• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan

Berdasarkan hasil perhitungan pretest, nilai rata-rata kemampuan berpikir kreatif siswa kelas eksperimen lebih rendah dari pada nilai rata-rata kemampuan berpikir kreatif siswa kelas kontrol. Namun, setelah kedua kelas tersebut diberi perlakuan dengan model pembelajaran yang berbeda, hasil rata-rata posttest berpikir kreatif siswa kelas eksperimen menjadi lebih tinggi dari pada kelas kontrol. Hal ini karena model inkuiri yang diterapkan pada kelas eksperimen membantu mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa.

Hal tersebut semakin jelas adanya setelah dilakukan pengujian hipotesis dengan uji-t pada data pretest dan posttest. Uji perbedaan dua rata-rata hasil pretest dengan rata-rata kelas eksperimen sebesar 30,54 dan rata-rata kelas kontrol sebesar 32,50 menghasilkan thitung sebesar −1,27. Sedangkan ttabel

yang dihasilkan dari 26 sampel kelas eksperimen dan 26 sampel kelas kontrol dengan taraf signifikan (α) = 0,05 sebesar 1,68. Nilai rata-rata yang tidak jauh berbeda sehingga menghasilkan uji perbedaan dua rata-rata (uji-t) hasil pretest yang diperoleh menunjukkan bahwa thitung (−1,27) < ttabel (1,68), sehingga memenuhi kriteria dimana H0 diterima dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak dengan kata lain tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretest kelas eksperimen dengan rata-rata skor pretest kelas kontrol. Sedangkan pada uji perbedaan dua rata-rata hasil posttest dengan rata-rata kelas eksperimen sebesar 73,35 dan rata-rata kelas kontrol sebesar 58,15 menghasilkan thitung sebesar 4,64. Dari 26 sampel kelas eksperimen dan 26 sampel kelas kontrol dengan taraf signifikan (α) = 0,05 dihasilkan ttabel sebesar 1,68. Menunjukkan hasil yang berbeda dengan hasil uji perbedaan dua rata-rata pada hasil pretest, hasil uji perbedaan dua rata-rata (uji-t) hasil posttest yang diperoleh menunjukkan bahwa thitung (4,64) > ttabel (1,68), sehingga memenuhi kriteria dimana H0 ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor posttest kelas eksperimen dengan rata-rata skor posttest kelas kontrol dimana model inkuiri yang diterapkan menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa pada kelas eksperimen. Dengan kata lain, terdapat pengaruh yang signifikan penerapan model inkuiri terhadap perkembangan kemampuan berpikir kreatif siswa pada konsep hidrolisis garam.

Dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri siswa terlibat langsung dalam setiap tahap pembelajarannya. Menurut Eggen dan Kauchack tahapan model inkuiri adalah merumuskan pertanyaan atau permasalahan, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis/analisis data dan membuat kesimpulan.1 Melalui keterlibatan siswa secara langsung dalam setiap tahap pembelajaran membantu melatih kemampuan berpikir kreatif siswa karena siswa belajar mandiri dalam menemukan pembuktian kebenaran

1

Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas, (Cet. 1; Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2010), h. 95

suatu konsep. Jadi siswa tidak hanya sekedar mendengarkan dan menerima informasi begitu saja tapi mentelaah dan mengembangkan informasi yang didapatnya sehingga kemampuan berpikir kreatifnya dapat dikembangkan secara lebih maksimal. Keterlaksanaan tahapan model inkuiri terbimbing yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran teramati dari hasil observasi sebesar 81,2 dengan kriteria penilaian sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan model inkuiri terbimbing yang dilakukan pada kelas eksperimen terlaksana dengan sangat baik.

Selanjutnya dapat kita amati kemampuan berpikir kreatif yang berkembang dari hasil pretest dan posttest kedua sampel kelas penelitian dengan lebih terperinci pada tiap indikator berpikir kreatif. Perhitungan tiap indikator berpikir kreatif hasil pretest kedua sampel kelas penelitian menunjukkan hasil yang sama. Indikator terendah berada pada kriteria tidak kreatif sedangkan indikator tertinggi berada pada kriteria cukup kreatif. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa sangat minim yaitu dibawah kriteria kreatif.

