• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PEMBERIAN MUT AH KARENA SUMPAH LI AN (STUDI PERKARA NOMOR : 0213/PDT.G/2015/PA.BSK) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PEMBERIAN MUT AH KARENA SUMPAH LI AN (STUDI PERKARA NOMOR : 0213/PDT.G/2015/PA.BSK) SKRIPSI"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

1

“ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PEMBERIAN MUT’AH KARENA SUMPAH LI’AN (STUDI PERKARA NOMOR :

0213/PDT.G/2015/PA.BSK)

SKRIPSI

Ditulis Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum(SH)

Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah

Oleh :

YOLA GUSRITA NIM. 13.201.038

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

(2)
(3)
(4)
(5)

5 ABSTRAK

YOLA GUSRITA, NIM. 13 201 038 Judul Skripsi ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PEMBERIAN MUT’AH

KARENA SUMPAH LI’AN “STUDI PERKARA NOMOR :

0213/PDT.G/2015/PA.BSK” Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.

Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah pertimbangan hakim Pengadilan Agama Batusangkar tentang permasalahan seorang istri yang menerima Mut‟ah tetapi istri tersebut telah disumpah Li‟an dan istri tersebut juga disebutkan didalam putusan tersebut istri yang Nusyuz karna diputusan itu istrinya membangkang dan selalu tidak mau mengikuti kemauan suaminya jadi suami yang tidak bisa mendatangkan empat orang saksi maka hakim mengambil keputusan untuk memberikan atau menguatkan tuduhan dengan cara disumpah Li‟an.

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu melihat kenyataan yang ada di lapangan mengenai Studi Analisis Perkara Nomor : 0213/Pdt.G/2015/PA.Bsk. tentang pertimbangan hakim terhadap pemberian mut‟ah karena sumpah li‟an. Peneliti menguraikan pertimbangan hakim dalam menetapkan perkara apabila seorang laki-laki menuduh istrinya berbuat zina dengan laki-laki lain, kemudian istrinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami harus dijatuhi hukum dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau melakukan li‟an. dan kenapa hakim memberikannya nafkah mut‟ah sedangkan di dalam fiqih dilarang istri yang dituduh berzina itu mendapatkan mut‟ah. Adapun sumber data yang penulis gunakan adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah melalui wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu menelaah data yang diperoleh, mengklasifikasikan data dan menyusun berdasarkan kategori serta menarik kesimpulan.

Hasil penelitian yang penulis peroleh adalah pertama: pendapat Hakim tentang sumpah Li‟an, dan apakah suami yang di li‟an masih bisa berkewajiban memberikan nafkah Mut‟ah jadi sumpah li‟an itu menurut beliau itu adalah saling melaknat, dan didalam Islam istri dituduh berbuat zina di atur oleh Al-Quran yaitu surat an-nur yang ke 6 sampai 9, seorang suami menuduh istrinya berzina dan tidak ada alat bukti sehingga alat bukti itu hanya dirinya sendiri maka suami tersebut harus di sumpah terlebih dahulu untuk membuktikan tuduhan kepada istrinya yang berzina. sehingga menurut beliau suami yang bersumpah itu harus didasarkan alat bukti dan juga jika istrinya menyangkal bahwa dirinya tidak berzinah maka wajib juga bagi istrinya untuk bersumpah supaya dia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak pernah berzina, dan suami juga bersumpah sebanyak empat kali (4x), dan istri juga bersumpah empat (4x) supaya mereka tidak ada yang saling menuduh atau melaknat satu sama lainnya. dan juga untuk Mut‟ah seharusnya Mut‟ah tidak dimasukkan kedalam putusan karna namun keinginan saja dari hakim untuk memberikan Mut‟ah kepada istri tersebut,

(6)

6

sehingga pemberian untuk istrinya itu diberikan oleh suaminya sebagai rasa kasihan terhadap istrinya.

Karena istri yang dinusyuz atau dili‟an jika dia ditalak maka istri berhak mendapatkan mut‟ah dan bilamana disini talak itu dijatuhkan oleh majelis hakim maka suami dibebaskan dari Mut‟ah dan ini diambil dari pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, jika suami dan istri yang saling melaknat tidak ada baginya mut‟ah atau uang lainnya dan di bebaskan bagi suami untuk memberikan Mut‟ah. Dan didalam pasal 149 yang berbunyi: Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul, b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba1igh atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil, c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul, d.. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

(7)

i DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

SURAT PERNYATAAN KESASLIAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

SURAT PENGESAHAN TIM PENGUJI ABSTRAK

DAFTAR ISI ... i

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian... 9

E. Manfaat dan Luaran Penelitian... ... 9

F. Definisi Operasional... ... 10

BAB II KAJIAN TEORI A. Gambaran Umum tentang Perceraian ... 12

B. Tinjauan Umum Li‟an... ... 20

C. Nusyuz menurut Kompilasi Hukum Islam ... 43

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian ... 45

B. Latar dan waktu penelitian ... 45

C. Instrumen penelitian... ... 46

D. Sumber data... ... 46

E. Teknik pengumpulan data... ... 47

F. Teknik analisis data... ... 47

G. Teknik penjaminan keabsahan data... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Lokasi ... 49

(8)

ii BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 86 B. Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA ... 88

(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam suatu perkawinan, apabila antara suami dan istri sudah tidak ada kecocokan lagi untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia baik lahir maupun batin dapat dijadikan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian ke persidangan pengadilan. Gugatan perceraian itu berawal dari ketidak harmonisan yang dapat berujung perceraian yang dapat di ajukan ke persidangan pengadilan.

Sebelum menjelaskan perceraian berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116, terlebih dahulu akan dijelakan pengertian perceraian menurut hukum Islam. Perceraian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah talaq, yang secara etimologi adalah: “Talak secara bahasa adalah melepaskan tali, maksud nya adalah melepaskan ikatan dalam membina rumah tangga, jadi talak disini di artikan sebagai perpisahan atau melepaskan ikatan perkawinan.(Zainudin, 2006 hal 07 )

Dalam istilah umum, perceraian adalah putusnya hubungan atau ikatan perkawinan antara seorang pria atau wanita (suami-isteri). Sedangkan dalam syari‟at Islam perceraian disebut dengan talak, yang mengandung arti pelepasan atau pembebasan (pelepasan suami terhadap isterinya). Beberapa sarjana atau para ahli memberikan pendapat mengenai perceraian, antara lain : 1. Menurut Subekti sebagai berikut:

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.

2. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin sebagai berikut: Perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari isteri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan isteri.

(10)

Perceraian berdasarkan Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam yaitu putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak, atau berdasarkan gugatan perceraian, namun lebih lanjut dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan beberapa alasan atau alasan-alasan perceraian yang akan diajukan kepada pengadilan untuk proses dan ditindak lanjuti.

Adapun yang dimaksud dengan talak menurut Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam, talak adalah ikrar suami dihadapan pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Sedangkan yang dimaksud dengan perceraian adalah

1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat, kecuali meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami

2. Dalam hal gugatan bertempat kediaman diluar negeri, ketua pengadilan agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan republik Indonesia setempat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian dengan jalan talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh suami, sedangkan gugatan adalah perceraian yang diajukan oleh pihak isteri atau kuasanya kepada pengadilan agama.(Ramulyo, 2008 hal 07).

Kompilasi Hukum Islam pasal 126 juga membicarakan masalah li‟an, yang menjelaskan “Li‟an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 162 Akibat Li‟an juga dibicarakan bilamana Li‟an terjadi, maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandungnya dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefenisikan sebagai : “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan

(11)

membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada pancasila yang pertamanya adalah ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini ditegaskan dan dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani. (Abd Shomad, 2010, hal. 29).

Adapun sebab-sebab perceraian adalah sebagaimana yang diterangkan dalam hukum positif dimana terdapat beberapa sebab atau alasan yang dapat menimbulkan perceraian, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Adapun macam-macam talak menurut Kompilasi Hukum Islam yang di atur pada Pasal 117 s/d Pasal 124, sebagai berikut :

1. Pasal 117 dalam Kompilasi Hukum Islam memuat: Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131 Kompilasi Hukum Islam.

