• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

B. Pembahasan

1. Analisis terhadap Pertimbangan Hakim tentang Perspektif Hukum Islam tentang sumpah li‟an dan nuzyus

Menurut hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan pernikahan haruslah orang yang siap dan mampu. Firman Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 32





































“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki, dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.(An-Nur :32)

Pernikahan merupakan sunnatullah dan sunnah Rasul yang dianjurkan kepada seluruh manusia yang mempunyai kemampuan, baik kemampuan jasmani maupun kemampuan rohani. Dengan perkawinan

seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

ّيهػ اَللّ ٗهص ِ ه َاَللّ ُلُٕسَس اََُن َلاَل ُّػ اَللّ يضس ٍدُٕؼْسَي ٍِْت ِ ه َاَللّ ِذْثَػ ٍَْػ

ُّضَغَأ ُّهَِإَف , ْجهَٔضَرَيْهَف َجَءاَثْنَا ُىُكُِْي َعاَطَرْسا ٍَِي ! ِباَثهشنَا َشَشْؼَي اَي ( ىهسٔ

ِطَرْسَي ْىَن ٍَْئَ , ِجْشَفْهِن ٍَُصْحَأَٔ , ِشَصَثْهِن

ٌءاَجِٔ َُّن ُّهَِإَف ; ِوْٕهصناِت ِّْيَهَؼَف ْغ

)

ِّْيَهَػ ٌكَفهرُي

“Hai pemuda-pemuda, barang siapa yang mampu di antara kamu serta

berkeinginan hendak menikah, hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan mata terhadap orang-orang yang tidak halal dilihatnya. Dan barang siapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang.” (riwayat jama‟ah ahli hadits).

Li‟an menurut bahasa artinya saling melaknat. Adapun menurut syara‟ adalah : Apabila suami menuduh istri berbuat zina atau tidak mengakui anak yang dilahirkan itu sebagai anaknya sedangkan dia tidak mempunyai empat orang saksi dalam tuduhannya itu, maka masing-masing (suami-istri) harus bersumpah sebagaimana yang Allah jelaskan dalam QS. An-Nuur ayat 6-9 sebagai berikut :

ُغَتْسَا ْىِِْذَحَا ُجَدآََشَف ْىُُٓسُفََْا هلاِا ُءآَذَُٓش ْىُٓهن ٍُْكَي ْىَن َٔ ْىَُٓجأَْصَا ٌَُْٕيْشَي ٍَْيِزهنا َٔ

ٍخذَٓش

هٌَا ُحَسِياَخنْا َٔ . ٍَْيِلِذّصنا ًٍََِن ّهَِا ِللهاِت

:سُٕنا . ٍَْيِتِزكنْا ٍَِي ٌَاَك ٌِْا ِّْيَهَػ ِاَللّ َدَُْؼَن

6

-7

Dan orang-orang yang menuduh isrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa la‟nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.

ّهَِا ِللهاِت ٍخذَٓش َغَتْسَا َذَْٓشَذ ٌَْا َباَزَؼنْا آََُْػ اُؤَسْذَي َٔ

َباَزَػ هٌَا َحَسِياَخنْا َٔ . ٍَْيِتِزكنْا ًٍََِن

:سُٕنا . ٍَْيِلِذّصنا ٍَِي ٌَاَك ٌِْا آَْيَهَػ ِاَللّ

8

-9

Dan istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya, jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. [QS.

An-Nuur : 8-9]

ص ِاَللّ ُلُْٕسَس َقهشَفَف ،اَِْذَنَٔ ٍِْي َٗفَرَْا َٔ َُّذَأَشْيا ٍََػَلا ًلاُجَس هٌَا َشًَُػ ٍِْتا ٍَِػ ٍغِفاََ ٍَْػ

ْيَت

حػاًجنا .ِجَأْشًَنْاِت َذَنَٕنْا َكَحْنَا َٔ آًََُُ

Dari Nafi‟ dari Ibnu „Umar, bahwasanya ada seorang laki-laki yang menuduh istrinya berzina lalu berbuat li‟an dan ia tidak mengakui anak yang dilahirkan istrinya, kemudian Rasulullah SAW memisahkan antara keduanya dan menghubungkan anak tersebut kepada ibunya. [HR.

