• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan Hasil Penelitian .1 Analisis Kelengkapan Resep .1Analisis Kelengkapan Resep

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2.1 Pembahasan Hasil Penelitian .1 Analisis Kelengkapan Resep .1Analisis Kelengkapan Resep

Penelitian tentang analisis resep ini dilakukan di apotek rawat jalan RUMKITAL Dr. Mintohardjo menggunakan lembar resep periode bulan Januari 2015, hasil inklusi didapatkan sebanyak 9.237 dan sampel yang diambil menggunakan teknik random sampling sebanyak 400 lembar resep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak ketidaklengkapan pada resep.

Pada tabel 4.1 diketahui hasil dari analisis kelengkapan resep. Untuk ketidaklengkapan data pasien pada resep didapatkan hasil sebanyak 88% (352 lembar resep) yang mencakup; nama 0%, alamat 88%, tanggal lahir 83% dan no rekam medis 13%. Hasil ketidaklengkapan data pasien tersebut cukup tinggi yaitu lebih dari 50%. Hasil ketidaklengkapan data pasien ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Prawitosari (2009) yang mendapatkan hasil ketidaklengkapan penulisan data pasien sebanyak 39% umur pasien, 36,4% alamat pasien dan 2,6% nama pasien. Data pasien dalam penulisan resep cukup penting, hal ini sangat diperlukan dalam proses pelayanan peresepan sebagai pembeda ketika ada nama pasien yang sama agar tidak terjadi kesalahan pemberian obat pada pasien. Seperti contohnya umur dan no rekam medis pasien sangatlah penting dan harus dicantumkan dalam resep. Bentuk ketidaklengkapan data pasien dalam resep yang diamati ini beragam, yaitu karena tidak dituliskannya tanggal lahir atau umur pasien, alamat, no rekam medis pasien, atau bahkan tidak dicantumkan ketiganya. Selanjutnya hasil ketidakjelasanan penulisan nama obat pada resep sebanyak 4,8% (19 lembar resep). Penulisan nama obat sangat penting dalam resep agar ketika dalam proses pelayanan tidak terjadi kesalahan pemberian obat, karena banyak obat yang tulisannya hampir sama atau penyebutannya sama.

Untuk itu, dokter harus menuliskan nama obat dengan jelas sehingga terhindar dari kesalahan pemberian obat.

Pada tabel 4.1 diketahui juga hasil dari ketidakjelasanan penulisan signa obat yaitu sebanyak 3,8% (15 lembar resep). Dalam resep, penulisan signa obat sangat penting agar dalam proses pelayanan tidak terjadi kekeliruan dalam pembacaan pemakaian obat, sehingga pasien dapat meminum obat sesuai dengan cara dan aturan pemakaian. Dengan demikian, seharusnya dokter menuliskan signa obat dengan jelas sehingga terhindar dari kesalahan pemakaian obat. Hasil ketidakjelasan penulisan signa obat ini sesuai dengan penelitian Prawitosari (2009) yang mendapatkan hasil ketidakjelasan penulisan signa obat sebanyak 50,8%.

Pada penelitian ini, tidak ditemukan adanya resep tanpa tanda tangan atau stempel nama dokter. Dimana resep yang tidak mencantumkan tanda tangan diganti dengan stempel nama dokter. Paraf atau tanda tangan dokter juga berperan penting dalam resep agar dapat menjamin keaslian resep dan berfungsi sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Prawitosari (2009) yang mendapatkan hasil ketidaklengkapan pencantuman paraf dokter sebanyak 6,8%. Pada kasus pencantuman tanda tangan/paraf dokter ini hasil yang didapatkan sangat bagus karena 100% resep yang dikaji mencantumkan stempel nama dokter sebagai pengganti tanda tangan. Dengan ini berarti, resep yang diberikan pasien merupakan resep yang sah yang diberikan oleh dokter yang bersangkutan.

Nama dokter, SIP, alamat, telepon, paraf atau tanda tangan dokter serta tanggal penulisan resep sangat penting dalam penulisan resep agar ketika Apoteker Pengelola Apotek melakukan skrining resep kemudian terjadi kesalahan mengenai kesesuaian farmasetik yang meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian, dokter penulis resep tersebut bisa dapat langsung dihubungi untuk melalukan pemeriksaan kembali.

