kebisingan dan Penerangan Lingkungan Kerja terhadap Kelelahan dan Kualitas Hasil Kerja Operator Poles”, yang menunjukkan bahwa ada pengaruh kebisingan dan penerangan terhadap kualitas hasil kerja, selain itu faktor kebisingan dan operator memberi pengaruh signifikan terhadap kelelahan kerja.

2. Pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada pengaruh positiflocus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan. Hasil ini didukung oleh perhitungan statistik yang menunjukkan bahwa nilai Fhitung = 62,922 lebih besar dari nilai Ftabel =

2,6937 atau nilai signifikansi koefisien regresi (3) yang menunjukkan (

cenderung internal, maka semakin kuat hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

Deskripsilocus of control menunjukkan bahwa 62 karyawan atau 58,49% terkategorikan internal. Kecenderungan locus of control internal karyawan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah faktor usia, pengalaman akan perubahan, pelatihan, dan pengalaman. Individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal mempunyai keyakinan yang besar untuk memperoleh keberhasilan, assertif, mempunyai usaha untuk maju dan mampu menggunakan keterampilan sosial untuk mempengaruhi lingkungan. Hal-hal yang juga terkait dengan pengembangan locus of control internal adalah konsistensi memberlakukan disiplin dan standar-standar oleh atasan. Seorang karyawan belajar mengembangkan locus of control internal, dengan mengasosiasikan perilaku mereka dengan akibat-akibat yang dapat mereka prediksikan.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Goleman, 1999:45). Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi akan lebih bisa berhasil dalam pekerjaan, terutama dalam kualitas pelayanan terhadap mahasiswa karena seringnya berhubungan langsung dengan mahasiswa. Dalam hal ini

kualitas pelayanan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Pelayanan yang diberikan karyawan dapat sesuai dengn mahasiswa jika karyawan mampu memberikan yang terbaik untuk mahasiswa.

Karyawan denganlocus of control internal juga lebih aktif dalam mencari, memperoleh, menggunakan, dan mengolah informasi yang relevan dalam rangka memanipulasi dan mengendalikan lingkungan. Hal ini dikarenakan rasa percaya diri yang dimilikinya dan dapat melakukan kontrol dengan kemampuannya sendiri, mengandalkan kemampuan dan keterampilan diri serta usaha-usaha yang dilakukan, sehingga karyawan yang semakin locus of control cenderung internal maka akan semakin menguatkan hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

Hasil penelitian ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Triningsih (2007:vii) dengan judul “Pengaruh Locus of Control, Jenis Pekerjaan, dan Tingkat Pendidikan terhadap Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Kinerja Karyawan”, yang menunjukkan bahwa ada pengaruh positif dan signifikanlocus of control terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan kinerja karyawan (= 0,008 < = 0,05).

98

BAB VI

Dokumen terkait