Jamaah].

هشَفُي َا ٌِاَُِػَلاَرًُنْا ،ًٍِْحهشنا ِذْثَػ اَتَا اَي :َشًَُػ ٍِْت ِاَللّ ِذْثَؼِن َلاَل ُّهََا ٍشْيَثُج ٍِْت ِذْيِؼَس ٍَْػ

ُق

هَٔا هٌِا .ْىَؼََ ،ِاَللّ ٌَاَحْثُس :َلاَل ؟آًََُُْيَت

َل ُْٕسَس اَي :َلاَل .ٌٍَلاُف ٍُْت ٌَُلاُف َكِنر ٍَْػ َلَأَس ٍَْي َل

ْيِظَػ ٍشْيَاِت َىههَكَذ َىههَكَذ ٌِْا ؟ُغَُْصَي َفْيَك ٍحَشِحاَف َٗهَػ َُّذَأَشْيا اََُذَحَا َذَجَٔ َْٕن َدْيَأَسَا ،ِاَللّ

َٔ .ٍى

َدَكَسَف :َلاَل .َكِنر ِمْثِي َٗهَػ َدَكَس َدَكَس ٌِْا

ُِاَذَا َكِنر َذْؼَت ٌَاَك اهًَهَف ،ُّْثِجُي ْىَهَف ،ص ُّيِثهُنا

ُُّْٕنا ِجَسُْٕس ِٗف ِديلاْا ِِِزْ همَج َٔ هضَػ ُاَللّ َلَضََْاَف .ِِّت ُدْيِهُرْتا َُُّْػ َكُرْنَأَس ِٖزهنا هٌِا :َلاَمَف

ِس

ْيَهَػ هٍَُْلاَرَف }ْىَُٓجأَْصَا ٌَُْٕيْشَي ٍَْيِزهنا َٔ {

اَيَُّْذنا َباَزَػ هٌَا َُِشَثْخَا َٔ َُِشهكَر َٔ َُّظَػَٔ َٔ ِّ

اَْاَػَد هىُث.آَْيَهَػ ُدْتَزَك اَي اًّيِثََ ِّكَحنْاِت َكَثَؼَت ِٖزهنا َٔ ،َلا :َلاَمَف ،ِجَشِخلآْا ِباَزَػ ٍِْي ٌََُْْٕا

َٔ

ٌََُْْٕا اَيَُّْذنا َباَزَػ هٌَا اََْشَثْخَا َٔ آََظَػَٔ

َكَثَؼَت ِٖزهنا َٔ ،َلا َلاَمَف .ِجَشِخلآْا ِباَزَػ ٍِْي

ِّكَحنْاِت

َٔ . ٍَْيِلِداهصنا ًٍََِن ُّهَِا .ِللهاِت ٍخاَدآََش َغَتْسَا َذَِٓشَف ،ِمُجهشناِت َأَذَثَف . ٌبِراَكَن ُّهَِا اًّيِثََ

َكنْا ٍَِي ٌَاَك ٌِْا ِّْيَهَػ ِاَللّ َحَُْؼَن هٌَا َحَسِياَخنْا

ٍخاَدآََش َغَتْسَا ْخَذَِٓشَف ِجَأْشًَنْاِت ََُٗث هىُث . ٍَْيِتِرا

هشَف هىُث . ٍَْيِلِداهصنا ٍَِي ٌَاَك ٌِْا آَْيَهَػ ِاَللّ َةَضَغ هٌَا َحَسِياَخنْا َٔ ٍَْيِتِراَكنْا ًٍََِن ُّهَِا .ِللهاِت