Sedangkan pada hasil posttest, kelas eksperimen mengalami peningkatan yang maksimal disetiap indikator berpikir kreatif dari pada kelas kontrol. Indikator berpikir lancar (fluency) kelas eksperimen berada pada kriteria sangat kreatif sedangkan kelas kontrol hanya berada pada kriteria cukup kreatif. Hal ini berarti bahwa pada kelas eksperimen siswa lebih mampu mencetuskan banyak gagasan yang relevan. Indikator berpikir luwes (flexibility) kelas eksperimen berada pada kriteria kreatif sedangkan kelas kontrol hanya berada pada kriteria cukup kreatif. Hal ini berarti bahwa pada kelas eksperimen siswa lebih mampu menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi sehingga siswa dapat melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda serta mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda. Indikator berpikir merinci (elaboration) kelas eksperimen dan kelas kontrol berada pada kriteria yang sama yaitu kreatif. Hal ini berarti bahwa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol siswa mampu mengembangkan dan memperkaya atau memperluas suatu gagasan atau ide sehingga menjadi lebih

menarik. Indikator berpikir orisinal (originality) kelas eksperimen berada pada kriteria sangat kreatif sedangkan kelas kontrol hanya berada pada kriteria kreatif. Hal ini berarti bahwa pada kelas eksperimen siswa lebih mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik.

Ketercapaian yang maksimal kelas eksperimen pada setiap indikator berpikir kreatif disebabkan karena penggunaan model inkuiri dalam proses pembelajaran. Melalui model inkuiri siswa dilatih menggunakan segala potensinya (kognitif, afektif dan psikomotor), terutama proses mentalnya untuk menemukan sendiri konsep-konsep atau prinsip-prinsip IPA layaknya seorang ilmuan sehingga siswa dapat menemukan “konsep diri”, kritis dan kreatif.2 Sedangkan penggunaan model pembelajaran konvensional dapat dijadikan salah satu penyebab rendahnya kemampuan berpikir kreatif siswa. Karena proses pembelajarannya hanya berorientasi pada penguasaan sejumlah informasi/konsep belaka, penekanannya lebih pada hapalan tanpa dikembangkan dan ditelaah secara terperinci oleh siswa tersebut sehingga kemampuan kreatif siswa tidak dilatih karena siswa sekedar menerima instruksi tanpa diberi kesempatan menemukan sendiri suatu konsep. Akibatnya potensi kreatif siswa tak dapat dikembangkan. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Parnes, bahwa siswa menerima begitu banyak instruksi bagaimana melakukan sesuatu di sekolah, di rumah, dan di dalam pekerjaan sehingga kebanyakan dari siswa kehilangan hampir setiap kesempatan untuk kreatif.3

Pada kelas eksperimen, perhitungan tiap indikator berpikir kreatif hasil posttest menunjukkan peningkatan. Pada hasil pretest indikator nilai terendah berada pada kriteria tidak kreatif meningkat hingga kriteria kreatif pada hasil posttest. Sedangkan, hasil pretest indikator nilai tertinggi berada pada kriteria cukup kreatif meningkat hingga kriteria sangat kreatif dengan presentase 97,10% pada hasil posttest, peningkatan yang sangat signifikan/maksimal

2

Moh. Amin, Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Dengan Menggunakan Metode “Discovery” dan “Inquiry”, (Jakarta:P2LPTK, 1987), h. vii

3

Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), h. 11

dengan presentase hampir mencapai 100%. Peningkatan yang maksimal tersebut disebabkan karena penerapan model inkuri terbimbing dalam proses pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa terlibat langsung dalam setiap tahap pembelajarannya. Akibatnya, potensi kreatif siswa dapat dikembangkan tanpa terbatasi oleh peraturan dan persyaratan yang membatasi. Pada hasil posttest indikator nilai tertinggi berada pada indikator berpikir lancar dengan kriteria sangat kreatif. Hal ini berarti bahwa melalui penerapan model inkuiri terbimbing siswa lebih mampu menghasilkan banyak gagasan, jawaban dan penyelesaian masalah serta memikirkan lebih dari satu jawaban dengan sangat kreatif.