Format inscriptio suatu resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan resep pada praktik pribadi. Resep di RUMKITAL Dr. Mintohardjo tidak tercantum Surat Izin Praktek (SIP), hal ini dikarenakan dokter-dokter yang bekerja atau melakukan praktek di rumah sakit tersebut bernaung di bawah izin operasional

rumah sakit dimana menurut PERMENKES RI No. 56 tahun 2014 izin operasional rumah sakit adalah izin yang diberikan oleh pejabat yang bernaung sesuai kelas rumah sakit kepada penyelenggara/pengelola rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan di rumah sakit setelah memenuhi persyaratan dan standar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Jadi berbeda dengan resep dokter yang membuka praktik sendiri di luar rumah sakit dimana resep dokter yang membuka praktik sendiri harus mencantumkan Surat Izin Praktek (SIP) agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien dan memberikan kepastian hukum serta jaminan kepada masyarakat bahwa dokter tersebut benar-benar layak dan telah memenuhi syarat untuk menjalankan praktik seperti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Akan tetapi pada penelitian ini, paraf dokter dalam resep yang diterima di Apotek RUMKITAL Dr. Mintohardjo diganti dengan stempel dokter dimana didalamnya terdapat nama dokter dan SIP.

Selanjutnya untuk hasil ketidakkesesuaian obat dengan formularium didapatkan sebanyak 11,8% (47 lembar resep). Resep yang tidak sesuai dengan formularium ini akhirnya dilakukan perubahan agar sesuai dengan formularium. Formularium dalam hal ini adalah formularium rumah sakit tempat dilakukannya penelitian yang mengacu dari formularium nasional.

Formularium disusun dengan tujuan untuk penyempurnaan efektifitas, penurunan resiko, penurunan biaya, dan penyempurnaan pengadaan obat, sehingga formularium rumah sakit yang digunakan dengan baik dapat membimbing dokter dalam peresepan obat yang paling aman dan paling efektif untuk mengobati masalah medis tertentu (Siregar 2004).

Formularium rumah sakit yang telah disusun bersama harus dipatuhi oleh seluruh praktisi rumah sakit sebagai pedoman yang digunakan dalam pemberian terapi, hal ini seperti dijelaskan oleh Menteri Kesehatan RI dalam buku Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, tercapainya suatu pelayanan farmasi rumah sakit dapat dilihat dari penulisan resep yang sesuai dengan formularium, dimana standar kesesuaiannya adalah 100% (Menteri Kesehatan RI, 2008).

Pada tabel 4.2 didapatkan hasil pengamatan terhadap legalitas narkotik 0%. Hasil ini diperoleh karena dari jumlah 400 lembar resep yang digunakan tidak ada

satu resep yang menggunakan atau mengandung obat narkotik. Sehingga untuk analisis legalitas narkotik tidak dapat dilakukan oleh peneliti. Legalitas terhadap obat narkotik berperan penting dalam resep agar dapat menjamin keaslian resep tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan obat oleh masyarakat.

Untuk distribusi data kelengkapan resep selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3.

4.2.1.2 Analisis Penulisan Terkait Obat

Pada penelitian selanjutnya (tabel 4.3), resep dianalisis terhadap kejelasan penulisan dosis sediaan dan ketepatan dosis serta kejelasan penulisan frekwensi pemberian obat beserta ketepatan frekwensi pemberian obat. Analisis ketidakjelasan penulisan dosis sediaan pada resep didapatkan hasil sebanyak 32,8% (131 lembar resep). Dengan ini, diketahui bahwa hanya 67,2% (269 lembar resep) yang ditulis dengan jelas. Dari 269 lembar resep yang ditulis dengan jelas tersebut setelah dilakukan analisis berdasarkan literatur, dosis sediaan yang diberikan sudah tepat. Penulisan dosis sediaan obat harus ditulis dengan jelas agar terhindar dari kesalahan pemberian jumlah dosis mengingat adanya obat-obat yang memiliki dosis lebih dari satu. Dimana dosis obat itu sendiri adalah jumlah atau ukuran yang diharapkan dapat menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang mengalami gangguan. Misalnya Amoxan 500 mg dan Amoxan 250 mg, maka dosis obat perlu ditulis dengan jelas dalam peresepan. Tetapi biasanya ada kesepakatan tidak tertulis dalam pelayanan obat tersebut bahwa jika kekuatan obat tidak tertulis maka diberikan obat dengan kekuatan kecil. Oleh karena itu, dosis sediaan harus ditulis dengan jelas dan harus sesuai/tepat. Hasil ketidakjelasan penulisan kekuatan sediaan obat ini sesuai dengan penelitian Prawitosari (2009) yang mendapatkan hasil ketidakjelasan penulisan kekuatan sediaan sebanyak 50,8%.

Selanjutnya untuk hasil ketidakjelasan penulisan frekuensi obat didapatkan hasil sebanyak 8,5% (34 lembar resep). Hasil ketidakjelasan penulisan frekuensi pemberian obat ini sesuai dengan penelitian Octavia (2011) yang mendapatkan hasil ketidakjelasan penulisan frekuensi pemberian obat sebanyak 75,5%. Pada

resep seharusnya frekuensi pemberian ditulis dengan jelas dan lengkap. Penulisan frekuensi pemberian obat sangat penting dalam resep agar ketika dalam proses pelayanan tidak terjadi kesalahan informasi penggunaan obat, karena keadaan dan kondisi pasien menentukan frekuensi penggunaan obat yang tepat. Misalnya obat diminum 3 kali 1sehari dan diminum 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan dan sebagainya. Dengan informasi tersebut, maka diharapkan pasien akan dapat menggunakan obat dengan benar. Sedangkan untuk hasil ketepatan frekuensi pemberian obat berdasarkan literatur terhadap 91,5% (366 lembar resep) yang ditulis dengan jelas, didapatkan hasil bahwa frekuensi pemberian obat sudah tepa.

Selanjutnya pada tabel 4.4, penulisan bentuk sediaan obat yang tidak jelas didapatkan hasil sebanyak 73% (292 lembar resep). Pada resep, seharusnya penulisan bentuk sediaan harus ditulis dengan jelas agar tidak memicu terjadinya kesalahan pemberian bentuk sediaan obat yang akan digunakan oleh pasien sesuai dengan kebutuhan, keadaan dan kondisi pasien. Misalnya Paracetamol, dimana paracetamol memiliki bentuk sediaan lebih dari satu. Maka dalam resep perlu dituliskan bentuk sediaan tablet atau syrup. Hasil ketidaklengkapan penulisan bentuk sediaan ini sesuai dengan penelitian Octavia (2011) yang mendapatkan hasil ketidakjelasan penulisan bentuk sediaan sebanyak 60,2%.

Ketidakjelasan penulisan rute pemberian obat juga didapatkan sebanyak 68% (272 lembar resep). Penulisan rute pemberian obat sangat penting dalam resep agar ketika dalam proses pelayanan tidak terjadi kekeliruan pemberian obat, karena banyak sediaan obat yang memiliki beberapa bentuk rute pemberian. Untuk itu, dokter harus menuliskan nama obat dengan jelas sehingga terhindar dari kesalahan rute pemberian obat. Hasil ketidaklengkapan penulisan rute pemberian obat ini sesuai dengan penelitian Octavia (2011) yang mendapatkan hasil ketidakjelasan penulisan rute pemberian obat sebanyak 84,2%.

Analisis penulisan terkait obat selanjutnya adalah analisis terhadap ketercampuran obat yang dibuat puyer (tabel 4.5). Dimana pada profil resep terhadap ketercampuran obat yang dibuat puyer didapatkan hasil 3,5% (14 lembar resep). Penulisan nama obat racikan/campuran sangat penting dalam resep agar ketika dalam proses pelayanan tidak terjadi kekeliruan atau kesalahan

pencampuran obat, karena tidak semua obat dapat bercampur dengan baik (kompatibel). Untuk itu, dokter harus menuliskan nama obat dengan jelas dengan melihat kompatibilitas dari masing-masing obat sehingga terhindar dari kesalahan pemberian obat. Dari 3,5% tersebut menunjukkan hasil bahwa obat kompatibel dan dapat digunakan oleh pasien. Hasil tersebut menandakan bahwa pembuatan obat dengan cara racikan (puyer) ini turun dari jumlah peresepan di Indonesia yang hampir 60%.

Selain itu pada tabel 4.6, berdasarkan literatur diketahui adanya interaksi obat dengan obat pada resep yang diamati yaitu sebanyak 49,2% (197 lembar resep). Analisis interaksi obat ini berperan penting dalam terapi pengobatan agar ketika dalam proses pengobatan tidak terjadi hal yang dapat merugikan pasien dan terjadinya interaksi obat dapat dihindarkan.

4.2.1.3 Analisis Terkait Interaksi Obat

Hasil terhadap 400 lembar resep, diperoleh bahwa terdapat interaksi obat pada 197 lembar resep (49,2%) dan sebanyak 203 lembar resep (50,8%) tidak mengalami interaksi obat. Dari data tersebut diketahui bahwa interaksi lebih banyak terjadi pada pasien yang menerima obat ≥5 macam obat dibandingkan dengan pasien yang menerima obat <5 macam obat. Hal ini sesuai dengan penelitian Mega (2013) bahwa resiko terjadinya interaksi obat meningkat sejalan dengan jumlah obat yang diresepkan. (Thanacody, 2012).

Berdasarkan hasil analisis terhadap 197 resep yang berinteraksi (tabel 4.3), diperoleh hasil bahwa terdapat total kejadian interaksi obat sebanyak 384 kejadian (tabel 4.8) yang terdiri dari interakdi farmakodinamik 50,8% dengan mekanisme interaksi obat yang paling banyak terjadi. Hal tersebut menunjukkan bahwa obat-obat yang diberikan saling berinteraksi pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologi yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergis (saling memperkuat), dan antagonis (saling meniadakan). Beberapa alternatif penatalaksanaan interaksi obat adalah menghindari kombinasi obat dengan memilih obat pengganti yang tidak berinteraksi, penyesuaian dosis obat, pemantauan pasien atau meneruskan pengobatan seperti sebelumnya jika

kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal atau bila interaksi tersebut tidak bermakna secara klinis (Fradgley, 2003).

Mekanisme interaksi obat terbanyak kedua adalah interaksi obat yang bersifat unknown yaitu sebesar 30,7%, dimana mekanisme interaksi obat jenis ini belum diketahui secara jelas mekanismenya yakni tidak termasuk kedalam mekanisme farmakodinamik maupun farmakokinetik. Sedangkan mekanisme interaksi obat secara farmakokinetik terjadi sebesar 18,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme, atau eksresi obat kedua sehingga kadar plasma kedua obat meningkat atau menurun. Akibatnya terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektifitas obat tersebut (Fradgley, 2003)

Berdasarkan hasil penelitian, tingkat keparahan interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah pada interaksi obat secara mayor yaitu sebanyak 215 kasus (56%). Interaksi obat secara mayor ini seharusnya diprioritaskan untuk dicegah dan diatasi karena efek potensial membahayakan jiwa atau menyebabkan kerusakan permanen. Dari 215 kasus interaksi mayor ini, hanya 46 kasus (21,4%) yang menyatakan bahwa interaksi tersebut dapat berdampak secara klinis. Selanjutnya interaksi obat terbanyak kedua adalah secara minor yaitu sebanyak 123 kasus (32%). Interaksi obat ini mungkin mengganggu atau tidak disadari (interaksi obat diduga terjadi), tetapi tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap efek obat yang diinginkan, dan bentuk interaksi obat yang paling sedikit terjadi adalah interaksi obat secara moderet yaitu sebanyak 46 kasus (12%). Interaksi obat secara moderet ini termasuk jenis interaksi obat yang seharusnya diprioritaskan untuk dicegah dan diatasi karena mempunyai bukti yang cukup rasional untuk kemungkinan terjadinya interaksi obat. Ketiga bentuk interaksi ini terjadi pada 197 lembar resep yang mengalami interaksi obat. Jumlah interaksi obat dalam 1 resep ini dapat ditemukan bentuk interaksi lebih dari 1 macam bentuk interaksi obat.

Hasil analisis dengan uji Chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah obat dalam satu resep dengan kejadian interaksi obat. Hasil ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas sebesar 0,000. Nilai ini lebih kecil dari α = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara jumlah obat dalam satu resep dengan kejadian interaksi obat. Hasil yang didapatkankan ini sesuai dengan penelitian Mega (2013) dengan nilai probabilitas α = 0,000. Hasil analisis menggunakan odds ratio menunjukkan bahwa pasien yang menerima jumlah jenis obat ≥5 beresiko 0,030 kali lebih tinggi mengalami potensi interaksi obat (95% Cl, 0,009-0,099) dibandingkan dengan pasien yang menerima obat <5 macam obat. Hal ini membuktikan teori dimana resiko terjadinya interaksi obat meningkat sejalan dengan jumlah obat yang diresepkan. (Thanacody, 2012)

Dari data di atas, maka dapat diketahui bahwa kesalahan dalam penulisan resep masih sering terjadi dalam praktek sehari-hari baik dalam satu wilayah tertentu maupun wilayah lain. Seperti data pasien yang tidak lengkap, hal ini menyebabkan adanya hambatan ketika resep tersebut akan diberikan kepada pasien. Tulisan tangan yang tidak jelas dari nama obat yang membingungkan, dapat mengakibatkan kesalahan pengambilan obat sehingga berakibat fatal bagi pasien bila sampai pada tahap pemberian karena obat yang diberikan tidak sesuai dengan penyakitnya. Frekwensi pemberian obat yang tidak jelas sehingga aturan obat yang diberikan melenceng dari jam dan waktu yang seharusnya. Penulisan signa obat yang tidak jelas, pemberian bentuk sediaan obat yang tidak tepat, jumlah obat yang tidak tepat sehingga dapat mengakibatkan kegagalan terapi pada saat penggunaan obat oleh pasien. Jenis prescribing error lain adalah peresepan beberapa obat yang dapat mengakibatkan interaksi obat sehingga tujuan terapi tidak dapat diperoleh dengan maksimal.

Hasil pengamatan pada penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi kepada dokter dan farmasis RUMKITAL Dr. Mintohardjo mengenai adanya kejadian dalam penulisan resep yang tidak sesuai dengan PERMENKES RI No. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek dan adanya kejadian interaksi obat dengan obat pada resep rawat jalan, dan beberapa dari interaksi tersebut memerlukan perhatian khusus karena pasien tidak mendapat perawatan atau pemantauan yang tepat dari tenaga medis, sehingga upaya patient safety di RUMKITAL Dr. Mintohardjo dapat ditegakkan.

Dokumen terkait