2. Pasal 118 dalam Kompilasi Hukum Islam memuat : Talak raj‟i adalah talak ke satu atau kedua, dalam talak ini suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.

3. Pasal 119 dalam Kompilasi Hukum Islam memuat : Talak ba‟in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam keadaan iddah.

4. Pasal 120 dalam Kompilasi Hukum Islam menyatakan : Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da ad-dukhul dan habis masa iddahnya.

5. Pasal 121 dalam Kompilasi Hukum Islam memuat : Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

(12)

Dalam hadis yang diriwayatkan sahabat Rasulullah saw yang berisikan sunnah rasul dalam menyelesaikan masalah peceraian karena tuduhan yang dituduhkan suami terhadap istrinya tampa dapat menghadirkan saksi-saksi, namun yang memiliki keyakinan atas dirinya dan bukti-bukti yang nyata. Maka Rasulullah saw bersabda sesuai dengan wahyu yang diturunkan kepada beliau, dan beliau mengajurkan kepada pasangan suami istri tersebut untuk menggugat sumpah Li‟an. seorang suami jangan begitu mudah menuduh istrinya berzina, hanya dengan melihat laki-laki keluar dari tempat istrinya atau duduk bersamanya, sebab tuduhan itu haruslah disertai dengan bukti-bukti yang nyata. Seorang suami yang melihat istrinya mengandung jangan cepat-cepat menuduh berzina. Sebab anak yang dikandung bisa saja hasil dari hubungan dengan dirinya, kecuali sudah benar-benar yakin bahwa istrinya berbuat zina. Menurut Syafi‟iah, apabila suami sudah mengucapkan sumpah li‟an, maka perceraian sudah jatuh tampa menunggu li‟an dari istri. Ulama mazhab safi‟i dan mazhab Hambali mengemukakan tiga syarat dalam li‟an yaitu:

1. Status mereka masih suami istri, sekalipun belum bergaul 2. Adanya tuduhan berbuat zina dari suami terhadap istri

3. Istri yang mengingkari tuduhan tersebut sampai berakhirnya proses dan hukum li‟an

Tentang kapan terjadi li‟an, sebagaimana para ahli hukum Islam mengatakan sejak selesainya pengucapan li‟an, maka sejak saat itu pula suami dan istri tersebut harus dipisahkan. Sebagaimana ulama lain mengatakan bahwa terjadinya pemisahan suami istri itu sejak putusan pengadilan diucapkan oleh hakim. Pendapat tentang sahnya terjadi li‟an sejak putusan dipengadilan ini dikemukakan oleh Iman Abu Hanifah, Iman Ahmad dan as Tsauri, dan pendapat terakhir ini pula yang diikuti oleh peraturan Perundang-undangan yang berlaku di indonesia.

Seorang suami yang menuduh istrinya telah berbuat zina, tidak boleh dipaksa unuk mengucapkan sumpah li‟an, demikian juga dalam hal seorang istri yang dili‟an oleh suaminya, tidak boleh dipaksa untuk melakukan sumpah

(13)

balasan atas sumpah yang diangkat oleh suaminya. (Abd Rahman Ghazaly, 2003, hal. 7).

Perkara Li‟an adalah proses penyelesaian dari perceraian atas tuduhan zina. Berdasarkan pasal 87 dan 88 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2006 jo Undang-Undang No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka proses li‟an adalah sebagai bukti terakhir dari perkara zina, setelah hakim menganggap bahwa alat bukti yang diajukan pemohon itu belum mencukupi.

Faktor terjadinya li‟an karena adanya tuduhan zina yang dilakukan oleh pihak suami terhadap pihak istri ataupun penolakan suami terhadap anak yang dikandung maupun yang dilahirkan oleh istrinya, sehingga penyebab terjadinya li‟an apabila pihak istri melakukan sumpah balasan atau penolakan terhadap tuduhan pihak suami, kalau ia tidak berzina dan anak yang didalam kandungan maupun yang dilahirkannya adalah anak dari pihak suami. Apabila suami bersumpah dan istri melakukan sumpah balasan maka terjadilah li‟an diantara suami dan istri tersebut.

Nusyuz menurut Slamet Abidin dan Aminudin adalah kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya, apabila istri menentang kehendak suami tanpa alasan yang dapat diterima menurut syara‟, maka tindakan itu dipandang durhaka.

Istri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam didefenisikan sebagai sebuah sikap ketika istri tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lahir dan batin kepada suami dan kewajiban rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.(Abidin Samet dan Aminuddin,1999, hal. 89)

Batasan-Batasan Nusyuz menurut ulama fikih dan berbagai kalangan mazhab, beberapa perbuatan istri yang dikategorikan sebagai nusyuz beserta batasan-batasannya adalah:

1. Istri meninggalkan rumah tanpa seizin suami tanpa alasan yang syar‟i dianggap nusyuz. Menurut kesepakatan mazhab nafkah istri tidak berlaku. Syafi‟i dan Hambali menambahkan jika istri keluar rumah untuk kepentingan suami, maka nafkah tetap berlaku. jika istri kembali mentaati

(14)

suami dan tinggal di rumah maka kembali pula nafkah istri, namun nafkah yang terlewatkan selama istri nusyuz maka tidak dapat diminta kembali. 2. Istri menolak ajakan suami untuk pindah ke rumah suami yang telah

disediakan secara layak baginya. perbuatan istri ini dianggap nusyuz dan menurut seluruh mazhab maka nafkah istri tidak berlaku lagi. Syafi‟i dan Hambali menambahkan bahwa ketika istri keluar rumah karna urusan suami, maka hak nafkah tidak berlaku. Namun ketika istri keluar rumah meskipun dengan izin suami namun bukan untuk kepentingan suami, maka hak nafkah baginya menjadi tidak berlaku lagi.

3. Istri menolak melakukan hubungan suami istri dengan suaminya tanpa alasan termasuk bercumbu atau bentuk kenikmatan lainnya, baik penolakan tersebut terjadi disumah suami maupun dirumahnya sendiri. Rasulullah sangat memperhatikan hal tersebut karena bercinta merupakan elemen terpenting untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga. 4. Istri enggan melakukan perjalanan (syafar) bersama suami, manakala jalur

transportasi dalam keadaan aman dan tidak dikhawatirkan bahaya atau kesulitan. Dan tidak berhak atas nafkah ketika istri bisa berpergian sendiri tanpa suami atau muhrim. sebab kepergiannya dikarenakan kesalahannya yang tidak menyertakan suami atau muhrimnya.

5. Manakala istri membuka usaha, atau berpuasa sunnah dan suami tidak ridha, ketika suami melarangnya namun istri tidak menghiraukan nasehat suami, maka istri tersebut nusyuz atas perintah suami, dan nafkah tidak berlaku baginya.(Rahman Ghazaly, 2003, hal. 33)

Nusyuz merupakan pelanggaran yang dilakukan istri terhadap suami. Dalam hal ini perintah suami yang dianggap Nusyuz dikategorikan dalam kasus (perintah dalam lingkup keluarga atau suami istri). sedangkan Li‟an adalah tuduhan suami bahwa istri selingkuh dengan laki-laki lain tetapi harus diimbangi dengan alat bukti yang kuat. Jadi nusyuz dan li‟an melanggar aturan suami dan mengabaikan suami dan istri dalam hal ini tidak berhak mendapatkan nafkah maupun mut‟ah atau idah karna telah melanggar atau tidak mematuhi apa yang diingikan suami.

(15)

Pada Pengadilan Agama Batusangkar terdapat perkara cerai talak dimana pemohon memberikan mut‟ah kepada istri yang telah disumpah li‟an, sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam telah dijelaskan bahwa seorang suami terbebas dari pemberian nafkah. Pengadilan Agama Batusangkar mengabulkan untuk memberikan Mut‟ah kepada istri yang sudah disumpah Li‟an. jadi bagaimana pertimbangan hakim tentang pemberian Mut‟ah kepada istri yang sudah di sumpah Li‟an. Dan bagaimana juga menurut tinjauan hukum Islam terhadap pemberian Mut‟ah kepada istri yang disumpah Li‟an tersebut.