Sedangkan pada kelas kontrol, perhitungan hasil pretest indikator nilai terendah berada pada kriteria tidak kreatif meningkat hanya pada kriteria cukup kreatif pada hasil posttest dengan presentase jawaban kurang dari 50%. Sedangkan, hasil pretest indikator nilai tertinggi berada pada kriteria cukup kreatif meningkat hingga kriteria kreatif pada hasil posttest dengan presentase jawaban kurang dari 70%. Hal ini berarti bahwa peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang terjadi pada kelas kontrol belum secara maksimal. Peningkatan yang tidak maksimal tersebut disebabkan karena proses pembelajaran yang dilakukan hanya sebatas pada pemberian informasi/konsep belaka dari seorang guru sehingga tidak memberikan kesempatan pada siswa terlibat langsung dalam setiap tahap pembelajarannya. Akibatnya, potensi kreatif siswa tidak dapat dikembangkan.

Dari uraian diatas, jelaslah bahwa model inkuiri terbimbing mampu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa secara lebih maksimal karena model inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan artinya siswa bertindak sebagai subjek belajar.4 Jadi, model inkuiri terbimbing tidak hanya sebatas pada kegiatan mendengarkan tapi juga terlibat langsung dalam kegiatan mengatakan dan melakukan. Sedangkan model pembelajaran tidak secara inkuiri atau secara

4

Retno Dwi Suyanti, Strategi Pembelajaran Kimia, (Cet. 1; Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),h. 44

konvensional, siswa bertindak sebagai objek belajar artinya aktivitas siswa hanya sebatas kegiatan mendengarkan dan menerima informasi yang diberikan oleh guru tanpa dikembangkan dan ditelaah secara terperinci oleh siswa tersebut. Jika siswa hanya melakukan kegiatan mendengar, maka siswa ingat 20% dari yang mereka dengar. Sedangkan, jika siswa melakukan kegiatan mengatakan dan melakukan, maka siswa ingat 90% dari yang mereka katakan dan lakukan.5

Peneliti mengamati beberapa perbedaan dan perubahan sikap pada kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan penggunan model pembelajaran yang berbeda di kedua kelas tersebut. Pada kelas eksperimen yang menggunakan model inkuiri ketika mempelajari konsep hidrolisis garam siswa lebih antusias mengikuti setiap langkah pembelajaran yang dilakukan dari pada kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Salah satu ciri antusiasme siswa pada kelas eksperimen adalah dimana siswa lebih aktif bertanya dan antusias melakukan eksperimen dari pada siswa kelas kontrol yang cenderung pasif. Inkuiri menyediakan siswa beraneka ragam pengalaman konkrit dan pembelajaran aktif yang mendorong dan memberikan ruang dan peluang kepada siswa untuk mengambil inisiatif dalam mengembang keterampilan pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan penelitian sehingga memungkinkan mereka pebelajar sepanjang hayat.6 Pada proses pembelajaran secara konvensional tampak keterlibatan siswa sangat minimal. Guru banyak berperan aktif menjelaskan materi, sedangkan siswa cenderung pasif dan lebih banyak menunggu penjelasan materi dari guru daripada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, keterampilan serta sikap yang mereka butuhkan. Hal ini menyebabkan kemampuan berpikir kreatif siswa tidak terlatih dengan baik.

Dalam proses penelitian, terungkap beberapa faktor yang menjadi dasar sebab efektifnya penggunaan model inkuiri terbimbing dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Pertama, pada kelas

5

Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual (Cet 6;Jakarta : PT Bumi Aksara, 2009), h. 75

6

eksperimen yang menggunakan model inkuiri terbimbing pembelajaran diarahkan pada suatu proses belajar dalam hal mencari dan menemukan pembuktian terhadap kesimpulan dari konsep hidrolisis garam. Kedua, pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan serangkaian tahapan pembelajaran secara mandiri melalui LKS yang telah disusun agar mampu mengungkap kemampuan berpikir kreatif siswa. Ketiga, pembelajaran memberikan kepercayaan kapada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri. Kepercayaan terhadap gagasan sendiri ini membuat banyak variasi gagasan yang dihasilkan siswa serta meningkatkan orisinalitas dalam tiap gagasan siswa tersebut.