َق

ىهسي ٔ ٖساخثنا ٔ ذًحا .آًََُُْيَت

Dari Sa‟id bin Jubair, bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar, “Hai Abu Abdurrahman, apakah suami istri yang telah berli‟an itu harus diceraikan antara keduanya ?”. Ia menjawab, “Subhaanallaah, ya !. Sesungguhnya pertama kali orang yang bertanya tentang hal itu adalah Fulan bin Fulan”. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu kalau salah seorang di antara kami ini mendapati istrinya berbuat zina, apakah yang harus ia lakukan ? Jika ia berbicara berarti berbicara tentang urusan besar dan jika ia diam berarti ia mendiamkan perkara besar juga”. Ibnu Umar berkata, “Kemudian Nabi SAW diam, tidak menjawabnya”. Kemudian ia datang lagi kepada Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya yang kutanyakan kepadamu itu menimpa diriku sendiri”. Lalu Allah „Azza wa Jalla menurunkan ayat-ayat dalam surat An-Nuur “Dan orang-orang yang menuduh istri-istrinya (berzina) ....”. Kemudian Nabi SAW membacakan ayat-ayat tersebut kepadanya dan menasehatinya serta mengingatkannya dan memberitahu, bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat. Lalu orang itu berkata, “Tidak ! Demi Dzat yang mengutusmu sebagai Nabi dengan benar, aku tidak berdusta atas istriku”. Kemudian Nabi SAW memanggil istri orang itu seraya menasehatinya dan memberitahu, bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat. Perempuan itu kemudian berkata, “Tidak ! Demi Dzat yang mengutusmu sebagai Nabi dengan benar, suamiku itu dusta”. Lalu Nabi SAW memulai dari si laki-laki. Laki-laki itu bersumpah dengan nama Allah empat kali bahwa dia sungguh di pihak yang benar, dan ke limanya semoga laknat Allah akan menimpa dirinya jika ia berdusta. Lalu RasulullahSAW beralih kepada si wanita, kemudian wanita itu bersaksi dengan nama Allah empat kali bahwa sesungguhnya suaminya itu berdusta, dan kelimanya semoga murka Allah ditimpakan kepadanya jika suaminya itu benar. Lalu beliau menceraikan keduanya.

Hanifah berpendapat apabila keduanya (suamiatau istri) mengaku dusta dalam tuduhannya maka suami istri yang bermula‟anah tersebut dapat menjadi suami istri kembali dengan akad nikah baru.

Dapat dijelaskan mengenai pendapat Imam Abu Hanafi tentang li‟an, bahwa perpisahan hanya dapat terlaksana berdasarkan keputusan dari perintah Rasulullah SAW, yang menyatakan hal itu ketika beliau bersabda, “Tidak ada jalan bagimu kepadamu”. Oleh karena itu Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa keputusan Nabi SAW merupakan syarat bagi jatuhnya perpisahan, sebagaimana keputusan beliau juga merupakan syarat bagi sahnya li‟an.

Tentang kapan terjadi li‟an, sebagaimana para ahli hukum Islam mengatakan sejak selesainya pengucapan li‟an, maka sejak itu pula suami dan istri tersebut harus dipisahkan. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa terjainya pemisahan suami istri itu sejak putusan pengadilan diucapkan oleh hakim. Pendapat tentang sahnya terjadi li‟an sejak putusnya pengadilan ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan as Tsauri, dan pendapat terakhir ini pula yang diikuti oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Berkaitan dengan Teori Li‟an, Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pada hakekatnya li‟an merupakan sumpah suami sebanyak empat kali atas tuduhannya terhadap istrinya atau penolakan terhadap anak yang dilahirkan istrinya kemudian dilanjutkan dengan kata-kata “Murka Allah atas dirinya jika tuduhan itu tidak benar”, dan istri meakukan sumpah penolakan sebanyak empat kali dan dilanjutkan dengan kata-kata “Murka Allah atas dirinya apabila suaminya berkata benar”.(Abdul Manan, 2008, p.118)