Dalam kajian teori menyebutkan bahwa jika seorang istri yang melakukan Nusyuz maka haknya untuk mendapatkan mut‟ah ataupun Nafkah menjadi gugur. Berdasarkan putusan Pengadilan Agama Batusangkar istri yang sudah di Nusyuz tidak berhak mendapatkan Mut‟ah (uang hiburan). Dikarenakan istri tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagaimana diatur dalam pasal 83 ayat (1) KHI, sehingga tidak berhak sedikitpun atas hak-hak yang dituntut oleh istri yang berzina. (Arif Mufraini, 2008, hal 144)

Menurut Mazhab Maliki istri yang tidak berhak mendapatkan Mut‟ah adalah perpisahan yang dipilih atau dilakukan oleh perempuan (Cerai Gugat), seperti perempuan terkena penyakit gila, kusta dan lepra, juga pada perpisahan akibat pembatalan, ataupun akibat Khulu‟ ataupun Li‟an. Apabila jika terjadi nusyuz maka istri tidak berhak mendapatkan uang hiburan ataupun nafkah, karena istri tersebut tidak taat kepada suami dan membangkang kepada suami. (Rahmini, 2004 hal 12)

Adapun konsekwensi hukum akibat Nusyuz istri terhadap suaminya adalah gugurnya kewajiban suami memberi Nafkah dan uang hiburan kepada istri selama dalam Nusyuznya, dan apabila suaminya meninggal dunia istri tidak mendapatkan warisan, kecuali harta pembawaan sebelum terjadi akad nikah.

Dalam UU No 1/1974 tujuan perkawinan juga dieksplisitkan dengan kata bahagia. Pada akhirnya perkawinan dimaksudkan agar setiap manusia baik laki-laki ataupun perempuan dapat memperoleh kebahagian. Jika seorang

(16)

istri melakukan perzinahan maka istri tersebut telah Nusyuz.dan istri tersebut tidak ada hak untuk mendapatkan Nafkah ataupun uang hiburan.

Dalam Putusan Pengadilan Agama Batusangkar seorang istri yang di Nusyuz dan disumpah Li‟an bisa mendapatkan Mut‟ah, dalam kajian teori seorang istri yang di Nusyuz dan disumpah Li‟an tidak berhak lagi atau gugur baginya harta atau nafkah yang diberikan suami kepadanya, karna istri tersebut tidak memperdulikan suaminya.

Dengan demikian dalam UU perkawinan No 1/1974 perkawinan tidak hanya dilihat dari segi hukum formal tetapi juga dilihat dari sifat sosial sebuah perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah mawadah dan warohma.

Menurut Jumhur Ulama Fikih, apabila telah terjadi li‟an maka mereka (suami istri) tidak boleh melanjutkan rumah tangga, walaupun istri itu telah menikah dengan laki-laki lain, dan telah terjadi perceraian serta habis masa iddahnya. Sedangkan Hadawiyah, Syafi‟i, Ahmad, dan selain mereka berpendapat li‟an sama dengan fasakh yang menunjukkan keharamanan li‟an untuk selama-lamanya. Ulama Fikih beralasan dari hadis Nabi Muhammad SAW: Hadits yang diriwayatkan Ibn Umar disebutkan bahwa dua orang yang telah saling meli‟an tidak boleh kembali bersama untuk selamanya.

Sehingga apabila seorang laki-laki menuduh istrinya berbuat zina dengan laki-laki lain dan istri pun telah di Nusyuz, kemudian istrinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami harus dijatuhi hukum dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau melakukan li‟an.

Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang di beri judul “ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PEMBERIAN MUT‟AH KARENA SUMPAH LI‟AN (STUDI PERKARA NOMOR : 0213/PDT.G/2015/PA.BSK”)

B. Fokus Penelitian

Fokus masalah yang akan penulis teliti yaitu “Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Pemberian Mut‟ah Karena Sumpah Li‟an (Studi Perkara Nomor : 0213/Pdt.G/2015/PA.Bsk”)

(17)

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pertimbangan hakim tentang pemberian Mut‟ah kepada istri yang disumpah Li‟an dalam Perkara Nomor : 0213/Pdt.G/2015/PA.Bsk”? 2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam Terhadap pemberian Mut‟ah kepada

istri yang disumpah Li‟an dalam Perkara Nomor: 0213/Pdt.G/2015/PA.Bsk”?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagaimana berikut :

1. Untuk menjelaskan dan menganalisa tentang pertimbangan hakim dalam Perkara Nomor : 0213/Pdt.G/2015/PA.Bsk pemberian Mut‟ah kepada istri yang di sumpah Li‟an

2. Untuk menjelaskan dan menganalisa tinjauan hukum Islam terhadap pertimbangan hakim tentang pemberian Mut‟ah kepada istri yang di sumpah Li‟an dalam Perkara Nomor : 0213/Pdt.G/2015/PA.Bsk

E. Manfaat dan Luaran Penelitian 1. Manfaat dari Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Untuk memenuhi syarat untuk penulisan skripsi pada Jurusan Ahwal Al-syakhsiyyah Fakultas Syariah IAIN Batusangkar.

b. Untuk mengembangkan ilmu secara ilmiah dengan tetap berpegang pada kaedah-kaedah hukum syar‟I yang ada.

2. Luaran Penelitian

Adapun luaran penelitian ini adalah: a. Dapat dipublikasikan di jurnal ilmiah.

b. Dapat diproyeksikan untuk memperoleh hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan sebagainya

(18)

F. Defenisi Operasional

Analisis, adalah penyelidikan terhadap putusan Pengadilan Agama Batusangkar dalam perkara permohonan cerai talak tentang pertimbangan hakim memberikan nafkah mut‟ah kepada istri setelah di sumpah li‟an, dan untuk ketahui keadaan yang sebenarnya, sebab-sebabnya dan bagaimana duduk perkaranya dilihat dari kaca mata undang-undang perkawinan, KHI serta pandangan hukum Islam.(Syahya Muchtar, 1993, p.93)

Mut’ah adalah pemberian sesuatu kepada wanita yang diceraikan

sesuai dengan kemampuan suami dan pemberian mantan suami kepada istri yang dijatuhi talak, nafkah mut‟ah ini bisa berupa barang ataupun uang, nafkah mut‟ah ini bisa disebut juga dengan uang hiburan atau nafkah hiburan. Yang penulis maksud adalah didalam penyelidikan Perkara Pengadilan Agama Batusangkar terdapat didalam perkara cerai talak seorang suami memberikan nafkah Mut‟ah kepada istri yang di Li‟an(Sayyid Sabiq, 2002, hal 20)

Sumpah Li’an adalah sumpah seorang suami untuk menguatkan tuduhannya bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain. sumpah ini dilakukan suami karena istrinya telah menyanggah tuduhan suaminya itu, sementara suami sendiri tidak memiliki bukti-bukti atas tuduhan zina-nya. yang penulis maksud adalah didalam penyelidikan terhadap Putusan Pengadilan Agama Batusangkar terdapat dalam perkara cerai gugat seorang suami istri yang disumpah li‟an karna dituduh berzina dan suami tidak bisa menenuhi bukti-bukti atas tuduhan nya. (Rahmini, 2004 hal 12)

Nusyuz adalah pelanggaran yang dilakukan istri terhadap perintah suami. dalam hal ini perintah yang dianggap nusyuz dikategorikan dalam hal khusus perintah dalam lingkup keluarga atau suami istri. yang penulis maksud adalah didalam penyelidikan terhadap Putusan Pengadilan Agama Batusangkar terdapat perkara cerai talak yang mana disini istri yang dikatakan nusyuz karna istri tersebut tidak mematuhi perintah suami.(Abdul Manan, 2008, p.118)

Pertimbangan adalah kacamata/pandangan. Sedangkan pandangan yang penulis maksud adalah pertimbangan hakim dipandang terhadap

(19)

Putusan Pengadilan Agama Batusangkar yang terdapat kasus perkara cerai talak yang disini seorang istri mendapatkan Mut‟ah karna di sumpah Li‟an dan dikatakan dia Nusyuz .(Iman Jauhari, 2003, p.203)

Hakim adalah pejabat yang memimpin jalannya persidangan dan juga memutuskan hukuman terhadap pihak yang terkait atau kepada pihak yang berperkara, yang penulis maksud adalah hakim Pengadilan Agama Batusangkar yang memutuskan perkara cerai talak yang disini seorang istri mendapatkan Mut‟ah karena disumpah Li‟an dan dikatakan dia Nusyuz

Jadi, yang dimaksud dengan judul diatas adalah Analisis Pertimbangan Hakim Tentang pemberian mut‟ah terhadap istri yang di sumpah li‟an dan dikategorikan nusyuz bisa mendapatkan nafkah mut‟ah karena sumpah li‟an di Pengadilan Agama Batusangkar dengan Putusan Nomor 0213/Pdt.G/2015/PA.Bsk

(20)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Gambaran umum tentang Perceraian

Dalam suatu perkawinan, apabila antara suami dan istri sudah tidak ada kecocokan lagi untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia baik lahir maupun batin dapat dijadikan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian ke persidangan pengadilan Gugatan perceraian itu berawal dari ketidak harmonisan yang dapat berujung perceraian yang dapat di ajukan ke persidangan pengadilan. (Abd Rahman Ghazaly, 2003, hal. 9).