Retno menjelaskan bahwasanya model inkuiri akan efektif apabila: (1) guru mengharapkan siswa dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan sehingga penguasaan materi bukan tujuan utama karena ynag terpenting adalah proses belajar, (2) bahan pelajaran yang akan diajarkan adalah berupa kesimpulan yang perlu pembuktian, (3) proses pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu siswa terhadap sesuatu, (4) siswa adalah anak yang memiliki kemauan dan kemapuan berpikir, (5) jumlah siswa tidak terlalu banyak agar mudah dikendalikan, dan (6) guru memiliki banyak waktu untuk melakukan pendekatan yang berpusat pada siswa.7

7

62 A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, menghasilkan rata-rata posttest kelas eksperimen sebesar 73,35 dan rata-rata posttest kelas kontrol sebesar 58,15 sehingga diperoleh thitung (4,64) > ttabel (1,68). Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan penggunaan model pembelajaran inkuiri terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa.

B. Saran

Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut:

1. Bagi guru, model inkuiri perlu mendapat perhatian dan tanggapan, dijadikan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran dikelas, karena terbukti dalam penelitian ini model inkuiri dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa.

2. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian ini dilanjutkan pada tingkatan model inkuiri berikutnya seperti inkuiri bebas (open inquiry). Karena pada tingkat open inqury, siswa dituntut labih mandiri selama proses inkuiri, artinya siswa lebih diberi kebebasan dalam hal mengembangkan gagasan dan idenya sehingga dapat lebih menggali kemampuan berpikir kreatif siswa.

3. Model inkuiri dapat diterapkan pada konsep lain selain konsep hidrolisis garam, salah satu konsepnya adalah konsep laju reaksi. Karena pada konsep laju reaksi terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya yang kebenarannya perlu dibuktikan. Pengujian kebenaran suatu teori tersebut yang mengharuskan model inkuri diterapkan pada konsep tersebut, dimana siswa melakukan eksperimen sendiri untuk menguji kebenaran sebuah teori. Dalam konsep laju reaksi, kemampuan berpikir kreatif siswa dapat terlatih melalui model inkuiri.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khalili, Amal Abdussalam. 2005. Mengembangkan Kreativitas Anak. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Amien, Moh. 1987. Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan Menggunakan Metode Discovery atau Inquiry. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Amri, Sofan & IIF Khoiru Ahmadi. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas. Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya.

Arifin, Zainal. 2011. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi

Aksara.

Awaludin, Dosen tetap di FKIP Unhalu. Ringkasan Penelitian. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis pada Siswa dengan Kemampuan Matematis Rendah Melalui Pembelajaran Open-Ended dengan Pemberian Tugas Tambahan, diakses 24/04/2014. 17:19 WIB dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=10330. Bono, Edward De. 2007. Revolusi Berpikir. Bandung: Kaifa.

Hartanto, Jurnal Kependidikan Triadik vol. 14, no. 1. 2011. Mengembangkan Kreaivitas Siswa Melalui Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Inkuiri. Bengkulu: FKIP Universitas Bengkulu.

Ida Bagus Putu Arnyana, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP No. 3 Th, XXXIX, ISSN 0215-8250. 2006. Pengaruh Penerapan Strategi Pembelajarn Inovatif Pada Pembelajaran Biologi Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA. Singaraja: fakultas pendidikan MIPA.

Iska, Zikri Neni. 2008. Psikologi Pengantar Pemahaman Diri dan Lingkungan. Jakarta: Kizi Brother’s.

Johnson, Elaine B. 2006. Contextual Teaching and Learning Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: MCC.

Justiana, Sandri dan Muchtaridi. 2009. Kimia 2. Yudhistira.

Kardius Richi Yosada, VOX Edukasi vol.1 No.1. 2010. Model Pembelajaran Inkuiri Sosial Dalam Mengembangkan Berpikir kreatif Siswa pada Bidang Studi IPS Ekonomi Melalui Isu-isu Ekonomi Kontemporer.

Kusmana, Suherli. 2010. Model Pembelajaran Siswa Aktif. Jakarta: Sketsa Aksara Lalitya.

Mulyasa, E. 2009. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Munandar, Utami. 1999. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah Penuntun Bagi Guru dan Orang Tua. Jakarta: PT Grasindo.

