• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

F % F % F % SD 0 0 4 5,9% 11 16,2% 15 22,1% SMP 0 0 16 23,5% 8 11,8% 24 35,3% SMA 0 0 16 23,5% 4 5,9% 20 29,4% Perguruan Tinggi 0 0 9 13,2% 0 0% 9 13,2% Total 0 45 66,2% 23 33,8% 68 100% 5.2 Pembahasan 5.2.1. Pengetahuan Responden

Dari hasil penjawaban responden, berikut adalah hasil distribusi penjawaban 18 soal dari 68 responden :

Benar Salah Persentase

(%) Pert.1 68 0 100 Pert.2 39 29 57,35 Pert.3 48 20 70,58 Pert.4 30 38 44,11 Pert.5 31 37 45,58 Pert.6 17 51 25 Pert.7 45 23 66,17 Pert.8 46 22 67,64 Pert.9 30 38 44,11 Pert.10 29 39 42,64 Pert.11 19 59 27,94 Pert.12 39 29 57,35 Pert.13 31 37 45,58 Pert.14 42 26 61,76 Pert.15 41 27 60,29 Pert.16 46 22 67,64

Dari tabel di atas, bisa dilihat bahwa pertanyaan nomor 11 yang paling banyak menjawab salah. Yaitu tentang berapa kali maksimal harus dilakukan pemeriksaan USG ini selama masa kehamilan. Menurut Endjun, 2007 tidak ada patokan khusus harus berapa kali dilakukan pemeriksaan USG. Bila ada indikasi yang menunjukkan perlu dilakukannya pemeriksaan USG maka ini bisa dilakukan. Jadi tidak ada patokan harus tiga kali melakukan pemeriksaan USG ini.

Dari hasil penelitian, berupa 18 pertanyaan yang dicantumkan bahwa dari 68 responden ibu hamil yang diteliti di Poli Ibu Hamil R.S.U Haji Adam Malik Medan, diketahui 45 responden (66,2%) berpengetahuan cukup (sedang), sedangkan sebesar 23 responden (33,8%) dengan pengetahuan kurang. Maka melalui data tersebut, dapat dilihat bahwa mayoritas responden memiliki pengetahuan yang cukup mengenai ultrasonografi dalam kehamilan.

Hal ini mungkin ada kaitannya dengan faktor pendidikan terakhir responden. Melalui tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden dengan pengetahuan baik mayoritas mengemban pendidikan terakhir perguruan tinggi (42,2%). Pendapat ini juga didukung oleh Koenraadt (2006) melalui hasil penelitiannya di Thailand yang menyatakan bahwa seseorang dengan pendidikan

Pert.17 43 25 63,23

lebih tinggi berpeluang untuk memanfaatkan lebih banyak sarana informasi untuk meningkatkan pengetahuannya.

Seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan baik, pada umumnya akan lebih mudah untuk menyerap informasi baru. Namun demikian, dengan mengetahui pengetahuan yang baik tidak berarti dapat memprediksi tindakan yang dilakukan, ketika pengetahuan seseorang baik/positif tindakan yang diambilnya bisa saja negatif, demikian juga sebaliknya.

Kalau dilihat dari umur kehamilannya, ibu hamil yang berada di trimester tiga lah yang melakukan pemeriksaan ultrasonografi yang paling banyak, dimana kita ketahui bersama bahwa fungsi USG di sini yang dominan adalah untuk mengetahui perkiraan berat badan bayi. B arulah tampak disini, bahwa setiap orang yang mungkin memiliki pengetahuan yang cukup atau baik tentang sesuatu, dalam penerapannya tidak selalu berbanding lurus. Oleh karena itu, perlu dilakukan konseling yang lebih intensif lagi kepada setiap ibu hamil yang datang periksa, tentang pentingnya pemeriksaan perkembangan janin, sehingga ibu ibu hamil semakin sadar pentingnya melakukan pemeriksaan USG ini.

