• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HASIL PENELITIAN

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Rasio keuangan merupakan alat yang sering digunakan dalam analisis kinerja keuangan perusahaan. Dalam menganalisis kinerja keuangan perusahaan, analisis rasio keuangan memilki keterbatasan yang berasal dari kenyataan bahwa pada dasarnya metodologinya adalah univariate, dimana setiap rasio dianalisis secara terpisah. Jadi untuk mengurangi kelemahan analisis rasio ini, adalah penting menggabungkan beberapa rasio menjadi suatu model peramalan yang berarti. Dengan cara menginterpretasikan laporan keuangan pada suatu model atau teknik tertentu yang dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan.

1. Working Capital / Total Assets Ratio (X1) Tabel 4.8

Working Capital / Total Assets Ratio

No. Nama Perusahaan X1

2005 2006 2007 2008 1 PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk 0,509 0,571 0,586 0,544 2. PT. Indofarma (Persero) Tbk 0,276 0,268 0,211 0,218 3. PT. Kimia Farma (Persero) Tbk 0,320 0,315 0,332 0,346 4. PT. Kalbe Farma Tbk 0,375 0,576 0,585 0,512

5. PT. Merck Tbk 0,551 0,738 0,667 0,694

6. PT. Schering-Plough Indonesia Tbk -0,262 -0,323 -0,213 -0,094 7. PT. Pyridam Farma Tbk 0,068 0,115 0,114 0,164 8. PT. Bristol-Myers Squibb Indonesia Tbk 0,375 0,396 0,442 0,516 9. PT. Tempo Scan Pacific Tbk 0,483 0,497 0,506 0,512 Sumber : Diolah penulis, 2010

Working Capital / Total Assets Ratio (X1) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur likuiditas aktiva perusahaan relatif terhadap total kapitalisasinya atau untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek.

PT. Schering-Plough Indonesia Tbk adalah perusahaan dengan rasio X1 terendah yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut memiliki tingkat likuiditas paling rendah dibandingkan dengan perusahaan lainnya dalam kelompok tersebut, karena mempunyai kesulitan keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan lainnya.

Pada tahun 2005 PT. Schering-Plough Indonesia Tbk tercatat sebagai perusahaan ilikuid yaitu jumlah hutang lebih besar daripada jumlah aktivanya. PT. Merck Tbk dan PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk adalah perusahaan yang masih dalam kondisi likuid, yaitu total aktiva perusahaan bisa berubah menjadi kas dalam jangka waktu pendek setelah dipakai melunasi kewajiban lancarnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa PT. Merck Tbk dan PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk mempunyai tingkat likuiditas lebih besar dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya dalam kelompok perusahaan-perusahaan farmasi.

Selama empat tahun berturut-turut mean Working Capital / Total Assets (X1) bernilai cukup besar, hal ini menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan farmasi mengalami pertumbuhan keuangan.

2. Retained Earning / Total Assets (X2) Tabel 4.9

Retained Earning / Total Assets Ratio

No. Nama Perusahaan X2

2005 2006 2007 2008 1 PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk 0,059 0,097 0,186 0,235 2. PT. Indofarma (Persero) Tbk -0,231 -0,152 -0,093 -0,092 3. PT. Kimia Farma (Persero) Tbk 0,208 0,215 0,223 0,241 4. PT. Kalbe Farma Tbk 0,392 0,536 0,559 0,546

5. PT. Merck Tbk 0,638 0,687 0,722 0,766

6. PT. Schering-Plough Indonesia Tbk -0,036 -0,052 -0,020 0,021 7. PT. Pyridam Farma Tbk 0,103 0,116 0,119 0,139 8. PT. Bristol-Myers Squibb Indonesia Tbk 0,085 0,209 0,307 0,425 9. PT. Tempo Scan Pacific Tbk 0,571 0,601 0,599 0,636 Sumber : Diolah penulis, 2010

Retained Earning / Total Assets (X2) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur profitabilitas kumulatif. Rasio ini mengukur akumulasi laba selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi, memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan. Hal tersebut menyebabkan perusahaan yang masih relatif muda pada umumnya akan menunjukkan hasil rasio yang rendah, kecuali yang labanya sangat besar pada masa awal berdirinya.

Rasio X2 pada PT. Indofarma (Persero) Tbk memiliki nilai negatif ini berarti bahwa selama itu pula perusahaan tidak pernah membukukan laba ditahan atau selalu mengakumulasikan rugi ditahan. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan aktivanya untuk memperoleh laba ditahan sangatlah rendah bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Rugi usaha yang dialami perusahaan tersebut disebabkan karena penghasilan yang diterima tidak mampu menutupi beban-beban yang menjadi tanggungannya. Beban-beban yang harus

ditanggung selama periode tersebut lebih mengarah kepada beban usaha dan biaya pokok penjualan.