Munandar, Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Muslich, Masnur. 2009. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

N. K., Roestiyah. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Ramadhan Witarsa, 38 ISSN 1412-565X Edisi Khusus No. 2. 2011. Analisis Kemampuan Inkuiri Guru Yang Sudah Tersertifikasi dan Belum Tersertifikasi Dalam Pembelajaran Sains SD.

Riduwan. 2009. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta.

Subana. Dkk. 2000. Statisik Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sudjana, Nana dan Ibrahim. 2009. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharsini, Maria dan Dyah Saptarini. 2007. Kimia dan Kecakapan Hidup Pelajaran Kimia untuk SMA/MA. Jakarta: Ganeca Exact.

Sumarna, Omay. Dkk. 2006. Kimia untuk SMA/MA Kelas XI. Bogor: Regina. Suparno, Paul. 2007. Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktif &

Suyanti, Retno Dwi. 2010. Strategi Pembelajaran Kimia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Tatag Yuli E. S., Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Tahun X, No. 1, juni 2005. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa melalui Pengajuan Masalah.

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Wiwik Hardani, Jurnal BORNEO,Vol.1 No. 1 Juli 2007. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Berpikir.

Yuli Nurul Fauziah. 2011. Analisis Kemampuan Guru Dalam Mengembangkan Keterampilan Merpikir Kreatif Siswa Sekolah Dasar Kelas V Pada Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Bandung: UPI.

Zulfiani. Dkk. 2009. Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Nama sekolah : SMA Darul Muttaqin Mata pelajaran : Kimia

Kelas / Semester : XI / 2

Alokasi waktu : 2 x 2 jam pelajaran Pertemuan : ke-1 dan ke-2 Standar kompetensi:

4. Memahami sifat-sifat larutan asam-basa, metode pengukuran dan terapannya.

Kompetensi dasar:

4.4. Menentukan jenis garam yang mengalami hidrolisis dalam air dan pH larutan garam tersebut.

Indikator: Pertemuan ke-1

4.4.1. Menentukan ciri-ciri beberapa jenis garam yang dapat terhidrolisis dalam air.

4.4.2. Menentukan sifat garam yang terhidrolisis dari persamaan reaksi ionisasi.

Pertemuan ke-2

4.4.3. Menghitung pH larutan garam yang terhidrolisis.

A. Tujuan Pembelajaran Pertemuan ke-1

Setelah mempelajari materi ini, diharapkan siswa dapat : 1. Menjelaskan pengertian konsep hidrolisis.

2. Mengidentifikasi sifat garam yang dapat terhidrolisis dalam air berdasarkan kekuatan asam dan basa pembentuknya.

Pertemuan ke-2

Setelah mempelajari materi ini, diharapkan siswa dapat :

1. Menghitung pH larutan garam menurut jenis garam yang terhidrolisis.

Karakter siswa yang diharapkan :

~ Rasa Ingin Tahu, Berani, Komunikatif, Tanggung Jawab, Berpikir Kritis.

B. Materi Ajar Pertemuan ke-1

1. Pengertian Hidrolisis Garam

Hidrolisis berasal dari kata hydro yang berarti air dan lysis yang berarti penguraian. Jadi hidrolisis adalah reaksi penguraian molekul dalam air membentuk ion-ionnya. Ion-ion garam dalam air bereaksi sedemikian rupa dengan air sehingga menyebabkan air terurai menjadi ion hidroksida (OH) dan ion hydronium (H3O+).

2. Sifat Larutan Garam

a) Garam yang tersusun dari asam kuat dan basa kuat

Garam yang tersusun dari asam kuat dan basa kuat tidak memberikan perubahan warna lakmus, baik lakmus merah maupun lakmus biru. Hal ini menunjukkan bahwa larutan garam bersifat netral. b) Garam yang tersusun dari asam kuat dan basa lemah

Garam yang tersusun dari asam kuat dan basa lemah mengubah lakmus biru menjadi merah dan tidak mengubah warna lakmus merah. Hal tersebut menunjukkan bahwa larutan garam bersifat asam.

c) Garam yang tersusun dari asam lemah dan basa kuat

Garam yang tersusun dari asam lemah dan basa kuat mengubah lakmus merah menjadi biru dan tidak mengubah warna lakmus biru. Hal tersebut menunjukkan bahwa larutan garam bersifat basa.