Selain itu, dari penelitian yang dilakukan oleh Abbas Honarbakh, 2008 yang berjudul “ Heterotropic Pregnancy following Ovulation Induction by

Clomiphene a Healthy Live Birth.”juga menyimpulkan bahwa dengan

pemeriksaan awal kehamilan, sangat penting dalam menyelamatkan kehamilan dalam rahim dan menghindari angka kesakitan dan kematian ibu dan janin. Ini sejalan dengan dilakukannya penelitian ini yaitu sama–sama menegaskan kepentingan pemeriksaan USG selama masa kehamilan.

Namun agak berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan oleh National Academy of Science yang berjudul “ Prenatal Exposure to Ultrasound Waves Impacts Neuronal Migration in Mice” bahwa ada bukti bahwa pemaparan tikus yang hamil dan golongan primata bukan manusia terhadap gelombang ultrasound akan berakibat terhadap perilaku keturunan yang terpapar. Ditambahkan lagi , penelitian yang menunjukkan bahwa semakin sering pemaparan terhadap janin manusia terhadap gelombang ultrasound berhubungan menurunnya berat badan bayi baru lahir , peningkatan jumlah orang kidal, dan keterlambatan berbicara.

Karena energi ultrasound adalah getaran mekanis yang tinffi frekuensinya, maka para peneliti berhipotesis bahwa ini kemungkinan akan mempengaruhi perkembangan saraf pada janin yang berkembang. Saraf pada mamalia berkembang lebih awal pada perkembangan fetus dan kemudian berkembang sampai ke tahap akhir. Oleh berbagai intervensi selama proses, bisa menghasilkan ketidaknormalan pada fungsi otak.

Dari hasil penelitian juga , peneliti memasukkan penanda khusus untuk melacak perkembangan saraf pada 335 fetus tikus di hari ke 16. Pemaparan gelombang ultrasound selama lebih kurang 30 menit atau lebih lamamenyebabkan perkembangan saraf yang signifikan untuk tersebar di lapisan kortikal dan lapisan white matter.

Dari penelitian yang lain, seperti penelitian yang dilakukan oleh Newnham dkk tahun 1993, yang berjudul “Effect of Frequent Ultrasound During

Pregnancy” menunjukkan bahwa pada lebih dari 1400 wanita di Perth, Australia

Barat dibandingkan dengan wanita hamil yang hanya melakukan pemeriksaan ultrasound sebanyak satu kali dengan ibu hamil yang sampai lima kali melakukan pemeriksaan ultrasound dari minggu 18 sampai minggu 38. Mereka menemukan bahwa pertumbuhan bayi dalam rahim sangat menurun pada grup yang sering melakukan pemeriksaan ultrasound. Semua ibu hamil pada grup ini memiliki berat badan bayi yang lebih rendah.

Peneliti pun dapat menyimpulkan, bahwa pemeriksaan ultrasound dan Doppler selama masa prenatal harus lebih dibatasi, yaitu pada situasi klinis yang diperlukan saja.

Sementara dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Campbell dkk tahun 1993, dari Canadian Medical Association Journal, yang berjudul “Prenatal

Ultrasound Exposure in Children with Delayed Speech” menjelaskan bahwa teori

yang mengatakan keterlambatan bicara bukanlah suatu sindrome yang patologis atau organik tapi merupakan suatu simptom yang kompleks, sesuai dengan penelitian case control dari 72 orang anak yang berumur 2 sampai 8 tahun yang menunjukkan keterlambatan bicara yang tidak diketahui penyebabnya. Setelah anak-anak ini diperiksa artikulasinya, pelafalan bahasa, produksi bahasa. Sewaktu

diperiksa dengan pemaparan ultrasound, anak yang terlambat berbicara dua kali lebih beresiko dibandingkan dengan yang tidak. Peneliti yakin, bahwa keterlambatan berbicara adalah ukuran yang sensitif untuk menggambarkan kondisi yang sub-optimal selama perkembangannya. Jika ultrasound bisa menyebabkan perkembangan terhambat, maka pemakaian ultrasound secara rutin pun bisa dikhawatirkan .

Dari beberapa penelitian tersebut diatas, maka ditemui bahwa ada perbedaan dari segi hasil yang saya dapatkan dengan beberapa hasil penelitian tersebut diatas. Oleh karena itu, alangkah baiknya ini menjadi titik tolak untuk melakukan penelitian di masa yang akan datang.

Dokumen terkait