• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. Hasil Penelitian dan Pembahasan

2. Pembahasan

Dari hasil penelitian mayoritas penderita kanker payudara 23 orang (54,76%) berusia antara 21 sampai dengan 40 tahun, Hal ini sesuai dengan penelitian Solihuddin (2006) bahwa mayoritas penderita kanker payudara berusia antara 21 sampai dengan 40 tahun yaitu sebanyak 20 orang (66,6%). Namun hal ini bertentangan dengan yang dinyatakan oleh Andrews (2009) bahwa wanita yang lebih tua memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang lebih muda dan resiko ini mulai meningkat mulai usia 40 tahun. Peneliti berasumsi bahwa ada kecenderungan semakin cepat pasien menderita kanker payudara disebabkan oleh perilaku manusia yang banyak

menyebabkan zat karsinogenik seperti pestisida, dan bahan pengawet. Pemberian obat hormonal perlu juga diwaspadai seperti pil KB dan suntik KB tidak dianjurkan lebih dari lima tahun dan perempuan yang berusia diatas 35 tahun harus berhati-hati menggunakannya.

Hasil penelitian menunjukan bahwa usia 21 tahun sampai 40 tahun memiliki pengetahuan yang lebih baik (X= 36,39), dimana tahap perkembangan kognitif dalam rentang usia ini merupakan masa perkembangan otak paling optimum, munculnya postformal thought suatu pola pikir yang merespon berbagai permasalahan menuju kedewasaan pada masa dewasa awal, dialectical thought proses berfikir mulai berubah dari logis dan pendekatan ilmiah menjadi lebih terbuka, lebih mendalam dan lebih kearah mencoba memahami antara paradok dan ketidakpastian, pada masa usia ini juga timbul keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke level yang lebih tinggi (post-secondary education) (Boyd, 2009).

Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkan pendidikan Perguruan Tinggi memiliki pengetahuan yang lebih baik (X= 40,00), dimana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah seseorang untuk menerima informasi (Notoatmodjo, 2005). Pendapat bahwa setiap tujuan dari pengobatan yang diberikan adalah untuk mempercepat kesembuhan suatu penyakit, tidak terkecuali pada penyakit kanker itu sendiri akan lebih mudah diterima dengan dilaksanakan semua tindakan pengobatan yang dianjurkan oleh petugas kesehatan. Peneliti berasumsi pendidikan yang tinggi mempunyai wawasan yang lebih luas mengenai suatu masalah sehingga lebih mudah diajak kerja sama terutama dalam pengobatan kemoterapi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang sumber informasi tentang pengobatan kemoterapi didapat dari petugas kesehatan berpengetahuan lebih baik (X=38,08) daripada sumber informasi yang lain, namun terlihat dengan jelas bahwa 17 orang (40,48%) mengetahui pengobatan kemoterapi dari tetangga dimana informasi yang diberikan belum tentu benar sedangkan petugas kesehatan sebagai orang yang berkompeten dalam memberikan informasi kesehatan tidak dimanfaatkan oleh pasien kanker payudara untuk mengetahui pengobatan kemoterapi sesuai hasil penelitian hanya 13 orang (30,95%). Peneliti berasumsi bahwa informasi pengobatan kemoterapi yang disampaikan oleh tetangga ke pasien kanker payudara disebabkan budaya masyarakat Indonesia yang saling mengunjungi tetangganya jika ada yang sakit, sehingga terjadi komunikasi berantai dimasyarakat tentang pengobatan kemoterapi.

Berdasarkan distribusi frekuensi dan persentase diperoleh hasil bahwa kebanyakan responden mengetahui tentang defenisi kemoterapi. Dari total 42 orang responden, mayoritas menjawab dengan benar pertanyaan defenisi kemoterapi. Selanjutnya pertanyaan ini berkaitan dengan jawaban untuk pertanyaan tentang tujuan kemoterapi. Seharusnya sesuai pertanyaan nomor 1 bahwa terdapat 28 orang pasien yang mengetahui tentang defenisi kemoterapi maka data untuk pertanyaan nomor 2 adalah sebanyak 24 orang pasien menjawab dengan benar tentang tujuan dari pengobatan kemoterapi. Namun dari data yang diperoleh menunjukkan pengurangan 4 orang pada pilihan jawaban yang benar. Berarti dari 28 orang pasien yang mengetahui tentang defenisi tentang pengobatan

kemoterapi, 4 orang pasien hanya mengetahui defenisi kemoterapi saja tanpa mengetahui tentang tujuan pengobatan kemoterapi.