Garam yang tersusun dari asam lemah dan basa lemah mengalami hidrolisis total (sempurna) mengubah lakmus merah menjadi biru dan mengubah lakmus biru menjadi merah. Sifat larutan tergantung pada kekuatan relatif asam dan basanya (tergantung pada nilai Ka dan Kb). Jika Ka < Kb larutan akan bersifat basa. Jika Kb < Ka larutan akan bersifat asam. Jika Ka = Kb larutan akan bersifat netral.

3. Reaksi Ionisasi

a) Garam yang tersusun dari asam kuat dan basa kuat

Contohnya, garam natrium klorida tersusun atas HCl (asam kuat) dan NaOH (basa kuat).

NaCl(aq) → Na+

(aq) + Cl(aq)

Na+(aq) + H2O(l) → (Tidak ada reaksi) Cl(aq) + H2O(l) → (Tidak ada reaksi)

Ion Na+ berasal dari basa kuat dan ion Cl berasal dari asam kuat, sehingga tidak akan terhidrolisis akan tetapi mengalami hidrasi (dikelilingi oleh molekul-molekul H2O). oleh karena itu, larutan NaCl bersifat netral karena [H+] = [OH].

b) Garam yang tersusun dari asam kuat dan basa lemah

Contohnya garam ammonium klorida yang tersusun dari HCl (asam kuat) dan NH4OH (basa lemah).

NH4Cl(aq)→ NH4+

(aq) + Cl(aq)

NH4+(aq) + H2O(l) NH3(aq) +H3O+(aq) Cl(aq) + H2O(l)→ (Tidak ada reaksi)

NH4+ akan terhidrolisis, sedangkan Cl tidak terhidrolisis sehingga garam yang terbentuk dari asam kuat dan basa lemah mengalami hidrolisis sebagian (parsial) dan larutannya bersifat asam. c) Garam yang tersusun dari asam lemah dan basa kuat

Contohnya adalah garam natrium asetat yang tersusun dari CH3COOH (asam lemah) dan NaOH (basa kuat).

CH3COONa(aq) → CH3COO(aq) + Na+ (aq)

CH3COO(aq) + H2O(l) CH3COOH(aq) + OH(aq) Na+(aq) + H2O(l)→ (Tidak ada reaksi)

CH3COOakan terhidrolisis, sedangkan Na+ tidak terhidrolisis sehingga garam yang terbentuk dari asam kuat dan basa lemah mengalami hidrolisis sebagian (parsial) dan larutannya bersifat basa. d) Garam yang tersusun dari asam lemah dan basa lemah

Contoh garam ammonium asetat yang tersusun dari CH3COOH (asam lemah) dan NH4OH (basa lemah). CH3COONH4 akan terionisasi menjadi CH3COO dan NH4+, kedua ion tersebut dapat terhidrolisis dengan reaksi sebagai berikut:

CH3COONH4(aq) → CH3COO(aq) + NH4+ (aq)

CH3COO(aq) + H2O(l) CH3COOH(aq) + OH(aq) NH4+(aq) + H2O(l) NH3(aq) + H3O+(aq)

CH3COO dan NH4+ akan terhidrolisis sehingga garam yang terbentuk dari asam lemah dan basa lemah akan mengalami hidrolisis total (sempurna).

Kebanyakan garam yang bersifat netral terbentuk oleh kation dan anion yang dalam air hanya terhidrasi. Berikut merupakan kation dan anion yang terhidrasi dalam air.

Kation : Na+, K+, Rb+, Cs+, Mg+2, Ca2+, Sr2+, Ba2+ Anion : Cl, Br, I, SO42−, ClO3, ClO4, BrO3, NO3

Pertemuan ke-2

1. PH Larutan Garam

a) Garam yang tersusun dari asam kuat dan basa kuat (pH = 7)

Garam yang terbentuk tidak mengalami hidrolisis sehingga bersifat netral dengan nilai pH = 7.

b) Garam yang tersusun dari asam kuat dan basa lemah (pH < 7)

c) Garam yang tersusun dari asam lemah dan basa kuat (pH > 7)

Dokumen terkait