• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Pembahasan

Dalam pembahasan ini peneliti mencoba membahas pertanyaan penelitian yaitu bagaimana kecerdasan emosional perawat, perilaku caring perawat, dan

hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe.

2.1 Kecerdasan Emosional Perawat

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari setengah perawat memiliki kecerdasan emosional tinggi yaitu 30 orang (65.2%) dan 16 orang (34.8%) memiliki kecerdasan emosional sedang serta tidak ada perawat yang memiliki kecerdasan emosional dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perawat memiliki kemampuan yang cukup baik untuk mengenali perasaannya dan perasaan orang lain serta mampu memotivasi dan mengelola emosi dengan baik dalam berhubungan dengan orang lain. Nurhidayah (2006) mengatakan bahwa perawat adalah sebuah profesi yang berpusat kepada pelayanan yang bersifat jasa yang memerlukan keterampilan dalam memanajemen emosional.

Hasil penelitian tersebut hampir sama dengan hasil penelitian Akbar (2013) yaitu perawat di RSUD Banjarbaru memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi sebesar 23.72% dan tingkat kecerdasan emosional sedang sebesar 42.37%. Rudyanto (2013) juga mendapatkan hasil yang hampir sama dalam penelitiannya yaitu tingkat kecerdasan emosional dalam kategori sedang sebesar 78%.

Salah satu faktor yang menyebabkan tidak adanya perawat di RSU Kabanjahe memiliki kecerdasan emosional rendah oleh karena dalam pengisian kuesioner diisi oleh masing-masing perawat artinya setiap perawat melakukan penilaian terhadap diri sendiri.

Berdasarkan motivasi diri perawat didapatkan bahwa 27 orang perawat (58.7%) memiliki tingkat motivasi diri yang tinggi dan 19 orang perawat (41.3%)

memiliki motivasi diri yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa perawat secara umum mampu menggunakan hasrat yang paling dalam menuju sasaran sehingga mampu bertahan dan tetap memiliki harapan meskipun ada halangan. Ardiana (2010) mengatakan bahwa perawat perlu memiliki kecakapan kecerdasan emosional memotivasi diri karena perawat yang mampu memotivasi diri cenderung lebih gigih ketika berhadapan dengan situasi sulit, aneh dan kritis serta mampu mencari solusi tanpa takut terhadap kegagalan.

Berdasarkan kemampuan memahami perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain (empati) perawat didapatkan bahwa 25 orang perawat (54.3%) memiliki empati yang tinggi dan 21 orang perawat (45.7%) memiliki empati yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah perawat mampu merasakan yang dirasakan oleh orang lain, dan mampu menumbuhkan hubungan saling percaya dengan bermacam-macam orang. Kecerdasan emosional dalam memahami perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain sangat penting bagi perawat. Hasil penelitian Ardiana (2010) menggambarkan bahwa perawat yang memiliki kecakapan memahami dan mendukung perasaan orang lain (empati) yang tinggi berpeluang 2.567 kali lebih berprilaku caring menurut persepsi pasien dibandingkan perawat yang memiliki kecakapan memahami dan mendorong perasaan orang lain (empati) yang rendah. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Nurhidayah (2006) bahwa perawat yang merupakan orang yang paling dekat dengan pasien perlu memiliki tingkat emosional yang baik karena akan dapat lebih mudah menyesuaikan diri dalam lingkungannya.

Berdasarkan keterampilan sosial perawat didapatkan bahwa 25 orang perawat (54.3%) memiliki tingkat keterampilan sosial yang tinggi dan 21 orang perawat (45.7%) memiliki keterampilan sosial yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah perawat mempunyai kemampuan membina hubungan (keterampilan sosial) yang tinggi, yang menunjukkan bahwa perawat secara umum telah mampu membina hubungan dengan pasien, keluarga pasien, dokter, dan rekan sejawat. Martin (2003) mengatakan bahwa seorang perawat harus dapat mengadakan hubungan yang baik dengan atasan, rekan sejawat, bawahan dan juga pasien.

2.2 Perilaku Caring Perawat

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari setengah perawat memiliki perilaku caring yang cukup baik yaitu 40 orang (51.3%) dan 38 orang (48.7%) memiliki perilaku caring baik. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku caring masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan karateristik perawat didapatkan mayoritas perawat (84.8%) adalah perempuan dan lebih dari setengah (67.9) pasien sebagai responden untuk menilai perilaku caring perawat juga adalah perempuan. Peneliti berasumsi bahwa persamaan jenis kelamin antara perawat dengan pasien menyebabkan pasien menilai perilaku caring lebih baik. Tingkat pendidikan perawat terbanyak (56.5%) adalah tamatan akademi keperawatan serta diikuti tamatan sarjana keperawatan (39.1%). Berdasarkan tingkat pendidikan tersebut didapatkan bahwa perawat memiliki tingkat kognitif yang cukup baik. Hasil penelitian Prabowo, Ardiana, Wijaya (2014) menyatakan bahwa adanya

hubungan antara tingkat kognitif perawat dengan aplikasi praktik caring di ruang rawat inap RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso serta perawat yang memiliki tingkat kognitif yang baik akan berpeluang 4,4 kali lebih berprilaku caring.