Sebelum menjelaskan perceraian berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116, terlebih dahulu akan dijelakan pengertian perceraian menurut hukum islam. perceraian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah talaq, yang secara etimologi adalah: “Talak secara bahasa adalah melepaskan tali.

Dalam istilah umum, perceraian adalah putusnya hubungan atau ikatan perkawinan antara seorang pria atau wanita (suami-isteri). Sedangkan dalam syari‟at Islam perceraian disebut dengan talak, yang mengandung arti pelepasan atau pembebasan (pelepasan suami terhadap isterinya).

Beberapa sarjana atau para ahli memberikan pendapat mengenai perceraian, antara lain :

1. Menurut Subekti sebagai berikut:

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.

2. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin sebagai berikut: Perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang di dalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari isteri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan isteri

Perceraian berdasarkan Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam yaitu putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak, atau berdasarkan gugatan perceraian, namun lebih lanjut dalam Pasal

(21)

116 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan beberapa alasan atau alasan-alasan perceraian yang akan diajukan kepada pengadilan untuk proses dan ditindak lanjuti.

Adapun yang dimaksud talak dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam, adalah ikrar suami dihadapan pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Sedangkan yang dimaksud dengan perceraian adalah

1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat, kecuali meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.

2. Dalam hal gugatan bertempat kediaman diluar negeri, ketua pengadilan agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan republik Indonesia setempat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian dengan jalan talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh suami, sedangkan gugatan perceraian diajukan oleh pihak isteri atau kuasanya kepada pengadilan agama.

Adapun sebab-sebab perceraian adalah sebagaimana yang diterangkan dalam hukum positif dimana terdapat beberapa sebab atau alasan yang dapat menimbulkan perceraian, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Adapun macam-macam talak menurut Kompilasi Hukum Islam yang di atur pada Pasal 117 s/d Pasal 124, sebagai berikut :

1. Pasal 117 dalam Kompilasi Hukum Islam memuat: Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131 Kompilasi Hukum Islam.

2. Pasal 118 dalam Kompilasi Hukum Islam memuat : Talak raj‟i adalah talak ke satu atau kedua, dalam talak ini suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.

3. Pasal 119 dalam Kompilasi Hukum Islam memuat : Talak ba‟in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam keadaan iddah.

(22)

4. Pasal 120 dalam Kompilasi Hukum Islam menyatakan : Talak ba‟in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba‟da ad-dukhul dan habis masa iddahnya.

5. Pasal 121 dalam Kompilasi Hukum Islam memuat : Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

Pengadilan Agama Batusangkar yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan majelis telah menjatuhkan putusan dalam perkara talak antara Bapak T bin Z dan ibu A binti Abd. Bahri. Bahwa pemohon telah mengajukan surat permohonannya tertinggal 23 april 2015 yang didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama Batusangkar dan Register Nomor 0213/Pdt.G/2015/PA.Bsk.

Dalam Konvensi Dalam Eksepsi

Menyatakan eksepsi Termohon Konvensi tidak dapat diterima. Dalam Pokok Perkara

a. Mengabulkan permohonan pemohon konvensi

b. Menjatuhkan talak bain kubra pemohon konvensi (T bin Z) terhadap Termohon Konvensi (A binti Abd. Bahri)

c. Memerintahkan kepada Panitra Pengadilan Agama Batusangkar untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Payakumbuh Utara, Kota Payakumbuh dan Pegawai Pencatatan Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Untuk dicatatkan dalam daftar yang disediakan untuk itu,

Dalam REKONVENSI Dalam Eksepsi

Menyatakan eksepsi Termohon Konvensi tidak dapat diterima. Dalam Pokok Perkara

(23)

a. Mengabulkan permohonan Pemohon Rekonvensi

b. Menghukum Termohon Rekonvensi membayar uang hiburan (mut‟ah) kepada Pemohon Rekonvensi sejumlah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

c. Menolak permohonan pemohon Rekonvensi selain dan selebihnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 126 juga dibicarakan masalah

li‟an, yang menjelaskan “Li‟an terjadi karena suami menuduh istri berbuat

zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 162 Akibat Li‟an juga membicarakan Bilamana Li‟an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandungnya dinisabkan kepada ibunya, sedangkan suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefenisikan sebagai : “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada pancasila yang pertamanya adalah ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.

Dalam UU No 1/1974 tujuan perkawinan juga dieksplisitkan dengan kata bahagia. Pada akhirnya perkawinan dimaksudkan agar setiap manusia baik laki-laki ataupun perempuan dapat diperoleh kebahagian.

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada pasal yang secara rinci mengatur tentang proses penyelesaian perkara li‟an, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menjelaskan bahwa suami boleh menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya, dan suami berhak mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama.

(24)

Didalam Kompilasi Hukum Islam dipaparkan dengan jelas tidak hanya pengertian tentang li‟an namun proses penyelesaian dalam perkara li‟an dijelaskan dalam beberapa pasal.

Dengan demikian dalam UU perkawinan No 1/1974 perkawinan tidak hanya dilihat dari segi hukum formal tetapi juga dilihat dari sifat sosial sebuah perkawinan untuk membentuk keluarga.

Terjadinya perceraian dalam suatu rumah tangga tentu ada penyebab yang melatar belakanginya, dan pada umumnya penyebab perceraian adalah antara lain sebagai berikut:

1. Masalah Ekonomi

Cita cita ideal sebuah rumah tangga adalah selain menyalurkan kecenderungan untuk berketurunan, juga ingin hidup tenang dan damai dalam kesejahteraan bersama suami atau istri serta membesarkan anak anak menjadi manusia yang berguna. Namun dalam perjalanannya, terkadanga asa tak selaras dengan fakta. Cita-cita hidup sejahtera pun dapat berubah menjadi bencana tatkala kebutuhan dasar ekonomi tidak mampu terpenuhi.

2. Campur Tangan Pihak Luar

Tiap orang yang berumah tangga tentunya menginginkan kehidupan yang harmonis, bahagia, dan kekal sebagaimana yang menjadi tujuan perkawinan itu sendiri. Tetapi pada kenyataannya tidak jarang perjalanan suatu rumah tangga menjadi kacau dan berantakan karena ikut campur-nya pihak luar, baik dari pihak keluarga suami maupun pihak keluarga istri. Tidak dapat ditampikkan bahwa intervensi dari pihak luar dalam urusan rumah tangga selama sifatnya konstruktif dan masih dalam batas wajar dan proporsional. (Amir Syarifuddin, 2009, hal. 40).

Akan tetapi, apabila terlalu berlebihan, campur tangan pihak luar dapat mengancam kelangsungan suatu kehidupan perkawinan.

3. Perselingkuhan

Bahwa perselingkuhan dapat menjadi ancaman serius yang dapat menimbulkan akibat terjadinya kehancuran dalam membina rumah tangga. Terlebih perselingkuhan dapat membawa ke dalam perkara perzinahan.