Dalam kitab fiqih tradisional masih ditemukan pendapat para pakar Hukum Islam tentang apakah li‟an itu sebagai sumpah atau kesaksian. Menurut Imam Maliki, Syafi‟I dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa li‟an adalah sumpah, sebab kalau dinamakan kesaksian tentulah seseorang tidak menyebutkan bersaksi bagi dirinya. Sedangkan Abu Hanifah dan

murid-muridnya berpendapat bahwa li‟an adalah kesaksian dengan alasan bahwa firman Allah yang menyebutkan tentang li‟an adalah penekanan kepada “maka kesaksian salah seorang dari mereka (mengucapkan) empat

kali kesaksian dengan menyebut nama Allah” dan juga hadist yang

diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa istri mengucapkan kesaksian pula.

Bagi para ahli Hukum Islam yang berpendapat li‟an itu sumpah, maka li‟an dipandang sah hanya suami istri yang sama-sama merdeka, atau sama-sama budak,atau yang satu merdeka yang lain budak,atau sama–sama orang yang adil, atau sama–sama orang yang durhaka, atau yang satu adil yang lain durhaka, sedangkan para ahli Hukum Islam yang menganggap li‟an itu kesaksian berpendapat bahwa tidak sah li‟an suami istri yang kedua-duanya bukan orang yang kesaksiannya tidak dapat diterima, karena itu haruslah suami istri tersebut sama–sama orang yang merdeka dan muslim.

Ibnu Qayyim mengatakan bahwa dalam masalah ini yang benar adalah merupakan gabungan sumpah dan kesaksian, orang-orang yang bermula‟anah harus punya sama-sama hak sumpah dan persaksian, maksudnya kesaksian yang dkuatkan dengan sumpah dan diucapkan berkali-kali dan sumpah berat yang disertai ucapan kesaksian berulang kali guna memutus perkaranya dan memperkuat pernyataannya.

Pelaksanaan li‟an pada Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam telah disebutkan dengan jelas pada ayat (a) bahwa suami harus melakukan sumpah sebanyak empat kali yang harus diikuti dengan sumpah kelima sebagai penguat sumpah dengan menyebutkan atas nama Allah, bagi istri yang tertera pada ayat (b) istri menolak sumpah suami dengan mengankat sumpah penolakan sebanyak empat kali dan diikuti sumpah kelima atas nama Allah. Penolakan sumpah yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya adalah sebagai hak, bukan kewajiban, karena itu istri boleh bersumpah, dan boleh juga tidak. Kalau istri bersumpah maka terjadilah penyelesaian perkara itu dengan cara li‟an.Sebab baru dikatakan telah

terjadi li‟an, bila suami istri saling bersumpah dengan redaksi sumpah seperti tersebut dalam Pasal 127 pada ayat (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam.(Iman Jauhari, 2003, p.203)

Tentang kapan terjadi li‟an, sebagaimana para ahli hukum Islam mengatakan sejak selesainya pengucapan li‟an, maka sejak itu pula suami istri tersebut harus dipisahkan. Sebahagian ulama mengatakan bahwa terjadinya pemisahan suami istri itu sejak adanya putusan pengadilan yang diucapkan oleh hakim. Pendapat yang terakhir ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan as Tsauri. Pendapat yang terakhir ini pula yang diikuti oleh pearturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Dalam perkara perceraian apabila berakhir dengan kepada li‟an ,maka suami harus mengucapkan kelima sumpah tersebut, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, perkataan tersebut adalah harus sesuai dengan perintah hakim, dan suami harus menyebutkan istrinya, jika istrinya berada diluar negeri atau tidak berada pada tempat yang sama, maka nama istrinya harus dihubungkan dengan nasab ayahnya agar terdapat perbedaan antara istrinya dengan perempuan yang lain, dan jika istrinya hadir maka cukup menunjuk kearah istrinya, karena berdasarkan hal tersebut, sudah cukup perbedaan antara istrinya dengan perempuan yang lain, sehingga tidak perlu disebutkan nama dan nasabnya.