Rasio X2 pada PT Kimia Farma (Persero) Tbk mengalami kenaikan. Pada tahun 2005 rasio sebesar 0,208 kemudian naik pada tahun 2006 rasio menjadi 0,215 lalu naik pada tahun 2007 menjadi 0,223 dan pada tahun 2008 naik lagi menjadi 0,241. Hal ini mengindikasikan bahwa PT Kimia Farma (Persero) Tbk mempunyai kemampuan untuk memperoleh laba ditahan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya.

Tahun 2005 sampai tahun 2008 secara rata-rata X2 bernilai positif dan mengalami kenaikan, ini berarti bahwa selama itu pula hampir semua perusahaan mengakumulasikan laba. Laba yang diterima perusahaan sebagai akibat karena penghasilan yang diterima mampu menutupi beban-beban yang ditanggung selama periode tersebut. Dengan kata ini bahwa adanya keuntungan akan memperbesar retained earning yang berarti akan memperbesar modal sendiri, sebaliknya adanya kerugian yang diderita akan memperkecil retained earning yang berarti akan memperkecil modal sendiri (Riyanto,2001: 244).

3. Earning Before Interest and Taxes / Total Assets Ratio (X3) Tabel 4.10

Earning Before Interest and Taxes / Total Assets Ratio

No. Nama Perusahaan X3

2005 2006 2007 2008 1 PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk 0,193 0,150 0,138 0,171 2. PT. Indofarma (Persero) Tbk 0,031 0,058 0,022 0,012 3. PT. Kimia Farma (Persero) Tbk 0,070 0,054 0,059 0,066 4. PT. Kalbe Farma Tbk 0,219 0,236 0,225 0,207

5. PT. Merck Tbk 0,385 0,437 0,388 0,381

6. PT. Schering-Plough Indonesia Tbk 0,012 -0,007 0,049 0,067 7. PT. Pyridam Farma Tbk 0,025 0,034 0,028 0,037 8. PT. Bristol-Myers Squibb Indonesia Tbk 0,093 0,308 0,341 0,470 9. PT. Tempo Scan Pacific Tbk 0,173 0,148 0,143 0,149 Sumber : Diolah penulis, 2010

Earnings Before Interest and Taxes / Total Assets Ratio (X3) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur produktivitas yang sebenarnya dari aktiva perusahaan. Rasio tersebut mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva ynag digunakan. Semakin kecil tingkat profitabilitas berarti semakin tidak efisien dan tidak efektif perusahaan menggunakan keseluruhan aktiva di dalam menghasilkan laba usaha begitu juga sebaliknya.

Perusahaan dengan rasio X3 terendah adalah PT. Schering-Plough Indonesia Tbk pada tahun 2006 bernilai negatif, hal ini menunjukkan bahwa pihak manajemen tidak dapat mengelola aktivanya secara efektif. X3 yang bernilai negatif disebabkan karena probabilitas perusahaan selama pada tahun tersebut mengalami kerugian yang mana operating profit yang dicapai perusahaan lebih kecil daripada total aktivanya. Namun pada tahun berikutnya, perusahaan tersebut mampu untuk mendapatkan nilai rasio yang positif karena naiknya untung usaha yang diperoleh.

Perusahaan dengan rasio X3 tertinggi adalah PT. Bristol-Myers Squibb Indonesia Tbk. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut lebih tinggi tingkat produktivitasnya dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain dalam bidang farmasi.

Rata-rata perusahaan industri farmasi produktivitas aktiva yang digunakannya untuk menghasilkan laba usaha mengalami penurunan tetapi setelah itu mengalami kenaikan. Menurut Sawir (2001: 19), rasio X3 juga dapat menunjukkan rentabilitas ekonomis perusahaan sehingga dapat diartikan bahwa rentabilitas ekonomis perusahaan pada farmasi juga menurun seiring dengan menurunnya rasio X3 dan begitu juga sebaliknya.

4. Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities (X4) Tabel 4.11

Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities Ratio

No. Nama Perusahaan X4

2005 2006 2007 2008 1 PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk 2,441 2,843 4,683 3,912 2. PT. Indofarma (Persero) Tbk 1,046 0,690 0,406 0,443 3. PT. Kimia Farma (Persero) Tbk 2,532 2,227 1,897 1,904 4. PT. Kalbe Farma Tbk 1,281 2,772 3,020 2,665

5. PT. Merck Tbk 4,790 4,999 5,513 6,856

6. PT. Schering-Plough Indonesia Tbk 0,014 -0,014 0,014 0,044 7. PT. Pyridam Farma Tbk 4,853 3,637 2,373 2,355 8. PT. Bristol-Myers Squibb Indonesia Tbk 1,587 1,706 2,309 2,676 9. PT. Tempo Scan Pacific Tbk 3,795 4,342 3,789 3,408 Sumber : Diolah penulis, 2010

Market Value Equity / Book Value of Total Debt Ratio (X4) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa banyak aktiva perusahaan dapat turun nilainya sebelum jumlah hutang lebih besar daripada aktivanya dan perusahaan menjadi pailit. Modal yang dimaksud adalah gabungan nilai pasar dari

modal biasa dan saham preferen, sedangkan hutang mencakup hutang lancar dan hutang jangka panjang.