(25)

4. Perselisihan atau Ketidakcocokan

Sebelum berkehidupan rumah tangga, mungkin sifat dan tabiat asli masingmasing calon suami maupun istri masih ditutup-tutupi untuk memberikan kesan positif terhadap calon pasangan dan keluarga calon pasangan. Namun, setelah kehidupan perkawinan berlangsung, mulailah tampak bagaimana watak dan karakter asli dari pasangan, baik dari sisi positif maupun sisi negatif ataupun dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang serius. Semua perbedaan dan masalah yang timbul tersebut apabila tidak dikelola dan disikapi dengan bijak, maka berpotensi menimbulkan perselisihan atau konflik yang membahayakan kelangsungan kehidupan rumah tangga serta tidak menutup kemungkinan dapat berakhir dengan perceraian(Ahmad rofiq, 2008 hal 279).

Asas- Asas Hukum Khusus Perceraian 1. Asas Mempersukar Proses Hukum Perceraian.

Asas mempersukar proses hukum percerain diciptakan sehubungan dengan tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan penjelasannya yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal melalui ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mewujudkan tujuan perkawinan itu, maka suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

2. Asas Kepastian Pranata dan Kelembagaan Hukum Perceraian.

Asas kepastian pranata dan kelembagaan hukum perceraian mengandung makna bahwa asas hukum dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(UUP) yang meletakkan peraturan perundang-undangan sebagai pranata hukum dan pengadilan sebagai lembaga hukum yang dilibatkan dalamproses hukum perceraian. Dengan adanya asas ini menunjukkan bahwa adanya perundang-undangan dinilai penting untuk menciptakan kepastian

(26)

hukum. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan sifatnya dapat dibaca dan dapat dimengerti dengan cara lebih mudah. Sehingga sekurang-kurangnya, dapat menghindarkan spekulasi di antara subjek hukum tentang apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, tentang apa yang merupakan hak dan kewajiban

3. Asas Perlindungan Hukum yang Seimbang selama dan Setelah Proses Hukum Perceraian

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 merupakan bentuk kepastian hukum yang diberikan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melindungi suami dan istri selama dan setelah proses hukum perceraian secara seimbang. Jaminan keseimbangan dalam proses hukum perceraian diberikan oleh Undang- Undang No.1 Tahun 1974 sehubungan dengan Pasal 31 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Hak dan kedudukan suami yang seimbang dengan hak dan kedudukan istri dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat” dan Pasal 31 ayat (2) yang menegaskan bahwa “Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum” serta Pasal 3 ayat (3) yang mendudukkan “Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”.

Perceraian dapat diakhiri atas kehendak oleh suami maupun istri. Berakhirnya perkawinan atas kehendak suami dapat dilakukan melalui 4 cara, yaitu:

a. Thalaq

Menurut hukum Islam thalaq adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau megurangi keterikatan perkawinan dengan meggunakan ucapan tertentu yaitu ucapan yang sharih (tegas) dan dengan ucapan sindiran (kinayah). Thalaq dapat juga dilihat dari dua macam ketentuan dengan melihat kepada keadaan istri waktu thalaq itu diucapkan oleh suami, yaitu:

1) Thalaq Sunni, yang dimaksud dengan thalaq Sunni ialah

(27)

agama dalam Al-Qur‟an atau Sunnah Nabi. Bentuk thalaq Sunni yang disepakati oleh ulama adalah thalaq yang dijatuhkan oleh suami yang mana si istri waktu itu tidak dalam keadaan haid atau dalam masa suci yang pada masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya. Diantara ketentuan itu menjatuhkan thalaq itu adalah dalam masa si istri yang di thalaq langsung memasuki masa iddah

2) Thalaq Bid‟i, adalah talak yang menyalahi ketentuan agama, misalnya thalaq yang diucapkan dengan tiga kali talak pada waktu bersamaan atau thalaq dengan ucapan

thalaq tiga, atau menalak istri yang dalam keadaan sedang

haid atau menalak istri dalam keadaan suci, tetapi sebelumnya telah dicampuri

b. Illa‟ Pengertian Illa‟ menurut bahasa adalah sumpah Illa‟. Menurut istilah adalah sumpahnya seorang suami untuk tidak melakukan hubungan intim dengan istrinya baik dengan menyebut nama Allah baik tanpa batas waktu maupun dengan batas waktu untuk selama-lamanya empat (4) bulan.

c. Li‟an Akar kata li‟an adalah la‟nun yang berarti kutukan, dapat juga berarti jauh. Menurut Hukum Islam li‟an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zinah dengan disertai empat (4) kali kesaksian bahwa suami benar dalam tuduhannya dan pada kesaksian yang kelima disertai dengan kesediannya untuk menerima laknat Allah jika ternyata dia berbohong dalam tuduhannya. Dan begitu pula sebaliknya.

d. Zhihar Dhihar berasala dari kata dahruu yang artiya punggung. Menurut Hukum Islam, Dhihar adalah ucapan seorang suami terhadap istrinya yang isinya menyamakan tubuh/bagian tubuh istrinya dengan orang lain yang bagi suami untuk menikahinya. (Muhammad syaifudin, 2000 hal 154).

(28)

B. Tinjauan Umum Li’an 1. Pengertian Li‟an

Perkawinan dapat putus karena li‟an. Li‟an diambil dari kata la‟n (melaknat), karena pada sumpah kelima, suami mengatakan bahwa ia menerima laknat Allah bila ia termasuk orang-orang yang berdusta. Perkara ini disebut li‟an, ilti‟an (melaknat diri sendiri) dan mula‟anah (saling melaknat). Kata li‟an diambil dari kata al-la‟nu yang artinya jauh dan laknat atau kutukan27, disebut demikian karena suami istri yang saling ber-li‟an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena yang bersumpah li‟an itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia menerima laknat (kutukan) Allah jika ia berbohong atau pernyataannya tidak benar.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, li‟an berarti sumpah seorang suami dengan tuduhan bahwa istrinya berzina, sebaliknya istrinya juga bersumpah dengan tuduhan bahwa suaminya bohong (masing-masing mengucapkannya empat kali, sedangkan yang kelima mereka berikrar bersedia mendapat laknat Allah jika berdusta) sehingga suami istri itu bercerai dan haram menikah kembali seumur hidup.

Menurut istilah Hukum Islam, li‟an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.

Menurut penjelasan Ahmad Azhar Basyir, arti kata li‟an ialah sumpah laknat, yaitu sumpah yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan. Hal ini terjadi apabila suami menuduh istri berbuat zina, padahal tidak mempunyai saksi, kecuali dirinya sendiri, seharusnya ia dikenai hukuman menuduh zina tanpa saksi yang cukup, yaitu dera 80 (delapan puluh) kali.

Di dalam hukum positif di Indonesia juga ada diatur mengenai

(29)

pengingkaran atau penyangkalan anak, seperti yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Pengertian li‟an yang diadopsi oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bersumber dari ketentuan Hukum Islam yang mengatur tentang penyangkalan anak melalui cara li‟an. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada menyebutkan kata li‟an, tetapi menggunakan kata penyangkalan anak, juga tidak menjelaskan pengertian

li‟an secara eksplisit, tetapi hanya menjelaskan makna secara global saja.

Dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama dalam Pasal 87 dan Pasal 88.Ketentuan Pasal 100 tentang hubungan nasab anak dengan ibunya, Pasal 101 tentang suami yang mengingkari kelahiran anak, Pasal 125-128 dan Pasal 162 tentang li‟an Kompilasi Hukum Islam. 2. Jenis-jenis Li‟an

Li‟an dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu:

a. Suami menuduh istrinya berzina, tetapi ia tidak punya empat orang saksi lakilaki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Jika ada laki-laki yang menzinai istrinya dan suami melihat laki-laki tersebut sedang menzinai istrinya atau istri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya tersebut, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik ditalak, bukan dengan jalan me-li‟an atau mengadakan mula‟anah. Tetapi jika tidak terbukti laki-laki yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina.

b. Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya. Suami boleh tidak mengakui kehamilan istri, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri istrinya sejak akad nikahnya.

Dalam Hukum Islam seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikan bahwa:

1) Suami belum pernah men-jima‟istrinya akan tetapi istri tiba–tiba melahirkan.

(30)

2) Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak men-jima‟ istrinya sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur.

3) Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak di-jima‟ suaminya.

c. Suami menuduhkan kedua-duanya kepada istrinya, yakni menuduh istrinya berzina dan tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya, dan ia tidak bisa membuktikan hal itu dengan kehadiran empat orang saksi. Bentuk sumpah yang dilakukan oleh seorang suami adalah sumpah sebanyak empat kali bahwa apa yang dituduhkannya adalah benar. Dan kemudian dalam sumpah kelimanya, jika ia berbohong atau berdusta, maka ia siap dilaknat oleh Allah akan menimpa dirinya.

Pada dasarnya bila seseorang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, mesti dikenai had qazaf, yaitu tuduhan zina tanpa saksi. Had qazaf itu adalah hukumnya setara dengan 80 kali dera.

Bila yang melakukan penuduhan itu adalah suami terhadap istrinya dan tidak dapat mendatangkan saksi empat orang, tuduhannya itu tidak dapat diterima dan atas tuduhan yang tidak dibenarkan itu ia akan kena sanksi sebagaimana tersebut diatas. Untuk menghindarkan dirinya dari ancaman had qazaf, maka ia sebagai suami diberi hak untuk menempuh

li‟an, untuk itu ia harus menyampaikan kesaksian sebanyak empat kali

yang menyatakan bahwa ia benar atas tuduhannya. Kali yang kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah atasnya bila berdusta dengan tuduhannya itu.

Adapun tujuan dari dibolehkannya melakukan sumpah li‟an tersebut adalah untuk memberikan kemudahan kepada suami yang yakin akan kebenaran tuduhan zina yang dilakukannya, sedangka dia secara hukum formal tidak dapat berbuat apaapa dalam membuktikannya kebenarannya. Hikmahnya adalah melepaskan ancaman dari suami yang yakin akan kebenarannya, yang hukum formal tidak dapat membantunya. (Rahman gazali, 2003 hal 203-205)

(31)

3. Syarat dan Rukun Li‟an

Suatu perbuatan dinamakan li‟an bila padanya terpenuhi syarat dan rukun yang ditentukan. Adapun syarat li‟an menurut ulama dibagi menjadi dua bentuk, yaitu : syarat wajibnya li‟an dan syarat sahnya melakukan li‟an. Syarat wajibnya li‟an menurut ulama Mazhab Hanafi ada tiga. a. Pasangan tersebut masih berstatus suami isteri Sekalipun isteri belum

digauli atau isteri masih dalam masa iddah talak raj‟i (talak satu dan dua). Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa li‟an tetap sah terhadap isteri yang dalam talak ba‟in (talak yang dijatuhkan suami, dimana jika suami ingin kembali pada isterinya harus dimulai dengan akad nikah dan mahar yang baru).

b. Status perkawinan mereka adalah nikah yang sah, bukan fasid. Syarat ini tidak disetujui oleh jumhur ulama lain karena menurut mereka li‟an juga sah dilakukan dalam nikah fasid karena adanya masalah nasab (keturunan) dalam nikah fasid tersebut.

c. Suami adalah seorang muslim yang cakap memberikan kesaksian secara li‟an. Oleh sebab itu, orang kafir, orang gila, anak kecil, hamba sahaya dan orang bisu tidak sah li‟annya. Syarat ini tidak disetujui oleh jumhur ulama. Akan tetapi, ulama Mazhab Maliki tetap memakai syarat bahwa suami itu adalah seorang muslim. Ulama Mazhab Syafi‟I dan Mazhab Hanbali tidak mensyaratkan suami isteri itu orang islam. Yang menjadi patokan bagi merek adalah bahwa suami itu orang yang cakap menjatuhkan talak pada isterinya tanpa membedakan apakah dia kafir atau muslim, hamba atau orang merdeka, bisa berbicara atau bisu. (Didin Hafidhuddin, 2003, hal 104)

Ulama Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hanbali mengemukakan tiga syarat dalam li‟an, yaitu:

a. Status mereka masih suami isteri, sekalipun belum bergaul. b. Adanya tuduhan berbuat zina dari suami terhadap isteri

c. Isteri mengingkari tuduhan tersebut sampai berakhirnya proses dan hukum li‟an.

(32)

Adapun syarat sahnya proses li‟an, menurut Mazhab Hambali ada enam, sebagianya disepakati oleh ulama lain dan sebagianya tidak.

a. Li‟an dilakukan dihadapan hakim, sejalan dengan kasus Hilal bin Umayah dengan Syuraik as-Samha, syarat ini disetujui oleh ulama lain.

b. Li‟an dilaksanakan suami setelah diminta oleh hakim. Syarat ini disetujui ulama lain.

c. Lafal li‟an yang lima kali itu diucapkan secara sempurna. Syarat inipun disepakati ulama.

d. Lafal yang dipergunakan dalam li‟an itu sesuai dengan yang dituntunkan Al-Qur‟an. Terdapat perbedaan pendapat ulama jika lafal itu diganti dengan lafal lain. Misalnya, lafal “sesungguhnya saya adalah orang yang benar” ditukar dengan “sesungguhnya ia (isteri itu) telah berbuat zina”, atau lafal “bahwa dia (suami) termasuk orang yang berdusta” diganti dengan “sesungguhnya dia berdusta”. Jika lafal pengganti itu adalah salah satu lafal sumpah seperti “ahlifu” dan“aqsimu” (keduanya berarti “saya bersumpah”). Menurut ulama Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hanbali, tidak bisa digunakan dalam li‟an. Menurut mereka kalimat yang dibolehkan itu hanya kalimat “asyhadu” (saya bersaksi). Pendapatini juga dianut oleh ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki.

e. Proses li‟an harus berurut yang dimulai dengan sumpah suami empat kali dan yang kelima suami melaknat dirinya, tidak boleh sebaliknya dan tidak boleh diubah. Syarat ini pun disetujui ulama lainnya.

f. Jika suami itu hadir dalam persidangan li‟an, maka keduanya boleh mengajukan isyarat untuk menunjuk pihak lainnya. Akan tetapi jika ada diantara mereka yang tidak hadir, maka penunjukan harus dilakukan dengan penyebutan nama dari identitas lengkap. Syarat ini pun disepakati ulama lain. Ulama Mazhab Syafi‟I dan Mazhab Hanbali menyatakan bahwa proses tidak harus dihadiri oleh kedua belah pihak. Terdapat juga perbedaan pendapat dalam hal apakah diperlukan kehadiran saksi ketika terjadinya li‟an. Ulama Mazhab

(33)

Syafi‟I dan Mazhab Hanbali menyatakan bahwa li‟an dianjurkan dihadiri oleh jemaah umat islam.(Muhammad syaifudin, 2014 hal 158)

Adapun rukun dari li‟an dapat dilihat pada unsur unsur yang membina hakikat dari li‟an sebagaimana terdapat dalam definisi li‟an tersebut diatas, yaitu sebagai berikut:

a. Suami

Suami itu adalah orang yang bersumpah untuk menegakkan kesaksian dan dari segi ia adalah orang yang menuduh orang lain berbuat zina yang untuk itu patut dikenai sanksi fitnah berbuat zina atau

qazf, maka suami itu harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1) Mukallaf, yaitu telah dewasa, sehat akalnya, dan berbuat dengan kesadaran sendiri. Bila suami itu belum dewasa atau tidak sehat akalnya atau dalam keadaan terpaksa, maka sumpah yang disumpahkannya tidak sah dan bila dia memfitnah pun tidak dikenai sanksi qazf. Dengan demikian tidaksah li‟an yang dilakukannya. 2) qazf. Ini adalah persyaratan yang dikemukakan oleh sebagian ulama

diantaranya: al-Zuhriy, al-Tsawriy, al-Awza‟iy, ulama ahlura‟yi (Hanafiyah) dan satu riwayat dari imam Ahmad; sedangkan ulama lain diantaranya imam Malik, Ishaq, al-Hasan, Said bin al-Musayyab dan imam Ahmad dalam satu riwayat tidak mensyaratkan demikian, dengan arti li‟an dapat dilakukan oleh orang yang tidak Islam dan tidak memenuhi syarat adil.