Untuk aspek cara – cara melakukan pengobatan kemoterapi didapatkan 37 responden (88,1%) menjawab dengan benar tentang cara melakukan pengobatan kemoterapi yang harus dilaksanakan secara rutin dalam satu paket pengobatan, dan didapatkan 24 responden (57,1%) mengetahui tentang cara pengobatan kemoterapi yang tidak boleh ditinggalkan dalam satu siklus pengobatan. Menurut Barron (2010) menyatakan bahwa penyebab pasien tidak mengikuti pengobatan kemoterapi secara rutin dan meninggalkan jadwal pengobatan kemoterapi dalam satu siklus pengobatan adalah karena fisik pasien yang tidak kuat sehingga tidak dapat melanjutkan pengobatan. Untuk itu maka saat ini para ahli riset kanker telah berupaya dan berlomba lomba untuk menciptakan obat-obatan baru yang lebih efektif namun relatif memiliki efek samping yang lebih minimal bagi kualitas hidup pasien. Penelitian Surbekti (2010) menunjukan bahwa adanya hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap motivasi menjalani pengobatan kemoterapi. Penting bagi petugas kesehatan untuk memberitahu pasien mengenai rencana tindakan selanjutnya dan kapan tindakan selanjutnya dilakukan. Prinsip pengobatan kemoterapi bahwa semua obat harus diberikan atau tidak sama sekali.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 25 responden (59,5%) menjawab dengan benar tentang cara pemberian obat kemoterapi melalui mulut, dan didapatkan 25 responden (59,5%) mengetahui tentang cara pemberian obat kemoterapi yang paling umum digunakan yaitu melalui infus. (Rasjidi, 2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis obat kemoterapi telah dikemas untuk

pemberian peroral, diantaranya adalah chlorambucil dan etoposide (VP-16) , pemberian secara intavena dapat diberikan secara bolus perlahan-lahan atau diberikan secara infus (drip). Dan cara pemberian obat kemoterapi yang paling umum dan banyak digunakan adalah melalui intravena (infus).

Berdasarkan distribusi frekuensi dan persentase diperoleh hasil bahwa kebanyakan responden mengetahui tentang persiapan sebelum dilakukannya tindakan pengobatan kemoterapi. Dari total 42 orang responden, mayoritas menjawab dengan benar pertanyaan persiapan pengobatan kemoterapi yaitu tentang tujuan dilakukannya pengobatan kemoterapi sebanyak 33 orang responden (78,6%), pertanyaan tentang pemeriksaan darah sebelum dilakukan pengobatan kemoterapi sebanyak 26 responden (61,9%), dan pertanyaan tentang pengetahuan pasien tentang efek samping yang kemungkinan terjadi selama pengobatan sebanyak 26 orang responden (61,9%). Rasjidi (2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa persiapan yang harus dipenuhi pasien sebelum melakukan pengobatan kemoterapi yaitu dilakukan pemeriksaan darah yang menunjukkan hemoglobin lebih dari 10g%, leukosit lebih dari 5000/mm3, dan trombosit lebih dari 150.000/mm3, dan pasien mengetahui tentang tujuan pengobatan dan efek samping yang kemungkinan terjadi selama pengobatan. Namun penelitian yang dilakukan di salah satu Rumah Sakit di Bandung oleh Anastasya (2010) bahwa persiapan pasien sebagian besar (54,37%) tidak dilakukan atau hanya hampir setengahnya saja dilakukan oleh petugas kesehatan. Hal ini dikarenakan petugas kesehatan menganggap pemeriksaan lain yang telah dilakukan sebelumnya serta surat rujukan oleh dokter sudah cukup menjadi landasan untuk pasien dapat

dilakukan kemoterapi. Perawat juga mengatakan kendala lain terkendala dengan jumlah petugas kesehatan yang dianggap kurang.

Untuk aspek efek samping dalam pengobatan kemoterapi didapatkan 29 orang responden (69,0%) menjawab dengan benar tentang efek samping mual muntah pada pengobatan kemoterapi. Andrews (2009) yang menyatakan bahwa mual muntah terjadi karena tubuh mengenali agens kemoterapi sebagai zat toksik dan mengakibatkan terjadinya peningkatan asam lambung. Penelitian yang dilakukan Anastasya (2010) di salah satu Rumah Sakit di Bandung bahwa penilaian respon dan efek samping kemoterapi hanya sebagian kecil (6,35%) dilakukan oleh petugas kesehatan. Peneliti berasumsi bahwa sangat penting bagi petugas kesehatan untuk selalu memperhatikan reaksi atau efek samping yang timbul pada saat pelaksanaan atau setelah pelaksanaan kemoterapi berlangsung, sehingga apabila timbul reaksi yang berlebihan dapat segera dicegah.

Untuk pengetahuan tentang cara mengatasi efek samping kemoterapi 28 orang responden (66,7%) mengetahui tentang cara mengatasi efek samping sakit mata pada pengobatan kemoterapi. Andrews (2009) berpendapat bahwa kemoterapi atrasiklin dan anti folat sering kali mempengaruhi konjungtiva mata, menyebabkan mata lengket dan dapat menyebabkan rasa sakit serta kering. Asam folinat tablet yang diberikan peroral dapat mengurangi efek antifolat dan penggunaan tetes mata juga dapat memberikan kenyamanan.

Penelitian yang dilakukan terhadap 42 orang pasien kanker payudara di Hope Clinic Medan menunjukan bahwa usia pasien paling banyak menderita kanker payudara lebih dari 20 sampai dengan 39 tahun sebanyak 23 orang

(54,76%), dan pasien berlatar belakang pendidikan SMA sebanyak 16 orang (38,09%), informasi paling banyak didapat dari tetangga 17 orang (40,48%). Pengetahuan pasien kanker payudara tentang pengobatan kemoterapi dengan frekuensi 4 orang (9,52%) mempunyai pengetahuan kurang, 27 orang (64,29% ) berpengetahuan cukup, dan 11 orang (26,19%) berpengetahuan baik. Hasil penelitian pengetahuan pasien tentang pengobatan kemoterapi pada pasien kanker payudara di Hope Clinic Medan pada umunya cukup, artinya pasien tidak sepenuhnya memahami defenisi, tujuan, cara, persiapan, efek samping dan cara mengatasi efek samping dari pengobatan kemoterapi.

Pendapat bahwa kanker payudara merupakan akhir dari kehidupan seolah jalan kematian terbuka didepan mata. Kemajuan teknologi medis padahal memungkinkan kanker payudara bisa dihambat lebih cepat sehingga usia harapan hidup lebih panjang. Selain itu kemauan untuk hidup sangat mempengaruhi motivasi danperilaku responden untuk mencari informasi tentang pengoabatan kemoterapi, jika motivasi responden rendah tentang pengobatan maka akan menyerahkan semuanya pada tuhan sedangkan motivasi tinggi akan berjuang untuk mencari informasi yang akurat tentang pengobatan kemoterapi. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Underwood (1991) yang menguji orang orang Afrika dan Amerika dengan memperhatikan perilaku pemeliharaan kesehatan. Penelitian tersebut pesimis dan takut akan penyakit kanker secara keseluruhan mempengaruhi derajat pengharapan orang orang tersebut untuk mendapatkan informasi kesehatan. Peneliti berasumsi pengetahuan wanita penderita kanker payudara tentang pengobatan kemoterapi di srupham dalam

kategori cukup, informasi tentang pengobatan kemoterapi belum sepenuhnya diberikan pada wanita yang terdiagnosa kanker payudara dan bagaimana Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien kanker payudara di Hope Clinic Medan 27 orang (64,29%) berpengetahuan cukup. Distribusi frekuensi dan persentase pengetahuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien kanker payudara di Hope Clinic Medan 27 orang (64,29%) berpengetahuan cukup. Distribusi frekuensi dan persentase pengetahuan pasien tentang pengobatan kemoterapi pada pasien kanker payudara dapat dilihat pada tabel 5.3. pengobatan kemoterapi itu dilaksanakan. Kemoterapi sebagai tindakan pengobatan perlu dipahami wanita penderita kanker payudara karena efek samping dari kemoterapi itu bisa menyebabkan wanita penderita kanker payudara tidak teratur dalam menjalankan pengobatan.

Dokumen terkait