Perusahaan dengan X4 terendah adalah PT. Schering-Plough Indonesia Tbk pada tahun 2006. Perusahaan dengan rasio X4 terendah mempunyai indikasi bahwa perusahaan tersebut mengakumulasikan lebih banyak hutang daripada modal sendiri dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Bila dilihat dari modal sendiri perusahaan yang berasal dari modal disetor pada sahamnya, pada tahun tersebut terlihat mengalami penurunan. Sedangkan untuk laba ditahannya, kondisi yang ada selalu kebalikan yaitu mengalami rugi ditahan, sehingga ketergantungan perusahaan terhadap sumber eksternal guna mendanai aktivanya terutama yang berasal dari kreditur sangatlah tinggi.

Perusahaan dengan rasio X4 tertinggi adalah PT. Merck Tbk. Setiap tahun mengalami kenaikan yang berarti perusahaan ini masih lebih baik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Hal ini berarti bahwa perusahaan tersebut mengakumulasikan hutang terhadap modal sendiri lebih rendah bila dibandingakn dengan perusahaan-perusahaan lainnya.

Market Value Equity / Book Value of Total Debt Ratio (X4) dari tahun ke tahun mengalami kecenderungan menurun untuk masing-masing perusahaan. Hal ini terjadi karena rata-rata emiten pada perusahaan farmasi mengakumulasikan lebih banyak hutang daripada modal sendiri terutama yang berasal dari pemilik. Penurunan rasio ini disebabkan oleh adanya penurunan harga saham. Dengan semakin turunnya kondisi tersebut pada akhirnya semakin menurunkan nilai perusahaan (value of the firm).

5. Sales / Total Sales (X5)

Tabel 4.12

Sales / Total Sales Ratio

No. Nama Perusahaan X5

2005 2006 2007 2008 1 PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk 0,981 1,035 0,882 0,906 2. PT. Indofarma (Persero) Tbk 1,318 1,495 1,261 1,531 3. PT. Kimia Farma (Persero) Tbk 1,542 1,736 1,706 1,871 4. PT. Kalbe Farma Tbk 1,267 1,313 1,363 1,381

5. PT. Merck Tbk 1,772 1,725 1,653 1,699

6. PT. Schering-Plough Indonesia Tbk 1,793 1,252 1,325 1,022 7. PT. Pyridam Farma Tbk 0,518 0,738 0,911 1,212 8. PT. Bristol-Myers Squibb Indonesia Tbk 1,011 1,174 1,144 1,218 9. PT. Tempo Scan Pacific Tbk 1,065 1,101 1,127 1,225 Sumber : Diolah penulis, 2010

Sales to Total Assets Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan. Rasio tersebut mengukur kemampuan manajemen dalam menggunakan aktiva untuk menghasilkan penjualan.

Perusahaan dengan X5 terendah adalah PT. Pyridam Farma Tbk. Dalam hal ini kedua perusahaan tersebut dapat diindikasikan kurang efektif dalam penggunaan aktiva untuk meningkatkan penjualan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya.

Perusahaan dengan rasio X5 tertinggi adalah PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut mempunyai tingkat efektivitas tertinggi dalam penggunaan aktivanya untuk menghasilkan penjualan bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaaan lain. Rata-rata perusahaan farmasi memilki penjualan yang besar daripada aktivanya. Tingginya rasio ini mengindikasikan bahwa aktiva yang dimilki oleh rata-rata perusahaan tersebut sangat efektif untuk meningkatkan penjualan.

Rendahnya nilai Z-Score ini disebabkan oleh rendahnya nilai dari variabel-variabel yang terdapat dalam persamaan Altman yaitu variabel-variabel working capital / total assets, retained earnings / total assets, earning before interest and tax / total assets, market value of equity / book value of total debt, dan sales / total assets. Dari rasio-rasio tersebut, rasio keuangan yang dominan mempengaruhi kegagalan perusahaan adalah rasio profitabilitas, rasio likuiditas, dan rasio aktivitas. Hal ini terlihat dari hampir semua perusahaan yang bangkrut mempunyai nilai X1, X2, dan X3 yang sangat rendah bahkan bernilai negatif.