3) tidak mampu mendatangkan saksi empat orang untuk membuktikan tuduhan zina yang dilemparkannya kepada isterinya. Bila seandainya suami mempunyai bukti yang lengkap tidak boleh menempuh li‟an karena li‟an itu adalah sebagai pengganti tuduhan yang dapat dibuktikan.

b. Isteri yang dili‟an.

Adapun syarat isteri yang harus terpenuhi untuk sahnya li‟an yang diucapkan suaminya adalah sebagai berikut :

(34)

1) masih terikat tali perkawinan dengan suaminya. Karena li‟anitu hanya berlaku diantara suami isteri dan tidak berlaku untuk yang lain.

2) mukallaf dalam arti sudah dewasa, sehat akal dan tidak berbuat dengan kesadaran. Syarat ini ditetapkan karena isteripun akan melakukan li‟an baik sebagai bantahan terhadap apa yang disampaikan oleh suaminya.

3) muhsan, yaitu bersih dari kemungkinan sifat-sifat yang tercela yang menyebabkan dia pantas untuk dituduh berzina. Syarat ini ditentukan karena kalau dia tidak muhsan suami yang menuduhnya tidak berhak dikenai had qazf atau ta‟zir dan oleh karenanya dia tidak perlumelakukan li‟an.

c. Tuduhan suami bahwa isterinya telah berbuat zina.

Adapun tuduhan berkenaan dengan li‟an ini ada dalam dua bentuk. Pertama karena melihat perbuatan zina yang dilakukan isterinya dan yang kedua menafikan anak yang dikandung oleh isterinya itu syarat yang berlaku untuk tuduhan itu adalah sebagai berikut Bila tuduhan dalam bentuk melihat perbuatan zina disyaratkan tuduhan itu dijelaskan secara rinci sebagaimana saksi zina memberikan penjelasan karena ucapan li‟an yang dilakukan suami menempati kedudukan kesaksian.

Bila tuduhan itu dalam bentuk menafikan anak yang dikandung, dipersyaratkan penjelasan suami bahwa isterinya sebelumnya dalam keadaan bersih dan tidak pernah digaulinya sesudah bersihnya itu. Tentang batas dan tanda bersih itu beda paham ulama. Menurut imam Malik dalam satu riwayat mengatakan tiga kali haid, dan dalam riwayat lain dikatakan satu kali haid. Demikian pula dalam menafikan anak secara mutlak, sebagian ulama mengatakan tidak sah untuk li‟an, sedangkan ulama lain mengatakan sah meskipun ucapan tuduhan itu berlaku tanpa penjelasan.

Dengan sumpah penolakan itu si isteri terlepas dari sanksi zina. Sumpah si suami dan penolakan sumpah dari isteri itu dilakukan di hadapan hakim di pengadilan. Dengan terjadinya saling sumpah dan

(35)

saling melaknat itu, maka putuslah perkawinan diantara keduanya dan tidak boleh kembali melangsungkan perkawinan untuk selamanya. Disamping itu, anak yang lahir dari perkawinan itu tidak dinasabkan kepada suami yang meli‟an isterinya itu, karena li‟an itu disamping menuduh zina, sekaligus menafikan anak yang dikandung isterinya.(Amiur nurudin, 2004, hal 284)

4. Dasar Hukum Li‟an Menurut Al-Qur‟an dan Hadis

Didalam Al-Qur‟an, Allah SWT telah menetapkan ketentuan-ketentuan tentang li‟an yang menjadi acuan sebagai dasar atau asas dalam menentukan hukum li‟an.Ada beberapa ayat didalam Al-Qur‟an yang berkaitan dengan li‟an dan pada Hadist Rasullah SAW juga menerangkan tentang li‟an.

Firman Allah SWT surah An – Nuur ayat 6-7:

























































Artinya :“Dan orang –orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal

mereka mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengannama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima:Bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.” (An-Nuur:6-7)

Berdasarkan surah An-Nuur ayat 6-7 ialah orang yang menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah SWT empat kali, bahwa ia adalah benar dalam tuduhannya itu, kemudian ia bersumpah sekali lagi bahwa ia akan menerima laknat Allah SWT jika ia berdusta, masalah ini dapat membawa kepada li‟an. Pada ayat diatas menguraikan tentang tuduhan suami terhadap istrinya, Ayat tersebut menjelaskan sanksi hukum terhadap orang-orang yang menuduh istri mereka berbuat zina, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi yang menguatkan tuduhannya itu selain dirinya

(36)

sendiri, maka persaksian salah seorang mereka, yaitu suami ialah empat kali kesaksian yakni bersumpah empat kali sambil menggandengkan ucapan sumpahnya itu dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk kelompok orang-orang yang benar dalam tuduhannya kepada istrinya itu.

Dan sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya, jika ia berbohong sehingga dengan kebohongannya menuduh istrinya secara tidak sah menjadikan ia termasuk kelompok para pembohong.

Asbabun Nuzul turunnya ayat ini ialah ketka Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syarik Ibnu Samha‟, kepada Rasulullah saw turunlah wahyu melalui malaikat Jibril yaitu Surah An-Nuur ayat 6-7. Pada ayat diatas Allah SWT menguraikan bahwa apabila istri tidak membalas tuduhan suami dengan mengangkat sumpah balasan atau hanya berdiam diri maka ia dapat dijatuhi sanksi hukuman zina dan agar istri tersebut terhindar dari tuduhan yang dituduhkan oleh suami terhadap istrinya, Ayat tersebut menjelaskan maka istri harus mengajukan kesaksian dengan mengangkat sumpah atas nama Allah SWT sebanyak empat kali yang menegaskan bahwasannya suaminya itu adalah berbohong atas tuduhannya, dan untuk memperkuat kesaksian dan sumpah istrinya itu, maka istrinya itu harus mengangkat sumpah yang kelima bahwa murka Allah atasnya jika dia yakin suaminya itu termasuk kedalam golongan orang-orang yang benar.

Penafsiran dari Surah An-Nuur ayat 6-7 tersebut diatas merupakan dasar hukum li‟an yang dijelaskan melalui firman Allah SWT didalam Al-Qur‟an. Pada surah An-Nuur ayat 6-7 menjelaskan tentang tuduhan suami terhadap istrinya yang melakukan perbuatan zina, tanpa memiliki bukti yang kuat ataupun tidak dapat menghadirkan empat orang saksi yang secara hukum merupakan alat bukti yang kuat dalam hal perzinaan maka keabsahan dari pada tuduhan suami yang seharusnya menghadirkan empat orang saksi, namun ia hanya memiliki keyakinan yang kuat atas dirinya, maka diharuskan kepadanya untuk melakukan kesaksian dengan mengangkat sumpah atas tuduhan terhadap istrinya, bahwa tuduhan

(37)

perzinaan terhadap istrinya tersebut adalah benar dan pada keempat sumpahnya dia harus bersumpah atas nama Allah, dan sumpah yang kelima laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang yang berdusta. (Abdul Basir, 2004, hal. 107-109)

Firman Allah SWT surah An – Nuur ayat 8-9:













































Artinya :“Dan istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya

empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar ternasuk orang-orang yang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima : Bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.”

(An-Nuur : 8-9).

Ayat tersebut diatas menjelaskan bahwasannya apabila istri tidak membantah, maka ia dijatuhi sanksi hukum perzinaan, namun menurut ayat 8 sanksi hukum itu dapat dihindarkan darinya dengan jalan bersumpah demi Allah SWT, sebanyak empat kali sumpah, bahwa: “sungguh suaminya itu benar-benar termasuk kelompok para pembohong”, lalu sumpah kelima yang harus diucapkan oleh istrinya tersebut sesuai dengan surah An-Nuur ayat 9 yaitu “ Murka Allah SWT, menimpanya jika suaminya itu termasuk kelompok orang-orang yang benar”.

Pada surah An-Nuur ayat 8-9 merupakan kesempatan istri untuk menolak tuduhan suami dan menunjukkan kesuciannya serta kepalsuan sumpah suaminya agar terhindar dari sanksi hukuman zina, dengan mengangkat kesaksian dan sumpah sebanyak empat kali atas nama Allah SWT, yang kelima murka Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang benar, dalam hal ini istri wajib melakukan sumpah balasan sebagai bukti penolakan atas tuduhan yang dituduhkan kepadanya oleh suaminya. Dengan adanya sumpah yang diucapkan oleh kedua belah pihak, dalam hal ini suami dan istri yang mengakibatkan terjadinya li‟an. (Abdul Basir, 2004, hal. 111-113).

Didalam sejarah dicatat sahabat Rasulullah saw bahwa Uwaimir al-Ujlani dengan istrinya, serta antara Hilal bin Umayyah dengan istrinya,

(38)

yang dimuat didalam hadist shahih. Juga berdasarkan petunjuk dansabda Rasulullah saw.

Bahwa Hilal bin Umayyah r.a pernah menuduh istrinya berzina dengan Syarik ibnu Sahma‟ dihadapan Rasulullah saw. Kemudian Rasullah saw bersabda, “Kamu harus dapat mebuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggung mu”. Lalu Hilal bin Umayyah r.a berkata, “Ya Rasullah, jika seorang di antara kami telah melihat seorang laki-laki berada diatas istrinya, masihkah dituntut untuk mencari bukti?”, Rasulullah saw bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, dan jika tidak maka hukuman had di punggungmu”, Hilal bekata , “Demi dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur. Maka saya harap sudi kiranya Allah menurunkan ayat Al-Qur‟an yang bisa membebaskan punggungku dari hukuman dera”.

Maka turunlah malaikat Jibril dan menyampaikan wahyu kepada Beliau, yang artinya “Dan orang–orang yang menuduh istri mereka, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang mereka ialah empat orang saksi dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar, dan yang kelima bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk para pendusta, dan dihindarkan darinya hukuman dengan bersaksi dengan empat kesaksian dengan nama Allah sesungguhnya dia benar-benar termasuk orang–orang yang benar, dan yang kelima bahwa murka Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.

Kemudian Rasullah beranjak dari tempatnya sambil menyuruh Hilal bin Umayyah menemui istrinya. Kemudian Hilal datang lagi kepada Rasulullah saw, lalu memberi kesaksian, Rasullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tahu bahwa seorang diantara kamu berdua ini ada yang bohong. Adakah diantara kalian berdua ini yang bertaubat?”, Kemudian istrinya bangun dan memberi kesaksiannya. Maka tatkala ia hendak mengucapkan sumpah yang kelima, maka orang-orang menghentikannya (agar tidak jadi mengucapkan sumpah yang kelima), dan mereka berkata, “Sesungguhnya perempuan ini wajib djatuhi hukuman”.

(39)

Ibnu Abbas berkata, “Lalu ia (istrinya itu) pelan-pelan”. Kemudian ia berkata , “Aku tidak akan membuat malu kaumku sepanjang hari”. Kemudian terus berlalu begitu saja. Rasulullah saw bersabda , “ Perhatikan dia, jika dia datang dengan membawa bayi yang juling matanya, besar pinggulnya dan kedua betisnya besar juga maka ia (bayi itu) milik Syarik Ibnu Sahma‟, Ternyata dia datang membawa bayi persis seperti yang disabdakan Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah bersabda, “Kalaulah tidak ada ketetapan didalam Kitabullah, sudah barang tentu saya punya urusan dengan dia”. (Abdul Manan, 2000, hal 3-4).

5. Penyelesaian Perkara Li‟an Menurut Fiqih Islam

Dari segi Fiqih Islam, apabila seorang suami sudah bersedia mengucapkan sumpah sebagai upaya pembuktian perbuatan zina yang dituduhkan kepada istri dan istri bersedia mengangkat sumpah sebagai penolakan terhadap tuduhan suami kepadanya, maka tidak ada suatu tata cara lain selain dari bentuk tata cara li‟an.Di syariatkannya li‟an adalah untuk menjaga hubungan suci antara anak dengan bapaknya (nasab) sehingga keturunnya menjadi jelas dan tidak kacau serta tidak ada keragu-raguan. Dalam melakukan li‟an suami tidak boleh hanya berdasarkan desas-desus, fitnah atau tuduhan dari orang lain.

Dalam hal menuduh istri berbuat zina, apabila tanpa mengemukakan bukti yang nyata suami harus bersumpah bahwa istrinya berzina dan anak yang dikandung bukan hasil hubungan dengannya. Sumpah tersebut tidak boleh diputus “istrinya berzina” tetapi harus dilanjutkan sampai “anak yang dikandung bukan hasil hubungan dengannya”, dan tidak boleh dipotong dengan “anak itu bukan anaknya”, tetapi harus diawali dengan “istrinya berzina”. Sumpah diucapkan empat kali, dan ucapan yang kelima berbunyi “kalau saya berdusta sungguh laknat Allah akan menimpa saya”.Harus disebut kata laknat supaya orang tidak mudah bersumpah.

Para imam mazhab telah sepakat bahwa apabila suami menuduh istrinya berbuat zina atau menolak kehamilannya, sementara tidak ada bukti yang mendukungnya, maka ia mendapatkan hukuman had atau bersumpah

(40)

sebanyak empat kali bahwa ia termasuk kedalam orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pasa sumpah kelima disertai pernyataan bahwa bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya.

Tentang kapan terjadi li‟an, sebagaimana para ahli hukum Islam mengatakan sejak selesainya pengucapan li‟an, maka sejak itu pula suami dan istri tersebut harus dipisahkan. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa terjainya pemisahan suami istri itu sejak putusan pengadilan diucapkan oleh hakim. Pendapat tentang sahnya terjadi li‟an sejak putusnya pengadilan ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan as Tsauri, dan pendapat terakhir ini pula yang diikuti oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Berkaitan dengan Teori Li‟an, Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pada hakekatnya li‟an merupakan sumpah suami sebanyak empat kali atas tuduhannya terhadap istrinya atau penolakan terhadap anak yang dilahirkan istrinya kemudian dilanjutkan dengan kata-kata “Murka Allah atas dirinya jika tuduhan itu tidak benar”, dan istri meakukan sumpah penolakan sebanyak empat kali dan dilanjutkan dengan kata-kata “Murka Allah atas dirinya apabila suaminya berkata benar”.

Dalam kitab fiqih tradisional masih ditemukan pendapat para pakar Hukum Islam tentang apakah li‟an itu sebagai sumpah atau kesaksian. Menurut Imam Maliki, Syafi‟I dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa adalah sumpah, sebab kalau dinamakan kesaksian tentulah seseorang tidak menyebutkan bersaksi bagi dirinya. Sedangkan Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa li‟an adalah kesaksian dengan alasan bahwa firman Allah yang menyebutkan tentang li‟an adalah penekanan kepada “maka kesaksian salah seorang dari mereka (mengucapkan) empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah” dan juga hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa istri mengucapkan kesaksian pula.

Bagi para ahli Hukum Islam yang berpendapat li‟an itu sumpah, maka li‟an dipandang sah hanya suami istri yang sama-sama merdeka, atau sama-sama budak,atau yang satu merdeka yang lain budak,atau sama–sama

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian pada birama 43 hingga bagian akhir komposisi dimainkan oleh combo band secara lengkap, yaitu; paduan suara dan solo vokal pria yang menggambarkan

Tagine dimasak dengan membiarkan makanan mendidih pada suhu rendah untuk jangka waktu lama hingga menjadi kental dan creamy.. Hal ini membutuhkan sedikit usaha, dan tutup

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian menentukan bahwa dalam rangka pengawasan orang

Ibu Jayanti Sukma Maulani divisi Officer I Digital Service (BGES) PT .Telkom Indonesia Regional V Surabaya, terima kasih atas bantuannya dalam mencari data,

72 - Bandung (Kota) - Jawa Barat Pengadaan Barang 180 Dinas Peternakan Perikanan dan.

Untuk mengetahui perbandingan perilaku geser castellated beam modifikasi dengan menggunakan pengaku diagonal tulangan baja, dibandingkan dengan balok baja

9 Tidak mengganggu teman sebangku 10 Aktif dalam belajar kelompok/individu.. Penelitian dikatakan berhasil apabila 80% siswa sudah memenuhi seluruh indikator

Cara pengujian signifikan simultan dalam penelitian ini adalah menentukan F tabel dengan nilai signifikansi 5%, jika diperoleh hasil nilai lebih kecil dari nilai