Jika suami ingin mengingkari anak yang berada didalam kandungan ataupun yang telah dilahirkan oleh istrinya, maka dalam sumpahnya suami harus menyebutkan bahwa ia mengingkari anak atau kandungan istrinya bukan anaknya. Apabila suami ingin menuduh istrinya berzina dan menolak anak dalam kandungan atau yang sudah dilahirkan istrinya sebagai hasil zina, namun ia lupa mengucapkan anak tersebut, maka suami wajib mengulangi sumpah li‟an, jika tidak dilakukan pengulangan sumpah berarti suami tidak menolak anak yang berada didalam kandungan istrinya tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentan Peradilan Agama, merujuk kepada pendapat yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa li‟an itu merupakan gabungan sumpah dan kesaksian, meskipun secara tegas tidak menyampaikan demikian. Hal ini dapat dilihat sebagaimana tersebut dalam Pasal 87 ayat (1) dan (2), Pasal 88 ayat (1) yang sangat bersifat umum sehingga mengandung berbagai penafsiran dalam pelaksanaanya.(Abdul Fatah, 1994, p. 160)

Pasal 88 ayat (1) berisikan bahwa apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaian dapat dilaksanakan dengan cara li‟an. Dalam hal ini jalan yang terbaik untuk memecahkan persoalan tersebut adalah cukup berpedoman kepada ketentuan yang tersebut dalam Pasal 87 ayat (1) yaitu hakim cukup menerapkan alat bukti sumpah dalam bentuk sumpah tambahan (suplatior eed) dan tidak dalam bentuk sumpah menentukan (decisoir eed) dalam membuktikan perbuatan zina dalam perkara perceraian.

Perkara li‟an adalah proses penyelesaian dari perceraian atas alasan zina. Berdasarkan Pasal 87 dan 88 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2006 jo Undang-Undang No.50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka proses li‟an adalah sebagai bukti terakhir dari perkara zina, setelah hakim menganggap bahwa alat bukti yang diajukan pemohon itu belum mencukupi.

Hukum Islam telah mengatur hak dan kewajiban suami isteri sedemikian rupa, sehingga suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah yang menjadi basis utama bangunan suatu masyarakat. Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia serta memberi bantuan lahir dan batin yang satudengan yang lainnya. Berkaitandengan kedudukan sebagai suami isteri, al-Quran mengajarkan bahwa suami adalah kepala keluarga sedangkan istri adalah ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah

tangga dan juga dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Dalam konteks hubungan suami dan isteridalam perkawinan kata nusyuz ditemukan dalam al-Quran menerangkan tentang sikap yang tidak lagi berada pada tempatnya, yang semestinya ada dan dipelihara dalam rumah tangga. Sikap menyimpang yang naik kepermukaan dalam bentuk ketidakpatuhan kepada aturan-aturan rumah tangga, baik yang datang dari suami atau yang muncul dari isteri disebut dengan kata nusyuz.(Syahya Muchtar, 1993, p.93)

Aturan-aturan rumah tangga, baik yang datang dari suami atau yang muncul dari isteri disebut dengan kata nusyuz. Hak dan kewajiban masing-masing suami isteri telah ditegaskan dalam Quran dan al-Haditsyang kemudian dikhususkan dalam pembahasannya dalam fiqh munakahat dan telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa pelanggaran terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban oleh salah satu pihak yaitu oleh suami atau isteri dalam perkawinan disebut dengan nusyuz. Ketika seorang istri tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya, maka dalam Islam si isteri tersebut disebut nusyuz seperti yang telah ditegaskan dalam al-Quransurat An Nisa ayat 34:



















































































Artinya: “Dan terhadap isteri yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka

beri pengajaran dia, dan pisahkanlah tempat tidurnya, dan pukulah dia, maka jika dia telah taat kepada kamu maka janganlah kamu aniaya dia (cari-cari jalan untuk menyalahkannya), bahwa sesungguhnya Allah maha tinggi dan maha besar”.

Begitu juga dengan suami, apabila tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya maka si suami tersebut disebut nusyuz, hal ini juga ditegaskan dalam al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 128:





























































Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz dari suaminya,

maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh) maka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Akan tetapi, didalam Kompilasi Hukum Islam tidak ditegaskan atau diatur mengenai nusyuznya suami secara tegas seperti pada isteri. Dengan kata lain, jika suami nusyuz tidak dinyatakan akan gugurlah hak suami terhadap isteri. Atau kewajiban isteri terhadap suami, sebagai konsekunsinya. Demikian juga menurut beberapa ahli fiqh, ada yang berpendapat bahwa istilah nusyuz itu hanya melekat padadiri isteri dan tidak dilekatkan pada diri suami padahal secara logika suami juga manusia biasa, yang tidak mungkin akan terlepas dari sifat lalai, khilaf dan salah.

Pada perkembangannya pemahaman yang berkembang, nusyuz sering diartikan sebagai perempuan yang lari ataukeluar dari rumah, tanpa izin suami, isteri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 84 didefinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utamanya berbakti lahir dan batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tanggasehari-hari dengan sebaik-baiknya.(Yulianto achmad, 2010, p.34)

Kemudian pasal 84ayat (2) berbunyi, ‚Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a

dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya‛. Pasal 80 ayat (4) sendiri berbunyi, ‚sesuai dengan penghasislannya suami menanggung, nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak, biaya pendidikan bagi anak.

Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan pada pasal 84 ayat (2), selama isteri nusyuz terhadap suaminya, kewajiban-kewajiban suami terhadap isteri tersebut tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. Hal ini hampir sama dengan bunyi pasal 80 ayat (7) di atas. Namun dalam pasal ini lebih diperjelas bahwa kewajiban suami tersebut tetap berlaku dalam hal yang berkaitan dengan kepentingan anaknya.

Pasal 84 ayat (3)berbunyi, “Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz”. Ayat (3) ini menjadipenegas bahwa gugurnya kewajiban suami terhadap isterinya hanya ketika isterinya nusyuz, sehingga kewajibantersebut kemudianberlaku kembali ketika isterinya sudah tidak lagi nusyuz.

Nusyuz bisa terjadi disebabkan oleh berbagai alasan, mulai dari rasa ketidakpuasan salah satu pihak atas perlakuan pasanganya, hak-haknya yang tidak terpenuhi, atau adanya tuntutan yang berlebihan dari satu pihak terhadap pihak yang lain. Bisa juga terjadi karena adanya kesalahan suami dalam menggauli istrinya atau sebaliknya kesalahan istri dalam memahami keinginan dan hasrat suami.

Pihak laki-laki (suami) diberi kewenangan untuk melakukan tindakan dalam menyikapi nusyuznya isteri tersebut. Tindakan pertama yang boleh dilakukan suami terhadap isterinya adalah menasehatinya, dengan tetap mengajaknya tidur bersama. Tidur bersama ini merupakan simbol masih harmonisnya suatu rumah tangga. Apabila tindakan pertamaini tidak membawakan hasil, boleh diambil tindakan kedua, yaitu memisahi tempat tidurnya. Apabila dengan tindakan kedua isteri masih tetap tidak mau berubah juga, suami diperbolehkan melakukan tindakan ketiga yaitu memukulya

Oleh karena itu ketika berbicara persoalan isteri yang nusyuz, maka perlu dilakukan kajian tentang tindakan apa saja yang menjadi kewenangan suami, dan perlu juga diajukan batasan-batasan tindakan yang boleh dilakukan oleh suami yang dilegitimasi oleh syara‟ itu sendiri secara jelas. Sehingga pemahaman-pemahaman yang keliru dalam permasalahan ini dapat diluruskan sesuai dengan Maqasid Asy-Syari‟ah. (Abu Ahmadi, 2003, p.133)