6. Analisis Kebangkrutan Altman Z-Score

Tabel 4.13

Analisis Kebangkrutan Altman Z-Score

No Perusahaan 2005 2006 2007 2008 B RB TB B RB TB B RB TB B RB TB 1. PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk √ √ √ √ 2. PT. Indofarma (Persero) Tbk √ √ √ √ 3. PT. Kimia Farma (Persero) Tbk √ √ √ √ 4. PT. Kalbe Farma Tbk √ √ √ √ 5. PT. Merck Tbk √ √ √ √ 6. PT. Schering-Plough Indonesia Tbk √ √ √ √ 7. PT. Pyridam Farma Tbk √ √ √ √ 8. PT. Bristol-Myers Squibb Indonesia Tbk √ √ √ √ 9. PT. Tempo Scan Pacific Tbk √ √ √ √ Total 2 2 5 1 2 6 2 1 6 2 1 6 Persentase 22,2% 22,2% 55,5% 11,1% 22,2% 66,6% 22,2% 11,1% 66,6% 22,2% 11,1% 66,6%

Sumber : Diolah penulis, 2010 Keterangan : B = Bangkrut

RB = Rawan Bangkrut TB = Tidak Bangkrut

Setelah dilakukan perhitungan terhadap masing-masing variabel (X1, X2, X3, X4, X5) dan ditentukan nilai Z-Score nya, maka dapat diketahui bahwa perusahaan farmasi tidak berpotensi kebangkrutan. Dari tabel 4.13 dapat dilihat bahwa perusahaan yang mengalami kebangkrutan selama 4 tahun berturut-turut adalah PT. Schering-Plough Indonesia Tbk. Hal ini disebabkan karena kecilnya nilai likuiditas dan profitabilitas dibandingkan dengan rasio variabel lainnya dari masing-masing perusahaan. Ditambah nilai likuiditas dan profitabilitas dari masing-masing perusahaan mengalami naik turun dari tahun ke tahun. Misalnya adalah PT. Indofarma (Persero) Tbk pada tahun 2005 memiliki rasio likuiditas (X1) sebesar −0,231 kemudian pada tahu n 2006 naik menjadi −0,152 lalu naik pada tahun 2007 menjadi −0,093 dan naik lagi pada tahun 2008 menjadi −0,092. Sedangkan rasio profitabilitas (X2) sebesar 0,031 pada tahun 2005 kemudian naik pada tahun 2006 menjadi 0,058 lalu turun menjadi 0,022 pada tahun 2007 dan turun lagi pada tahun 2008 menjadi 0,012. Dengan melihat kondisi tersebut pada pengelola perusahaan sudah mampu untuk memperbaiki kondisi rasio likuiditas tetapi harus lebih memfokuskan untuk memperbaiki rasio profitibalitas perusahaan agar menurunkan kemungkinan bangkrutnya perusahaan dari sebelumnya mengalami rawan bangkrut. Misalnya untuk meningkatkan rasio profitabilitas perusahaan yaitu laba yang diperoleh tidak semuanya dibagikan kepada para pemegang saham atau jumlah laba yang akan diberikan kepada para pemegang saham dikurangi agar perusahaan bisa bertahan dalam jangka panjang dan tidak mengalami kebangkrutan.

Perusahaan yang mempunyai catatan bangkrut dan tidak bangkrut (rawan bangkrut) selama 4 tahun berturut-turut adalah PT. Pyridam Farma Tbk. Dalam kurun waktu 4 tahun masing-masing perusahaan mengalami naik turun pada rasio likuiditas-nya. Misalnya pada tahun 2005 memiliki nilai rasio likuiditas (X1) 0,068, kemudian naik menjadi 0,115 pada tahun 2006, lalu turun menjadi 0,014 pada tahun 2007 dan naik lagi pada tahun 2008 menjadi 0,164. Dengan melihat kondisi perusahaan tersebut, maka sebaiknya pengelola perusahaan lebih memfokuskan pada usaha perbaikan kinerja perusahaan untuk meningkatkan rasio likuiditas, misalnya yaitu dengan meningkatkan volume penjualan terhadap persediaan yang ada, sehingga ada pemasukan pada kas perusahaan dari hasil penjualan tersebut. Melihat kondisi diatas, maka pengelola harus lebih berhati-hati dan harus melakukan perbaikan secepatnya.

Perusahaan yang tidak bangkrut selama 4 tahun berturut-turut adalah PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk, PT. Kimia Farma (Persero) Tbk, PT. Kalbe Farma Tbk, PT. Merck Tbk, PT. Tempo Scan Pacific Tbk. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan ini memiliki rasio yang relatif stabil. Dan menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan dalam kondisi baik selama 4 tahun berturut-turut.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait