• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Penyakit jantung koroner diklasifikasikan berdasarkan diagnosis angina penderita yaitu angina pektoris (angina stabil) dan SKA (WHO, 2012). Berdasarkan pengertian tersebut, PJK dengan SKA memiliki faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodikasi yang saling berkaitan.

5.2.1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi a. Usia

Berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa dari 72 penderita SKA, kelompok usia 46-59 tahun merupakan kelompok usia yang memiliki frekuensi terbesar. Hal ini sejalan dengan penelitian Nasution (2011) , yang menunujukkan bahwa jumlah penderita PJK lebih banyak pada kelompok usia 46-59 tahun yaitu sebanyak 54 orang (35,3%), kelompok usia >60 tahun sebanyak 50 orang (32,7%), sedangkan proporsi terkecil berada pada kelompok usia <45 tahun yaitu sebanyak 49 orang (32%).

Pada kelompok usia 46-59 tahun merupakan kelompok usia yang aktif bekerja sehingga dapat berdampak pada gaya hidup, seperti mudah stres, kurangnya aktivitas fisik, pola makan yang tidak teratur maupun berlebihan. Kurangnya aktivitas fisik dan pola makan berlebihan dapat menyebabkan kegemukan akibat akumulasi lemak berlebihan sehingga dapat berpengaruh terhadap aterosklerosis.

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 5.3, menunjukkan bahwa penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak pada laki-laki (73,6%). Hal ini sejalan dengan penjelasan Russ dan Fagan (2002) yang menyatakan laki-laki yang mengalami sindrom koroner akut lebih banyak daripada perempuan (setelah menopause, insidennya meningkat pada perempuan) (Russ dan Fagan, 2002). Penelitian ini sebagian besar adalah perempuan menopause sebanyak 16 orang (84,2%), hal ini terjadi karena pada perempuan pra-menopause kadar kolesterol dalam darah lebih rendah daripada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar kolesterol perempuan biasanya akan meningkat menjadi lebih tinggi daripada laki-

laki, hal ini disebabkan pada perempuan menopause mengalami penurunan produksi hormon estrogen dimana fungsi hormon estrogen dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah (Anwar, 2004).

c. Riwayat Penyakit Jantung Koroner dalam Keluarga

Berdasarkan tabel 5.4, menunjukkan bahwa penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak yang tidak mempunyai riwayat PJK dalam keluarga (84,7%). Bila dibandingkan dengan penelitian Nababan (2010), jumlah penderita yang memiliki riwayat keluarga pada penelitian ini lebih sedikit daripada penelitian yang dilakukan Nababan (2008) sebesar 41,4% (29 orang).

Hal di atas dapat terjadi karena sebagian besar rekam medis tidak tercantum riwayat penyakit keluarga sehingga dianggap tidak memiliki riwayat penyakit keluarga dan riwayat PJK keluarga cenderung terjadi pada subjek yang berusia <45 tahun. Dan penelitian ini lebih banyak subjek yang berusia >45 tahun.

5.2.2. Faktor yang Dapat Dimodifikasi

Berdasarkan tabel 5.5, menunjukkan bahwa penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak memiliki riwayat merokok (58,3%) Hal ini sejalan dengan penelitian Goldenberg (2003), yang menunujukkan bahwa 32,7% kematian pada penderita PJK terdapat riwayat merokok sebagai indepentdent predictorkejadiancardiac arrestpada penderita PJK.

Hal tersebut dapat terjadi karena rokok mengandung nikotin dan kabon monoksida yang dapat mengurangi kolesterol baik (HDL) dalam darah dan meningkatkan kolesterol jahat (LDL) dalam darah sehingga merusak dinding dalam arteri, menurunkan jumlah darah yang mencapai jaringan dan meningkatkan kecenderungan darah untuk membeku (Nababan, 2008). Pada penelitian Framingham dalam Anwar (2004), didapat kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki perokok 10x lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih dari pada bukan perokok. Kedua penelitian tersebut sesuai dengan laporan US Department of Health and Human Services (1983) yang menyatakan Insidensi PJK dua kali lebih tinggi pada perokok dan empat kali lebih tinggi pada perokok berat dibandingkan dengan

yang tidak merokok, dan mortalitas PJK 70%, lebih tinggi pada perokok dan dua kali lebih tinggi pada perokok berat dibanding yang tidak merokok.

Frekuensi penderita SKA yang menderita hipertensi merupakan salah satu frekuensi terbesar setelah riwayat merokok. Hal ini sejalan dengan penelitian Malau (2011), yang menunjukkan bahwa pasien PJK di RSUP. H. Adam Malik pada tahun 2010 yang menderita hipertensi sebesar 56,6%.

Pada penelitian Anwar (2004) dijelaskan bahwa hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang menetap sehingga akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria dan memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal dalam penggunaan oksigen oleh miokardium.

Pada penelitian ini menunjukkan frekuensi DM dan hiperkolesterolemia pada penderita SKA tidak sebanyak faktor yang dapat dimodifikasi lainnya. Hal ini disebabkan mungkin karena perbedaan pada pola hidup seperti pola makan, tempat tinggal dan kebiasaan merokok (pada penelitian ini lebih banyak yang memiliki riwayat merokok). Walaupun demikian, pada penelitian Suyono (2003) dan Anwar (2004) menyatakan bahwa penderita DM lebih berisiko 2 kali menderita PJK daripada non-DM. Dan pada penelitian Waspadji (2003) menyatakan bahwa orang yang mengalami hiperkolesterolemia kemungkinan terjadinya aterosklerosis 3-5 kali sehingga mempercepat terjadinya PJK.

Pada Penelitian ini penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak yang memliki≥2 faktor risiko (51,4%). Hal ini sejalan dengan penelitian Berger et al (2010) yang menunjukkan bahwa pada kelompok yang memiliki ≥2 faktor risiko akan lebih berisiko PJK > 20%. Berdasarkan penelitian tersebut, dampak bagi individu yang memiliki ≥2 faktor risiko akan mempercepat akumulasi terjadinya aterosklerosis yang merupakan penyebab utama PJK dan berisiko menjadiperipheral artery disease,strokeatauheart failure.

Berdasarkan tabel 5.6, menunjukkan bahwa faktor risiko penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak terjadi pada penderita SKA yang merokok

(23,6%) dan merokok dengan hipertensi (15,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Nababan (2008) bahwa rokok dapat mengurangi kolesterol baik (HDL) dalam darah dan meningkatkan kolesterol jahat (LDL) dalam darah sehingga merusak dinding dalam arteri, menurunkan jumlah darah yang mencapai jaringan dan meningkatkan kecenderungan darah untuk membeku. Sedangkan hipertensi menurut Anwar (2004) merupakan peningkatan tekanan darah yang menetap sehingga akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria dan memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal dalam penggunaan oksigen oleh miokardium.

Jika disertai hipertensi yang akan menyebabkantrauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koroner, maka akan terjadi akumulasi dan mempercepat terjadinya aterosklerosis sehingga terjadi PJK (Anwar, 2004). Pada kategori “Tidak Ada” pada tabel 5.6. adalah penderita SKA yang hanya memiliki faktor risko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu pada kategori usia >60 tahun (tabel terlampir) dimana pada kategori usia tersebut mungkin telah terjadi penurunan fisiologis tubuh dan perlu penelitian lebih lanjut.

Dokumen terkait