Ketentuan pengaturan terhadap konsep nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut dirasakan membawa ketidakadilan, karena ketika suami tidak dapat memenuhi kewajibannya nusyuz tidak ditentukan sanksinya. Sedangkan ketika isteri dianggap telah nusyuz, maka hak isteri gugur untuk menuntut kewajiban suami terutama mendapatkan nafkah, dengan dalih atau alasan bahwa “pemberian nafkah kepada isteri adalah merupakan imbalan dari bolehnya suami bersenang-senang (istimta) dengan isteri”. Akan tetapi, tak dapat disangkal bahwa pada kenyatannya dalam merawat cinta kasih dalam membina keharmonisan berumah tangga ini kadang pasangan suami isteri dihadapakan pada badai dan kegalauan hidup yang dapat menghantam keutuhan rumah tangga.

Pada dasarnya, salah satu inti ajaran setiap agama, termasuk islam, adalah menegakan keadilan dan kesetaran. Menurut Asghar Ali Engineer, ada tujuh nilai fundamental sebagai inti ajaran dari setiap agama, yaitu kebenaran, anti kekerasan, keadilan, kesetaraan, kasih sayang, cinta dan toleransi. Untuk mengetahui dan memahami apa yang adil dan apa yang tidak adil serta bagaimana mekanisme keadilan yang menjadi perinsip agama.

Nusyuz merupakan konsepsi hukum klasik yang tidak hanya sebagai bagian dari tradisi pemikiran Islam bahkan telah terkodifikasikan sebagai aturan hukum baku dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Oleh banyak kritikus, konsepsi ini dinilai sangat merugikan kaum perempuan. Di dalamnya melanggengkan dominasi laki-laki dan mengenyampingkan kepentingan perempuan. Hal itu tercermin dari adanya beberapa ketentuan

nusyuz dalam KHI yang hanya diberlakukan terhadap istri saja, sehingga jika istri tidak menjalankan kewajibannya, maka istri dapat dianggap nusyuz. Akibatnya istri tidak mendapatkan hak nafkah, kiswah, tempat kediaman, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan. Sedangkan bagi suami tidak diberlakukan ketentuan nusyuz dalam KHI. Inilah yang kemudian memicu anggapan bahwa KHI kadangkala masih menempatkan perempuan sebagai makhluk inferior, subordinat dan marginal. Dalam kenyataan yuridis, KHI adalah satu-satunya materi Syari'at Islam yang dijustifikasi oleh Negara. Isteri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam didefinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lahir dan batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.(Fuad A Syaid, 1993, p.334)

Akibat hukum dari li‟an didalam Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam hanya memiliki satu kesamaan yaitu putusnya penikahan untuk selama-lamanya, sedangkan didalam Fiqih Islam li‟an masih memiliki beberapa akibat hukum lainnya. Perlindungan hukum terhadap istri yang dili‟an oleh suaminya di dalam Fiqih Islam yaitu istri memperoleh hak atas mahar yang diberikan oleh suaminya sepenuhnya, dan didalam Kompilasi Hukum Islam istri berhak atas harta bersama harta bawaan serta istri dapat membersihkan nama baik dengan mengangkat sumpah balasan.

Sebagai akibat dari sumpah Li‟an yang berdampak pada suami istri, menimbulkan perubahan pada ketentuan hukkum yang mestinya dapat berlaku bagi salah satu pihak (suami istri). Perubahan ini antara lain adalah sebagai berikut:

a. Gugurnya hukuman qadf bagi suami dan gugurnya hukuman zina bagi istri.

b. Haramya melakukan hubungan suami istri sekalipun sebelum mereka dipisahkan.

c. Hubungan suami istri mereka wajib diputuskan.

Talak yang jatuh disebabab menurut Imam Hanafi adalah talak ba‟in, menurut Imam Maliki, Imam Abu Yusuf, perceraian akibat li‟am adalah fasakh, sehingga mereka haram kawin untuk selama-lamanya.

Apabila ada anak, maka tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya. Dalam masalah warisan anak itu tidak mendapatkan warisan dari ayahnya yang melakukan li‟an itu, dia hanya mendapatkan warisan dari

Dokumen terkait