Dalam rangka meningkatkan perilaku caring perawat perlu diperhatikan beberapa hal seperti peningkatan pengetahuan dan pengertian tentang caring melalui pelatihan dan seminar dapat membantu perawat mulai mengenali dunia klien dan mengubah cara pendekatan pelayanan keperawatan mereka. Selain itu membuat lingkungan kerja yang dapat membuat perawat memperagakan perilaku caring seperti memperkenalkan fleksibilitas dalam struktur lingkungan kerja, memberikan penghargaan untuk perawat berpengalaman, dan mengembangkan kepegawaian perawat yang dapat meningkatkan caring perawat. Membangun hubungan yang baik dan mengetahui banyak tentang klien dalam praktik sehari- hari dapat meningkatkan perilaku caring perawat dalam pelayanan keperawatan terhadap pasien (Watson, 2003 dalam Potter & Perry, 2009).

Berdasarkan faktor proses belajar mengajar yang interpersonal didapatkan bahwa 30 orang perawat (38.5%) memiliki perilaku yang baik, 27 orang perawat (34.6%) memiliki perilaku yang cukup baik, dan 21 orang perawat (26.9%) memiliki perilaku yang buruk. Hal ini menggambarkan bahwa perawat masih kurang memfasilitasi dan memberikan informasi kepada pasien terkait perawatan dan pengobatan yang dijalani, padahal faktor karatif ini adalah faktor penting yang membedakan caring dengan curing. Perawat berada pada posisi yang ideal untuk memberikan informasi, pendidikan, dan dorongan serta dukungan kepada

pasien dalam rangka memandirikan dan melibatkan pasien dalam mencapai kondisi kesehatannya (McQueen, 2000 dalam Ardiana, 2010)

Berdasarkan faktor lingkungan yang mendukung, melindungi, dan memperbaiki suasana mental, fisik, sosial, dan spiritual didapatkan bahwa 72 orang perawat (92.3%) memiliki perilaku yang baik, 5 orang perawat (6.4%) memiliki perilaku yang cukup baik, dan 1 orang perawat (1.3%) memiliki perilaku yang buruk. Berdasarkan hasil penelitian seluruh faktor karatif caring perawat didapatkan bahwa faktor lingkungan memiliki nilai yang terbaik. Hal ini berarti lingkungan RSU Kabanjahe merupakan lingkungan yang nyaman dan memberikan kepuasan bagi pasien serta sangat mendukung bagi pemulihan kesehatan pasien dan merupakan hal yang perlu dipertahakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tanjung (2012) tentang harapan pasien dalam kepuasan perilaku caring perawat di RSUD Deli Serdang yaitu faktor lingkungan yang mendukung, melindungi, dan memperbaiki suasana mental, fisik, sosial dan spiritual adalah faktor karatif caring yang juga paling tinggi dan paling berkontibusi terhadap harapan caring perawat.

Berdasarkan faktor pemenuhan kebutuhan manusia didapatkan bahwa 3 orang perawat (3.8%) memiliki perilaku yang baik, 24 orang perawat (30.8%) memiliki perilaku yang cukup baik, dan 51 orang perawat (65.4%) memiliki perilaku yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa perawat masih kurang memperhatikan pemenuhan kebutuhan pasien. Dibuktikan dari hasil distribusi pernyataan dari pasien bahwa 87.2% perawat (lampiran peryataan perilaku caring nomor 21) tidak pernah membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari

seperti makan, minum, BAK, BAB, mandi dan lain-lain. Pernyataan yang lain juga yang mendukung adalah bahwa 66.7 % perawat tidak pernah membantu pasien memenuhi kebutuhan keagamaanya. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Ardiana (2010) tentang hubungan kecerdasan emosional yang menunjukkan 73% perawat tidak membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti mandi, BAK, BAB, dan lain-lain yang disebabkan oleh beban kerja perawat RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso tinggi. Hasil observasi peneliti didapatkan bahwa salah satu faktor perawat tidak membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari bukan karena beban kerja yang tinggi, namun karena adanya keluarga yang mendampingi pasien selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan segala kebutuhan sehari-hari pasien bahkan pemberian obat oral dikerjakan oleh keluarga pasien.

2.3 Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat di RSU Kabanjahe

Hasil uji korelasi Spearman yang dilakukan pada penelitian hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe diperoleh bahwa nilai koefisien korelasi (�) sebesar 0.109. Hal ini menunjukkan hubungan antara kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe sangat lemah dengan arah koefisien korelasi positif. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ardian (2010) tentang hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat pelaksana menurut persepsi pasien di ruang rawat inap RSU Dr. H. Koesnadi

Bondowoso. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara dimensi memahami dan mendukung emosi orang lain dengan perilaku caring perawat. Lokasi penelitian tersebut adalah di rumah sakit tipe B yang merupakan rumah sakit rujukan di Kabupaten Bondowoso yang memiliki beban kerja perawat, sedangkan lokasi penelitian ini juga adalah rumah sakit rujukan di Kabupaten Karo namun tergolong rumah sakit tipe C.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001). Kecerdasan emosional penting dalam dunia kerja, karena dengan kecerdasan emosional seseorang dapat mengadakan hubungan yang baik dengan atasan, rekan sejawat maupun bawahan atau juga pelanggan (Martin, 2003).

Baca selengkapnya

Dokumen terkait